Dampak Kemajuan Industri China Terhadap Perubahan Iklim Dunia

Ilustrasi Industri China yang berdampak ke perubahan iklim dunia. Gambar oleh Nico Franz dari Pixabay
Ilustrasi Industri China yang berdampak ke perubahan iklim dunia. Gambar oleh Nico Franz dari Pixabay
  • Tahun 2023 sumbangan emisi gas efek rumah kaca China kembali mengalami peningkatan sebesar 3% dari tahun 2022 yakni berjumlah sebesar 14.9 miliar ton per tahun, atau setara dengan 35% penyumbang emisi gas rumah kaca Dunia.
  • BPS menunjukan bahwa intensitas karbon China pada tahun 2024 hanya turun sebesar 3.4% dibawah target yang ditetapkan yakni 3.9%. Hal ini menunjukkan keraguan pada ketidakmampuan China yang menargetkan tahun 2060 bebas dari karbon.
  • Tercatat pada saat ini China merupakan produsen mobil terbesar di Dunia. Peningkatan jumlah pemakaian motor pribadi pun terus meningkat di beberapa wilayah China. Misalnya di Kota Guangzhou, Beijing, dan Shanghai.

Sebagai Negara dengan ekonomi terbesar kedua setelah amerika, China merupakan penyumbang utama krisis iklim Dunia  yang disebabkan oleh besarnya sumbangan  gas efek rumah kaca dari sektor energi dan industri. Kemajuan China yang begitu pesat tak terlepas ketergantungan pada energi fosil yakni batu bara yang menjadi penyumbang utama emisi Karbon dioksida ( CO2). Terbukti pada tahun 2020 Tiongkok menghasilkan 10,7 Miliar ton Karbon dioksida yang menyumbangkan sepertiga dari emisi Dunia. Tahun 2021 dan 2022 meningkat sebesar 4.3% dari tahun sebelumnya yang berjumlah sebesar 13 miliar ton, walaupun tahun 2022 mengalami penurunan sebesar 12,7 miliar ton.

Namun di tahun 2023 sumbangan emisi gas efek rumah kaca China kembali mengalami peningkatan sebesar 3% dari tahun 2022 yakni berjumlah sebesar 14.9 miliar ton per tahun, atau setara dengan 35% penyumbang emisi gas rumah kaca Dunia. Selanjutnya pada tahun 2024 gas rumah kaca yang dihasilkan China meningkat sebesar 0.8% dari tahun sebelumnya. Peningkatan ini tak sebesar tahun sebelumnya dikarenakan adanya pengalihan energi bersih contohnya seperti tenaga surya dan angin, namun tidak membuat China mampu menurunkan  target kapasitas karbonya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa intensitas karbon China pada tahun 2024 hanya turun sebesar 3.4% dibawah target yang ditetapkan yakni 3.9%. Hal ini menunjukkan keraguan pada ketidakmampuan China yang menargetkan tahun 2060 bebas dari karbon. Adapun beberapa sektor industri China yang menyumbangkan gas rumah kaca diantaranya adalah  Pertama, sektor industri pembangkit listrik, lebih dari 60 % listrik di China dihasilkan dari bahan bakar fosil dengan menggunakan batu bara.

Baca juga: Indonesia Perparah Krisis Iklim Akibat Food Estate Merauke

Selain menghasilkan karbon dioksida (CO2) pembangkit listrik juga menghasilkan Nitrogen Oksida (H20) dan metana (CH4) penghasil gas rumah kaca yang lebih besar dibandingkan Karbon dioksida (CO2). Selain itu, kebutuhan listrik di China terus meningkat hal ini disebabkan karena terjadinya urbanisasi secara cepat dan signifikan seperti kebutuhan mobil listrik dan data center. Kedua, disumbangkan industri transportasi, peningkatan transportasi China yang begitu cepat berdampak terhadap peningkatan gas rumah kaca.

Tercatat pada saat ini China merupakan produsen mobil terbesar di Dunia. Peningkatan jumlah pemakaian motor pribadi pun terus meningkat di beberapa wilayah China. Misalnya di Kota Guangzhou, Beijing, dan Shanghai tentu peningkatan jumlah kendaraan ini menghasilkan emisi karbon CO2, Nitrogen Oksida (Nox) serta partikulat yang memperburuk perubahan iklim serta polusi udara.

