Program Sulawesi Palm Oil Belt Ancaman Baru Hutan Sulawesi

Samria, lahan kelola ditanami perusahaan dengan janji bagi hasil. Tak sesuai janji, mengadu tanpa kejelasan malah dia kena penjara. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Samria, lahan kelola ditanami perusahaan dengan janji bagi hasil. Tak sesuai janji, mengadu tanpa kejelasan malah dia kena penjara. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
  • Belum lama ini, muncul lagi rencana pengembangan perkebunan dan industri sawit di Pulau Sulawesi, yang akan membentang dari Sulawesi Selatan hingga Manado, Sulawesi Utara. Mega proyek bernama Sulawesi Palm Oil Belt ini kabarnya akan gunakan lahan seluas satu juta hektar.
  • Data Global Forest Watch (GFW), setidaknya di Sulawesi ada 906.100 hektar hutan primer basah hilang pada 2002-2023. Juga ada 2,2 juta hektar tutupan pohon hilang di Sulawesi dalam periode sama.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, mega proyek sejuta hektar kebun sawit ini merupakan ide buruk yang akan memperburuk kondisi ekologis Pulau Sulawesi. Saat ini saja, pulau ini dalam eksploitasi besar-besaran industri ekstraktif.
  • Riszki Is Hardianto, peneliti spesies Yayasan Auriga Nusantara menilai, proyek sejuta hektar kebun sawit ini bisa mengancam keanekaragaman hayati Wallacea di Sulawesi. Mega proyek itu kemungkinan buka hutan alam tersisa yang merupakan rumah berbagai spesies endemik.

Di Pulau Sulawesi akan dibangun pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit yang membentang dari Sulawesi Selatan hingga Manado, Sulawesi Utara. Mega proyek bernama Sulawesi Palm Oil Belt ini akan memanfaatkan 1 juta hektar lahan potensial untuk budidaya kelapa sawit di Pulau Sulawesi.

Lahan-lahan itu tersebar di Sulawesi Selatan (Sulsel) sebesar 100 ribu hektar, Sulawesi Tenggara (Sultra) sebesar 290 ribu hektar, Sulawesi Barat (Sulbar) sebesar 120 ribu hektar, Sulawesi Tengah (Sulteng) 300 ribu hektar, Gorontalo sebesar 95 ribu hektar, dan Sulawesi Utara (Sulut) sebesar 70 ribu hektar. Sisanya masih dalam proses identifikasi.

PT Sulsel Citra Indonesia (SCI), atau Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) Sulsel dengan Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) menjadi penggagas dalam program Sulawesi Palm Oil Belt ini. Pada 21 Mei 2024 lalu, PT SCI dan GPPI telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dalam rangka kerjasama pelaksanaan mega proyek ini.

PT SCI dan GPPI juga akan bekerjasama dengan Perseroda provinsi lainnya, dan beberapa perusahaan nasional, serta BUMN hingga perusahaan asal Malaysia. Mereka akan membangun kawasan industri, pabrik, hingga hilirisasi produk dengan nilai investasi sebesar 80 juta USD atau sekitar Rp. 1,3 triliun.

Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan

Pada pelaksanaannya nanti, mega proyek ini akan membangun pabrik kelapa sawit berkapasitas 45 ton/jam yang dapat menghasilkan 30 juta liter minyak goreng per tahun. Kemudian, limbah industrinya akan diolah menjadi pupuk organik yang akan dipasarkan ke lahan perkebunan sawit agar aktivitas industri ini dinilai bersih dan rendah emisi karbon.

Plt Direktur Utama PT SCI, Machmud Achmad mengklaim, mega proyek ini sangat potensial untuk mengubah perekonomian daerah dan penciptaan lapangan kerja di seluruh provinsi di Sulawesi. Ia juga bilang, program ini akan membantu petani-petani kecil di Sulawesi yang yang bergantung pada budidaya kelapa sawit.

