- Sudah 10 tahun, Lie Kian Lay, seorang pengusaha jagung di Gorontalo berhasil mengolah limbah berupa tongkol jagung menjadi bahan bakar alternatif di pabriknya. Alasannya sederhana, bahan bakar minyak (BBM) mahal. Bahkan dia berhasil menghemat 50% biaya bahan bakar
- Jagung sebagai komoditi unggulan Provinsi Gorontalo, limbahnya sangat berpotensial untuk dimanfaatkan sebagai energi alternatif terbarukan yaitu bahan bakar nabati berupa biomassa, dengan produknya yaitu briket bioarang, bioethanol dan gas.
- PLN pernah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB) pertama di Indonesia pada 2014, yaitu PLTB Pulubala, Gorontalo, berbahan bakar tongkol jagung. Sayangnya sejak 2017, terhenti karena kerusakan mesin.
- Indonesia berpotensi sangat besar menghasilkan biofuel (BBN) dari berbagai sumber nabati dengan salah satu produknya yaitu bioethanol dari salah satu sumbernya yaitu limbah jagung. Pengembangan biofuel berdampak positif seperti mengurangi impor bensin dan meningkatkan neraca perdagangan Indonesia, serta akan mendorong industri baru dan menciptakan lapangan kerja. Sayangnya sampai hari ini belum ada pengembangannya di Gorontalo.
“Saya rugi besar jika terus menggunakan solar sebagai bahan bakar di pabrik saya. Sehingga saya memilih tongkol jagung sebagai bahan bakar alternatif. Itu juga untuk menekan biaya operasional,”
Begitulah kata Lie Kian Lay, pria berumur 56 tahun ini. Ia merupakan salah satu pengusaha jagung di Gorontalo. Awal Desember lalu saya bertemu dengannya, dan langsung diajak melihat pabriknya yang berada di Kelurahan Buladu, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo.
Pabriknya itu bersama CV Kemiri Putih, dengan komoditi utama yang dikelola adalah jagung. Jagung itu dikumpulkannya dari petani untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Ada yang dari Kabupaten Pohuwato, Boalemo, Gorontalo Utara, Gorontalo, Bone Bolango, dan Kota Gorontalo. Menariknya, limbah tongkol jagung dijadikan sebagai bahan bakar alternatif di pabriknya.
Dia hanya tersenyum kita ditanya alasannya menggunakan tongkol jagung sebagai bahan bakar alternatif. Alasan klasik: bahan bakar minyak (BBM) mahal. Kenaikan BBM memang sangat berpengaruh di berbagai sektor, sehingga bahan bakar alternatif kerap menjadi solusi. Peluang itu yang diambilnya.
Ko Lay, begitu nama sapaannya, cerdik mengolah bahan bakar dari tongkol jagung. Hari itu, saya diajaknya untuk melihat langsung mesin pengolah tongkol jagung untuk dijadikan sebagai bahan bakar alternatif. Meski kebisingan mesin pabrik membuat saya sedikit sulit untuk mendengarkan penjelasannya, tapi ia tampak sangat semangat menunjukan hasil idenya itu.
Ia bercerita, dahulu solar menjadi bahan bakar utama sejak pabriknya dibangun pada tahun 2010 silam. Namun, akibat harga BBM naik yang mempengaruhi biaya produksinya, ia memberanikan diri mengganti solar dengan tongkol jagung pada tahun 2019. Meski tak memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan usahanya, keputusan yang diambilnya itu tentu menjadi pengalaman pertama.
“Saya beli tongkol jagung kepada warga sebesar Rp.350/kg. Jika dibandingkan dengan solar, tentu tongkol masih lebih murah,” katanya. Meski begitu, ia harus membeli mesin tungku pembakaran dengan kapasitas 10 ton untuk menjadi alat pembakaran tongkol, serta membeli alat penghancur tongkol dengan paket harga Rp.125 juta kala itu. Ia bilang, butuh modal besar untuk beralih ke bahan bakar alternatif.
