Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari

Demonstrasi petani menuntut pembebasan 4 orang terdakwa tuduhan pencurian sawit. Foto Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia
Demonstrasi petani menuntut pembebasan 4 orang terdakwa tuduhan pencurian sawit. Foto Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia
  • Perusahaan minuman soda dan makanan asal Amerika Serikat, PepsiCo, dan produsen susu asal Belanda, FrieslandCampina meminta para pemasoknya berhenti membeli minyak sawit dari perusahaan perkebunan PT Astra Agro Lestari (AAL) di Indonesia, pada pekan kedua Maret lalu.
  • PT AAL dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan perampasan tanah dan kriminalisasi masyarakat petani di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar) serta terjadi kerusakan ekologis. Temuan itu berdasarkan hasil investigasi Walhi dan Friends of the Earth Amerika Serikat yang terbit pada Maret 2022.
  • Ambo Enre, petani di Morowali Utara mengatakan,  perlu tindakan tegas negara atau pemerintah untuk menyelesaikan masalah iniHarapannya, pemerintah segera kembalikan tanah petani. Negara, bisa membebaskan Gusman dan Sudirman, serta berhenti mengkriminalisasi maupun mengintimidasi masyarakat.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, yang dilakukan AAL ini potret industri sawit di Indonesia masih dipenuhi cerita konflik, pelanggaran HAM serta perusakan lingkungan termasuk hutan

Perusahaan minuman soda dan makanan asal Amerika Serikat, PepsiCo, dan produsen susu asal Belanda, FrieslandCampina meminta para pemasoknya berhenti membeli minyak sawit dari perusahaan perkebunan PT Astra Agro Lestari (AAL) di Indonesia, pada pekan kedua Maret lalu.

Sikap dua perusahaan raksasa ini mengikuti keputusan yang diambil enam perusahaan lainnya, yaitu, L’Oréal, Nestle, Hershey’s, Procter & Gamble, Colgate-Palmolive dan Danone yang sebelumnya menangguhkan sumber bahan baku milik perusahaan sawit terbesar kedua di Indonesia itu.

AAL dinilai melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan melakukan perampasan tanah dan kriminalisasi masyarakat petani di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Barat (Sulbar) serta terjadi kerusakan ekologis. Temuan itu berdasarkan hasil investigasi Walhi dan Friends of the Earth Amerika Serikat yang terbit pada Maret 2022.

“Kami sangat mendukung sekali sikap delapan perusahaan Internasional yang sudah menangguhkan pembelian minyak sawit dari AAL, sepanjangan berbagai persoalan pelanggaran HAM belum diselesaikan,” kata Sunardi Katili, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng pada konferensi pers, Maret lalu.

Di Indonesia, AAL menguasai 297.000 hektar perkebunan yang dikelola 41 anak perusahaan sawit di delapan provinsi di Indonesia, termasuk PT Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, PT Lestari Tani Teladan (LTT) di Donggala, Sulawesi Tengah, dan PT Mamuang di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Tiga perusahaan itu yang didokumentasikan Walhi dan FoE, diduga terlibat dalam konflik tanah berkepanjangan dengan masyarakat lokal di Sulteng dan Sulbar. Bahkan, tiga perusahaan itu dituduh merampas tanah dengan kekerasan yang didukung pasukan keamanan Indonesia.

Jalan perusahaan dalam areal PT Mamuang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Jalan perusahaan dalam areal PT Mamuang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Tiga perusahaan itu juga dinilai terlibat dalam penggundulan hutan ilegal, perambahan hutan, dan polusi tanah, udara, dan air. Hal itu berdampak negatif terhadap mata pencaharian masyarakat.

Tak satupun dari tiga perusahaan menerima persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat lokal saat beroperasi.

Dia contohkan, PT. ANA. Perusahaan ini tidak memiliki sertifikat HGU yang merupakan izin resmi yang memberikan hak kepada perusahaan untuk mengolah tanah. Disinyalir perusahaan tidak membayar pajak negara yang seharusnya.