“Pertumbuhan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan, tetapi juga bagi petani kecil, yang bergantung pada budidaya kelapa sawit untuk mata pencaharian mereka,” kata Machmud Achmad, seperti di kutip dalam website Gapki Sulawesi.

Machmud Achmad juga mengklaim, proyek ini bukan hanya memperoleh dari hasil minyak, tapi juga akan mendapat keuntungan dari karbon kredit. Dimana, lahan sawit yang akan dibangun nanti akan menggunakan pupuk organik yang dapat mereduksi karbon. Ia bilang, sampah dari kelapa sawit juga akan diupayakan dapat menghasilkan uang.

Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, program sejuta hektar kebun sawit ini akan mengancam keanekaragaman hayati, hingga memperburuk krisis iklim. Pasalnya, perkebunan monokultur ini pasti akan menggerus hutan alam yang tersisa di Pulau Sulawesi, serta akan merusak rumah spesies endemik Sulawesi.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional mengatakan, mega proyek sejuta hektar kebun sawit ini merupakan ide buruk yang akan memperburuk kondisi ekologis Pulau Sulawesi yang saat ini tengah dieksploitasi besar-besaran oleh industri ekstraktif. Terlebih lagi, sudah lebih dari dua dekade, hutan alam di Sulawesi terus tergerus.

Apa yang dikatakan Uli Arta Siagian ini selaras dengan data Global Forest Watch (GFW), platform online untuk memantau hutan di seluruh Dunia. Misalnya, Sulsel disebutkan telah kehilangan 104 ribu hektar hutan primer basah sejak tahun 2002 hingga 2023. Dalam periode yang sama, ada sekitar 371 ribu hektar tutupan pohon di Sulsel yang hilang, setara dengan menyumbang 229 Mt emisi CO₂e.

Sulbar juga mengalami hal serupa. Sejak 2002 sampai 2023. Dimana, provinsi ini kehilangan 89.3 ribu hutan primer basah, dan kehilangan tutupan pohon sebesar 267 ribu hektar dalam periode yang sama. Angka itu setara dengan menyumbang emisi karbon sebesar 180 Mt CO₂e.

Baca juga: Dugaan Pelanggaran di Perusahaan Sawit Astra Tenyata Lebih Besar

Adapun Sultra dalam periode yang sama juga telah kehilangan 216 ribu hektar hutan primer basah, serta kehilangan 552 ribu hektar tutupan pohon, atau setara menghasilkan emisi karbon sebesar 367 Mt CO₂e. Sulteng dalam waktu yang sama juga telah 396 ribu hutan primer basah, serta 813 ribu hektar tutupan pohon, setara dengan menyumbag emisi karbon sebesar 563 Mt CO₂e.

Sementara, Gorontalo juga telah kehilangan 56.3 ribu hutan primer basah, serta kehilangan 140 ribu hektar tutupan pohon dalam sejak 2002 sampai 2023. Jumlah kehilangan hutan dan tutupan pohon itu setara dengan menghasilkan emisi karbon sebesar 96.5 Mt emisi CO₂e.

Sedangkan untuk Sulut, dalam kurung waktu 23 tahun juga telah kehilangan 44.5 ribu hektar hutan primer basah. Bahkan, ada sekitar 121 ribu hektar tutupan pohon yang hilang di  Sulawesi Utara dalam periode yang sama. Angka itu menghasilkan emisi karbon sebanyak 85.7 Mt CO₂e.

Jika dijumlah dari semua hutan yang ada di enam provinsi tersebut, setidaknya ada 906,1 ribu hektar hutan primer basah di Pulau Sulawesi yang hilang sejak sejak 2002 hingga 2023. Sementara, ada sekitar 2,2 juta hektar tutupan pohon yang hilang di Pulau Sulawesi dalam periode yang sama.

Data Auriga Nusantara juga menunjukan, deforestasi Indonesia tahun 2023 mencapai 257.384 hektar, atau mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Angka itu melampaui luas Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berada di angka 256.100 hektar. Ironisnya, deforestasi itu dominan terjadi dalam kawasan hutan negara.

