Potensi Tenaga Surya di Indonesia Besar, Tapi Minim Dimanfaatkan Hingga Terjepit Regulasi

Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh Samuel Faber dari Pixabay)
Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh Samuel Faber dari Pixabay)
  • Sumber energi matahari di Indonesia, berlimpah, tetapi pemanfataan terkendala. Realisasi kapasitas PLTS terpasang pada 2022 baru 271,6 MWjauh di bawah rencana 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM.
  • Data KESDM (2022) menunjukkan, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya 3.294 gigawatt-peak (GWp), meningkat dari 207 GWp pada perhitungan sebelumnya dalam encana Umum Energi Nasional (RUEN).
  • Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menyayangkan, capaian rendah ituTerlebih lagi, PLTS dapat menjadi kunci pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) khusus sektor ketenagalistrikan.
  • Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, meskipun PLTS skala residensial perlu biaya dan perawatan lebih tinggi, skala komunitas dan rumah tangga menjadi solusi terbaik untuk memenuhi target bauran energi terbarukan. 

Mahmud Idris menyambut saya dengan hangat saat mendatangi rumahnya di Desa Ilomata, Kecamatan Bulango Ulu, Bone Bolango, Gorontalo pada akhir April lalu. Lelaki 24 tahun ini membantu saya untuk melihat langsung Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang tak jauh dari rumahnya. Ia bilang, PLTS ini adalah satu-satunya sumber listrik dari energi terbarukan yang ada di desanya.

Desa Ilomata memang salah satu desa di Gorontalo yang wilayahnya terisolir. Jaraknya sekitar 19 kilometer dari Kota Gorontalo, Ibu Kota Provinsi Gorontalo, dan 31 kilometer dari pusat Pemerintah Kabupaten Bone Bolango. Akses jalan yang kurang baik membuat desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) ini sulit dialiri listrik negara.

Kondisi itu yang membuat Kementerian ESDM RI memberikan bantuan PLTS berkapasitas 15 Kwp pada tahun 2014. Saat diaktifkan, kata Mahmud Idris, ada sekitar 75 Kepala Keluarga (KK) menikmati listrik dari tenaga matahari itu. Setiap KK diberikan meteran dengan kapasitas 250 Watt dan pembayarannya sekitar Rp 20 ribu per-bulan. Ia bilang, saat dapat bantuan PLTS itu seperti “hujan di siang bolong”.

“PLTS itu membawa keterangan di Desa Ilomata yang sudah puluhan tahun mengalami kegelapan. Kami sangat bersyukur karena anak-anak kami saat itu sudah bisa belajar dengan cahaya yang cukup terang,” kata Mahmud Idris

Namun, kata Mahmud, PLTS itu hanya bertahan beberapa tahun saja karena sering mengalami kerusakan. Puncaknya, pada 2018 menjadi tahun akhir sumber energi ramah lingkungan itu beroperasi. Saat itu juga, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mulai masuk di Desa Ilomata, dan masyarakat ramai-ramai beralih dari energi bersih itu ke energi yang mayoritas sumbernya berasal dari bakar fosil itu.

Pada kunjungan saya pada akhir April lalu mengafirmasi cerita Mahmud Idris. PLTS yang berada di dusun III Desa Ilomata itu sudah tidak sama sekali berfungsi atau terbengkalai. Ada sekitar 30 penal surya yang digunakan di PLTS itu terlihat rapuh dan berkarat. Peralatan pendukung lainnya pun mengalami hal serupa. Masyarakat sekitar juga sudah menggunakan listrik PLN.

“Semua masyarakat di Desa Ilomata sudah menggunakan PLN. Jika PLTS ini tidak rusak, mungkin masih ada yang menggunakan sumber listriknya,” jelas Mahmud Idris.