Walaupun ada sekitar 1.224 warga yang memiliki surat keterangan tanah (SKT), ANA tetap mengambil alih paksa tanah masyarakat di Petasia Timur, mencakup antara 5.000-7.000 hektar di Desa Bunta, Molino, Bungintimbe, Tompira, dan Bunta.

ANA mengklaim memiliki izin usaha perkebunan (IUP) seluas 7.244 hektar yang diberikan Bupati Morowali pada 2014. Izin itu sebenarnya hasil penciutan dari sepertiga izin lokasi ANA yang diberikan secara ilegal pada 2007, setahun lebih cepat dari izin lingkungan yang dikeluarkan pada 2008.

Ombudsman pun menemukan, IUP ANA tumpang tindih dengan lokasi transmigrasi dan dengan lahan milik pribadi. Ombudsman merekomendasikan,  izin lokasi ANA harus ditinjau kembali melalui mekanisme peninjauan perizinan sawit yang diamanatkan presiden.

Mekanisme perizinan seperti diatur dalam Permentan Nomor 05/2019 yang menegaskan, perusahaan yang melakukan kegiatan perkebunan harus memiliki HGU untuk mendapatkan IUP. Apabila perusahaan tidak memiliki HGU,  maka perusahaan tak dapat beroperasi. Rekomendasi Ombudsman itu tak dilaksanakan hingga kini.

Sumber: Agus Mawan, data olahan
Sumber: Agus Mawan, data olahan

Ironisnya,  kata Sunardi, saat masyarakat mengecam perambahan tanah oleh perusahaan, ANA malah mengambil tindakan hukum berupaya mengkriminalisasi penduduk desa dengan menuduh mereka mencuri buah sawit dan mengklaim tanah perusahaan. Kepolisian pun digerakkan.

“Untuk kriminalisasi ANA sudah ada dua orang, Gusman dan Sudirman. Keduanya kakak beradik. Mereka dituduh mencuri buah sawit di lahan mereka sendiri,” kata Sunardi. Keduanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

Selain kriminalisasi dan perampasan tanah, ANA juga dinilai merusak lahan basah dan pencemaran air, serta penggundulan hutan. Tanggul buatan ANA di sepanjang Sungai Mintai jadi pemicu tingginya air di perkebunan masyarakat hingga petani tak dapat memanen hasil panen mereka.

Tak hanya itu, limbah pabrik sawit ANA yang tidak diproses baik bocor ke muara Sungai Mintai dan mencemari kolam-kolam masyarakat.

Kontaminasi bahan kimia pertanian dari pupuk yang mungkin terkait operasi perusahaan, katanya,  menyebabkan kegagalan panen rumput laut dan mengurangi tanggapan nelayan di sekitar muara Sungai Mohoni.

“Karena limbah perusahaan dibuang ke laut, akhirnya masuk ke tambak-tambak budidaya rumput laut. Kini, warga yang budidaya rumput laut sudah tidak bisa lagi mendapatkan hasilnya,” kata Ambo Enre, dari Serikat Petani Petasia Timur

Berikutnya, LTT yang merupakan anak perusahaan AAL juga melakukan hal sama. Perusahaan di Kecamatan Rio Pakava, Donggala ini memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU) seluas 1.505 hektar.

Namun, berdasarkan pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN), HGU perusahaan ini masuk pekarangan pemukiman rumah-rumah warga, maupun gedung sekolah dasar (SD). Konsesi LTT juga tumpang tindih dengan konsesi PT Mamuang.

Limbah sawit PT Lestari Tani Teladandi jalan utama menuju Desa Tawiora, Donggala. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Limbah sawit PT Lestari Tani Teladandi jalan utama menuju Desa Tawiora, Donggala. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Mirisnya, berdasarkan catatan Walhi, LTT diduga menanam sawit di luar HGU seluas 13.621 hektar, dan masuk dalam kawasan hutan lindung seluas 1.603 hektar, serta kawasan hutan produksi terbatas seluas 401 hektar.

