- Di Desa Winangun, sebuah praktik kolektif yang dijalankan oleh kelompok perempuan menjadi bukti bahwa pertanian padi organik bisa menjadi solusi nyata untuk keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan.
- Namun, perjuangan ini tak berjalan di ruang kosong. Desa Winangun berada dalam cengkeraman perkebunan sawit skala besar yang dikuasai oleh perusahaan dengan izin usaha lebih dari 22 ribu hektare.
- Di tengah keterbatasan, mereka tetap berupaya mandiri. Mereka membuat pupuk organik sendiri, mengatur rotasi tanam, dan mengelola produksi secara kolektif. Tapi semua dilakukan dengan cara tradisional, tanpa bantuan peralatan
Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata—banjir bandang, gagal panen, tanah rusak, hingga air yang makin langka—masih ada secercah harapan yang tumbuh dari ladang-ladang kecil di pelosok desa. Di Desa Winangun, sebuah praktik kolektif yang dijalankan oleh kelompok perempuan menjadi bukti bahwa pertanian padi organik bisa menjadi solusi nyata untuk keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan.
Jaringan Jaga Deca, sebuah komunitas akar rumput yang menginisiasi praktik pertanian organik di lahan seluas 0,5 hektare. Meski kecil, inisiatif ini merupakan perluasan dari praktik agroekologi yang telah lebih dulu diterapkan secara total di salah satu dusun desa, mencakup 38 hektare lahan pertanian tanpa bahan kimia dan berbasis kearifan lokal.
Namun, perjuangan ini tak berjalan di ruang kosong. Desa Winangun berada dalam cengkeraman perkebunan sawit skala besar yang dikuasai oleh perusahaan dengan izin usaha lebih dari 22 ribu hektare. Lahan pertanian yang digunakan untuk menanam padi organik hanyalah sisa-sisa ruang hidup yang masih tersisa, setelah sebagian besar wilayah desa dibabat dan ditanami sawit. Ini menjadikan pertanian padi organik di Winangun sebagai satu-satunya napas yang tersisa di tengah kepungan hijau yang semu.
Baca juga: Dampak Kemajuan Industri China Terhadap Perubahan Iklim Dunia
Tantangan yang mereka hadapi pun bertumpuk. Selain lahan yang makin sempit dan terancam ekspansi, sawah-sawah yang dikelola secara organik kini dikelilingi oleh perkebunan korporasi. Air yang mengalir ke sawah pun tak luput dari kontaminasi bahan kimia pertanian perusahaan. “Kami tanam padi organik, tapi air yang kami pakai bisa jadi sudah tercemar. Kami berada di tengah-tengah sawit, tak bisa lari ke mana-mana,” ujar seorang petani perempuan.
Praktik ini adalah antitesis dari narasi besar pertanian berkelanjutan yang kerap dikendalikan oleh modal besar. Ketika korporasi mengklaim bertransformasi hijau lewat skema sertifikasi dan “intensifikasi lestari”, kelompok perempuan di Winangun menunjukkan bahwa keberlanjutan sejati hanya mungkin jika petani punya kedaulatan atas tanah dan cara tanamnya. Mereka tidak hanya menanam padi, tapi juga merawat kehidupan: tanah, air, benih, dan komunitas.
Namun demikian, jalan sunyi ini masih minim dukungan dari negara. Dalam workshop yang digelar bersama para petani, berbagai persoalan mengemuka. Infrastruktur pertanian sangat terbatas. “Sawah kami ini kalau hujan besar bisa terendam karena tidak ada saluran pembuangan air. Tapi kalau musim kemarau panjang, kami juga tak bisa bertani karena kekeringan,” tutur seorang petani lainnya.
Di tengah keterbatasan, mereka tetap berupaya mandiri. Mereka membuat pupuk organik sendiri, mengatur rotasi tanam, dan mengelola produksi secara kolektif. Tapi semua dilakukan dengan cara tradisional, tanpa bantuan peralatan. “Kami ingin bisa produksi pupuk organik dalam jumlah lebih banyak, tapi kami tidak punya alat. Sekarang masih pakai tangan semua,” katanya.

Kenapa ini penting?
Karena sawah bukan sekadar ladang pangan, melainkan ruang hidup. Ketika sawah disuburkan dengan pupuk kimia berlebih, emisi gas rumah kaca seperti metana dan dinitrogen oksida meningkat drastis. Pertanian konvensional berkontribusi besar terhadap pemanasan global, meski jarang dibicarakan. Di sisi lain, pertanian organik membantu menurunkan emisi, memperbaiki kualitas tanah dan air, serta mempertahankan keberagaman hayati.
Agroekologi bukan hanya soal bertani ramah lingkungan. Ia adalah bentuk kedaulatan: atas benih, atas air, atas cara hidup. Ia adalah jawaban rakyat atas krisis iklim yang diciptakan oleh model pertanian industri. Dan pertanian organik di Winangun telah membuktikan bahwa solusi sejati tidak datang dari atas, tetapi tumbuh dari akar.
Seperti padi yang tumbuh diam-diam, gerakan kecil dari Desa Winangun ini menyimpan kekuatan besar. Di tengah krisis iklim dan krisis pangan, mereka telah memilih untuk bertahan. Dan dari ladang yang dikepung sawit, mereka menanam harapan.
