Hutan alam yang menutupi daratan Kepulauan Aru. (Foto: Azis Fardhani/FWI)
Hutan alam yang menutupi daratan Kepulauan Aru. (Foto: Azis Fardhani/FWI)

Perdagangan Karbon Jalan Sesat Atasi Krisis Iklim

  • Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai,  perdagangan karbon alih-alih jadi jalan mitigasi perubahan iklim, sebaliknya sebagai jalan sesat atasi krisis iklim.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, upaya pemerintah mempersiapkan perdagangan karbondengan menyampingkan pemulihan perusakan sistematis sosial-ekologis adalah jalan sesat atasi krisis iklim.
  • Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, perdagangan karbon akan merusak hubungan antara masyarakat adat dan hutan yang merupakan ruang hidup mereka.
  • Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional juga menilai, perdagangan karbon sebagai upaya mempertahankan dan memperpanjang ekstraktivisme dengan menjaga sikut kapital tetap dikendalikan negara-negara maju atau industrinya.  

Indonesia telah mempersiapkan sedemikian rupa kebijakan serta mekanisme perdagangan karbon di Indonesia untuk bisa menemukan standar Internasional terkait kredit karbon. Bahkan, pemerintah berencana akan meluncurkan pasar karbon pada September ini. Perdagangan karbon diklaim sebagai jalan mitigasi perubahan iklim, namun bagi sejumlah organisasi masyarakat sipil perdagangan karbon adalah jalan yang sesat atasi krisis iklim.

“Kami menganggap, perdagangan karbon sebagai jalan sesat dalam mengatasi krisis iklim. Perdagangan karbon hanya menjadi alat untuk mempertahankan ekstraktivisme dan finansialisasi alam, sembari mengenalkan praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu dari pemasaran hijau (greenwashing),” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional pada awal Agustus lalu.

Sejak tahun 2016, Indonesia memang mulai menginisiasi perdagangan karbon saat secara resmi meratifikasi Paris Agreement untuk mengatasi perubahan iklim melalui Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Pemerintah Indonesia pun membuat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk menempatkan fungsi layanan hutan menjadi jasa yang dikonversi menjadi nominal tertentu.

Setelah itu, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang dan peraturan dari berbagai Kementerian terkait untuk melengkapi kerangka kebijakan perdagangan karbon. Misalnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang mencakup aturan mengenai Bursa Karbon; serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang juga mengatur tentang Pajak Karbon.

Tidak hanya itu, ada juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional; dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Sub Sektor Pembangkit Tenaga Listrik.

Dalam sektor Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 168/MENLHK/PKLT/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE.5/MENLHK/SETJEN/PPI.3/5/2023 tentang Aksi Iklim dan Tata Kelola Kerjasama Karbon, yang disebar kepada semua Gubernur di Indonesia.

Semua kebijakan yang dibuat untuk mendukung perdagangan karbon itu diklaim sebagai langkah nyata untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah dampak krisis iklim. Padahal, kata Uli, pelepasan emisi karbon bukan sekadar melepas GRK ke udara, namun terkait pula dengan perusakan sistematis sosial-ekologis. Ia bilang, emisi GRK dan emisi karbon sama-sama bermasalah, tetapi proses pelepasan emisi karbon acapkali menimbulkan turunnya kemampuan satu wilayah menghadapi krisis iklim.

“Penurunan emisi GRK adalah keharusan, tetapi bukan jalan satu-satunya. Pemulihan kemampuan lingkungan dan sosial dalam menghadapi krisis iklim juga merupakan kemutlakan. Emisi GRK serta perusakan lingkungan dan sosial tak bisa dipisahkan, layaknya dua sisi mata uang,” jelas Uli

Menurutnya, logika pemerintah dalam memahami proses pelepasan gas rumah kaca sebagai bagian tak terpisahkan dari perusakan lingkungan dan sosial harus dipertanyakan. Misalnya, apakah kebijakan yang dipilih pemerintah untuk menghentikan pelepasan emisi melalui perdagangan karbon itu sekaligus dengan memulihkan efek kerusakan sosial-ekologisnya di satu wilayah (geografis) yang sama?

