‘Hutan’ sawit di SM Bakiriang. Kawasan konservasi yang seharusnya berisi bermacam kekayaan flora ini malah jadi tanaman monokultur, sawit (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
‘Hutan’ sawit di SM Bakiriang. Kawasan konservasi yang seharusnya berisi bermacam kekayaan flora ini malah jadi tanaman monokultur, sawit (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Nestapa Suaka Margasatwa Bakiriang Tergerus jadi Kebun Sawit

  • Sebagian kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang sudah menjadi kebun sawit. Kawasan konservasi yang seharusnya ‘rumah’ beragam tumbuhan maupun pepohonan ini malah berisi tanaman sawit ‘rapi’ berjejer.
  • Eva Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit Sulawesi Tengah, menemukan, PT KLS memperluas perkebunan sawit 562,08 hektar di SM Bakiriang. Perusahaan, mengorganisir warga hingga terkesan masyarakat yang merambat kawasan konservasi.
  • Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengaku pada 2017, menemukan ada perambahan untuk perkebunan sawit seluas 1.005 hektar di SM Bakiriang. Mereka juga menemukan ada 68 keluarga penggarap sawit plasma seluas 250 hektar untuk diserahkan kepada PT KLS.
  • Temuan Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu) setelah terbit Inpres soal penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan perkebunan sawit, terjadi ekspansi perkebunan sawit di Suaka Margasatwa Bakiriang. Temuan Komui, terhitung 1 Januari 2019 sampai 30 September 2021, sekitar 1.077 hektar.

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa (SM) Bangkiriang di Kabupaten Banggai, Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, Indonesia telah menjadi korban dari ekspansi perusahaan kelapa sawit PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Penyusutan akibat perambahan dan alih fungsi lahan ke perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utamanya.

Masyarakat sekitar diduga di organisasi perusahaan secara licik untuk melakukan pembukaan di Kawasan Konservasi SM Bakiriang dan ditanami pohon sawit. Modusnya, masyarakat disuruh menebang pohon dan kemudian dibayar. Usai pohon ditebang, lahan tersebut ditanami sawit oleh perusahaan.

1 April 2022 lalu, Mongabay bertemu dengan Ismail Nurdin (72) Warga Desa Sinorang yang merupakan salah satu petani yang terlibat dalam pembukaan lahan. Ia blak-blakan mengatakan, perusahaan yang memerintahkan untuk membuka lahan di kawasan konservasi dengan janji pembagian hasil yang menggiurkan. Alhasil, kawasan konservasi ini berubah wajahnya.

Klaimnya itu bukan tanpa alasan, Ismail mengaku merupakan salah petani yang pernah membuka kebun di kawasan konservasi itu untuk ditanami sawit. Pada tahun 2002, ia bersama 25 petani lainya membuat satu kelompok untuk membuka lahan seluas 50 hektar di lokasi konservasi. Setiap orang, bertugas membuka 2 hektar; 1 hektar akan menjadi kebun plasma, dan 1 hektar menjadi kebun inti yang nantinya akan diserahkan ke PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

“Dahulu, hutan disini sangat lebat, banyak pepohonan yang dihidup disini. Namun, sekarang kurang tinggal kenangan, semuanya sudah menjadi sawit. Lahan itu kita yang membuka dengan perintah dari perusahaan,” kata Ismail Nurdin awal April lalu.

Setelah kebun tersebut berhasil dibuka, PT. KLS akan memberikan modal dan bibit kepada mereka, serta diarahkan untuk mendapatkan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah (SKPT) dari Pemerintah Desa setempat. Alih-alih mendapatkan SKPT, Ismail dan semua rekanya dibohongi oleh Ketua Kelompok Petani mereka sendiri, dan akhirnya kebun yang dibuka di kawasan konservasi itu diberikan langsung ke PT. KLS tanpa penyelesaian sesuai dengan pembicaraan awal.