Pada 2004, LTT dibantu Korps Brigade Mobil (Brimob) merampas tanah masyarakat di Desa Towiora, Minti Makmur, Tinauka, dan Rio Mukti. Para pemegang hak menyatakan, perampasan tanah dengan kekerasan, intimidasi, penembakan membabi buta, dan penculikan. Saat itu,  katanya, ada tiga warga dikriminalisasi dan dijatuhi hukuman empat bulan penjara.

Usai kejadian itu, LTT membuka lahan dan menanam pohon sawit di pinggiran Sungai Lariang, memperlebar sungai dan meningkatkan ancaman banjir. Tanah di pinggiran Sungai Lariang perlahan-lahan terkikis, dan setiap tahun, banjir menggenangi pemukiman warga sekitar. Pada Mei 2019, sekitar 40 rumah terendam banjir.

Sampai saat ini, ada 55 bidang tanah dengan pemilik sah belum menerima kompensasi dari perusahaan. Sementara para petani yang menerima kompensasi untuk 127 bidang tanah menyatakan mereka tidak menerima jumlah penuh sesuai janji.

LTT ini juga belum memenuhi kewajiban hukum mengalokasikan 20% dari perkebunan sebagai lahan plasma dalam kemitraan dengan masyarakat, seperti amanat hukum Indonesia.

Selanjutnya, PT. Mamuang. Berdasarkan dokumentasi Walhi dan FoE terbitan 2022, perusahaan di Pasangkayu ini secara ilegal menempati 255 hektar kawasan hutan lindung. Konsesi PT Mamuang tampaknya tumpang tindih dengan konsesi LTT.

Perusahaan ini diduga merampas lahan seluas 128 hektar miliki 68 petani dari Desa Rio Mukti. Sejak 2017, Mamuang setidaknya telah mengkriminalisasi delapan warga yang berjuang mempertahankan tanah. Padahal, warga sudah memiliki surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dan sertifikat hak milik (SHM) sah.

Menanti tindakan pemerintah

Ambo Enre, petani di Morowali Utara mengatakan, pada Maret puluhan personil Brimob bersenjata lengkap menjaga kawasan yang dikuasai ANA. Mereka menghadang setiap petani yang ingin masuk lahan yang diklaim milik mereka.

Bahkan, kata Ambo, salah satu rekannya yang tergabung dalam Serikat Petani Petasia Timur didatangi 10 Brimob bersenjata lengkap untuk menghentikan aktivitas di lahan mereka. Padahal, rekannya itu memiliki bukti kepemilikan lahan sah.

Kondisi itu, katanya, AAL sama sekali tidak melakukan tindakan perbaikan, justru terus mengintimidasi. Untuk itu, katanya, perlu tindakan tegas negara atau pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini.

Dia berharap, pemerintah menghentikan aktivitas ANA, lalu segera kembalikan tanah petani. Negara, katanya,  juga harus membebaskan Gusman dan Sudirman, serta berhenti mengkriminalisasi maupun mengintimidasi masyarakat.

Sunardi mengatakan, kompleksitas konflik agraria ini merupakan tanggung jawab negara. Negara,  seharusnya bertanggung jawab atas apa yang dialami masyarakat di sekitar ANA, LTT, dan Mamuang.

Dia bilang, khusus tiga kementerian yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KATR/BPN, dan Kementerian Pertanian harus segera bertanggung jawab dalam konflik dan kriminalisasi petani di tiga anak perusahaan AAL itu.

Dia juga menambahkan, perjuangan Walhi dan komunitas tidak akan berhenti pada penangguhan delapan perusahaan internasional, melainkan hingga hak-hak masyarakat kembali, yaitu tanah dan hak mendapatkan hidup aman dan baik.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, yang dilakukan AAL ini potret industri sawit di Indonesia masih dipenuhi cerita konflik, pelanggaran HAM serta perusakan lingkungan termasuk hutan.

