- Mega Proyek Sulawesi Palm Oil Belt, yang membangun 1 juta hektar kebun sawit di Sulawesi, menimbulkan kekhawatiran. Masyarakat sipil menilai proyek ini sebagai ancaman baru hutan Indonesia dan memperburuk krisis iklim.
- Simpra Tajang, Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulteng, menilai, target 300 ribu hektar di Sulteng sulit tercapai.
- Sunardi Katili, Direktur Walhi Sulteng, mengatakan, program Sulawesi Palm Oil Belt akan memperburuk masalah menahun kebun elais. Seperti kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), serta menggerus banyak masyarakat dari ruang hidupnya.
- Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, mengatakan, perkebunan sawit sudah melebihi ambang batas atas (cap). Itu berarti, kebun sawit sudah menekan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Di Pulau Sulawesi akan dibangun pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit yang membentang dari Sulawesi Selatan hingga Manado, Sulawesi Utara. Mega proyek bernama Sulawesi Palm Oil Belt ini akan memanfaatkan 1 juta hektar lahan potensial untuk budidaya kelapa sawit di Pulau Sulawesi.
Lahan-lahan itu tersebar di Sulawesi Selatan (Sulsel) sebesar 100 ribu hektar, Sulawesi Tenggara (Sultra) sebesar 290 ribu hektar, Sulawesi Barat (Sulbar) sebesar 120 ribu hektar, Sulawesi Tengah (Sulteng) 300 ribu hektar, Gorontalo sebesar 95 ribu hektar, dan Sulawesi Utara (Sulut) sebesar 70 ribu hektar. Sisanya masih dalam proses identifikasi.
PT Sulsel Citra Indonesia (SCI), atau Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) Sulsel dengan Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) menjadi penggagas dalam program Sulawesi Palm Oil Belt ini. Pada 21 Mei 2024 lalu, PT SCI dan GPPI telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dalam rangka kerjasama pelaksanaan mega proyek ini.
Baca juga: Sawit Ilegal Diambil Alih Agrinas Palma, Tidak Menjawab Masalah?
PT SCI dan GPPI juga akan bekerjasama dengan Perseroda provinsi lainnya, dan beberapa perusahaan nasional, serta BUMN hingga perusahaan asal Malaysia. Mereka akan membangun kawasan industri, pabrik, hingga hilirisasi produk dengan nilai investasi sebesar 80 juta USD atau sekitar Rp. 1,3 triliun.
Pada pelaksanaannya nanti, mega proyek ini akan membangun pabrik kelapa sawit berkapasitas 45 ton/jam yang dapat menghasilkan 30 juta liter minyak goreng per tahun. Kemudian, limbah industrinya akan diolah menjadi pupuk organik yang akan dipasarkan ke lahan perkebunan sawit agar aktivitas industri ini dinilai bersih dan rendah emisi karbon.
Plt Direktur Utama PT SCI, Machmud Achmad mengklaim, mega proyek ini sangat potensial untuk mengubah perekonomian daerah dan penciptaan lapangan kerja di seluruh provinsi di Sulawesi. Ia juga bilang, program ini akan membantu petani-petani kecil di Sulawesi yang yang bergantung pada budidaya kelapa sawit.
“Pertumbuhan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan, tetapi juga bagi petani kecil, yang bergantung pada budidaya kelapa sawit untuk mata pencaharian mereka,” kata Machmud Achmad, seperti di kutip dalam website Gapki Sulawesi.

Machmud Achmad juga mengklaim, proyek ini bukan hanya memperoleh dari hasil minyak, tapi juga akan mendapat keuntungan dari karbon kredit. Di mana, lahan sawit yang akan dibangun nanti akan menggunakan pupuk organik yang dapat mereduksi karbon. Ia bilang, sampah dari kelapa sawit juga akan diupayakan dapat menghasilkan uang.
Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, program sejuta hektar kebun sawit ini menjadi ancaman baru untuk hutan Indonesia, hingga memperburuk krisis iklim. Pasalnya, perkebunan monokultur ini pasti akan menggerus hutan alam yang tersisa di Pulau Sulawesi, serta akan merusak rumah spesies endemik Sulawesi.
Di Sulteng misalnya, data Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulteng menunjukkan bahwa pada 2023, total luas perkebunan kelapa sawit di wilayah ini mencapai 152.598,24 hektar. Luasan tersebut terbagi menjadi tiga kategori: perkebunan kelapa sawit rakyat seluas 59.342,57 hektar, perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta seluas 86.144,67 hektar, dan perkebunan sawit milik negara seluas 7.111 hektar.