“Akhirnya kita tidak dapat apa-apa, kebun yang susah payah kita buka tidak menjadi milik kita. Hanya ketua kelompok yang senang, mereka yang menikmati hasil jerih payah kita, dan perusahaan yang mengambil alih semua lahan yang kita buka saat itu,” kata Ismail Nurdin. Sejak kejadian itu, ia sudah tidak memiliki kebun lagi hingga kini.

Merid Saido [43], rekan Ismail Nurdin juga mengalami hal serupa. Rasa kekecewaannya dari 20 tahun lalu itu belum sembuh hingga kini. Meski begitu, pihaknya tidak pernah melakukan protes atas lahan yang diambil oleh perusahaan tanpa penyelesaian sesuai perjanjian awal. Keterbatasan pendidikan menjadi alasan utama mereka untuk diam dan tak melawan.

Akhirnya, dengan keterbatasan perekonomian dan tidak memiliki lahan lagi, Merid Saido dan Ismail Nurdin memilih tinggal di dalam Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang di Desa Sinorang bersama keluarga mereka. BKSDA Sulteng pernah meminta untuk keluar dari wilayah itu karena masih berada di Kawasan Konservasi, tapi mereka enggan untuk menanggapi.

SM Bakiriang, dengan kebun sawit di sana sini. (Foto drone: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
SM Bakiriang, dengan kebun sawit di sana sini. (Foto drone: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Apa yang dilakukan mereka merupakan bentuk kekesalan terhadap negara yang absen untuk menindaki perusahaan sawit yang merambat kawasan konservasi. Bahkan, sudah banyak masyarakat sekitar juga membuka lahan untuk ditanami jagung, singkong, pohon coklat dan sebagainya, karena merasa negara tidak melakukan tindakan kepada perusahaan sawit.

Bukan hanya itu saja, ada juga sejumlah sarana dan prasarana lain seperti sekolah dasar, pemukiman, rumah ibadah dan sejumlah fasilitas publik lainnya juga ada di dalam kawasan SM Bangkiriang. Sehingga, saat ini Suaka Margasatwa Bangkiriang berubah wajah. Merid Saido bilang, negara harus adil melihat persoalan di SM Bakiriang, dan tidak bisa langsung menyalahkan masyarakat.

“Kalau kita diminta oleh pemerintah untuk tidak tinggal di kawasan konservasi sini, terlebih dahulu usir dulu perusahaan sawit yang sudah lama membuka perkembangannya di dalam kawasan ini, agar semua adil,” kata Merid dengan nada tegas.

Kawasan SM Bakiriang pertama kali ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Raja Banggai No. 4 Tahun 1936 dengan luas 3.500 hektar yang terletak di Komplek Hutan Pegunungan Batui, yang memanjang ke Selatan sampai ke pantai muara sungai Bakiriang. Komplek hutan ini diapit oleh dua kampung besar yaitu Moilong dan Sinorang yang dahulu masuk dalam Kecamatan Batui.

Pada tanggal 30 Agustus 1989, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah melalui Surat Keputusan Gubernur No. SK. 188.44/3932/DINHUT/89, merekomendasikan luasan kawasan SM Bakiriang menjadi 3.900 hektar. Rekomendasi itu telah terakomodir di dalam Struktur Tata Ruang Provinsi (STRP) Sulawesi Tengah yang disahkan Gubernur berdasarkan Keputusan Nomor 522.1/1029/1996.

Pada tahun 1998, Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan Surat Keputusan dengan Nomor; 398/Kpts-II/1998 tanggal 21 April 1998 tentang penunjukan Areal Hutan Bakiriang yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Banggai Provinsi Daerah Tingkat I menjadi Suaka Margasatwa Bakiriang dengan luas 12.500 hektar.

Pada tahun 2010, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah mengeluarkan surat dengan Nomor: S.930/IV.BKSDA.K-26/2010 dengan menyatakan Suaka Margasatwa Bakiriang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi seperti burung maleo dan anoa, dan juga memiliki tipe ekosistem hujan hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan sekunder.

