Pemukiman Terapung Suku Bajo Torosiaje Ternyata Adaptif Perubahan Iklim

Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono
Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono
  • Dampak perubahan iklim mulai terlihat di pesisir Indonesia. Banyak pemukiman di daerah  pesisir terendam maupun terkena abrasi. Di Teluk Tomini, ada pemukiman terapung Suku Bajo. Pemukiman ini dinilai adaptif perubahan iklim.
  • Ratusan rumah berjejer rapi di perairan Teluk Tomini sekitar 600-an meter dari daratan. Rumah-rumah itu adalah pemukiman Suku Bajo. Suku ini jadikan laut sebagai ruang hidup. Ia tepatnya berada di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo.
  • Umar Mt dosen Prodi Arsitektur Universitas Ichsan Gorontalo (Unisan) penelitian di Desa Torosiaje menemukan, bentuk pemukiman terapung Bajo tidak mudah terkikis dengan dampak perubahan yang terjadi di pesisir.
  • Untuk pengembangan hanya bisa pada ruang yang berada di sebelah kiri, kanan dan belakang dari pemukiman Desa Torosiaje. Bagian depan tidak boleh karena 500 meter ke depan dari ujung pemukiman sudah berupa terumbu karang yang tidak boleh untuk mendirikan bangunan.

Ratusan rumah semi permanen tertata rapi diatas laut Teluk Tomini sekitar dari 600-an meter dari daratan. Rumah-rumah itu merupakan pemukiman Suku Bajo, atau manusia-manusia yang menjadikan laut sebagai tempat tinggalnya di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Pemandangan itu terlihat dari udara dengan menggunakan Drone kala mendatangi lokasi itu pada akhir Oktober lalu.

“Pemukiman itu sudah ada sejak tahun 1901 yang dihuni oleh masyarakat Suku Bajo. Wilayah itu dipilih karena sangat strategis untuk dijadikan pemukiman untuk masyarakat Suku Bajo yang sudah terbiasa hidup diatas laut,” kata Umar Pasandre, salah satu Tokoh Suku Bajo kepada Mongabay

Suku Bajo adalah kelompok pelaut pengembara yang tersebar di dunia yang berasal dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Keberadaan mereka pertama kali dicatat oleh penjelajah Venesia, Antonio Pigafetta, pada awal abad ke-16. Di Kepulauan Nusantara, Indonesia, mereka menyebar ke Sumatera, Riau, Maluku, Flores, dan Sulawesi, termasuk di Gorontalo.

Suku yang juga dijuluki sebagai penyelam handal ini memiliki kearifan lokal dan warisan kebudayaan yang menginspirasi James Cameron untuk membuat film blockbuster tahun 2022, Avatar: The Way of Water. Mereka menjadikan laut sebagai tempat penghidupan, sekaligus tempat tinggalnya, seperti di Desa Torosiaje.

Dalam sebuah penelitian dari Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo menyebutkan, Suku Bajo sudah menempati sebuah teluk di wilayah barat Gorontalo itu sejak 1901. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi mengorganisir pemukiman para pelaut Bajo ke dalam sebuah desa yang disebut Toro Siajeku, yang belakangan disebut Desa Torosiaje.

Nama Desa Torosiaje berasal dari Bahasa Bajo, yaitu Toro yang berarti Tanjung dan Siaje berarti Persinggahan. Awalnya, Suku Bako di wilayah itu hanya berjumlah sekitar 11 kepala keluarga dengan jumlah jiwa sebanyak 35 yang menempati wilayah itu. Namun, seiring berjalannya waktu, rekan mereka dari Sulawesi Tengah datang dan ikut menempati teluk itu.

“Suku Bajo yang menetap di Torosiaje saat ini, dahulu hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan perahu tradisional. Pada 1901 itu pun Suku Bajo masih tinggal diatas perahu sampai pada tahun 1930-an,” kata Umar Pasandre.

Pada awal tahun 1935, kata Umar, Suku Bajo mulai membangun Babaroh yang merupakan tempat tinggal sementara untuk istirahat dan mengolah hasil laut. Konstruksi tempat tinggal mereka berasal dari lingkungan sekitarnya seperti kayu dari pohon mangrove sebagai tiang penyangga, rumbia untuk penutup atap dan bambu sebagai lantai atau dinding.

Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono
Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono

Saat merasa puas dengan hasil laut di Torosiaje, kelompok pengembara pelaut yang telah mengarungi perairan di lepas pantai Pulau Sulawesi, dan lebih jauh lagi selama berabad-abad, akhirnya memilih menetap di wilayah itu.