Selain kendaraan bermotor kegiatan, perdagangan domestik serta kegiatan ekspor-impor China yang tinggi menggunakan Truk pengangkut barang, kapal kargo, dan kereta barang juga turut berkontribusi besar pada emisi karbon. Contohnya seperti truk diesel menjadi sumber emisi gas rumah kaca dan polutan udara yang menghasilkan polusi udara yang buruk.

Tambang Nikel di Pulau Kecil di Pulau Manoram Papua Barat Daya (Foto: FWI)
Tambang Nikel di Pulau Kecil di Pulau Manoram Papua Barat Daya (Foto: FWI)

Disisi lain, pertumbuhan kelas menengah di China juga telah mendorong masyarakat melakukan perjalanan Internasional maupun lokal. Pesawat terbang membakar bahan bakar fosil dalam jumlah besar, menghasilkan CO₂ dan uap air di ketinggian yang berkontribusi pada pemanasan global.

Sebagai Negara eksportir terbesar, kapal kargo China beroperasi di seluruh dunia, transportasi laut menghasilkan emisi CO₂ dalam jumlah besar, ditambah sulfur oksida (SOx) yang memperburuk polusi udara. Pembangunan Infrastruktur Transportasi seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, dan jalur kereta cepat memerlukan energi dan material dalam skala besar. Proses pembangunan ini (termasuk produksi semen, baja, dan alat berat) juga meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Ketiga, sektor pertanian. Walaupun banyak orang mengira pertanian hanya menghasilkan makanan, faktanya pertanian adalah sumber besar emisi gas rumah kaca. China yang merupakan produsen pertanian terbesar di Dunia, Produksi Metana (CH₄) dari Sawah – sawah padi adalah sumber metana yang signifikan. Di kondisi sawah yang tergenang air (anaerobik), bakteri menghasilkan metana selama proses pembusukan bahan organik. China memiliki sawah terluas di dunia, terutama di wilayah selatan dan timur.

Baca juga: Mengapa Kecelakaan Kerja Terus Terjadi di Kawasan Industri IMIP?

Metana adalah gas rumah kaca yang sekitar 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam menjebak panas di atmosfer. Emisi dari Peternakan seperti ternak sapi, domba, dan kambing menghasilkan metana melalui proses pencernaan yang disebut fermentasi enterik. Limbah ternak (kotoran) yang tidak dikelola dengan baik juga melepaskan metana dan dinitrogen oksida (N₂O) ke atmosfer. 

Tak hanya itu, China juga salah satu produsen sapi dan babi terbesar, yang berarti sektor ini memberikan kontribusi besar terhadap gas rumah kaca. Penggunaan Pupuk Kimia untuk mempertahankan hasil pertanian yang tinggi, pupuk nitrogen digunakan secara besar-besaran. Ketika pupuk nitrogen bereaksi di tanah, ia melepaskan dinitrogen oksida (N₂O)  gas rumah kaca yang sekitar 298 kali lebih kuat daripada CO₂ dalam pemanasan global.

Deforestasi untuk membuka lahan pertanian, termasuk perkebunan dan sawah baru, menyebabkan hilangnya hutan yang seharusnya bisa menyerap CO₂.  Konversi lahan hutan dan padang rumput menjadi lahan pertanian memperparah pelepasan karbon yang tersimpan dalam tanah serta Pengelolaan Limbah Pertanian Limbah tanaman (seperti jerami, batang jagung, dan sisa panen lainnya) sering dibakar di ladang.

Pembakaran ini melepaskan karbon dioksida, metana, dan partikulat yang memperburuk kualitas udara dan meningkatkan gas rumah kaca. Penggunaan Energi di Pertanian modern seperti irigasi, traktor, dan pengolahan hasil pertanian menggunakan bahan bakar fosil ini juga menambah emisi karbon secara tidak langsung melalui konsumsi energi.

Perempuan Morowali yang terdampak proyek hilirisasi nikel. (Foto: SP Palu)
Perempuan Morowali yang terdampak proyek hilirisasi nikel. (Foto: SP Palu)

Ke empat sektor konstruksi dan urbanisasi; China mengalami urbanisasi tercepat dalam sejarah manusia. Perpindahan penduduk besar-besaran dari desa ke kota, pembangunan infrastruktur masif, dan ekspansi ekonomi telah menyebabkan sektor konstruksi menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca. Tercatat bahwa pertumbuhan Urbanisasi yang Sangat Cepat Lebih dari 60% populasi China sekarang tinggal di kota (dibandingkan hanya 20% pada tahun 1980-an). Diperkirakan ada sekitar 800 juta orang yang tinggal di wilayah urban.