Krisis Iklim dan Krisis Pangan: Terhubung dan Makin Mendesak
Data dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan menyumbang sekitar 23% dari total emisi gas rumah kaca global. Pertanian berbasis bahan kimia, deforestasi, dan industrialisasi pangan menjadi penyumbang besar krisis iklim saat ini.
Baca juga: Indonesia Perparah Krisis Iklim Akibat Food Estate Merauke
Indonesia tak luput dari dampaknya. Pada 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat kenaikan suhu rata-rata nasional dan memperingatkan potensi gagal panen akibat cuaca ekstrem. Dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), disebutkan bahwa lebih dari 60% konflik agraria di Indonesia terkait dengan ekspansi industri ekstraktif dan perkebunan besar, terutama sawit.
Di sisi lain, krisis iklim memperparah kerentanan pangan. Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) awal 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 22 provinsi mengalami rawan pangan, terutama wilayah dengan tekanan iklim tinggi. Ini menunjukkan bahwa model produksi pangan saat ini—yang tergantung pada skala besar dan kimia—tidak hanya rapuh, tapi juga memperparah krisis.
Saatnya Negara Memihak Petani: Menegakkan Keadilan Ekologis dari Desa Winangun
Krisis iklim bukan sekadar persoalan cuaca ekstrem atau naiknya permukaan laut. Ia adalah krisis keadilan. Krisis tentang siapa yang menciptakan kerusakan, siapa yang paling terdampak, dan siapa yang dibiarkan berjuang sendiri.
Baca juga: Lagi-Lagi Pemerintah Indonesia Tawarkan Solusi Palsu Krisis Iklim di COP 29
Di Desa Winangun, sekelompok perempuan petani menanam padi organik di atas lahan sempit yang tersisa. Mereka bertani tanpa pestisida, merawat tanah secara alami, dan menjaga keseimbangan alam—semuanya tanpa insentif, tanpa subsidi, tanpa perlindungan. Di sisi lain, perusahaan sawit dengan ribuan hektare konsesi terus menguras air, mencemari lingkungan, dan merusak sumber pangan warga, sering kali justru dengan kemudahan izin dan dukungan negara.
Di sinilah letak ironi sekaligus absurditas kebijakan agraria dan pangan kita.
Pemerintah selama ini begitu mudah memberikan insentif bagi korporasi—baik berupa kemudahan izin, akses kredit, maupun pembiaran terhadap pencemaran lingkungan. Sementara petani agroekologi seperti di Winangun, yang justru merawat alam dan menciptakan pangan sehat, hanya dianggap pelengkap narasi “ketahanan pangan” yang disusun dari atas.
Sudah saatnya negara berpihak secara jelas: bahwa pertanian rakyat, terlebih yang berbasis agroekologi, harus menjadi pusat dari kebijakan pangan dan iklim.

Tiga Agenda Mendesak
Pertama, pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat. Desa-desa seperti Winangun harus diberi kepastian atas ruang hidup mereka. Ini berarti menghentikan ekspansi sawit di wilayah yang menjadi sumber pangan rakyat. Negara tak bisa terus membiarkan petani bertani di lahan-lahan sempit yang tersisa, sementara ribuan hektare tanah dikuasai korporasi.
Kedua, dukungan sarana produksi yang ramah lingkungan dan berbasis komunitas. Para petani di Winangun sudah mampu memproduksi pupuk organik sendiri, tapi mereka butuh alat, tempat pengolahan, dan pelatihan lanjutan. Jika negara serius mendorong transisi pertanian ramah iklim, maka dukungan terhadap inisiatif semacam ini harus diprioritaskan dalam alokasi anggaran pertanian dan iklim.
Baca juga: Nasib Nelayan Tuna Gorontalo, Terdampak Krisis Iklim hingga Dijepit Regulasi
Ketiga, akses ke pasar adil untuk produk pangan sehat. Petani organik sering kalah bersaing karena produknya tidak disubsidi seperti beras dari pertanian konvensional. Padahal, yang mereka hasilkan jauh lebih sehat, lebih berkelanjutan, dan tanpa beban pencemaran. Negara harus hadir memastikan ada insentif, pasar yang transparan, dan mekanisme distribusi pangan yang memihak petani kecil.
Pertanian Agroekologi: Jalan untuk Masa Depan
Pengalaman dari Desa Winangun bukan sekadar cerita perjuangan lokal. Ia adalah gambaran masa depan: bahwa jika kita ingin menyelamatkan bumi, mengatasi krisis iklim, dan menjaga kedaulatan pangan, maka kita harus mulai dari desa-desa yang hari ini masih bertahan.
Petani perempuan di Winangun sudah melangkah lebih dulu. Mereka membuktikan bahwa tanpa pupuk kimia, tanpa pestisida, dan tanpa modal besar, pangan tetap bisa diproduksi dengan cara yang adil bagi bumi dan manusia.
Sekarang, giliran negara untuk menyusul. Bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan kebijakan, anggaran, dan perlindungan nyata. Keadilan ekologis bukan utopia. Ia sedang dirintis, ditanam, dan dirawat—di ladang-ladang kecil yang terus bertahan meski dikepung oleh kebun-kebun sawit yang rakus.
Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.
Leave a Reply
View Comments