Namun, pada tahun tanggal 8 Mei 2014, Menteri Kehutanan Republik Indonesia kembali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: SK.3675/MENHUT-VII/KUH/2014, dimana Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang yang awalnya 12.500 hektar, menjadi 12.309,80 hektar. Ada 191 hektare hilang dari wilayah konservasi akibat perambahan dan alih fungsi ke perkebunan kelapa sawit yang diduga dilakukan oleh PT. KLS.

Jalan menuju kawasan SM Bakiriang. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Jalan menuju kawasan SM Bakiriang. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Awal Mulai Tergerus

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang pelan-pelan terdegradasi serta telah menjadi korban dari ekspansi perusahaan kelapa sawit oleh PT.KLS hingga saat ini. Hal tersebut berawal dari kepemilikan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) atas nama perusahaan PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP) dengan nomor SK 146/Kpts-II/1996 dengan luas mencapai 13.400 hektar yang terbit pada 1 April 1996.

Perusahaan BHP awalnya adalah perusahaan patungan antara PT. KLS sebagai pemilik 60% saham dan PT Inhutani. Kemudian KLS mengakuisisi saham PT. Inhutani, dan PT. KLS menjadi pemilik tunggal. Ditahun yang sama, pembukaan lahan mulai dilakukan dengan dana pinjaman dari pemerintah untuk menanam sengon dan akasia, sebesar Rp11 miliar. Kenyataan lapangan berbeda, pengolahan HTI itu berubah menjadi kebun sawit.

Kepemilikan IUPHHK-HTI tersebut diduga digunakan sebagai alat untuk melakukan land clearing pada hutan alam yang tepat berada di atas HGU nomor 15/HGU/1991 tanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar. Anehnya, pada tahun 2005 terbit juga Izin Lokasi pada area itu dengan luasan yang sama seperti HGU itu yang dikeluarkan oleh Bupati Sudarto saat itu dengan nomor SK 503/10.52/BPN tentang Perpanjangan Izin Lokasi kepada KLS untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit di Desa Sinorang.

Hal tersebut menciptakan kebingungan secara administrasi. Pasalnya, administrasi penguasaan lahan tersebut berada pada izin HGU yang terbit dahulu pada tahun 1991 sedangkan Izin Lokasi kemudian terbit pada tahun 2005. Alhasil, PT. KLS melakukan perambahan perkebunan sawit sampai ke dalam kawasan konservasi SM Bakiriang.

Eva Bande, dari Front Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah menemukan PT. KLS memperluas perkebunan sawit sebesar 562,08 hektare di dalam kawasan SM Bakiriang, yang dilindungi keberadaanya berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Eva bilang, perusahaan mengorganisir masyarakat secara licik, sehingga terkesan masyarakat yang merambat kawasan konservasi tersebut.

Pada tahun 2017, Eva pernah mengirimkan surat pengaduan dan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menindak penerobosan SM Bakiriang oleh dua perusahaan, yakni KLS dan BHP. Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi Wilayah II langsung turun untuk melakukan pengecekan terkait penerobosan SM Bakiriang yang dilaporkan tersebut.

Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi mengaku pada tahun 2017, pihaknya menemukan ada perambahan kawasan perkebunan sawit seluar 1.005 hektar di dalam kawasan konservasi SM Bakiriang. Ia juga bilang, pihaknya juga menemukan ada 68 kepala keluarga (KK) penggarap sawit plasma dengan luas 250 hektar untuk diserahkan ke PT. KLS.

Dengan temuan itu, kata Subagyo, Oktober 2019, PT. KLS  bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi yang sudah ditanami sawit. PT. KLS bersedia memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk petani plasma dan melakukan relokasi.

Tak hanya itu, PT. KLS membuat kesepakatan dengan BKSDA Sulawesi Tengah, yaitu; penyelesaian perambahan itu akan diselesaikan dengan non litigasi atau diluar jalur hukum, dan PT. KLS siap diberikan sanksi administrasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Subagyo bilang, BKSDA Sulawesi Tengah memfasilitasi penyelesaian kesepakatan itu.