Umar bilang, Suku Bajo memiliki kearifan lokal tersendiri dalam memilih suatu tempat untuk dijadikan sebuah pemukiman. Dari kearifan lokal itu, mereka mengembangkan hunian dari babaroh menjadi papondok, yang bentuk huniannya sudah lebih besar dari sebelumnya, namun material konstruksinya masih sama.

Dengan berjalannya waktu, kata Umar, pemukiman terapung Suku Bajo di Desa Torosiaje mulai berkembang menjadi rumah panggung dengan tinggi sekitar 3-4 meter yang tetap dibangun di atas laut. Meskipun begitu, katanya, mereka tetap mempertahankan pola kehidupan tradisional yang merupakan suatu kebiasaan atau tradisi secara turun temurun.

“Suku Bajo membangun rumah-rumah panggung yang sekarang ini tetap berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya adalah menentukan zona pemukiman yang bisa terhindar dari berbagai bencana pesisir,” jelas Umar

Dengan meningkatnya jumlah penduduk, pemukiman Desa Torosiaje pun ikut berkembang. Jika dilihat dari udara, pemukiman Suku Bajo ini berbentuk linear dengan susunan rumah berderet seperti menyerupai huruf “U” yang langsung menghadap ke laut lepas teluk Tomini.

Di sisi kanan dan kiri diapit oleh dua buah sungai yaitu sungai Popayato dan sungai Dudewulo. Didepanya terdapat dua buah pulau yaitu Pulau Iloluta dan Pulau Ilosangi. Masyarakat Desa Torosiaje hanya menamakan dua pulau itu dengan sebutan Pulau Besar dan Pulau Kecil.

Dalam pola pemanfaatan ruang terbuka di desa ini terdiri dari dua jalur sirkulasi, yaitu; sirkulasi darat dan dan jalur sirkulasi laut. Sirkulasi darat jadi untuk penghubung ke setiap unit rumah berupa prasarana jembatan, sedangkan jalur sirkulasi laut berfungsi menghubungkan pemukiman desa torosiaje dengan daratan yang menggunakan perahu sebagai transportasi utama.

Rumah-rumah di pemukiman terapung ini tersebar secara padat dengan jarak rumah antar 2-3 meter dengan susunan unit-unit rumah berbentuk lajur atau linear mengikuti jalur Sirkulasi darat atau berupa jembatan yang menjadi penghubung antar unit rumah.

Pemukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pemukiman Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Pasalnya, rumah di pemukiman ini semuanya berbentuk rumah panggung yang berbahan dari kayu dengan model atap berbentuk pelana dan sebagian berbentuk perisai yang berbahan seng dan rumbia. Rata-rata ketinggian tiang rumah Suku Bajo ini sekitar 3-4 meter yang ditancapkan ke dasar perairan sedalam 1-3 meter.

Tak hanya itu, di dalam pemukiman Desa Torosiaje terdapat juga ruang terbuka berupa lapangan yang difungsikan untuk fasilitas olahraga, sosial, bermain. Umar bilang, pemanfaatan ruang permukiman dan bangunan lainnya hanya bisa dibangun di sepanjang tanjung yang berbentuk menyerupai huruf “U” tersebut.

“Sedangkan untuk pengembangannya hanya bisa dibangun pada ruang yang berada di sebelah kiri, kanan dan belakang dari pemukiman Desa Torosiaje. Sementara untuk bagian depan tidak dibolehkan karena 500 meter kedepan dari ujung pemukiman tersebut sudah berupa terumbu karang yang tidak boleh untuk mendirikan bangunan,” jelas Umar

Selain itu, dari atas udara juga terlihat antar Desa Torosiaje dengan daratan, terdapat hutan bakau yang berfungsi menjadi benteng penyanggah dari erosi pantai atau laut. Desa ini memiliki panjang kurang lebih 2 kilometer dengan jumlah rumah sekitar 245 unit.

Sebenarnya, Pemerintah sempat mencoba merelokasi Suku Bajo untuk dipindahkan ke daratan. Namun, kebijakan tersebut menuai reaksi pro dan kontra di antara sesama mereka. Suku Bajo yang pro terkesan menerima kebijakan pemerintah karena merasa tidak berdaya.