Mahmud Idris saat di PLTS yang ada di Desa Ilomata (Foto: Sarjan Lahay)
Mahmud Idris saat di PLTS yang ada di Desa Ilomata (Foto: Sarjan Lahay)

Sebenarnya, PLTS terbengkalai dan tidak digunakan lagi di Desa Ilomata adalah satu dari banyak cerita PLTS di Indonesia yang mengalami hal serupa. Padahal, potensi tenaga surya di Indonesia sangat besar, bahkan melimpah.

Data Kementerian ESDM (2022) menunjukan, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya sebesar 3.294 gigawatt-peak (GWp), meningkat dari hanya 207 GWp pada perhitungan sebelumnya dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Bahkan, menurut hitungan Institute for Essential Services Reform (IERS) dan Global Environmental Institute (GEI) pada tahun 2021 menemukan, potensi teknis energi surya di Indonesia dapat mencapai sekitar 20.000 GWp tergantung pada asumsi kesesuaian lahan.

Meskipun potensi energinya sangat besar, realisasi kapasitas PLTS terpasang pada tahun 2022 baru sebesar 271,6 MW atau jauh di bawah rencana sebesar 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM. Angka itu masih sangat kecil dibandingkan dengan pemanfaatan energi surya di negara lain yang telah mencapai orde gigawatt.

Baca juga: Masyarakat Adat Moa Penuhi Energi dari Air yang Melimpah

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR mengatakan, capaian itu sangat disayangkan. Terlebih lagi, PLTS dapat menjadi kunci pencapaian target energi terbarukan dan juga penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) khususnya di sektor ketenagalistrikan.

“Potensi pasar PLTS cukup baik. Namun, regulasi dan kombinasi kerangka kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung membuat tenaga listrik dari sumber energi matahari ini belum dimaksimalkan,” kata Marlistya Citraningrum melalui pesan Whatsapp.

Padahal, kebijakan pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium terhadap pengembangan proyek pembangkit listrik berbahan bakar batubara baru dan target jangka panjang net-zero emission (NZE), dapat menciptakan peluang untuk memaksimal potensi EBT, terutama tenaga surya.

Akan tetapi, Kementerian ESDM mencatat capaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga 2023 baru mencapai 13,09%, dan penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara masih mendominasi. Padahal kurang lebih dua tahun lagi, bauran EBT RI ditargetkan harus dapat mencapai 23% pada Tahun 2025 mendatang.

Studi Asian Development Bank (ADB) memprediksi Indonesia akan gagal mencapai target bauran energi melalui EBT. Penyebabnya diantaranya; Biaya proyek EBT yang lebih tinggi dibandingkan penetapan harga tertinggi pembelian; Ketidakmampuan mengintegrasikan EBT serta tidak memadainya panduan perencanaan; dan Tingginya biaya dan risiko EBT di Indonesia.

ADB juga menginventarisir penyebab lain, misalnya perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) yang tidak berimbang sehingga berdampak pada PPA menjadi kurang bankable dan potensi benturan kepentingan dalam peran PLN yang berperan sebagai perencana, operator, dan juga generator pengembangan EBT di Indonesia.

Alhasil, pada Januari 2024 lalu, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 menjadi 17-19 persen dari target sebelumnya sebesar 23 persen lewat pembaharuan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beralasan, target bauran EBT dI Indonesia seharusnya bukan dalam bentuk persentase, melainkan dalam satuan angka kapasitas terpasang. Sementara perubahan target di kisaran angka tersebut dimaksudkan agar capaian target tetap masuk meski hanya tercapai di skenario angka terendah.

Adapun peta jalan transisi energi pada Revisi PP KEN tersebut, ditargetkan pada tahun 2030 bauran energi primer EBT mencapai 19-21 persen, lalu pada 2030 sekitar 25-26 persen, kemudian pada 2040 ditargetkan mencapai 38-41 persen, hingga pada 2060 mendatang sebesar 70-72 persen.