Urbanisasi ini membutuhkan pembangunan besar-besaran: perumahan, jalan raya, jembatan, pelabuhan, bandara, hingga fasilitas umum lainnya. Konstruksi Gedung dan Infrastruktur, Industri konstruksi menggunakan material intensif karbon seperti semen, baja, dan kaca. Produksi semen dan baja di China sendiri menyumbang sekitar 15–20% dari total emisi CO₂ Dunia, semen adalah bahan yang paling “kotor” dalam konstruksi karena proses produksinya (pembakaran batu kapur) menghasilkan CO₂ dalam jumlah besar.

Peningkatan Konsumsi Energi Kota-kota baru membutuhkan energi dalam jumlah besar: untuk pencahayaan, pemanas, pendingin udara, lift, transportasi, dan lain-lain. Sumber energi ini, terutama listrik berbasis batubara, berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca. Perubahan Tata Guna Lahan Urbanisasi berarti mengubah lahan hijau (seperti hutan, padang rumput, atau lahan pertanian) menjadi permukaan beton.

Baca juga: Lagi-Lagi Pemerintah Indonesia Tawarkan Solusi Palsu Krisis Iklim di COP 29

Lahan alami yang dulunya bisa menyerap karbon berubah menjadi kota yang memantulkan panas (efek pulau panas urban). Ini memperburuk perubahan iklim dan meningkatkan kebutuhan energi untuk pendinginan. Sektor Transportasi Urban Kota besar membutuhkan sistem transportasi kompleks. Pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi, pembangunan jalan tol, dan perluasan transportasi publik semuanya menambah konsumsi bahan bakar dan menghasilkan gas rumah kaca.

Sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, kontribusi China sangat terasa dalam mempercepat berbagai perubahan iklim global. Berikut ini adalah dampak-dampak langsungnya. Pertama, peningkatan suhu global, atau lebih dikenal sebagai global warming, adalah proses kenaikan suhu rata-rata permukaan Bumi akibat konsentrasi gas rumah kaca yang terus meningkat di atmosfer.

Gas-gas seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan dinitrogen oksida (N₂O) menahan panas matahari di atmosfer, menyebabkan efek “selimut” yang memerangkap panas dan menaikkan suhu Bumi, suhu rata-rata global naik lebih cepat. Menurut laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suhu Bumi sudah meningkat sekitar 1,1°C dibandingkan masa pra-industri, dan China adalah salah satu kontributor utamanya.

Para pekerja kembali berangsur normal pascakecelakaan kerja jam 06.15 WITA di pabrik ferrosilikon PT ITSS yang berada di kawasan IMIP. Foto: Humas IMIP
Para pekerja kembali berangsur normal pascakecelakaan kerja jam 06.15 WITA di pabrik ferrosilikon PT ITSS yang berada di kawasan IMIP. Foto: Humas IMIP

China adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, bertanggung jawab atas sekitar 30% dari total emisi global. Sektor energi, industri berat, transportasi, pertanian, dan urbanisasi di China melepaskan jumlah besar CO₂ dan gas lain setiap tahunnya. Karena atmosfer bersifat global, gas yang dilepaskan dari China menyebar ke seluruh dunia, mempercepat akumulasi gas rumah kaca dan menyebabkan suhu global naik.

Sejak era pra-industri (sekitar tahun 1850), suhu rata-rata dunia sudah meningkat sekitar 1,1°C. Jika tren ini berlanjut tanpa pengurangan drastis emisi, para ilmuwan memperkirakan suhu bisa naik 1,5°C sekitar tahun 2030-an 2°C atau lebih pada akhir abad ini Kenaikan 2°C tampak kecil, tetapi dampaknya sangat besar bagi iklim, ekosistem, dan kehidupan manusia. Dampak Langsung dari Peningkatan Suhu Global Cuaca Ekstrem mulai  Gelombang panas lebih sering terjadi dan lebih intens.

Musim panas menjadi lebih panjang, sementara musim dingin menjadi lebih pendek dan tidak stabil. Mencairnya Es dan Gletser, Lapisan es di Greenland, Antartika, dan pegunungan besar mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini menyebabkan kenaikan permukaan laut, yang mengancam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya, naiknya permukaan laut, sudah naik lebih dari 20 cm sejak awal abad ke-20.