Baca juga: Hentikan Kriminalisasi Petani Plasma Buol dan Audit Kemitraan Sawit
Perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta dikelola oleh 16 perusahaan yang menguasai 178 bidang Hak Guna Usaha (HGU). Ironisnya, ada 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang hanya memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa HGU, namun tetap beroperasi hingga saat ini. Sementara itu, sekitar 25 perusahaan lainnya tidak memiliki HGU dan kini dalam kondisi tidak aktif.
Simpra Tajang, Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman Perkebunan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Sulteng, mengungkapkan bahwa lahan untuk ekspansi perkebunan sawit di Sulawesi Tengah sudah sangat terbatas, bahkan hampir tidak ada lagi. Ia menilai, target 300 ribu hektar kebun sawit yang direncanakan dalam program Sulawesi Palm Oil Belt di Sulteng sulit untuk tercapai.
Apalagi, kata Simpra Tajang, banyak perkebunan sawit di Sulteng yang tumpang tindih dengan wilayah perusahaan pertambangan dan kawasan kelola masyarakat. Ia menegaskan, kondisi ini akan semakin parah jika program sejuta hektar kebun sawit tetap dilanjutkan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.
Ia mengaku mendukung program ini, namun menekankan perlunya evaluasi ulang terkait target luas lahan yang ditetapkan. Menurutnya, 300 ribu hektar bukanlah area yang kecil untuk dibangun, dan dapat mendorong terjadinya deforestasi baru di wilayah Sulawesi Tengah. Ia juga menyarankan perlunya kajian yang lebih komprehensif terkait pelaksanaan program Sulawesi Palm Oil Belt ini.

Menurut Simpra Tajang, program Sulawesi Palm Oil Belt seharusnya lebih memfokuskan pada pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat dan membantu mereka meningkatkan produktivitas, ketimbang melanjutkan ekspansi. Pasalnya, sebagian besar perkebunan sawit di Sulteng terdiri dari tanaman tua dan rusak. Ia bilang, yang dibutuhkan saat ini adalah peremajaan dan rehabilitasi yang signifikan.
“Jika program ini tetap memaksakan target 300 ribu hektar di Sulteng, pasti akan menghadapi kesulitan, karena lahan sudah tidak tersedia lagi. Apalagi, permasalahan terkait kelapa sawit di Sulteng sudah cukup banyak,” kata Simpra Tajang saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Walhi Sulteng pada pertengahan Februari 2025.
Menurutnya, program sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi perlu mendapat perhatian serius, agar tidak berjalan tanpa sepengetahuan publik. Sebagai bagian dari pemerintah, ia berkomitmen untuk tidak memberikan izin perkebunan sawit secara sembarangan kepada perusahaan-perusahaan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai program Sulawesi Palm Oil Belt berpotensi menambah tekanan pada daya tampung dan daya dukung lingkungan di Pulau Sulawesi. Saat ini, Sulawesi sudah dibebani oleh berbagai sektor ekstraktif, seperti perkebunan sawit dan pertambangan nikel, yang telah memberikan dampak negatif signifikan terhadap kondisi lingkungan.
Baca juga: Kebun Sawit Rasa Kolonial: Buruh Masih Terus Terpinggirkan
Sunardi Katili, Direktur Walhi Sulteng mengatakan, program Sulawesi Palm Oil Belt akan menambah masalah yang dalam sektor perkebunan sawit yang sampai hari ini masih terus terjadi. Ia mengungkapkan, perkebunan kelapa sawit di Sulawesi telah memicu kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), serta menggerus banyak masyarakat dari ruang hidupnya.
“Perkebunan sawit skala besar dengan luas 1 juta hektar ini sebenarnya untuk siapa?. Pasalnya, proyek ini sangat mengkhawatirkan, karena akan menambah masalah baru dalam sektor perkebunan sawit. Saat ini, sangat banyak konflik agraria yang dilakukan perusahaan sawit di Sulawesi, termasuk di Sulteng,” kata Sunardi Katili pada pertengahan Februari 2025 lalu.
Sunardi mengungkapkan kekhawatirannya jika program sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi tetap dilanjutkan. Ia memperkirakan, program tersebut akan menyebabkan tumpang tindih lahan dengan wilayah milik masyarakat, yang berpotensi memperburuk konflik agraria di sektor kelapa sawit di Sulawesi, termasuk di Sulteng.