Sedangkan Suku Bajo yang kontra terhadap kebijakan itu tetap menolak dengan alasan mereka akan kehilangan jati diri dan basis budaya karena entitas budaya mereka tidak bisa dilepaskan dari laut.

Berkat perjuangan yang sangat panjang, negosiasi dengan pemerintah daerah dan pusat akhirnya kebijakan hanya bersifat pilihan. Artinya yang ingin pindah disediakan lahan di daratan, tetapi yang tidak mau pindah tetap dibiarkan tinggal di atas laut.

Berdasarkan hal tersebut Suku Bajo yang berada di Kecamatan Popayato akhirnya mendiami dua desa yakni Desa Torosiaje (di laut dengan jarak kurang lebih 600 meter dari daratan) dan Desa Torosiaje Jaya di darat.

Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono
Pemukiman Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Foto: Tommy Pramono

Adaptif Perubahan Iklim

Menariknya, Pemukiman Terapung Suku Bajo di Desa Torosiaje ini ternyata sangat adaptif dengan perubahan iklim. Hal tersebut berdasarkan penelitian hasil Umar Mt Dosen Prodi Arsitektur Universitas Ichsan Gorontalo (Unisan).

Penelitiannya berjudul “Pola Pemanfaatan nan Penataan Ruang Kawasan Pemukiman Terapung yang Adaptif Terhadap Perubahan Iklim” dengan mengambil studi kasus di Pemukiman Desa Torosiaje di Kabupaten Pohuwato.

Hasil penelitian itu menyebutkan, tata letak pemukiman Desa Torosiaje yang berada agak menjorok keluar dari bibir pantai atau tidak berhubungan langsung dengan daratan itu sangat adaptif dengan perubahan iklim. Pemukiman itu disebutkan tidak akan terpengaruhi dengan bencana pasang surut air laut.

Pasalnya, dua pulau yang berada di depan permukiman Suku Bajo itu juga ternyata memiliki fungsi untuk melindungi Desa Torosiaje dari angin barat dan angin timur. Selain itu, terumbu karang yang didepan desa itu juga ternyata berfungsi untuk menahan dan memecah ombak sebelum masuk ke pemukiman terapung itu.

Di belakang dari pemukiman ini ternyata terdapat dua gunung kembar yang digunakan Suku Bajo sebagai penunjuk arah untuk pulang dan pergi melaut. Gunung tersebut disebut gunung ganakan yang berada di atas Desa Dombalo.

“Dua gunung kembar yang digunakan Suku Bajo sebagai penunjuk arah untuk pulang-pergi melaut karena mereka tidak menggunakan kompas,” Tulis Umar Mt dalam penelitiannya

Selain itu, pola bentuk bangunan dan pola sirkulasinya di kawasan pemukiman terapung Torosiaje juga disebut sangat adaptif dalam menanggapi terjadinya perubahan iklim. Artinya, pemukiman terapung Suku Bajo di Torosiaje tidak mudah terkikis dengan dampak perubahan yang kerap terjadi di wilayah pesisir.

Pasalnya, saat ini memang Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim khususnya di wilayah pesisir. Data BPS (2022) menyebut sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter diatas permukaan laut.

Disisi lain, kajian USAID (2016) menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2,000 pulau kecil pada tahun 2050, yang berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya.

Namun, penelitian Umar Mt diatas sangat optimis menyebutkan, pemukiman terapung Suku Bajo di Desa Torosiaje mungkin salah satu pemukiman yang akan bertahan dengan berbagai guncangan iklim seperti badai dan dan erosi.

Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Hidup Orang Bajo bergantung laut. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Orang Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Hidup Orang Bajo bergantung laut. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Penelitian Muh. Rizal Mahanggi, Dosen Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Negeri Gorontalo juga menemukan bagaimana Suku Bajo di Torosiaje miliki strategi tersendiri dalam menata permukiman yang menyesuaikan dengan kondisi iklim laut.

Dimana, dinding papan yang tipis yang digunakan di rumah tinggal Suku Bajo ini ternyata berfungsi sebagai pelindung untuk menangkap angin sepoi-sepoi dan sebagai fasilitas pelepasan panas.

Adapun bentuk rumah tinggal yang menyediakan fasilitas aliran udara dari bawah (kolong) ternyata juga berfungsi sebagai Akuarium. Desain atap yang tinggi dengan sudut 45 derajat ternyata berfungsi melindungi rumah dari hujan yang deras dan juga menjauhkan bangunan dari panas.