Baca juga: Nasib Nelayan Tuna Gorontalo, Terdampak Krisis Iklim hingga Dijepit Regulasi

Naiknya permukaan laut memperbesar risiko banjir di kota-kota pesisir seperti Jakarta, Shanghai, New York, dan Dhaka. Selanjutnya gangguan ekosistem banyak spesies hewan dan tumbuhan tidak mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan suhu. Ini mengancam keanekaragaman hayati Dunia dan mengganggu rantai makanan. Kemudian , Ancaman terhadap Ketahanan Pangan  juga terjadi, perubahan pola curah hujan dan gelombang panas menyebabkan gagal panen di banyak Negara. Produktivitas pertanian menurun, meningkatkan risiko kelaparan global.

Peningkatan suhu memperparah penyakit terkait panas seperti stroke panas, penyebaran penyakit tropis seperti malaria dan dengue meluas ke wilayah baru. Kedua, Peleburan Es di Kutub dan Pegunungan, hal ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca (termasuk dari emisi besar China) menyebabkan suhu rata-rata Bumi naik. Dampaknya  Lapisan es di Kutub Utara (Arktik) dan Kutub Selatan (Antartika) mulai mencair.

 Gletser dan salju abadi di pegunungan seperti Himalaya, Alpen, Andes, dan Rockies juga terus menyusut. Proses ini berlangsung lebih cepat daripada prediksi awal para ilmuwan. Arktik kehilangan sekitar 13% volume es laut per dekade sejak tahun 1979.  Antartika Barat mencair 3 kali lebih cepat dalam 30 tahun terakhir. Gletser gunung di seluruh dunia telah kehilangan lebih dari 9.000 gigaton es sejak 1960.

Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa. Foto:: Aliansi Sulawesi Terbarukan.
Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa. Foto:: Aliansi Sulawesi Terbarukan.

Jika semua es di Greenland mencair, permukaan laut global bisa naik sekitar 7 meter. Mengapa Es di Kutub dan Pegunungan Mencair?  Efek Umpan Balik Es dan Salju, Es putih memantulkan sebagian besar sinar matahari kembali ke luar angkasa (efek albedo). Saat es mencair, permukaan gelap seperti laut atau tanah terbuka, yang menyerap lebih banyak panas mempercepat pencairan. Pemanasan Lautan Samudra yang lebih hangat melelehkan es dari bawah lapisan es, terutama di Antartika dan Greenland. Peningkatan Suhu Udara Suhu atmosfer yang lebih,  juga mempercepat pelelehan permukaan gletser dan es daratan.

Dampak Langsung dari Peleburan Es terjadinya kenaikan permukaan paut air dari es yang mencair mengalir ke laut, menyebabkan kenaikan permukaan laut global. Kota-kota besar pesisir (Jakarta, New York, Shanghai, Mumbai) terancam tenggelam sebagian jika permukaan laut naik lebih dari 1 meter. Kenaikan air laut juga menyebabkan banjir rob di pesisir dan kontaminasi air tanah oleh air asin, hal ini tentu mengancam pertanian dan persediaan air bersih.

Gangguan Arus Laut Global Pelepasan air tawar ke samudera dari es yang mencair bisa mengganggu arus laut besar seperti Arus Teluk (Gulf Stream), yang mengatur iklim global.  Kehilangan Habitat seperti  Beruang kutub, anjing laut, walrus, dan spesies Arktik lainnya kehilangan habitat alami mereka karena es laut menghilang. Ini memicu ancaman kepunahan bagi banyak spesies. Dampak Jangka Panjang Banyak sungai utama dunia (seperti Sungai Gangga, Mekong, dan Yangtze) bergantung pada pencairan gletser musiman.

Baca juga: Pemukiman Terapung Suku Bajo Torosiaje Ternyata Adaptif Perubahan Iklim

Jika gletser hilang, ratusan juta orang akan menghadapi kekurangan air di masa depan. Percepatan Perubahan Iklim akan menyebabkan Kehilangan es dan mempercepat pemanasan global karena lebih banyak panas diserap Bumi (lebih sedikit cahaya yang dipantulkan). Daerah pesisir yang tenggelam dan kekurangan air bisa menyebabkan migrasi massal dan konflik sosial.