Dengan perubahan target itu, Marlistya mengaku pesimis Indonesia bisa mencapai target Persetujuan Paris (Paris Agreement). Apalagi adanya kebijakan membatasi pemanfaatan PLTS sekitar 10-15 persen dari kapasitas membuat keekonomian PLTS menjadi rendah dan tidak menarik. Akibatnya, sepanjang 2021-2022, kondisi PLTS atap mengalami stagnasi.

“Belum lagi persoalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk harga listrik tenaga surya yang ‘disamakan’ dengan pembangkit fosil membuat daya tarik investasi rendah. Terlebih lagi, proses pengadaannya tidak reguler dan kurang transparan,” jelasnya

Terjepit Regulasi

Pada Januari 2024 lalu, pemerintah membuat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) untuk kepentingan umum. Regulasi tersebut merupakan hasil revisi dari peraturan sebelumnya yakni Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.

Net metering adalah sistem layanan yang diberikan PLN untuk pelanggannya yang memasang sistem PLTS di properti mereka. Artinya, meskipun Anda memasang sistem PLTS untuk kebutuhan rumah tangga, Anda tetap harus menggunakan jaringan listrik konvensional (PLN).

Selain itu, Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU) untuk lima tahun. Regulasi ini juga menetapkan periode pendaftaran setahun 2 kali dan kompensasi yang diberikan oleh negara pada PLN jika biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap.

Baca juga: Second NDC Indonesia Perlu Cerminkan Target Ambisius Penurunan Emisi

Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, penambahan pasal yang mensyaratkan adanya kuota ini mengkhawatirkan jika pengusulan dilakukan secara subjektif berdasarkan kepentingan bisnis dari pemegang IUPTL yakni PLN. Ia bilang, alih-alih mendukung transisi energi terbarukan, Permen itu justru akan menghambat penambahan PLTS atap.

Dalam Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 itu memang menjelaskan, PLN diberikan porsi besar selaku pemegang IUPTL dalam mengusulkan kuota PLTS atap on grid. Prosedurnya, pemegang IUPTL mengusulkan kuota pengembangan PLTS atap kepada Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.

Disisi lain, kata Beyrra, kondisi kelistrikan Indonesia sedang mengalami pasokan berlebih karena pembangkit skala besar berbasis fosil. Artinya, usulan kuota PLTS atap dari Pemegang Izin IUPTL bisa sangat kecil bahkan mungkin tidak diusulkan kuotanya dengan dali oversupply. Terlebih lagi, katanya, masih ada PLTU yang sudah terlanjur dibangun

Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/solarimo-15097051/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4824604">Solarimo</a> dari <a href="https://pixabay.com/id//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4824604">Pixabay</a>)
Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh Solarimo dari Pixabay)

“Penentuan kuota ini yang akan menghambat pemanfaatan potensi energi terbarukan secara maksimal. Pemerintah Indonesia tidak merasa diuntungkan jika tidak mensyaratkan adanya kuota ini,” kata Beyrra Triasdian.

Beyrra menduga regulasi itu jadi alat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering. Ia juga menduga ada pola perjanjian jual-beli batubara yang sudah terlanjur ditandatangani pemerintah, serta ada kesalahan perhitungan kebutuhan listrik Indonesia yang menyebabkan oversupply.

“Tak heran, bauran energi listrik Indonesia masih mayoritas dari energi fosil, khususnya berbahan bakar batubara yang sudah terbukti merusak lingkungan,” jelasnya

Sementara, kata Beyrra, alasan oversupply hanya terjadi di pulau-pulau besar, dan banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang belum teraliri listrik hingga saat ini. Data Kementrian ESDM menyebut, hingga akhir tahun 2023, masih terdapat 185.662 rumah tangga yang tersebar di 140 desa yang belum teraliri listrik. Desa-desa tersebut terkonsentrasi di Pulau Papua.

Baca juga: KTT COP28 Kontroversi, Kontradiktif dan Ambigu

Padahal, menurut riset IESR, potensi teknis PLTS atap bisa mencapai 655 GWp untuk bangunan rumah saja. Pembangunannya pun bisa dilakukan secara cepat dengan melibatkan investasi dari masyarakat, tanpa membebani pemerintah. PLTS atap pun dapat menutupi kesenjangan dengan target bauran energi terbarukan di 2025 sebesar 3 hingga 4 GW.