Walaupun begitu, ia bisa menekan biaya operasional pabriknya hingga 50 persen. Hal itu yang membuatnya tetap menggunakan tongkol jagung sebagai bahan bakar alternatif hingga kini. “Jagung jadi komoditas utama yang diolah jadi pakan ternak. Sementara limbahnya saya gunakan sebagai bahan bakar. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui,” jelasnya.
Bisa dibuat Briket Arang
Jagung memang merupakan salah satu komoditi unggulan Provinsi Gorontalo, dimana produksinya meningkat dari tahun ke tahun. Data Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo menyebutkan tren produksi jagung terus naik selama lebih kurang 15 tahun terakhir. Misalnya, pada tahun 2001, awal pembentukan Provinsi Goronta, produksinya hanya 81.719 ton.
Jumlah itu naik menjadi 130.000 ton pada 2002. Pada 2007 menjadi 572.785 ton, dan naik lagi mencapai 644.754 ton pada 2006. Produksinya terus meningkat pada tahun 2013 dan 2014, masing-masing 669.094 ton dan 719.078 ton. Data terakhir menunjukan pada tahun 2017, produksi jagung mencapai 1.552.001 ton, dan tahun 2018 mencapai 1.580.367 ton.
Dari data itu, limbah jagung sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk bahan baku pembuatan briket arang. Setiap tanaman jagung, 65 persen merupakan biji jagungnya, sementara 35 persen dalam bentuk limbah berupa batang, daun, kulit, dan tongkol jagung.
Briket arang merupakan salah satu jenis bahan bakar nabati (BBN) yaitu biomassa berupa bahan bakar padat yang mengandung karbon bernilai kalori tinggi dengan nyala api yang lama. Briket arang biasa disebut briket bioarang merupakan salah satu alternatif bahan bakar yang cukup berkualitas dengan teknologi sederhana, panas (nyala api) yang dihasilkan cukup besar, cukup aman dan tahan lama. Bahan bakar ini cocok digunakan untuk para pedagang atau pengusaha yang membutuhkan pembakaran terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
Namun, apa yang dilakukan Ko Lay, belum sampai mengolah limbah jagung menjadi briket arang. Ia hanya menggunakan tongkol jagung sebatas bahan bakar untuk mengeringkan jagung melalui alat mesin pengering.
Ko Lay hanya menghancurkan tongkol jagung melalui mesin penghancur menjadi serpihan kecil halus untuk dimasukan dalam tungku pembakaran pengering jagung menjadi pakan ternak. Padahal, proses itu merupakan proses awal fermentasi pembuatan briket arang.
Pembuatan briket arang dari tongkol jagung pernah diteliti oleh Siradjuddin Haluti dan Ridho Hantoro dari Program Studi Mesin dan Peralatan Pertanian Politeknik Gorontalo pada 2015, berjudul “Pemanfaatan Potensi Limbah Tongkol Jagung Sebagai Briketarang Melalui Proses Karbonisasi di wilayah Provinsi Gorontalo.”
Penelitian itu mengambil sampel data jumlah produksi jagung dalam 5 tahun terakhir yang terhitung dari 2008 sampai 2013, dengan total per tahun produksi jagung sebesar 501.685 ton dengan potensi produksi limbah tongkol jagung total per tahun mencapai 172.913 ton. Hasilnya, limbah tongkol dapat menghasilkan massa briket arang sebesar 6.018.634 ton dan energi kalor sebesar 17.537.664 megajoules (MJ) untuk dijadikan sebagai bahan bakar alternatif.
Pernah dimanfaatkan Sebagai Syngas
Sebetulnya, PT. PLN pernah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB) pertama di Indonesia pada tahun 2014. PLTB itu berada di Gorontalo dengan memanfaatkan tongkol jagung sebagai sumber energi utama penggerak generator penghasil listrik. PLTB itu diberi nama PLTB Pulubala, karena terletak di Kecamatan Pulubala Kabupaten Gorontalo.