Menurut dia, penangguhan delapan perusahaan internasional ini membuktikan praktik perusakan AAL tak luput dari perhatian. Uli meminta, AAL mengembalikan tanah kepada masyarakat yang diambil tanpa persetujuan mereka.

“AAL juga harus memberikan kompensasi atas hilangnya mata pencaharian, membersihkan nama baik warga yang telah dikriminalisasi secara tidak adil, dan meminta maaf atas pelanggarannya.”

Demonstrasi petani menuntut pembebasan 4 orang terdakwa tuduhan pencurian sawit. Foto Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia
Demonstrasi petani menuntut pembebasan 4 orang terdakwa tuduhan pencurian sawit. Foto Walhi Sulteng/ Mongabay Indonesia

Sejak 2015, AAL mengadopsi kebijakan keberlanjutan untuk semua operasi dan anak perusahaan mereka, termasuk setiap kilang, pabrik, atau perkebunan yang dimiliki, kelola, atau investasikan serta semua pihak ketiga yang dibeli.

Kebijakan ini secara luas berkomitmen melindungi hutan, lahan gambut, dan hak asasi manusia melalui tiga prinsip utama, yakni, tanpa deforestasi, konservasi lahan gambut, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Kebijakan ini mengikat AAL agar mematuhi prinsip-prinsip panduan PBB tentang bisnis dan HAM, yang eksplisit menyerukan bisnis menghindari pelanggaran HAM.

Dengan penangguhan para pembeli sawit itu, AAL disinyalir melanggar komitmen kebijakan keberlanjutan yang dibuat itu.

Bagaimana tanggapan perusahaan? Santosa, Presiden Direktur AAL mengatakan, PepsiCo dan FrieslandCampina, tak memiliki hubungan komersial (jual-beli) atau bukan pembeli langsung AAL. Mereka, katanya, tak pernah melakukan kontak maupun komunikasi dan klarifikasi atas tuduhan yang dikeluhkan.

Meski begitu, Santosa mengajak PepsiCo dan FrieslandCampina bersama-sama berdialog dan berbisnis sambil tetap menjaga kelestarian alam. Dia mengundang dua perusahaan asal Amerika Serikat dan Belanda itu untuk untuk melihat langsung penerapan Astra Agro dalam menjunjung tinggi HAM.

“Kami tidak ingin berdebat tentang komitmen Astra Agro terhadap prinsip-prinsip sustainability, lebih baik langsung sama-sama kita tunjukkan tindakan nyata yang benar-benar dirasakan manfaatnya,” kata Santosa seperti dikutip InfoSAWIT.

Santosa mengklaim, kelompok lingkungan yang menuduh AAL merusak lingkungan dan pelanggaran HAM itu tak berdasar. AAL sudah memberikan klarifikasi mengenai tuduhan dalam laporan FoE secara langsung kepada para pemangku kepentingan.

Mereka juga mempublikasikan tanggapan terbuka yang dapat dibaca pada laman AAL. ​​​​​

Demi objektivitas, katanya, Astra Agro akan menunjuk lembaga independen untuk peninjauan lapangan yang lebih komprehensif agar bisa terungkap kondisi yang sesungguhnya.

Penunjukan pihak ketiga ini, katanya,  dengan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan. Laporan hasil tinjauan lapangan ini,  akan dia sampaikan kepada para pemangku kepentingan. “Agar jelas apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.”

Menurut Uli, berhentinya perusahaan-perusahaan internasional membeli sawit dari perusahaan Indonesia harusnya mendorong pemerintah serius perbaiki tata kelola sawit.

Sudah saatnya,  pemerintah berhenti menerbitkan izin-izin baru perkebunan sawit skala besar, sembari melakukan perbaikan tata kelola dengan evaluasi izin.

Pemerintah, katanya,  bisa memberlakukan blacklist bagi perusahaan maupun penerima manfaat yang selama ini melanggar dan lakukan kejahatan lingkungan.

“Pemerintah juga harus segera penyelesaian konflik, dan penegakan hukum.”

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.