Sebaliknya, apakah kebijakan itu bentuk dari pembiaran pelepasan emisi serta efek kerusakan sosial-ekologisnya di satu wilayah, tapi sebagai kompensasi menggantinya dengan pengurangan emisi dan perlindungan perbaikan ekosistem di wilayah geografi lain?. Uli bilang, upaya pemerintah mempersiapkan perdagangan karbon sebagai dengan menyampingkan pemulihan perusakan sistematis sosial-ekologis adalah jalan sesat pertama atasi krisis iklim.

Hutan alam yang menutupi daratan Kepulauan Aru. (Foto: Azis Fardhani/FWI)
Hutan alam yang menutupi daratan Kepulauan Aru. (Foto: Azis Fardhani/FWI)

“Jika ditelusuri lebih jauh atas dokumen-dokumen negara, akan ditemukan bahwa persoalan pencemaran dan perusakan sosial-ekologis bentang alam di tempat sumber emisi (in situ) menjadi sekadar masalah emisi karbon. Perspektif yang bersifat reduksionis inilah yang menjadi landasan pikir pemerintah dalam upaya penyelesaian krisis iklim,” katanya

Selanjutnya, kata Uli, jalan sesat kedua adalah pengurangan emisi dipisahkan dari agenda pemulihan alam dan sosial. Sederhananya, penyelesaian krisis iklim dilakukan hanya terpusat pada upaya menurunkan emisi tanpa memperhatikan keselamatan dan keberlanjutan sosial-ekologis di tempat sumber emisi (in situ) maupun wilayah lain (ex situ).

Artinya, pengurangan emisi adalah agenda yang diperbolehkan merusak wilayah lain, yang dapat menurunkan kemampuan alam dan manusia secara drastis menghadapi krisis iklim, bahkan bisa menyebabkan kepunahan. Ia bilang, pemerintah Indonesia lebih memfokuskan diri pada perdagangan karbon untuk penanganan krisis iklim, bukan kepada pemulihan perusakan sosial-ekologis.

“Agenda ini, jika kita benturkan pada kenyataan bahwa pelepasan emisi dan proses perusakan sosial- ekologis bersifat sistematis, secara gamblang bisa kita lihat bahwa perdagangan karbon bukanlah sarana penting mengatasi krisis iklim,” katanya

Inisiasi perdagangan karbon sebenarnya berawal dari Protokol Kyoto 1997. Saat itu, Protokol Kyoto menjadi menjadi basis operasional Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau (UNFCCC) yang mengatur hak mencemari udara yang dulunya diberi cuma-cuma kini bersifat eksklusif dan terbatas, serta membentuk mekanisme pasar yang fleksibel, didasarkan pada perdagangan emisi. Sederhananya, pendekatan yang diadopsi dunia untuk mengurangi emisi GRK adalah melalui perdagangan berbasis pasar.

Perdagangan emisi ini merupakan sebuah mekanisme yang ditujukan untuk menjual belikan izin dalam melakukan pencemaran dan menjual karbon. Ada sejumlah metode yang ditawarkan oleh UNFCCC, yaitu; Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan metode dengan membuat proyek yang ramah lingkungan di negara berkembang. Misalnya, membangun pembangkit listrik tenaga angin di India, atau tenaga surya di Tiongkok. Bantuan itu menjadi bentuk dari menambal Offset dari negara maju yang emisinya sudah melebihi batas.

Selain itu, ada juga metode Cap and Trade atau ‘batasi dan dagangkan. Metode itu merupakan perdagangan “hak emisi” oleh perusahaan kepada perusahaan lainnya, ataupun negara ke negara lainnya. Misalnya, Negara-negara atau perusahaan-perusahaan yang hak emisinya surplus dapat mendagangkannya kepada negara-negara atau perusahaan-perusahaan yang emisinya melebih batas (Offset) yang telah ditetapkan.

Tak hanya itu, ada juga metode Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang diklaim sebagai penyeimbang massa karbon dioksida GRK yang menumpuk di atmosfer. Skema ini membuat korporasi yang hendak mencuci dosa menginvestasikan dananya untuk mencegah kerusakan hutan di negara berkembang penghasil karbon, terkhusus negara-negara pemilik hutan tropis besar, salah satunya Indonesia. Artinya, hutan dijadikan objek proyek, atau lebih tepatnya komoditas.