Saat didatangi pada Rabu, (8/12/2021) lalu, PLTB yang berjarak sekitar 36 km dari pusat Kota Gorontalo itu ternyata sudah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2017 karena ada kerusakan mesin.
Rabin Hasan (23), salah satu helper PLTB Pulubala yang ditemui Mongabay mengatakan PLTB ini berkapasitas 500 kW dan didesain untuk membantu pemakaian listrik di Gorontalo. Meski kapasitasnya masih kecil, pembangkit listrik Biomassa ini menjadi warna baru pembangkit listrik di Indonesia kala itu.
“Setiap kali beroperasi, PTLB ini memerlukan 2,5 ton jagung untuk 5 jam produksi beban puncak, yang terhitung dari jam 6 sore, sampai jam 10 malam. Dalam setahun, kurang lebih 1000 ton untuk memproduksi listrik,” kata Rabin.
Dengan tingginya pemanfaatan tongkol jagung di PLBT itu, tentu akan berimbas kepada kesejahteraan petani jagung. Rabin bilang, tongkol jagung yang biasa dibuang oleh petani, saat itu dibeli oleh PLN seharga Rp10 ribu setiap 100 kilogram.
Pengolahan tongkol jagung untuk memproduksi listrik, terbagi dalam tiga fase utama, yaitu fase bahan baku, fase gasifikasi dan fase listrik. Tongkol jagung dalam kondisi kering dari petani disimpan dalam gudang kemudian dihancurkan dalam mesin penggiling untuk mengurangi kadar airnya. Selanjutnya, tongkol jagung dibawa ke mesin reaktor untuk proses pertama pengeringan bersuhu 200 derajat celcius. Semakin tinggi temperatur yang diberikan, maka kadar air akan semakin cepat hilang.
Proses itu merupakan proses awal gasifikasi yang akan menghasilkan Syngas. Selanjutnya, Syngas yang dihasilkan dimasukkan ke Water Scrubber — sekelompok perangkat pengontrol polusi udara– untuk menghilangkan beberapa partikel atau gas dari aliran gas buangan industri.
Gas dari Water Scrubber kemudian dimasukkan ke mesin filter biomassa untuk melakukan pemurnian Syngas, selanjutnya ditampung dalam Gas Tank dan siap dijadikan bahan bakar penggerak generator penghasil listrik.
“Namun karena sering digunakan, ada beberapa mesin yang mengalami kerusakan. Pada akhir tahun 2017, dengan berat hati PLN menghentikan sementara PLTB Pulubala,” kata Rabin
Harun Mooduto, Pengawas PLTB Pulubala PLN Cabang Gorontalo mengatakan hampir empat tahun PLTB Pulubala tidak beroperasi lagi. Kerusakan sejumlah mesin, menjadi penyebab utama. Padahal, katanya, PLTB Pulubala merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTB) pertama di Indonesia.
PLN berencana melakukan supervisi untuk mengoperasikan kembali PLTB Pulubala dengan alasan merupakan PLTB dengan energi baru terbarukan.
“Yang jelas PLTB Pulubala ini akan dioperasikan kembali. Hanya saja, waktunya belum tahu kapan. PLT pusat juga sudah melakukan survey ke lokasi,” kata Harun Mooduto kepada Mongabay, Rabu (8/12/2021).
Berdasarkan penelitian Siradjuddin Haluti dari Program Studi Mesin dan Peralatan Pertanian Politeknik Gorontalo pada tahun 2015 berjudul “Pemanfaatan Potensi Limbah Tongkol Jagung Sebagai Syngas Melalui Proses Gasifikasi di Wilayah Provinsi Gorontalo,” tongkol jagung mempunyai komposisi gas terbesar yaitu nitrogen (N2) sebanyak 56,16% dan gas etana (C2H6) memiliki kadar terendah (0,015%). Adapun nilai kalor bawah (LHV) yang dihasilkan sebesar 2826,53 kJ/kg. Nilai efisiensi gasifikasi yang diperoleh sebesar 33,58%.