Disisi lain, deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia merupakan faktor utama pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Laporan Global Carbon Project terbaru menyebut, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan di dunia, dan menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.

Lucunya, kata Uli, proyek sejuta hektar kebun sawit ini justru menggunakan praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu dari pemasaran hijau (greenwashing) yang ingin menggunakan pupuk organik agar dapat insentif karbon. Padahal, katanya, aktivitas di hulu industri sawit sudah terbukti kotor karena masih melakukan pembabat hutan.

“Bagaimana mungkin bisnis di hilirnya bisa mendapatkan insentif karbon, sementara di industri hulunya menghasilkan karbon dengan membabat hutan. Ini sesuatu hal yang perlu dikritisi,” kata Uli Arta Siagian kepada Mongabay, pada 20 Juni 2024 lalu.

Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo

Menurut Uli, Program Sulawesi Palm Oil Belt tersebut akan menjadi ironi jika tetap dijalankan dengan melihat kondisi dampak krisis iklim yang semakin nyata. Apalagi saat ini Sulawesi sudah tereksploitasi secara besar-besaran dari hulu ke hilir oleh pertambangan nikel dan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang rakus lahan.

Uli bilang, harusnya pemerintah mulai berpikir berhenti membuka lahan baru untuk perkebunan sawit, dan kemudian melakukan penataan kembali operasional kebun sawit yang sudah ada, serta menyelesaikan konflik di kebun sawit, sekaligus menagih pertanggungjawaban lingkungan kepada perusahaan kelapa sawit yang merusak lingkungan.

Uli menambahkan, jika pemerintah mampu meletakan keselamatan rakyat dan lingkungan menjadi basis utama, maka kebutuhan domestik Indonesia pasti terpenuhi. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan, karena sampai hari ini banyak petani-petani sawit di Indonesia justru terasingkan dari rantai bisnis sawit itu sendiri. Katanya, ini adalah ironi.

“Proyek sejuta hektar sawit ini merupakan tindakan eksploitatif yang akan menambah beban baru dan menghilangkan kemampuan ekologis Pulau Sulawesi untuk melindungi kehidupan masyarakat sekitar,” tegasnya

Kebun kelola warga yang berada di dalam Suaka Margasatwa Bakiriang, ditanami sawit oleh perusahaan dengan janjo bagi hasil. Janji tinggal janji (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Kebun kelola warga yang berada di dalam Suaka Margasatwa Bakiriang, ditanami sawit oleh perusahaan dengan janjo bagi hasil. Janji tinggal janji (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan hal serupa. Ia bilang, proyek sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi ini justru akan merugikan Indonesia dalam segi eksportir. Terlebih lagi, sudah ada kebijakan baru Uni Eropa dengan memberlakukan Undang Undang (UU) Antideforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) sejak Mei 2023 lalu.

Apalagi, kata Arie, perusahaan multinasional yang menjadi pemasok langsung maupun tidak langsung untuk sawit Indonesia mayoritas sudah mengadopsi kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, dan Tanpa Eksploitasi (NDPE) dalam rantai pasok mereka. Belum lagi, sudah ada komitmen iklim Indonesia dibuat melalui dokumen kontribusi nasional penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC).

“Harusnya kebijakan hijau negara-negara maju dan perusahaan multinasional harus menjadi perhatian dalam perencanaan proyek sejuta hektar ini. Proyek ini berpotensi menciptakan deforestasi yang akan membatasi bahan baku dan turunannya diterima di pasar global,” kata Arie Rompas kepada Mongabay, pada 20 Juni 2024 lalu.

Arie bilang, proyek sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi ini akan menjadi bom waktu dan akan menambah masalah baru serta bertentangan dengan komitmen iklim yang ada. Terlebih lagi, proyek serupa juga pernah dibuat di Pulau Kalimantan dan terbukti gagal. Disisi lain, hutan Sulawesi sudah semakin tergerus akibat adanya proyek hilirisasi nikel.

Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari

Sebenarnya, kata Arie, angka 1 juta hektar kebun sawit yang direncanakan dalam Program Sulawesi Palm Oil Belt ini sungguh tidak masuk akal karena lahan-lahan yang tersisa di Sulawesi ini hanya tinggal wilayah yang landai. Kecuali, katanya, program ini akan menabrak aturan yang sudah ada untuk merambah kawasan hutan alam tersisa di Sulawesi.

Arie menilai, proyek yang akan dijalankan oleh perusahaan daerah ini akan menambah carut marut tata kelola pemerintah. Dimana, kemampuan perusahaan daerah dalam menjalankan bisnis industri sawit masih dipertanyakan. Ia bilang, perusahaan-perusahaan besar saja masih melakukan kesalahan, apalagi perusahaan daerah yang tak punya pengalaman cukup kelola sawit.

Jika ingin sejalan dengan komitmen iklim yang ada, kata Arie, pemerintah seharusnya membangun pertanian yang berbasis ekonomi rakyat yang berkelanjutan. Juga sawit-sawit yang sudah ditanami saat ini seharusnya dilakukan identifikasi agar produktivitas bisa meningkat, bukan menambah wilayah kebun baru lagi dengan luas yang begitu besar.

“Dengan luas 19 juta hektar kebun sawit Indonesia yang sudah ada sebenarnya banyak peluang untuk meningkatkan produktivitas dengan strategi identifikasi. Harusnya, sawit yang ada saat ini dimanfaatkan saja, dibanding harus membangun kebun baru lagi yang akan memperparah krisis iklim,” ujarnya

Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pekerja sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Mengancam Spesies Endemik Wallacea 

Sulawesi merupakan salah pulau yang masuk di kawasan Wallacea, sebuah zona transisi biogeografis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Wallacea adalah wilayah yang menjadi pertemuan dua benua besar, Asia dan Australia, dan dinamai berdasarkan nama Alfred Russel Wallace, seorang naturalis terkenal yang mengidentifikasi keunikan fauna dan flora di wilayah ini pada abad ke-19.

Kawasan Wallacea terdiri dari Pulau Lombok dan Sulawesi di sebelah barat hingga kepulauan Maluku di sebelah timur. Di utara, Wallacea membentang dari Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara hingga Kabupaten Rote Ndao di sebelah selatan. Garis Wallacea (Wallacea Line) adalah garis imajiner yang menggambarkan batas-batas tersebut.

Setidaknya, ada 125.660 spesimen baik hewan dan tumbuhan campuran dari wilayah Asia dengan Australia dan Papua yang ada di Kawasan Wallacea ini. Detailnya, ada 310 mamalia, 100 reptil, 8.050 burung, 7.500 kerang, 13.00 kupu-kupu, 83.200 kumbang, dan 13.400 serangga lain. Berbagai jenis spesies itu banyak merupakan endemik atau tidak ditemukan di tempat lain.

Baca juga: Sawit Datang, Danau Toju Hilang

Meski begitu, dari pulau-pulau yang ada di kawasan Wallacea, Sulawesi menjadi pulau terbesar yang memiliki tingkat endemisitas tertinggi di dunia, karena ada sekitar 46% dari 165 jenis satwa mamalia endemik Indonesia berada di pulau ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar juga menyebut, ada 127 jenis mamalia yang ditemukan di Sulawesi, dan 79 jenis (62%) merupakan endemik, antara lain; Anoa (Bubalus quarlesi dan Bubalus depressicornis); Tarsius (Tarsius tarsier), Babi Rusa (Babyrousa celebensis), dan Kuskus Beruang Sulawesi (Ailurops ursinus)

Selain itu, terdapat pula 328 spesies burung, 230 di antara tidak bermigrasi dan 97 spesies endemic di Pulau Sulawesi. Beberapa burung endemik yang menonjol antara lain: Maleo (Macrocephalon maleo), Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), dan Kakatua Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea).