“Namun, saya belum mengetahui apakah penyelesaian masalah itu sudah diselesaikan oleh BKSDA Sulawesi Tengah atau belum, karena penyelesaian masalah itu  dilakukan oleh mereka. Saya juga belum mendapatkan informasi terbaru soal itu,” kata Subagyo, 10 April lalu

Sementara itu, Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) melakukan evaluasi menggunakan Citra Satelit Sentinel dengan membuat time series yang sudah di overlay dengan Izin Perkebunan kelapa sawit milik KLS, Peta Kawasan Hutan, database eksisting sawit 2020 dan data-data spasial pendukung lainnya. Mereka menemukan sejak tahun 2000 sampai 2020, deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai total 19.972 hektar.

Selain itu, KOMIU juga mencatat detail deforestasi berdasarkan jenis Kawasan Hutan dilakukan oleh PT. Berkat Hutan Pusaka (Kini menjadi PT. KLS) di beberapa wilayah yang sudah ditebang atau dikonversi menjadi sawit yaitu; Area Penggunaan Lain (APL) 11.403,50 Hektar, Hutan Produksi (HP) 3.468,18 Hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1.209,39 Hektar, Hutan Lindung (HL) 112,83 Hektar.

Ironisnya, di wilayah Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang, ada sebesar 3.532,46 Hektar mengalami deforestasi akibat ditanami sawit. 1.077 Hektar diantaranya merupakan pembukaan baru dari tahun 2019 sampai dengan 2021, dan 931 hektar eksisting sawit yang sudah ada, serta 1.524 hektar belum teridentifikasi secara pasti, tapi diduga bisa jadi sawit muda.

Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan mengatakan data evaluasi menggunakan Citra Satelit Sentinel tersebut dilakukan pada januari 2020 dan diverifikasi di lokasi pada bulan Februari 2022 kemarin. Ia bilang, sawit yang berada di dalam kawasan konservasi itu sudah sangat lama. Bahkan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah mengetahuinya, namun sampai hari ini belum diketahui proses penyelesaiannya.

Parahnya lagi, pasca terbit Inpres No. 8 Tahun 2018 Tentang Moratorium Perkebunan Sawit, PT. KLS masih melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit di dalam Kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang sejak 1 januari 2019 sampai dengan 30 september 2021 dengan seluas kurang lebih 1.077 hektar. Padahal, kata Gifvents, sebelum terbit Inpres Moratorium tersebut sudah ada eksisting sawit di kawasan konservasi dan diduga miliki PT. KLS dengan seluas 931 hektar.

Meski begitu, kata Gifvents, sawit yang berada di dalam kawasan konservasi perlu dilakukan verifikasi langsung ke petani. Pasalnya, petani mengaku sawit tersebut merupakan milik mereka. Anehnya, pola tanam yang dilakukan petani sama dengan pola tanam yang dilakukan perusahaan.

“Harus diverifikasi langsung ke petani, apakah sawit yang ada di dalam konservasi itu merupakan kebun plasma atau bukan. Misalnya pembukaan lahan yang dilakukan itu atas perintah dari perusahaan atau tidak. Biasanya, ada perjanjian antara petani dan perusahaan. Itu yang harus dicari tahu,” kata Gifvents kepada Mongabay, Rabu 13 April lalu.

1 April 2022 lalu, Mongabay mendatangi Kantor PT. KLS yang yang berada di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Soho, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah untuk menanyakan seputar masalah ini, namun pihak perusahaan menyerahkan penjelasan kepada BKSDA.

Sejak bulan April hingga bulan Mei 2022, Mongabay berusaha untuk mengkonfirmasi masalah tersebut ke Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Hasmuni Hasmar. Namun, ia tidak pernah merespon panggilan telepon, serta pesan whatsapp yang dikirim kepadanya hanya dibaca, tapi tidak pernah dibalas hingga kini. Beberapa pegawai BKSDA Sulawesi Tengah juga menolak untuk dimintai keterangan.