Zulfikar Niode, dari Architecture Peduli Lingkungan Gorontalo (Archipelago) sependapat dengan penelitian itu. Ia mengaku hunian Suku Bajo yang menggunakan rumah panggung di wilayah barat Gorontalo itu sangat adaptif dengan perubahan iklim.

Penempatan lokasi pemukiman itu, kata Zulfikar, merupakan salah satu hasil dari kearifan lokal atau keahlian suku bajo yang hanya dimiliki oleh mereka saja. Ia bilang, arsitektur hunian Suku Bajo di Desa Torosiaje itu juga ternyata menjawab berbagai permasalahan permukiman di wilayah pesisir.

Misalnya, permasalahan mengenai kebutuhan luas lahan pemukiman seiring bertambahnya jumlah penduduk. Juga permasalahan reklamasi pantai yang kerap menjadi solusi yang keliru karena banyak mengakibatkan kerugian, salah satunya kerusakan ekosistem laut.

Menurut Zulfikar, Suku Bajo di Desa Torosiaje menciptakan solusi dari berbagai permasalah tersebut. Bahkan, katanya, pola pemanfaatan dan penataan ruang diatas laut yang dibuat oleh suku pengembara laut itu bisa beradaptasi dengan perubahan iklim di wilayah pesisir.

Ia menjelaskan, perubahan iklim memang sangat mempengaruhi dalam perencanaan tata ruang. Pasalnya, rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya.

Perempuan Bajo di Desa Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo.. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Bajo di Desa Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo.. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Salah satunya, kata Zulfikar, hunian Suku Bajo di Torosiaje yang berbentuk huruf “U” dalam ilmu arsitektur dapat menjadi salah satu solusi untuk meminimalisir hawa panas dari angin laut. Artinya, bentuk pemukiman terapung yang berbentuk “U” itu berfungsi sebagai ruang penghawaan alami.

“Pemukiman berbentuk “U” berfungsi menjadi ventilasi silang dalam pemukiman Suku Bajo di Torosiaje. Dengan itu, di dalam rumah-rumah mereka juga tidak akan terasa panas,” kata Zulfikar Niode kepada Mongabay, 4 November lalu

Selain itu, katanya, rumah panggung yang digunakan Suku Bajo di Torosiaje termasuk bentuk rumah yang kokoh, jika dibandingkan dengan bentuk hunian pada umumnya yang menggunakan material beton.

Ia bilang, rumah panggung bisa elastis jika ada bencana gempa bumi, apalagi material kayu yang menjadi tiang dari rumah itu ditanam di tanah berpasir dengan sangat dalam. Dengan itu, katanya, struktur bangunan rumah Suku Bajo di Torosiaje tidak mudah roboh.

Bukan hanya itu, katanya, suku penyelam ulung ini juga memiliki aturan khusus setiap orang yang ingin membangun rumah di desa terapung tersebut. Misalnya, apapun dalilnya, hanya orang berdarah Suku Bajo asli yang diperbolehkan untuk membangun rumah di wilayah itu..

“Kecuali, dalam satu keluarga atau pasangan, istri atau suaminya yang berdarah Suku Bajo, baru bisa membangun rumah di Desa Torosiaje. Hal ini termasuk orang yang ingin membangun sektor wisata,” jelas Zulfikar

Umar Pasandre pun membenarkan hal itu. ia bilang, pola adaptif oleh masyarakat Suku Bajo di Torosiaje adalah pola adaptif budaya dan pola adaptif tingkah laku. Katanya, pola adaptif itu tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat Suku Bajo dan berkembang sesuai dengan tantangan yang dihadapinya.

Umar bilang, letak dan posisi pemukiman Desa Torosiaje; baik arah dan bentuk bangunan; pola tata massa bangunan; serta batas area pengembangan permukiman, adalah bentuk kearifan lokal yang dimiliki Suku Bajo. Katanya, hal itu secara turun temurun diwariskan hingga ke generasi sekarang.

Akan tetapi, menurut Zulfikar, masyarakat Suku Bajo di Torosiaje perlu memikirkan soal sanitasi yang belum sepenuhnya diperhatikan secara serius di pemukiman mereka. Pasalnya, selama ini sanitasi masih saja dibuang ke laut. Padahal, katanya, hal itu pasti akan berdampak ke lingkungan.

“Secara arsitektural, sanitasi yang masih dibuat ke laut seperti itu pasti akan berdampak ke kesehatan. Karena model sanitasi begitu belum masuk dalam rumah kategori sehat sederhana,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.