Hasil simulasi potensi produksi limbah jagung dari penelitian itu menyebutkan dari 501.685 ton produksi jagung kurun 2008-2012 dan 172.913 ton total limbah tongkol jagung per tahun di Gorontalo dapat menghasilkan gas sebesar 92,852 ton.
Proses gasifikasi menjadi biomassa biofuel itu menghasilkan bioetanol dengan kandungan bioalkohol dari tumbuh-tumbuhan, seperti gandum, tebu, jagung, singkong, ubi, buah-buahan, hingga limbah sayuran.
Bisa dibuat Bioetanol
Iqrima, Dosen Program Studi Mesin dan Peralatan Pertanian Politeknik Gorontalo menjelaskan tongkol jagung sangat berpotensi menjadi bahan bakar alternatif ramah lingkungan masa depan Gorontalo. Selain bisa dibuat briket arang dan Syngas, tongkol jagung juga bisa dibuat bioetanol.
Selain jagung, katanya, kayu, kulit kayu, batok kelapa yang bisa diubah menjadi energi terbarukan yang disebut bio-oil.
Bio-oil atau pyrolysis oil adalah sejenis minyak bakar yang memiliki berat jenis tinggi, dibuat dari bahan nabati khususnya dari bahan berlignoselulosa, seperti biomassa limbah kehutanan, industri hasil hutan, dan pertanian.
“Tongkol jagung memiliki kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kandungan ini yang nanti akan diubah dan diubah menjadi molekul yang lebih kecil melalui berbagai macam perlakuan untuk dijadikan sebagai energi,” kata Iqrima kepada Mongabay, Minggu (12/12/2021) lalu.
Ia bilang, tongkol jagung bisa menimbulkan masalah lingkungan serius bila tidak dimanfaatkan. Apalagi jagung merupakan komoditi unggulan Provinsi Gorontalo. “Masyarakat Gorontalo pada umumnya hanya hanya membuang dan membakar limbah jagung. Padahal itu bisa jadi bahan bakar alternatif,” kata kata Iqrima
Pembuatan Bioetanol pernah juga diteliti oleh Siradjuddin Haluti dari Program Studi Mesin Dan Peralatan Pertanian Politeknik Gorontalo pada 2016 dengan judul “Pemanfaatan Potensi Limbah Tongkol Jagung Sebagai Bioethanol Melalui Proses Fermentasi Di Wilayah Provinsi Gorontalo.” Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya tentang briket arang dan syngas dari tongkol jagung.
Hasil simulasi potensi produksi limbah jagung dari penelitian itu menyebutkan dari 501.685 ton produksi jagung kurun 2008-2012 dan 172.913 ton total limbah tongkol jagung per tahun di Gorontalo dapat menghasilkan bioetanol sebesar 18.174.011 liter.
Potensi Energi Masa Depan Gorontalo
Ricky Amukti, Engagement Manager di Traction Energi Asia mengatakan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk memproduksi cellulosic ethanol secara efisien. Biaya bahan baku, tenaga kerja, tanah, dan konstruksi yang kompetitif dibandingkan dengan negara lain menjadi hipotesisnya. Ia bilang, jagung yang menjadi komoditas unggulan di Gorontalo salah satu contohnya.
Ricky menjelaskan pengembangan industri cellulosic ethanol dalam negeri dapat membawa banyak manfaat bagi Indonesia dan sejalan dengan agenda pemerintah. Hal ini akan mengurangi impor bensin dan meningkatkan neraca perdagangan Indonesia, serta akan mendorong industri baru dan menciptakan lapangan kerja.