Sama dengan CDM, skema REDD+ ini memberikan kesempatan kepada perusahaan yang menjaga hutan dapat menambahan jatah emisi atau kredit karbon bagi industri mereka. Hal ini yang mengabaikan fakta terkait sumber karbon dioksida yang sebenarnya berasal dari; perusahaan bahan bakar fosil, perkebunan monokultur sawit skala besar, logging, pabrik semen, pertambangan batubara, emas, nikel, serta aktivitas negara-negara industri sebagai penyumbang sebagian besar karbon GRK yang berakibat pada krisis iklim.

“Perusahaan atau negara-negara industri khawatir jika ekstraksi batubara, minyak bumi, gas atau monokultur sawit skala besar serta industri ekstraktif lainnya harus diakhiri. Sehingga, REDD+ dipakai untuk menunda keputusan yang tidak terhindarkan ini dengan berpura-pura melindungi hutan atau menanam jutaan pohon yang dianggap dapat membatalkan krisis iklim,” jelas Uli. Seharusnya, negara maju dan korporasi yang menurunkan secara drastis emisi mereka, bukan ke negara-negara berkembang, karena mereka yang memulai proses awal industrialisasi

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Penggusuran Masyarakat

Bukan hanya itu saja, perdagangan karbon yang digadang Pemerintah Indonesia sebagai salah satu solusi krisis iklim berpotensi menggusur dan merampas tanah dan hutan yang dikelola masyarakat adat dan komunitas lokal. Pasalnya, perdagangan karbon didasarkan pada lanskap dan izin konsesi kehutanan yang dikelola oleh perusahaan yang akan menguasai tanah atau hutan. Penguasaan lahan dan hutan untuk di privatisasi akan memperpanjang cerita perampasan tanah dan hutan serta pelanggaran hak asasi manusia.

Salah satu contoh adalah, Katingan Mentaya Project di Kalimantan Tengah yang merupakan salah satu proyek REDD+ terbesar di dunia. Proyek yang dikelola PT Rimba Makmur Utama (PT RMU) sejak 2013 ini mendapat Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) seluas 100.000 hektar untuk restorasi dan konservasi gambut. Proyek dari kemitraan PT RMU, Wetlands International, Puter Foundation, dan Permian Global ini juga kembali mendapatkan lahan seluas 500.000 hektar untuk izin yang sama.

Menurut data Walhi, bisnis jual beli karbon di Katingan Mentaya Project ini diminati perusahaan bonafit dunia yang hendak mencuci dosa, yaitu; Shell, salah satu perusahaan minyak asal belanda, dan perusahaan otomotif Volkswagen. Namun, proyek ini disinyalir merampas tanah milik masyarakat adat Dayak Misi. Pada 2014, Gubernur Kalimantan Tengah sepakat bahwa setiap keluarga Dayak akan diizinkan mengolah lima hektar lahan, tapi lokasi pasti tanah itu tidak disepakati. Titik api kebakaran hutan dan lahan juga masih bisa ditemukan dalam areal konsesinya.

Hal serupa juga terjadi di Proyek REDD+ yang dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) di Jambi. Proyek perdagangan karbon yang lebih dikenal dengan “Hutan Harapan” ini mendapatkan izin Restorasi Ekosistem melalui SK Menhut No 327/Menhut-II/2010 25 Mei 2010 mengenai IUPHHK Restorasi Ekosistem Hutan seluas 46.385 hektar. Namun, alih-alih menghentikan deforestasi dan degradasi, proyek ini mengalami kerusakan akibat aktivitas pembuatan jalan angkut tambang batubara sepanjang 26 kilometer dengan lebar 60 meter.

Ironisnya, proyek tersebut mengakibatkan 1300 flora dan 620 fauna dari ekosistem hutan di Hutan Harapan terancam punah. Selain itu, kayu hutan sekunder yang nilainya lebih dari Rp 400 miliar juga hilang. Proyek ini juga telah berkali-kali melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat. Sejak tahun 2010 hingga 2012, ada sekitar 19 orang warga yang ditangkap oleh aparat kepolisian karena berkonflik dengan PT. REKI.

Selain itu, proyek Lahan Gambut Sumatra Merang di Sumatera Utara yang dikelola Forest Carbon dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk diprediksi juga mengalami hal serupa. Proyek perdagangan karbon dengan seluas 22.922 hektar ini akan menyingkirkan masyarakat yang hidup di wilayah sekitar, serta melanggengkan konflik di wilayah-wilayah ekstraksi pertambangan dan perkebunan sawit milik PT Saratoga. Apalagi, kemitraan Forest Carbon dengan Saratoga akan mengekspansi hutan di Kalimantan dan Papua, serta di seluruh Asia Tenggara.

Walhi mencatat, saat ini sudah ada 16 izin konsesi restorasi ekosistem dengan luasan 624.012 hektar di Indonesia. Ironisnya, izin-izin itu bisa bertambah dengan adanya kebijakan perizinan kehutanan yang multidimensi. Misalnya, satu perusahaan pemegang izin Perizinan Berusaha Pengusahaan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH- HT) dapat melakukan aktivitas pengambilan hutan alam, penanaman kebun kayu, dan berdagang karbon secara bersamaan, hanya dengan menyatakan apa saja aktivitas mereka tersebut dalam rencana kerja tahunan.

Hal itu seperti yang dilakukan oleh Melchor Grup di Maluku, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Merauke yang memanfaatkan rezim perizinan multiusaha. Melchor group bekerjasama dengan PT. Talisan Emas sebagai pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau yang saat ini disebut PBPH-HT, seluas seluas 54.000 hektar di Kepulauan Aru, Maluku untuk proyek perdagangan karbon.

Spot deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. (Foto: Auriga Nusantara)
Spot deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. (Foto: Auriga Nusantara)

Selain itu, seluas 591,957 hektar wilayah hutan adat dari masyarakat Aru telah dikapling menjadi proyek karbon oleh Melchor grup dengan nama Cendrawasih Aru Project. Di Merauke, Melchor group juga memiliki proyek karbon bekerjasama dengan Medco Group sebagai pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas 170.000 hektar. Potret perizinan kehutanan yang multidimensi dengan berpura-pura melindungi hutan inilah yang bisa memicu penggusuran masyarakat adat dan komunitas lokal.

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, perdagangan karbon akan merusak hubungan antara masyarakat adat dan hutan yang merupakan ruang hidup serta wilayah kelola mereka. Masyarakat adat mamandang hutan bukan hanya dari segi ekonomi, tapi juga segi religius, historis, kultural, dan ekologi. Arman bilang, hutan adalah identitas masyarakat adat yang diwarisi leluhur untuk keberlangsungan hidup dan generasi mereka.

“Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan mangamini perdagangan karbon menjadi satu mekanisme pasar membuat hubungan masyarakat adat dan hutan serta sumber daya alam akan terputus. Ada sekitar 80 persen masyarakat adat tinggal di kawasan hutan,” kata Muhammad Arman awal Agustus lalu.

Tak hanya itu, kata Arman, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon menjelaskan hak atas karbon itu adalah milik negara. Sedangkan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 yang mengakui hutan adat dan wilayah adat, dan bukan milik negara. Katanya, kebijakan itu sama-sama bertolak belakang, karena karbon bagian yang tak terpisahkan dari sekumpulan hak masyarakat adat yang bersumber dari hutan adat mereka.

Arman bilang, pihaknya pernah melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) soal Perpres tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, tapi upaya itu ditolak. Ia menegaskan, perdagangan karbon merupakan sebuah upaya kolonialisasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap penguasaan lahan dan hutan, serta ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal untuk dikomodifikasi serta memprivatisasinya sedemikian rupa menjadi unit untuk dijual di pasar keuangan.

“Perdagangan karbon adalah solusi palsu mengatasi krisis iklim, karena dalam implementasinya tidak diimbangi dengan upaya pemulihan hak dan pengakuan serta perlindungan masyarakat adat yang selama ini menjaga ekosistem hutan,” tegas Arman

Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional juga menilai, perdagangan karbon sebagai upaya untuk mempertahankan dan memperpanjang ekstraktivisme dengan menjaga sikut kapital tetap dikendalikan oleh negara-negara maju atau industrinya. Pasalnya, urusan perdagangan karbon ini tidak ada hubungannya dengan masyarakat adat, karena semuanya kan dipegang kendalinya oleh industry melalui negara.

