Nasib Nelayan Tuna Gorontalo, Terdampak Krisis Iklim hingga Dijepit Regulasi

Salah nelayan tuna Gorontalo saat membawa ikan tuna yang habis mereka tangkap di lautan Teluk Tomini. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
Salah nelayan tuna Gorontalo saat membawa ikan tuna yang habis mereka tangkap di lautan Teluk Tomini. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
  • Nelayan tuna skala kecil di Gorontalo mulai merasakan dampak krisis iklim. Para nelayan tuna skala kecil kesulitan membaca kondisi alam karena berubah-ubah dan berujung pada hasil tangkapan menipis.
  • Studi Econusa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia menyebut, lebih dari 50% nelayan kecil rentan terhadap perubahan iklim. 
  • Sartika Djamaluddin, akademisi FEB Universitas Indonesia mengatakan, hasil penelitian ini mendorong semua pemangku kepentingan dan kebijakan dapat meningkatkan dan memperkuat ketahanan nelayan dalam menghadapi berbagai ancaman perubahan iklim.
  • Laksmi Adriani Savitri, dari FIAN Indonesia, mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur akan menggerus posisi nelayan kecil di lautan Indonesia. Tangkapan nelayan kecil pasti mengalami penurunan karena dibatasi wilayah tangkap dan kehadiran kapal-kapal besar.

Rusman Mateka hanya bisa merenung memandang laut. Di sore hari itu, lelaki paruh baya itu tidak bisa melaut karena cuaca buruk. Angin kencang, dan gelombang tinggi membuat niat pupus untuk kesekian kalinya. Warga Kelurahan Pohe, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo ini tak mau mengambil risiko.

“Kalau angin kencang dan gelombang tinggi, pasti malam akan hujan. Sangat berisiko untuk melaut,” kata Rusman Mateka kepada Mongabay pada pertengahan Mei 2024 lalu.

Rusman Mateka adalah nelayan tuna skala kecil yang ada di Kota Gorontalo. Ia hanya memiliki perahu 3 Gross Tonnage (GT) dengan ukuran panjang berkisar antara 9,5 meter, lebar 1,8 sampai 2 meter. Kapasitas itu tentu membuatnya tidak bisa memaksakan dirinya harus menangkap ikan tuna dengan kondisi anomali cuaca yang buruk. Terlebih lagi, wilayah habitat ikan tuna semakin jauh dari daratan.

Rusman bercerita, dirinya sudah banyak merasakan pahitnya kehidupan menerjang ombak di perairan Teluk Tomini, salah satu teluk terbesar di Indonesia. Ia kerap kali tidak mendapatkan hasil tangkapan apapun akibat cuaca yang buruk, dan gelombang tinggi. Kondisi itu membuatnya terus berada dibawah garis kemiskinan dan membuat kehidupannya serba kekurangan.

“Kalau cuaca buruk, otomatis kita tidak bisa melaut dan tidak ada pendapatan. Inilah penderitaan yang terus kita alami sebagai nelayan kecil yang ada di Kota Gorontalo,” kata Rusman sambil mengenangi kisah masa mudanya yang sering menemani bapaknya untuk melaut.

Rusman bilang, kondisi laut dulu tidak seperti sekarang yang kerap tak berpihak pada nelayan tuna kecil, seperti dirinya. Saat masih muda, setiap fenomena cuaca buruk atau hari-hari baik dengan melihat “Kalisuwa dan Lowanga” kalender sial warga Gorontalo yang melegenda. Namun, karena pengaruh dampak perubahan iklim yang semakin nyata, nelayan kecil seperti dirinya berada di ambang ketidakpastian.

Baca juga: Asa Nelayan dan Masyarakat Pesisir Indonesia Pasca Pemilu 2024

Rusman bilang, saat ini kehidupan nelayan tuna semakin sulit dan terpaksa menelan pil pahit ketika cuaca buruk. Pengalaman melaut bertahun-tahun seakan tak berguna ketika cuaca tak bersahabat. Meski nenek moyang adalah pelaut, Rusman tak mampu lagi membaca perubahan pola migrasi ikan yang merupakan salah satu dampak dari krisis iklim lantaran meningkatnya suhu air laut.

Hal serupa juga dirasakan oleh Mudin Sai, rekan Rusman yang juga nelayan tuna skala kecil di pesisir Kota Gorontalo. Ia bilang, nelayan tuna beberapa tahun silam pernah berada dalam puncak kejayaan karena bisa menangkap ikan dengan jumlah banyak setiap pergi melaut. Kini, kondisi itu sudah sangat jauh berubah, bahkan mereka tidak mendapatkan hasil tangkapan sama sekali setiap turun melaut.

“Dahulu, kita bisa membawa pulang ikan tuna hingga 5-10 ekor setiap turun dalam waktu rata-rata 7 hari. Tapi sekarang, kadang kita hanya dapat 1 ekor saja, bahkan pulang dengan tangan kosong,” katanya

Saat ini, kata Mudin, alih-alih mendapatkan untung dari hasil tangkapan ikan tuna, dirinya justru kerap mengeluarkan biaya yang cukup besar dibanding pendapatan yang didapat dari hasil laut. Mulai dari pengeluaran bahan bakar minyak (BBM), hingga konsumsi selama melaut. Terlebih lagi, keberadaan ikan tuna juga semakin jauh di perairan lepas. Ia bilang, krisis iklim benar-benar menggerus kehidupan nelayan skala kecil, seperti dirinya.

Apa yang dialami Rusman Mateka dan Mudin Sai itu selaras dengan studi yang dibuat Econusa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia yang menyelidiki soal pemetaan kerentanan sosial-ekonomi nelayan kecil dan tradisional terhadap dampak perubahan iklim.

Meskipun studi itu dilakukan hanya di Kota Ambon, Kab. Pangkep, Kabupaten Pemalang dan Kabupaten Aceh Selatan, tetapi hasil penelitiannya memberi gambaran sedikit lebih terang tentang sebab-musabab bagaimana nelayan skala kecil di Indonesia menjadi kelompok yang paling rentan terdampak perubahan iklim.

Tuna di pasar ikan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Tuna di pasar ikan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Riset itu menyebut, lebih dari 50% nelayan kecil rentan terhadap perubahan iklim. Kerentanan itu disebabkan oleh besarnya dampak paparan bencana dan atau sensitivitas nelayan dibandingkan dengan kemampuan adaptif mereka. Terlebih lagi, pekerjaan mereka selalu tergantung pada cuaca.

Misalnya, akibat krisis iklim, terjadi perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut. Kondisi itu membuat nelayan kecil sulit menangkap ikan, dan mereka pun harus membutuhkan waktu dan biaya lebih besar jika ingin melaut. Apalagi jika cuaca tidak berpihak ke mereka.

Selain itu, riset itu juga menjelaskan gangguan wilayah tangkap juga menjadi indikator utama nelayan kecil rentan dengan perubahan iklim. Dimana, semakin jauh jalur penangkapan nelayan, semakin besar potensi gangguan yang dihadapi. Nelayan yang rentan terhadap gangguan di wilayah tangkap cenderung tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sementara, nelayan kecil paling berisiko krisis iklim itu sebagian besar berpendidikan rendah. Ada lebih dari 50% dari mereka masih belum tamat SD, bahkan 19% belum tamat SD. Disisi lain, mereka mempunyai beban ekonomi keluarga yang tinggi, pekerja tunggal, atau tidak mempunyai pekerjaan lain selain nelayan.

Ironisnya, riset itu menemukan, perlingkungan kesehatan nelayan kecil di Indonesia masih sangat rendah ditengah pekerjaan mereka yang cukup berisiko tinggi itu. Pasalnya, hanya ada 27% dari mereka belum memiliki BPJS Kesehatan, bahkan lebih dari 70% tidak memiliki asuransi kesehatan.

Sartika Djamaluddin, akademisi FEB UI sekaligus penulis riset tersebut mengatakan, hasil penelitian ini mendorong agar semua pemangku kepentingan dan kebijakan dapat meningkatkan dan memperkuat ketahanan nelayan dalam menghadapi berbagai ancaman perubahan iklim.

Baca juga: Ditutup Megawati, Dibuka Jokowi: Pasir Laut kita untuk Siapa?

“Perlu ada upaya sinergi yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan kerentanan nelayan terhadap dampak perubahan iklim. Misalnya, melakukan mitigasi bencana, dan memfasilitasi keikutsertaan nelayan dalam program asuransi,” kata Sartika Djamaluddin dalam webinar yang digelar Jaring Nusa, pada Rabu 5 Juni 2024 lalu

Bukan hanya itu, kata Sartika, perlu juga meningkatkan literasi nelayan terkait informasi iklim dan pengetahuan zonasi, perlindungan di wilayah tangkap, memberikan bantuan renovasi ketinggian rumah wilayah yang terdampak banjir rob dan atau penurunan muka tanah bagi nelayan yang terdampak.

Pasalnya, laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang rilis pada 2018 silam menyebut, negara-negara dunia hanya memiliki waktu 10 tahun untuk mencegah terjadinya bencana ekstrim. Artinya, kita hanya memiliki waktu enam tahun lagi hingga tahun 2030 untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia.

“Sebelum batas waktu itu datang, pemerintah harus bisa melakukan mitigasi dan adaptasi pada sektor kelautan dan perikanan yang akan terdampak, tentunya dengan mewujudkan kebijakan yang tepat, adil dan berpihak pada nelayan kecil dan tradisional,” jelasnya

Sartika bilang, perlunya upaya untuk menurunkan sensitivitas nelayan terhadap bencana/gangguan dengan cara memfasilitasi nelayan mendapatkan alternatif pekerjaan lain saat nelayan tidak melaut. Juga menyediakan ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan, menjaga kualitas dan daya jual hasil tangkapan.

Pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan, serta peningkatan nilai tambah produk pertanian agar pendapatan nelayan bisa meningkat. Ia bilang, perlu pendataan ulang nelayan miskin untuk keberlanjutan Program Keluarga Harapan (PKH), dan harus ada bantuan sarana penangkapan (kapal dan alat tangkap).

“Kepemilikan identitas pelaku usaha perikanan dan kelautan (KUSUKA) perlu dimaksimalkan agar nelayan memperoleh program pembinaan, pemberdayaan dan perlindungan dari pemerintah,” katanya

Nalayan tuna di Gorontalo baru akan menjual ikan mereka. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
Nalayan tuna di Gorontalo baru akan menjual ikan mereka. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)

Terjepit Regulasi

Sebenarnya, selain dampak perubahan iklim, nelayan kecil seperti Rusman Mateka dan Mudin Sai juga menjadi korban dari regulasi yang membatasi mereka untuk melaut dibawah 12 mil (sekitar 22 kilometer). Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18 Tahun 2021.

Regulasi itu mengatur tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Dalam peraturan itu disebutkan wilayah 0-12 mil merupakan jalur nelayan kapal berkapasitas 5 GT. Kapal industri skala besar, maupun aktivitas kapal penangkap ikan berkapasitas di atas 5-30 GT dilarang berada di wilayah tangkap tersebut.

Alih-alih meminimalisir persoalan penangkapan ikan berlebih, regulasi itu justru membuat polemik baru bagi nelayan kecil tuna tradisional, seperti Rusman Mateka dan Mudin Sai. Mereka merasa, aturan tersebut justru seperti kebijakan yang “membunuh” profesi mereka yang sudah puluhan tahun digeluti.

Pasalnya, kata Rusman, keberadaan ikan tuna sekarang sudah cukup jauh, atau rata-rata berada di atas jarak 12 Mil. Bahkan, mereka kerap harus ke di laut Sulawesi Tengah hingga Maluku Utara agar tidak pulang dengan tangan kosong. Katanya, regulasi ini benar-benar tidak berpihak kepada nelayan kecil tuna tradisional.

Baca juga: Urgensi Ekonomi Nusantara Teluk Tomini

Rusman bilang, sebelum regulasi di bawah 12 mil diberlakukan, setiap nelayan kecil bisa menangkap ikan tuna 100 kilogram/minggu. Namun, ketika ada regulasi itu, ikan tuna yang berhasil ditangkap hanya separuh, bahkan tidak ada sama sekali. Disisi lain, katanya, modal yang harus dikeluarkan minimal Rp. 1,5 juta setiap kali melaut.

“Sebelum ada regulasi ini saja, kami sudah kesulitan mencari ikan tuna. Apalagi sudah ada regulasi ini,” kata Rusman.

Pada akhir 2022 lalu, ratusan nelayan kecil Gorontalo, termasuk Rusman Mateka dan Mudin Sai melakukan unjuk rasa di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Gorontalo untuk memprotes regulasi itu. Mereka meminta, regulasi tersebut harus dibatalkan karena telah menyusahkan dan tidak memihak kepada nelayan kecil.

Ketua Asosiasi Nelayan Gorontalo, Sarlis Mantu yang memimpin aksi itu mengatakan, regulasi tersebut terkesan hanya menyamakan antara laut Pulau Jawa dan Gorontalo. Padahal, kondisi dua wilayah ini sangat berbeda jauh. Misalnya, laut Gorontalo hanya mengandalkan teluk tomini yang tidak begitu luas, atau perairannya hanya diapit oleh kebanyakan pulau-pulau.

“Nelayan kecil di Gorontalo sangat terdampak dari aturan tersebut. Tangkapan mereka pun menurun drastis, hingga ada yang tidak beraktivitas pasca Permen KP No.18 Tahun 2021 itu dibuat,” kata Sarlis Mantu kepada Mongabay pada pertengahan Mei 2024 lalu.

Nelayan kecil di Gorontalo sudah terdampak perubahan iklim. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
Nelayan kecil di Gorontalo sudah terdampak perubahan iklim. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)

Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) turut menjadi regulasi yang ikut diprotes nelayan kecil dan transional. Meski kebijakan itu dibuat untuk menekan penangkapan ikan berlebih (overfishing), tetapi regulasi itu disinyalir menjadi sarana privatisasi laut dan hanya menguntungkan segelintir orang saja, khususnya nelayan skala industrial.

Pasalnya, PIT akan memperbolehkan penanaman modal asing, pelegalan transhipment dengan catatan harus satu perusahaan pemilik kapal yang sama, pendaratan di wilayah pelabuhan perikanan dekat fishing ground, dan penerapan kuota untuk kapal penangkap ikan. Adapun PIT sendiri ada tiga yang diatur yakni zona penangkapan, kuota dan musim penangkapan.

Khusus untuk kuota penangkapan, PIT membaginya menjadi tiga, yakni; kuota industry, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Kuota industri diberikan untuk ke perseorangan dan badan usaha berbadan hukum, hingga penanaman modal asing. Sementara zona penangkapan ikan terukur bagi industri terhitung dari 12 mil, sedangkan kuota untuk nelayan lokal tak sampai 12 mil.

Artinya, akan ada ketimpangan relasi antara nelayan industrial dan nelayan lokal, dan PIT akan memaksa nelayan kecil harus bersaing dengan kapal-kapal besar di wilayah tangkap mereka. Alih-alih menjadi ekonomi biru, kebijakan PIT ini dinilai akan menggerus kehidupan ekonomi nelayan kecil serta menyebabkan nelayan semakin banyak meninggal di laut.

Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. 180 hari sisanya harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan.

Baca juga: Empat Fakta Perkembangan Danau Limboto Gorontalo saat ini

Adapun Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2010-2020. Tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal tercatat sebanyak 87 orang. Namun pada tahun 2020, jumlahnya terus meningkat menjadi lebih dari 250 orang.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional mengatakan, kebijakan PIT tidak sangat tepat dibuat di tengah terjadinya eksploitasi sumber daya Ikan Indonesia yang berada diatas garis kuning dan merah. Artinya, kata dia, sumber daya ikan Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Harusnya, kata Parid, Pemerintah Indonesia mendorong kebijakan pemulihan, bukan kebijakan PIT yang akan memberikan ruang bagi pelaku-pelaku perikanan skala besar untuk menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Ia bilang, kebijakan PIT berbasis kuota akan memperburuk kehidupan nelayan.

Terlebih lagi, kata Parid, saat ini mayoritas nelayan Indonesia masih dibawa garis kemiskinan dan mereka  tidak mendapatkan perlindungan dari negara, seperti yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Disisi lain, kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan, alat, atau cara yang merusak sumber daya ikan (Destructive fishing) masih terus terjadi.

“Kebijakan PIT ini hanya memaksa nelayan untuk berkompetisi dengan dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Secara otomatis, mereka akan terpinggirkan” kata Parid Ridwanuddin kepada Mongabay pada 10 Juni 2024 lalu.

Padahal, kajian FAO, Duke University dan WorldFish (2021) menyebut, secara global perikanan skala kecil menghasilkan 40% atau 37 juta ton produksi perikanan tangkap rata-rata per tahun, dengan perimbangan 31% dari perairan laut dan 99% perairan darat selama kurun 2013-2017.

Salah nelayan tuna Gorontalo saat membawa ikan tuna yang habis mereka tangkap di lautan Teluk Tomini. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
Salah nelayan tuna Gorontalo saat membawa ikan tuna yang habis mereka tangkap di lautan Teluk Tomini. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)

Adapun sebanyak 94% dari 120 juta orang yang menggeluti pekerjaan penangkap ikan adalah pelaku perikanan skala kecil. Ini mencakup 45 juta perempuan yang berpartisipasi dalam rantai nilai perikanan global, yang mewakili 40% dari perkiraan total tenaga kerja perikanan skala kecil.

Di Indonesia, data Statistik KKP menunjukan, selama kurun waktu 2016-2021 nilai produksi sektor perikanan tumbuh dengan tren positif dan signifikan sebesar 8,2%. Dalam kurun waktu tersebut, secara rata-rata, sektor perikanan menyumbang sekitar 2,66% PDB Indonesia.

Bahkan, Pada masa pemulihan pandemi COVID-19 tahun 2022 lalu, pendapatan perikanan bahkan mengalami lonjakan tajam 68% dibandingkan tahun sebelumnya dan mampu menyumbang pendapatan negara bukan pajak sebesar Rp1,2 triliun

Sektor perikanan itu juga ternyata mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi 2.4 juta jiwa nelayan pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya 2.3 juta jiwa nelayan. Sebagian besar dari jumlah itu adalah nelayan skala kecil dengan kepemilikan kapal 729.003 unit di bawah 5 GT atau 85% dari armada kapal nasional.

Artinya, nelayan Indonesia khususnya nelayan skala kecil memberi kontribusi penting bagi peningkatan ekonomi hingga mengukuhkan Indonesia sebagai negara penghasil perikanan tangkap kedua terbesar di dunia setelah China.

Namun, Laksmi Adriani Savitri, dari FIAN Indonesia mengatakan, kebijakan PIT yang dibuat melalui PP Nomor 11 Tahun 2023 itu akan menggerus posisi nelayan kecil di lautan Indonesia. Ia bilang, tangkapan nelayan kecil pasti mengalami penurunan akibat dibatasi wilayah tangkap dan kehadiran kehadiran kapal-kapal besar.

Baca juga: Kebun Tebu Datang, Jutaan Hektar Hutan Papua akan Hilang

Disisi lain, para nelayan kecil, biasanya memiliki sedikit investasi modal dan aset untuk berjaga-jaga pada saat krisis. Dampak lanjutan dengan adanya PIT ini adalah akan nelayan kecil akan mengalami krisis pangan. Laksmi bilang, kebijakan PIT ini hanya gimmick saja, dan diperuntukkan untuk kepentingan investasi.

“Sudah banyak nelayan kecil dan tradisional yang mengeluhkan hasil tangkapan mereka berkurang setelah adanya kebijakan PIT ini,” kata Laksmi Adriani Savitri dalam webinar yang dibuat oleh Jaring Nusa.

Sebenarnya, kata Laksmi, kebijakan PIT itu sudah tergambar dari Permen KKP Nomor 54 Tahun 2020 tentang Izin Lokasi, Izin Pengelolaan dan Izin Lokasi di Laut. Dimana, Permen itu merubah wilayah pengelolaan laut dari hak, menjadi izin.

Bukan hanya itu, katanya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan juga memberikan ruang yang besar terhadap industri perikanan. Pasalnya, PP tersebut mengubah zona inti konservasi laut menjadi kawasan strategis nasional (KSN).

Saat ini, kata Laksmi, sudah ada 27 KSN yang akan dikembangkan untuk kepentingan nasional. Ia bilang, PP)Nomor 27 Tahun 2021 seperti UU pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang bisa mencabut hak atas tanah demi kepentingan umum.

“Jadi sudah sangat jelas, kebijakan yang mengatur laut Indonesia untuk diperuntungkan untuk kepentingan investasi saja,” tegasnya

Kini, rencana penerapan kebijakan PIT yang semula dijadwalkan akan dimulai pada 1 Januari 2024, ditunda setahun menjadi 1 Januari 2025. Meski begitu, Rusman Mateka dan Mudin Sai yang merupakan nelayan tuna kecil di Gorontalo ini berharap, kebijakan itu tidak diberlakukan demi keberlangsungan hidup mereka.

“Lebih baik kita ditembak ‘mati’ saja, daripada kita ‘dibunuh’ secara perlahan dengan regulasi itu,” pungkas mereka berdua.


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.