“Pemanfaatan tongkol jagung untuk dijadikan cellulosic ethanol, tentu menjadi nilai tambah untuk petani jagung. Hal ini perlu didukung oleh pemerintah,” kata Ricky Amukti kepada Mongabay, Senin (13/12/2021)..
Ia menjelaskan, pihaknya pernah melakukan penelitian untuk memprediksi total pembiayaan pembangunan pabrik cellulosic ethanol di Indonesia. Jika cellulosic ethanol berkapasitas 55 ribu ton, maka biaya yang dibutuhkan adalah Rp2,860 miliar (204 juta USD). Sementara, untuk biaya produksi tahunan per 1 liter etanol sebesar Rp 41.022 (2,93 USD). Ia bilang, itupun tergantung dengan bahan baku yang digunakan.
Selain itu, untuk biaya operasional (tenaga kerja dan pemeliharaan) sebesar Rp 57,7 miliar (4 juta USD) per tahun atau Rp 828 (0,06 USD) per liter. Untuk biaya variabel (penggunaan bahan baku dan input produksi lainnya) per 1 liter etanol adalah sebesar Rp7.000 – Rp13.860 atau 0,5 – 0,99 USD). Biaya itu tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Ia bilang, Indonesia memiliki peluang yang sangat luas dalam memanfaatkan potensi sumber daya domestiknya untuk memproduksi cellulosic ethanol yang ada di Gorontalo. Pengembangan cellulosic ethanol dapat menjadi solusi untuk mencapai target prioritas negara seperti pengembangan energi baru terbarukan, mewujudkan kemandirian energi, memperluas kesempatan usaha/pekerjaan, pengelolaan limbah dan mitigasi perubahan iklim.
Hanya saja, tantangan finansial merupakan hal yang biasa ditemui dalam upaya pengembangan teknologi baru dan canggih, untuk industri cellulosic ethanol. Ia bilang, salah satu strategi efektif untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dukungan kebijakan dari pemerintah untuk memberikan insentif finansial untuk mendorong industri cellulosic ethanol.
“Insentif finansial tidak hanya membantu meringankan hambatan finansial dalam pembangunan proyek-proyek padat modal, namun juga menjadi sinyal kuat adanya kemauan politik pemerintah untuk mempromosikan pengembanggan industri, dimana dapat menjadi pemicu daya tarik bagi investor,” jelasnya
Sedangkan Budiyanto Sidiki, Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo juga memperkiraan hal yang sama. Pihaknya terkendala investor dan anggaran pemerintah dalam mengembangkan potensi cellulosic ethanol. Sampai hari ini belum ada pengembangan cellulosic ethanol di Gorontalo.
“Tongkol jagung pernah dimanfaatkan sebagai Syngas melalui PLTB Pulubala, tapi itu sudah berhenti. Kita juga belum mengetahui masalahnya apa,” kata Budiyanto Sidiki kepada Mongabay, Minggu (12/12/2021).
Selain itu, katanya, yang menjadi kendala pengembangan cellulosic ethanol di Gorontalo adalah regulasi dan kebijakan yang masih berada di Pemerintah pusat. Padahal, tongkol jagung sangat murah biayanya jika digunakan sebagai cellulosic ethanol. Ia bilang, pihaknya hanya berharap kepada investor untuk membangun industry cellulosic ethanol.
“Semua daerah memiliki potensi energi terbarukan, apalagi sebagai cellulosic ethanol. Gorontalo dengan komoditi unggulan jagung, menjadi peluang sangat besar untuk pengembangan itu. Hanya saja, semua kebijakan masih berada di Pemerintah Pusat,” ucapnya.
Tulisan ini merupakan fellowship dari Mongabay Indonesia dan Yayasan Madani Berkelanjutan terkait Bahan Bakar Nabati.
Tulisan ini pertama diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dengan penulis yang sama.
Leave a Reply
View Comments