Penyangga Lingkungan

Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang merupakan kelompok hutan yang memiliki fungsi sebagai penyangga lingkungan di wilayah Kecamatan Batui, Batui Selatan, Moilong, dan Toili. Di kawasan itu, ada beberapa sungai yang mengalir aktif dan menjadi sumber air minum dan irigasi pertanian bagi masyarakat sekitar. Salah satunya, Sungai Sinorang yang merupakan sungai terbesar dan berhulu di Pegunungan Batui.

Selain itu, ada juga Sungai Toili dan Sungai Tumpu yang mengalir pada bagian timur kawasan pegunungan Batui. Di bagian daerah pantai, ada Sungai Bakiriang yang berhulu di daerah Perbukitan Bakiriang dan bagian dari pegunungan batu kapur atau gamping. Menurut catatan BKSDA Sulteng, keberadaan sungai-sungai tersebut dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber pengairan bagi sawah-sawah dan kebun-kebun penduduk di sekitarnya.

Menurut Gifvents, jika deforestasi yang terjadi di sekitar kawasan hutan dan di dalam kawasan Konservasi SM Bakiriang tidak dilakukan rehabilitasi atau restorasi, maka akan berdampak besar terhadap lingkungan masyarakat sekitar. Bahkan, akan memperparah dampak dari perubahan iklim, dan SM Bakiriang akan terancam kehilangan fungsinya sebagai penyangga lingkungan.

Dini Hardiani Has, Alumni Magister Konservasi Biodiversitas Tropika Institute Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan, kawasan konservasi SM Bakiriang merupakan salah satu kawasan penyangga utama pangan untuk masyarakat sekitar. Kawasan itu juga banyak memiliki biodiversitas tinggi yang betul-betul harus dilindungi.

Namun, kata Dini, jika kawasan itu mengalami degradasi atau ada perambahaan perkebunan sawit, akan sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup biodiversitas didalamnya. Pasalnya, perlindungan yang diberikan suaka margasatwa adalah untuk menjaga kepunahan hewan-hewan yang terancam punah. Misalnya, burung maleo (Macrocephalon) yang mendiami kawasan SM Bakiriang.

Warga hidup di dalam SM Bakiriang tak punya kebun, hidup dalam keterbatasan. (Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia)
Warga hidup di dalam SM Bakiriang tak punya kebun, hidup dalam keterbatasan. (Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia)

Menurutnya, perambahan sawit ke wilayah konservasi juga akan memutuskan rantai makanan yang ada di dalam kawasan itu. Ia bilang, hewan-hewan bisa masuk ke wilayah pemukiman untuk mencari makanan, dan itu akan berpotensi terjadi konflik manusia dan hewan. Tak hanya itu, sumber air yang ada di wilayah itu diprediksi juga akan ikut terancam hilang.

Dini bilang, rehabilitasi atau restorasi kawasan hutan termasuk kawasan konservasi yang akan dilakukan oleh perusahaan sawit tak cukup untuk mengembalikan fungsi dari kawasan Suaka Margasatwa. Menurutnya, harusnya ada langka yang kontrik dan benar-benar memiliki kesadaran yang besar dalam menjaga kelestarian keragaman hayati yang ada di dalam kawasan konservasi tersebut.

Selain itu, katanya, perusahaan harus membayar ganti rugi akibat sudah merusak habitat biodiversitas di dalam kawasan itu. Uang ganti rugi itu nantinya diperuntukan untuk membuat konservasi insitu sebagai tempat atau konservasi sumber daya genetik pada populasi alami tumbuhan ataupun satwa, misalkan sumber daya genetik hutan dalam populasi alami dari spesies pohon.

“Apalagi di dalam kawasan konservasi itu, ada burung maleo dan anoa yang masuk dalam kategori terancam punah. Uang ganti rugi itu bisa dibuat penangkaran untuk hewan-hewan yang terancam punah itu,” kata Dini Hardiani Has yang juga Dosen Konservasi Hutan di Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo, kepada Mongabay 14 April lalu.

 


*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.

Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.