“Untuk kejadian skala residensial ini, Pemerintah Indonesia tidak merasa diuntungkan, sekalipun masyarakat memanfaatkan energi matahari ini secara sukarela, maupun menyediakan biaya modal pembangkit listriknya sendiri,” jelasnya.

Meskipun PLTS skala residensial akan membutuhkan biaya dan perawatan yang lebih tinggi, kata Beyrra, skala komunitas dan rumah tangga menjadi solusi terbaik untuk memenuhi target bauran energi terbarukan. Ia bilang, seharusnya pemerintah tidak membatasi pemanfaatan PLTS Atap di skala komunitas dan rumah tangga.

Sebaliknya, kata Beyrra, pemerintah saat ini justru hanya fokus membangun PLTS skala besar yang sarat masalah dan belum memenuhi kebutuhan masyarakatnya secara adil. Adil yang dimaksudnya itu adalah harus memenuhi Free, Prior, Informed, Consent (FPIC), dimana semua pihak termasuk masyarakat berhak diberitahu sebelumnya dengan segala resikonya, agar bisa memutuskan “setuju”, atau “tidak”

Apa yang dimaksud Beyrra itu sejalan dengan survei pasar yang dilakukan IESR di 7 provinsi di Indonesia pada 2019-2021. Hasilnya menunjukkan bahwa keekonomian menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk menggunakan PLTS Atap. Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan yang jelas serta cepat.

Sedangkan, menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama.

Baca juga: Operasi PLTU Captive Merusak Kehidupan Rakyat di Sulawesi

Menurut Fabby Tumiwa, dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari. Dengan begitu, katanya, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap. Pendeknya, regulasi ini justru menjepit penggunaan energi bersih di Indonesia.

Fabby bilang, tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). Menurutnya, dengan tarif listrik dikendalikan PLN, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1.

“Tanpa net-metering dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” kata Fabby Tumiwa melalui rilis yang diterima.

Tak hanya itu, Permen ini mewajibkan pengguna PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 MW untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik Pemegang IUPTLU, yaitu PLN.

Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/blazejosh-64945/?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4478105">Jude Joshua</a> dari <a href="https://pixabay.com/id//?utm_source=link-attribution&utm_medium=referral&utm_campaign=image&utm_content=4478105">Pixabay</a>)
Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh Jude Joshua dari Pixabay)

Bukan hanya itu, peraturan tersebut juga menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri – setara 5 jam per bulan.

Menurut Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, penghapusan biaya paralel itu akan menambah daya tarik bagi pelanggan industri. Namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga ikut akan menambah komponen biaya pemasangan.

“Aturan peralihan ini perlu diinformasikan secara jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” kata Marlistya

Baca juga: Pemukiman Terapung Suku Bajo Torosiaje Ternyata Adaptif Perubahan Iklim

Marlistya menyayangkan bahwa permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN, yang dapat menghambat partisipasi konsumen listrik dalam mendukung tujuan pemerintah untuk mempercepat transisi energi di Indonesia. Padahal, katanya, PLTS atap adalah langkah strategis menggenjot energi terbarukan dengan biaya gotong royong.

“PLTS Atap menjadi upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang murah dan tidak membebani negara karena konsumen listrik melakukan investasi dalam energi terbarukan tanpa subsidi negara,” ujarnya

Meski begitu, Fabby Tumiwa berharap agar aturan baru ini dapat diimplementasikan dengan memperhatikan manfaat yang didapatkan negara jika PLTS atap dibiarkan tumbuh pesat, yaitu peningkatan investasi energi terbarukan, tumbuhnya industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK.

Fabby mendesak agar dilakukan evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan Permen untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah pun perlu secara terbuka untuk merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.

 


Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.