“Kita semua yang terdampak dengan krisis iklim, tapi dalam merumuskan solusinya, alih-alih melibatkan masyarakat, namun yang terjadi justru memicu perluasan kerusakan bagi ruang hidup masyarakat adat,” kata Melky Nahar

Kondisi Danau Toju yang sudah kering dan dikelilingi perkebunan sawit milik PT. Sawit Jaya Abadi 2 yang berada di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. (Foto: Sarjan Lahay)
Kondisi Danau Toju yang sudah kering dan dikelilingi perkebunan sawit milik PT. Sawit Jaya Abadi 2 yang berada di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. (Foto: Sarjan Lahay)

Melky bilang, dengan adanya perdagangan karbon, maka industri yang menjadi perusak hutan itu bisa dianggap sebagai penjaga hutan. Padahal, perdagangan karbon merupakan solusi palsu dalam menghadapi krisis iklim, dan justru akan memicu persoalan baru, yaitu; perampasan lahan dan penyingkiran masyarakat adat dan komunitas lokal. Skema atau upaya untuk mengatasi krisis iklim ini terlalu beresiko jika hanya diserahkan ke negara. Katanya, akan terlalu banyak hak yang akan dikorbankan.

Menurut Melky, Pemerintah Indonesia cenderung tidak mau menyentuh akar persoalan yang sebenarnya untuk mengatasi krisis iklim. Padahal, industry-industri ekstraktif yang menjadi pemicu utama bumi ini semakin sakit, karena telah membongkar hutan dan menghancurkan ruang hidup masyarakat adat, nelayan, dan petani. Anehnya, kata Melky, yang berkepentingan untuk mengatasi krisis iklim jadi korporasi industri melalui perdagangan karbon yang juga ikut perampasan tanah dan hutan masyarakat.

Roni Septian, Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menganggap hal serupa. Katanya, perdagangan karbon adalah kamuflase oleh perusahaan-perusahaan perampas tanah, hutan, polutan, untuk menutupi krisis ekologi dan sosial yang sesungguhnya. Ia bilang, perdagangan karbon menjadi penyebab konflik agraria berikutnya yang akan terjadi Indonesia.

Data KPA menyebut, pada 2022 lalu, luas wilayah yang terdampak oleh konflik agraria naik 100 persen dari tahun sebelumnya. Sementara korbannya naik menjadi 43 persen. Secara detail, ada 212 letusan konflik agraria sepanjang 2022 di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi. Konflik tersebut terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia di atas tanah seluas 1.035.613 hektar. Masyarakat yang terdampak konflik agraria setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).

“Jika pemerintah memang berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim, harusnya mereka mencabut izin-izin perusahaan tambang dan sawit yang ada di kawasan hutan, dan lahan-lahan itu dikembalikan ke petani, masyarakat adat. Tapi, kenapa pemerintah harus mencari jalan memutar melalui skema perdagangan karbon,” kata Roni Septian

Dengan melihat dinamika yang terjadi saat ini, Walhi, Aman, Jatam, KPA, sama-sama menegaskan, bahwa perdagangan karbon adalah jalan yang sesat atasi krisis iklim. Kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu sama-sama menyuarakan, harusnya Pemerintah Indonesia berhenti menerbitkan izin usaha pertambangan, hak guna usaha perkebunan sawit monokultur, izin di sektor kehutanan, pembangkitan listrik berbasis batubara dan gas, serta pembangunan industrial lainnya yang dibalut Proyek Strategis Nasional (PSN). Bukan mala melakukan perdagangan karbon.

“Pemerintah Indonesia harus benar-benar berhenti membongkar fosil dari dalam tanah. Sebab, jika pembongkaran karbon fosil di bawah tanah dan mengubahnya menjadi batubara, energi listrik, bensin, solar, dan kemudian membakarnya menjadi bahan bakar fosil, maka karbon itu akan tetap berada di atmosfer dalam waktu yang sangat lama,” kata Uli Arta Siagian

Pemerintah Indonesia juga diminta untuk rekognisi hak masyarakat adat dan komunitas lokal serta melindungi praktik-praktik yang dilakukan dalam menjaga hutan. Pasalnya, dari tangan-tangan merekalah yang selama ini menjaga dan memulihkan hutan tersisa di Indonesia. Uli bilang, langka yang keliru itu jika korporasi yang diberikan hak untuk mengkonservasi hutan melalui izin-izin restorasi ekosistem, yang justru menggusur rakyat demi perdagangan karbon.

“Negara-negara maju juga seharusnya mengoreksi kebijakan mereka yang terus mempertahankan industri fosil sembari mendapatkan keuntungan dari praktik perdagangan karbon dengan skema offset. Pertanggungjawaban mutlak atas loss and damage harus ditujukan pada pemulihan alam dan pemulihan hak rakyat yang selama ini terlanggar,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.