Di Pulau Sulawesi juga terdapat sekitar 104 spesies reptil dan 29 spesies amfibi, dengan sejumlah spesies yang endemik, seperti: Viper Sulawesi (Tropidolaemus subannulatus) dan Katak Pohon Sulawesi (Rhacophorus edentulus). Sementara, ada sekitar 92 spesies ikan air tawar, dengan banyak di antaranya adalah endemik karena sungai dan danau di Sulawesi terisolasi dari sistem perairan lainnya.

Ilustrasi. petani sawit berharap kesejahteraan, hasilnya kebalikanFoto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Ilustrasi. petani sawit berharap kesejahteraan, hasilnya kebalikanFoto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Adapun keanekaragaman flora juga sangat signifikan, dengan banyak spesies tumbuhan yang hanya ditemukan di pulau ini. Terlebih lagi, vegetasi di Sulawesi mencakup hutan hujan tropis, hutan pegunungan, dan ekosistem savana. Keanekaragaman serangga dan invertebrata lainnya pun banyak ditemukan di pulau ini.

Namun, Riszki Is Hardianto, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara menilai, proyek sejuta hektar kebun sawit yang direncanakan bisa mengancam keanekaragaman hayati di Kawasan Wallacea di Pulau Sulawesi. Pasalnya, mega proyek tersebut disinyalir akan menggunakan hutan alam yang tersisa di Pulau Sulawesi yang merupakan rumah berbagai spesies endemik.

“Dengan luasan yang begitu besar seperti itu, akan memberikan peluang besar bagi kebun sawit merambah habitat spesies endemik di Sulawesi,” kata Riszki Is Hardianto melalui tulisannya yang dikirim ke Mongabay, pada 20 Juni 2024 lalu.

Disisi lain, kata Riszki, mayoritas spesies endemik di Sulawesi saat ini sudah berstatus rentan dan terancam punah akibat perburuan dan penurunan kualitas habitat. Ia mencontohkan babirusa, salah satu endemik mamalia Sulawesi saat ini telah mengalami penurunan populasi sebanyak 30 persen dalam kurun waktu 18 tahun terakhir (2018).

Baca juga: Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

Saat ini, kata Riszki, hanya sekitar tinggal 10.000 individu dewasa babirusa yang ada di Sulawesi, itupun diperkirakan akan mengalami penurunan lebih dari 10 persen dalam 18 tahun mendatang. Ia bilang, penurunan populasi babirusa yang signifikan ini disebabkan oleh perburuan dan alih fungsi lahan, yang menyebabkan habitatnya rusak.

Padahal, babirusa telah ditetapkan sebagai spesies yang dilindungi sejak 1931, dan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) telah memasukkan spesies ini ke dalam kategori Appendix 1 sejak 1982. Pemerintah Indonesia pun telah memasukan babirusa sebagai spesies yang dilindungi pada tahun 1999.

Sebenarnya, kata Riszki, ada empat subspesies babirusa yang ada di Sulawesi. Namun, satu diantaranya dengan nama latin Babyrousa babyrussa bolabatuensis telah dinyatakan punah sejak 1980. Kini tiga jenis babirusa yang masih ada, diantara; babirusa sulawesi (Babyrousa celebensis), babirusa togean (Babyrousa togeanensis) dan babirusa maluku (Babyrousa babyrussa).

Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu
Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu

Riszki bilang, habitat babirusa saat ini mencakup lebih dari 15 juta hektar, tetapi hanya 1,6 juta hektar saja yang berada dalam kawasan konservasi, sedangkan 13,4 juta hektar lainnya terletak di luar kawasan konservasi. Itupun 2,2 juta hektare dari 13,4 juta hektar tersebut berada di konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), perkebunan sawit, tambang, dan area lainnya.

Riszki menjelaskan, babirusa saat ini tengah berada di jurang kepunahan akibat penebangan komersial dan penggunaan lahan lain yang mengakibatkan konversi dan degradasi hutan. Apalagi, di Sulawesi sudah banyak proyek strategis nasional (PSN) yang sudah terbangun maupun sementara bangun. Ia bilang, Program Sulawesi Palm Oil Belt akan menjadi ancaman baru.

“Jika penentuan lokasi Program Sulawesi Palm Oil Belt tidak mempertimbangkan keberadaan satwa endemik tentu akan membahayakan keberadaan mereka (satwa),” jelasnya

Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) memperkirakan hal yang sama. Menurutnya, program sejuta hektar kebun sawit merupakan kebijakan yang keliru dan hanya akan menambah catatan buruk kebun sawit Indonesia. Pasalnya, banyak sawit kotor di Sulawesi karena bahan bakunya berasal dari lahan-lahan terlarang.

Baca juga: Janji Manis Perusahaan Sawit, Pahit Petani Plasma Boalemo Rasakan

Pada tahun 2021 misalnya, Yayasan Komiu pernah melakukan soal penelitian perusahaan sawit yang merambah kawasan hutan hingga kawasan konservasi di Sulteng. Dimana, dari 16 perusahaan kelapa sawit yang ada di Sulteng, ada tiga perusahaan yang merambah kawasan hutan hingga kawasan konservasi selama dua dekade.

Tiga perusahaan tersebut yakni; PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Kabupaten Banggai; PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN) di Morowali Utara; dan PT. Pasangkayu di Donggala. Namun, dari tiga perusahaan itu, PT KLS menjadi yang paling terparah karena telah merusak kawasan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang, rumah bagi burung maleo endemik Wallacea.

Setidaknya, ada 3.532 hektar dari 12.309 hektar luas SM Bakiriang telah menjadi kebun sawit yang diduga milik KLS. Sekitar 1.077 hektar dari luas itu merupakan kebun sawit yang dibangun pada 2019-2021, atau saat Inpres Moratorium Sawit diberlakukan. Sementara, sekitar 931 hektar adalah eksisting sawit, serta 1524 hektar diduga sawit muda.

Maleo, salah satu satwa yang terancam keberadaan tambang emas. (Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia)
Maleo, salah satu satwa yang terancam keberadaan tambang emas. (Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia)

Akibatnya, kata Gifvents, burung maleo yang mendiami kawasan itu terganggu karena habitatnya tergerus. Padahal, burung endemik Sulawesi ini masuk kategori genting (Endangered-EN) berdasar kriteria The International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena penurunan populasi.

Pada tahun 2021, populasi global diperkirakan ada 8.000-14.000 individu dewasa, dengan tren populasi menurun sangat cepat. Sejumlah penelitian menyebutkan, perambahan kawasan hutan atau kawasan konservasi yang menjadi rumah burung maleo menjadi penyebab utama populasinya menurun.

Gifvents bilang, apa yang dilakukan oleh KLS ini bisa jadi akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang akan menjalankan Program Sulawesi Palm Oil Belt ini. Dengan luas kebun sawit yang begitu besar, habitat endemik Sulawesi, termasuk habitat burung maleo bisa menjadi sasaran empuk perambahan lagi.

Baca juga: Nestapa Suaka Margasatwa Bakiriang Tergerus jadi Kebun Sawit

Menurutnya, alih fungsi hutan jadi sawit tetap berpengaruh sama spesies endemik, khususnya makan termasuk reproduksi. Jika itu terjadi, mau tidak mau spesies endemik akan membiasakan diri terkait dengan perubahan ekosistem di habitat aslinya. Ia bilang, ketika spesies itu tidak bisa bertahan, maka populasinya secara otomatis akan menurun.

Harusnya, kata Gifvents, pemerintah melakukan evaluasi pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit yang dibuat pada 2018 dan sudah berakhir sejak akhir 2021 lalu. Menurutnya, semangat inpres itu menjadi langka baik agar tata kelola perkebunan sawit termasuk produktivitasnya bisa meningkat.

“Saya kalau, harus dievaluasi pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit, karena Inpres itu sampai sekarang tidak dijalankan di Sulteng dan provinsi lain,” pungkas Gifvents Lasimpo kepada Mongabay.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.