Contoh Kasus di Greenland dalam satu musim panas 2019. Greenland kehilangan lebih dari 532 miliar ton es — cukup untuk menaikkan permukaan laut global sekitar 1,5 mm hanya dalam satu tahun. Arktik Diperkirakan dalam dekade ini (2030-an), Arktik bisa mengalami musim panas tanpa es untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia modern. Sebagian besar gletser Himalaya diperkirakan akan menghilang 1/3-nya pada tahun 2100, bahkan jika dunia berhasil menahan pemanasan hingga 1,5°C.

Ketiga peningkatan Intensitas dan frekuensi bencana alam badai tropis, siklon, dan taifun menjadi lebih kuat dan lebih sering karena lautan yang lebih hangat. Fenomena seperti gelombang panas ekstrem, kebakaran hutan besar-besaran, dan badai salju aneh kini lebih sering terjadi di seluruh dunia.

Keempat, Pengasaman Laut Sekitar 25–30% emisi CO₂ yang dilepaskan manusia (termasuk dari China) diserap oleh laut. Ini menyebabkan pengasaman laut, yang mengancam kehidupan makhluk laut seperti terumbu karang, plankton, dan ikan yang ujungnya mengancam rantai makanan laut global.

Ilustrasi PLTU Captive di kawasan industri. (Foto: PIxabay.com)
Ilustrasi PLTU Captive di kawasan industri. (Foto: PIxabay.com)

Kelima, Gangguan Ekosistem Global Banyak spesies tumbuhan dan hewan kesulitan beradaptasi dengan perubahan suhu dan iklim ekstrim. Kontribusi emisi China mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss) yang berdampak pada keseimbangan ekosistem dunia.

Keenam; Kerugian Ekonomi Global Cuaca ekstrim, banjir, kekeringan, dan bencana lainnya menyebabkan kerusakan infrastruktur, menurunkan produktivitas pertanian, dan meningkatkan biaya asuransi serta bantuan kemanusiaan. Menurut berbagai studi ekonomi, biaya global akibat perubahan iklim akan sangat besar, dan emisi dari China menjadi salah satu faktor pendorong utama.

China, sebagai negara dengan kontribusi emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, memainkan peran krusial dalam mempercepat perubahan iklim global. Berbagai sektor  mulai dari energi berbasis batubara, transportasi masif, industrialisasi berat, pertanian intensif, hingga pembangunan urbanisasi besar-besaran — menjadi sumber utama pelepasan karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer.

Baca juga: Perdagangan Karbon Jalan Sesat Atasi Krisis Iklim

Dampak dari akumulasi emisi ini sangat nyata dan terasa di seluruh dunia. Peningkatan suhu global telah mempercepat peleburan es di Kutub Utara, Kutub Selatan, dan pegunungan besar dunia, menyebabkan kenaikan permukaan laut, hilangnya habitat es, dan gangguan pada pola arus laut global. Pada saat yang sama, perubahan suhu ini mendorong terjadinya cuaca ekstrem seperti gelombang panas, badai yang lebih kuat, kekeringan parah, dan banjir besar, yang mengancam ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, serta kesehatan dan keselamatan manusia.

Peleburan es bukan hanya mencerminkan gejala perubahan iklim, tetapi juga memperburuknya, berkurangnya lapisan es mengurangi albedo Bumi, mempercepat penyerapan panas, dan mendorong percepatan pemanasan global dalam siklus yang semakin sulit dikendalikan. Gangguan terhadap gletser pegunungan juga mengancam ratusan juta orang yang bergantung pada air hasil pencairan musiman untuk kebutuhan sehari-hari.

Secara keseluruhan, kontribusi besar gas rumah kaca dari China bukan hanya menjadi masalah domestik, melainkan masalah global yang mendesak. Karena atmosfer adalah sistem yang saling terhubung, setiap ton karbon yang dilepas di satu belahan dunia berdampak pada iklim, ekosistem, ekonomi, dan kehidupan manusia di seluruh planet. Oleh karena itu, pengurangan emisi besar-besaran dan pergeseran menuju energi bersih bukan hanya menjadi tanggung jawab China, tetapi juga bagian dari upaya global untuk menjaga stabilitas iklim dan keberlanjutan kehidupan di Bumi.

 


Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.

Alumnus Magister Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta