Oligarki Membajak Transisi Energi di Bisnis Biomassa

Wood Pellet Yang Diproduksi (Foto: Forest Watch Indonesia)
Wood Pellet Yang Diproduksi (Foto: Forest Watch Indonesia)

Pemerintah mengklaim bahwa bioenergi adalah energi terbarukan yang akan menjadi solusi transisi energi. Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo dan Gibran Rakabuming menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi “raja energi hijau dunia”, salah satunya melalui pemanfaatan biomassa kayu sebagai sumber energi listrik.

Kayu sebagai sumber energi listrik diklaim sebagai alternatif bahan bakar fosil yang netral karbon, sehingga membantu melawan perubahan iklim. Namun, dalam riset Trend Asia yang berjudul “Adu Klaim Menurunkan Emisi” menemukan hal sebaliknya.

Laporan tersebut menyebut, bioenergi yang diklaim sebagai energi terbarukan justru akan melibatkan deforestasi, dan menimbulkan hutang karbon yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk dilunasi. Pasalnya, riset itu menemukan proses produksi kayu tersebut akan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton emisi karbon.

Dalam penelitian Trend Asia yang berjudul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi” juga menemukan hal serupa. Dimana, transisi energi Indonesia dari tanaman energi untuk dijadikan biomassa kayu akan memicu deforestasi hingga 2,3 juta hektare atau 33 kali luas Jakarta.

Baca juga: Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Deforestasi Terselubung di Gorontalo

Meskipun tanaman energi itu akan menciptakan deforestasi besar-besaran, Pemerintah Indonesia justru mengklaim hal itu akan mendorong ekonomi kerakyatan dengan pelibatan masyarakat dalam rantai pasok penyediaannya.

Ironisnya, dalam laporan terbaru Trend Asia dengan judul “Penangguk Cuan Transisi Energi” menemukan, ternyata co-firing biomassa di Indonesia ini justru hanya menguntungkan oligarki. Pasalnya, rantai suplai biomassa didominasi oleh oligarki batu bara dan industri kayu.

Adapun nama-nama grup besar yang ditemukan Trend Asia dalam laporannya itu diantaranya; APP Sinarmas Group, Sampoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar. Perusahan-perusahaan besar itu disebut sudah sudah lama terjun dalam bisnis kayu.

Beberapa dari grup tersebut, seperti Sinarmas dan Wilmar juga terkait dengan bisnis bioenergi lain, yaitu biodiesel, dan menerima insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Baca juga: Kebun Tebu Datang, Jutaan Hektar Hutan Papua akan Hilang

Tidak hanya bisnis energi yang dikatakan terbarukan, konglomerasi tersebut juga terkait dengan bisnis energi kotor. Misalnya, Jhonlin Group dan Barito Pacific Group memiliki anak perusahaan yang menjadi pemasok batubara. Sementara Wilmar Group juga terlibat dalam investasi PLTU Sumatera Utara-2.

Amalya Oktaviani, Manajer Program Biomassa, Trend Asia mengatakan, pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis kayu energi merupakan pemain lama dan kuat di industri kayu. Ia bilang, grup-grup besar itu diuntungkan dari implementasi program co-firing karena berhasil memperoleh jenis bisnis baru.

“Para pelaku usaha itu juga menutup keterlibatan pihak lain, terutama masyarakat, serta memastikan perolehan insentif dari pemerintah,” kata Amalya Oktaviani melalui rilis yang diterima.

Disisi lain, kata Amalya, pihaknya menemukan banyak dari korporasi tersebut bermasalah secara sosial dan lingkungan, baik melakukan perampasan lahan masyarakat adat, konflik dengan petani, maupun berada di kawasan gambut.

Baca juga: Jutaan Hektar Kebun Tebu di Papua akan Menggerus Masyarakat Adat?

“Jadi tidak hanya klaim tentang ekonomi kerakyatan terpatahkan, tapi ini menunjukkan bahwa transisi energi lewat biomassa kayu hanya bisnis. Bisnis yang akan dikuasai oligarki yang sama,” jelasnya.

Amalya bilang, nama-nama yang muncul adalah nama oligarki yang selama ini menguasai bisnis ekstraktif di Indonesia. Termasuk perusahaan-perusahaan di bawah Grup Medco milik Arifin Panigoro, Jhonlin Group milik taipan batu bara Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam, Korindo Group milik Bob Hasan, hingga raksasa kertas Sinarmas Group.

Ia menjelaskan, banyak dari perusahaan ini membawa rekam jejak buruk. PT Selaras Inti Semesta (PT SIS) yang terhubung dengan Medco Group yang telah diprotes keras oleh masyarakat adat akibat penggusuran dan perusakan hutan dalam pengelolaan konsesinya seluas 169.400 hektar di Merauke, Papua.

“PT Sadhana Arifnusa juga memiliki konflik dan mendorong kriminalisasi terhadap kelompok petani, hingga mengakibatkan 1 orang meninggal,” ungkapnya

Baca juga: Petani Plasma Buol dan Buruh Kebun PT HIP Bentrok, 3 Orang Cedera

Anggi Putra Prayoha, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan, transisi energi dengan pendekatan sekarang melalui pembangunan hutan tanaman energi hanyalah bisnis semata. Katanya, jangan dikaitkan dengan upaya pengurangan emisi dan upaya meningkatkan bauran energi nasional.

“Ini bisnis energi yang menjadi pendorong deforestasi baru di Indonesia. Bahkan deforestasi secara terencana seluas 420 ribu hektare hutan alam di dalam 31 konsesi HTE,” kata Anggi Putra Prayoha.

Meski dipromosikan sebagai solusi transisi energi yang berasas “ekonomi kerakyatan”, kata Anggi, pada akhirnya industri biomassa kayu didominasi oleh konglomerasi oligarki lama, yang telah gemuk dengan eksploitasi energi fosil maupun eksploitasi kehutanan Indonesia.

Anggi bilang, keterlibatan masyarakat terbatas pada remah-remah: petani-petani dilibatkan sebagai buruh perkebunan murah, sementara UMKM perkayuan hanya terlibat menyuplai limbah, seperti serbuk kayu, dengan harga murah.

Baca juga: Nestapa Suaka Margasatwa Bakiriang Tergerus jadi Kebun Sawit

“Dalam rantai suplai pun, didominasi oleh cukong dan badan usaha yang terafiliasi dengan PLTU,” ujarnya

Ia tegaskan, pengembangan biomassa tidak benar-benar ada untuk mendukung transisi energi bersih ataupun mendukung ekonomi kerakyatan. Sebaliknya, pengembangan biomassa adalah solusi murah untuk mendongkrak bauran energi terbarukan dengan permainan hitung-hitungan karbon yang patut dipertanyakan.

Pasalnya, kata Anggi, pengembangan biomassa memanfaatkan infrastruktur dan sistem eksploitasi hutan yang sudah akrab dikenal oligarki Indonesia. Pengembangan biomassa juga erat dengan kepentingan industri energi fosil, khususnya batu bara, sebagai upaya kosmetik greenwashing PLTU untuk mencitrakan diri sebagai energi bersih dan menunda pemensiunan.

“Biomassa adalah solusi palsu transisi energi yang mengalihkan Indonesia dalam proses penting melawan perubahan iklim, dan ia harus disudahi,” pungkasnya

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.