Sunardi meminta agar pemerintah membatalkan rencana program sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi. Menurutnya, program tersebut hanya akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial, tanpa membawa manfaat positif bagi perekonomian masyarakat. Ia bilang, kondisi serupa sudah terjadi di beberapa kabupaten di Sulteng.

Bermasalah di Tapak
Sebenarnya, Industri kelapa sawit saat ini menghadapi berbagai tantangan akibat dinamika kebijakan dan pasar, baik domestik maupun global. Meskipun komoditas sawit tumbuh, pertumbuhannya tidak sebanding dengan kemajuan ekonomi di daerah penghasil. Kesejahteraan masyarakat sekitar kebun juga masih menjadi masalah serius di tapak.
Analisis TuK Indonesia menunjukkan, sebagian besar dari 25 perusahaan sawit besar dikuasai taipan dan keluarga mereka. Meski tidak memiliki saham mayoritas, mereka mengendalikan perusahaan melalui saham terbesar, membuat industri sawit dikuasai elit dan tidak berkeadilan.
Dari sisi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan hutan produksi konversi (HPK) berpotensi dibuka untuk perkebunan sawit. Madani Berkelanjutan mencatat 6,2 juta hektar dari 24,2 juta hektar ekosistem gambut Indonesia berada dalam wilayah izin sawit, dengan 3,8 juta hektar diantaranya berupa tutupan lahan gambut.
Baca juga: Menyoal Aturan Baru Luas Minimal Kebun Sawit
Pada tahun 2021-2022, perkebunan sawit diperkirakan sebagai salah satu kontributor deforestasi terbesar di Indonesia yang melepaskan emisi GRK tahunan sejumlah 200 juta metrik ton. Emisi dari industri sawit diduga mencapai satu per lima dari total emisi Indonesia pada tahun 2022.
Menurut observasi The TreeMap, ekspansi kebun sawit di Indonesia pada 2023 menyebabkan konversi 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, sepertiga dari deforestasi 2023 akibat sawit terjadi di lahan gambut kaya karbon, yang diduga melepaskan emisi GRK secara masif.
Walhi mencatat sekitar 10 juta hektar lahan sawit yang tidak memiliki izin HGU atau perizinan lengkap, termasuk 3 juta hektar yang berada di dalam kawasan hutan. Selain itu, terdapat 5 juta hektar HGU terlantar, dan 8 juta hektar kawasan hutan yang telah dilepas, dengan 6 juta hektarnya digunakan untuk perkebunan sawit.
Data dari Kementerian Kehutanan (2025) menyebutkan bahwa ada 436 perusahaan sawit yang mengelola kebun tanpa izin di kawasan hutan, dengan total luas mencapai lebih dari 1 juta hektar. Ironisnya, mayoritas perusahaan itu telah memperoleh sertifikasi keberlanjutan dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Padahal, laporan tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang dirilis pada akhir tahun 2023 lalu menyebutkan, Emisi karbon dioksida (CO2) Global di tahun 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia dalam sektor lahan.
Dalam sebuah penelitian pada 2019 menunjukkan Sawit juga secara langsung berdampak pada kondisi biodiversitas. Di Kalimantan, data menunjukkan bahwa jumlah orang utan Borneo telah menurun sebanyak 25% dalam satu dekade terakhir. Padahal, sebagian luas dataran rendah Kalimantan sebelumnya dihuni oleh orangutan.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengatakan, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk perkebunan sawit sudah melebihi angka ambang batas (cap). Lahan sawit yang ada saat ini sudah melampaui kapasitas optimal yang ditetapkan untuk berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah yang rentan secara ekologi.
Baca juga: Kala Prabowo Anti Sains Ketika Melihat Sawit
Hal itu tergambar jelas dalam penelitian yang dilakukan Sawit Watch bersama 13 organisasi masyarakat sipil yang terbit pada 2024. Dalam riset itu menemukan, angka ambang batas atas (cap) sawit di Indonesia adalah sebesar 18,15 juta hektare, dan ekspansi perkebunan sawit di beberapa wilayah telah mendekati atau bahkan melampaui kapasitas lingkungan.
Adapun luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 17,3 juta hektare, atau hampir 1,5 kali luas Pulau Jawa. Luas ini merupakan hasil pemutakhiran peta tutupan kelapa sawit oleh Badan Informasi dan Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian pada tahun 2023.
Sederhananya, pengembangan sawit di Indonesia tidak lagi bisa dilakukan secara menyeluruh di semua pulau karena banyak wilayah yang sudah melampaui ambang batas daya tampung dan daya dukung lingkungan, terutama di area yang rentan secara ekologi. Ia bilang, jika ekspansi perkebunan sawit melampaui cap, akan berdampak ke lingkungan yang signifikan.
“Jika ekspansi perkebunan sawit melebihi angka cap dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, akan banyak dampak buruk yang terjadi,” kata Achmad Surambo.

Dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Catatan Akhir Tahun 2024 menyebut, perkebunan sawit terus menjadi penyumbang terbesar konflik agraria di Indonesia, dengan pola yang terus berulang dari tahun ke tahun seperti perebutan lahan, penggusuran paksa, kriminalisasi petani, serta kekerasan oleh aparat keamanan.
Sepanjang tahun 2024, KPA mencatat 111 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, dan 67% di antaranya dipicu oleh operasional perkebunan kelapa sawit, mencakup 127.281,30 hektare lahan dan berdampak pada 14.696 keluarga. Angka ini menunjukkan bahwa masalah struktural dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia masih jauh dari penyelesaian.
Sepanjang 2024, KPA mencatat setidaknya 207 kasus kriminalisasi, 41 kasus kekerasan, 2 orang tertembak, dan 1 orang tewas akibat konflik agraria di sektor perkebunan. Salah satu pola kriminalisasi yang sering terjadi adalah penuduhan pencurian sawit terhadap warga, yang bertujuan untuk membungkam perlawanan petani terhadap perampasan tanah mereka. Sawit Watch mencatat ada 1.106 komunitas yang terlibat konflik di perkebunan sawit.
Salah satu kasus yang mencuri perhatian di Sulteng adalah konflik antara petani plasma di Kabupaten Buol dengan perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP). Sejak 2008, perusahaan menjanjikan pembangunan kebun plasma bagi 4.934 warga yang menyerahkan 6.746 hektar tanah mereka. Namun, janji tersebut tak pernah terealisasi, dan tanah yang dijanjikan tetap dikuasai perusahaan tanpa kompensasi.
Baca juga: Rencana Ekspansi Sawit Bertentangan dengan Komitmen Penurunan Emisi
Alih-alih mendapatkan keuntungan besar seperti yang dijanjikan, warga malah dibayar kurang dari Rp 10 ribu per bulan. Beberapa di antaranya bahkan tidak memperoleh penghasilan sama sekali selama hampir dua dekade sejak perusahaan HIP melakukan panen awal. Ironisnya lagi, mereka justru seperti sengaja ditenggelamkan dalam utang dengan jumlah ratusan juta rupiah per orang.
Ketika para petani melakukan protes, HIP diduga mengerahkan pasukan Brimob dan TNI untuk menghadapi aksi perlawanan petani pemilik lahan. Selain itu, sekitar 25 petani pemilik lahan dikriminalisasi oleh perusahaan dengan berbagai tuduhan. Satu orang sudah menjadi terdakwa, dan salah satunya adalah anak di bawah umur.
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), memperkirakan bahwa program sejuta hektar sawit di Sulawesi akan menimbulkan masalah serupa dengan yang dihadapi petani plasma di Buol. Ia menegaskan, jika program itu tetap dilaksanakan, petani-petani di Sulawesi berisiko kehilangan tanah mereka dan terjerat utang yang sangat besar.
“Saya menduga program sejuta hektar sawit yang direncanakan untuk dibangun di Sulawesi ini adalah bagian salah satu cara korporasi-korporasi untuk melakukan perampasan tanah (land clearing),” kata Fatrisia Ain saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Walhi Sulteng pada pertengahan Februari 2025.

Penghentian Izin Baru, Bukan Ekspansi
Menurut Achmad Surambo, seharusnya pemerintah melakukan penghentian izin baru sawit bukan justru melakukan ekspansi melalui program Sulawesi Palm Oil Belt. Ia bilang, penghentian izin baru sawit akan memberikan dampak positif jangka panjang bagi negara, termasuk peningkatan penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja, terutama jika disertai dengan replanting.
Achmad menjelaskan, kajian ekonomi yang dilakukan menunjukkan bahwa penghentian izin sawit, disertai dengan replanting, akan memberikan dampak ekonomi yang lebih baik dalam jangka panjang, termasuk pada PDB, pendapatan, penerimaan pajak, dan penyerapan tenaga kerja. Pasalnya, lahan sawit saat ini sudah mendekati ambang batas ideal untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan
Ia mengungkapkan, berdasarkan penelitian Sawit Watch, skenario moratorium dan replanting diproyeksikan akan menghasilkan output PDB sebesar Rp30,5 triliun dan menyerap 827 ribu tenaga kerja. Sebaliknya, skenario ekspansi sawit tanpa moratorium justru diperkirakan menghasilkan PDB negatif sebesar Rp30,4 triliun dan hanya menciptakan 268 ribu tenaga kerja dalam periode yang sama.
Baca juga: Tahun 2024: Tata Kelola Sawit Indonesia Masih Karut Marut
“Jika kebijakan moratorium tidak dilaksanakan, laju deforestasi akibat perkebunan sawit berpotensi meningkat. Meskipun Inpres 8/2018 telah diterapkan selama tiga tahun, efektivitasnya masih belum cukup untuk memperbaiki tata kelola sawit,” jelasnya.
Data Sawit Watch menunjukkan, pada 2019-2020 (era moratorium), deforestasi terbesar terjadi di wilayah konsesi sawit, yakni 19.940 hektar. Luas hutan alam di dalam konsesi sawit pada 2019 mencapai 3,58 juta hektar. Dengan demikian, penerapan kembali moratorium sawit dinilai dapat menyelamatkan hutan alam dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
Lebih lanjut, Achmad menambahkan, moratorium sawit juga dapat berperan penting dalam menyelesaikan konflik dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang terlibat sengketa dengan perusahaan sawit. Ini juga memungkinkan tinjauan ulang terhadap legalitas perkebunan, termasuk hak atas tanah, kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban plasma, serta implementasinya.
Pelanggaran perizinan juga bisa terdeteksi saat moratorium diterapkan. Achmad menegaskan, moratorium dan replanting adalah skenario terbaik untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Indonesia tanpa mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

“Kami menantang keras jika pemerintah memilih skenario ekspansi atau perluasan kebun sawit, karena dampaknya sangat besar, termasuk memperburuk kondisi iklim dan memicu peningkatan konflik agraria,” ungkapnya.
Senada, Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun dari WALHI Nasional, menegaskan bahwa perbaikan tata kelola industri sawit harus disertai dengan keterbukaan informasi publik, partisipasi masyarakat, dan penegakan hukum yang kuat. Jika tidak, kata dia, perbaikan tata kelola industri sawit tidak akan pernah terwujud dan justru akan terus memicu masalah serius.
Uli mengatakan, petani seakan tidak memiliki tempat dalam industri sawit, dan petani swadaya justru dijadikan alasan untuk mempertahankan kelangsungan industri ini. Alih-alih memberikan kontribusi besar kepada petani, kata Uli, industri sawit justru memberikan ruang yang sangat kecil bagi petani dalam rantai pasoknya. Bahkan, banyak petani yang tidak mendapatkan apa-apa.
Hal itu terpotret dalam penelitian yang dilakukan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2023 yang menemukan bahwa perusahaan-perusahaan sawit besar, seperti Wilmar, Musi Mas, Sinar Mas, dan Royal Golden Eagle, lebih banyak menikmati subsidi biodiesel dibandingkan petani sawit mandiri. Bahkan, penelitian Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network (TPOLS), buruh di perkebunan sawit masih terus terpinggirkan.
Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang
“Sampai hari ini, saya belum melihat upaya baik yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki tata kelola industri sawit kita secara menyeluruh. Padahal, sangat banyak perusahaan-perusahaan mengelola sawit di kawasan hutan tanpa izin,” kata Uli Arta Siagian saat menjadi narasumber dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Walhi Sulteng pada pertengahan Februari 2025.
Menurut Uli, moratorium izin sawit secara permanen sangat penting untuk mendorong perbaikan tata kelola sawit. Pasalnya, katanya, luasan perkebunan sawit di Indonesia sudah melebihi ambang batas (cap). Sebagai contoh, di Sulawesi, cap untuk perkebunan sawit hanya sebesar 483 ribu hektar, sementara luasan sawit yang sudah ada di Sulawesi mencapai 473 ribu hektar.
Namun, kata Uli, jika proyek satu juta hektar kebun sawit di Sulawesi tetap dilanjutkan, hal itu dipastikan akan melampaui cap sawit di pulau tersebut. Dampaknya, kondisi lingkungan di Sulawesi akan semakin buruk, dengan banjir dan longsor yang terus terjadi, serta konflik agraria yang semakin meluas. Ia bilang, ini akan merugikan semua pihak, termasuk perusahaan.
“Ketika sawit bisa di kategorisasi dalam proyek pangan dan energi yang merupakan program strategis Prabowo-Gibran, bisa jadi proyek satu juta hektar kebun sawit di Sulawesi akan dijadikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Ini akan menjadi masalah serius ke depan,” pungkasnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia, dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments