TNBNW jadi Relokasi Warga Terdampak Bendungan Bulango Ulu?

Desa yang nanti akan ditenggelamkan untuk bendungan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Desa yang nanti akan ditenggelamkan untuk bendungan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Pembangunan Bendungan Bulango Ulu di Gorontalo, mulai berjalan. Proyek strategis nasional senilai Rp2,2 triliun ini akan dibangun setinggi 65,9 meter dan luas genangan 690 hektar berlokasi di tiga desa di Kabupaten Bone Bolango. Tiga desa itu Desa Tuloa, Owata dan Mongiilo.
  • Dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), akan ada pelepasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW] jadi alokasi penggunaan lain (APL) seluas 1.000 hektar. Niatnya, lahan itu untuk warga terdampak langsung genangan air bendungan.
  • Soelthon Nanggara, Ketua Forest Watch Indonesia mengatakan, perubahan status Taman Nasional Bogani Nani Wartabone bisa berbahaya terhadap lingkungan dan sosial. Pasalnya, taman nasional itu merupakan suatu kawasan yang memiliki ekosistem asli sebagai penyeimbang lingkungan.
  • Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki biodiversitas tinggi dan habitat penting bagi spesies khas Sulawesi. Teridentifikasi ada 125 jenis burung, 24 jenis mamalia, 23 jenis amphibi dan reptil, serta 289 jenis pohon. 

Belasan ekskavator sibuk membongkar gunung. Bongkahan batuan dan pasir itu masuk ke dalam truk pengangkut berkapasitas delapan ton yang berjejer rapi di tepi jalan. Begitu aktivitas di lokasi pembangunan Bendungan Bulango Ulu, Gorontalo ini.

Proyek strategis nasional senilai Rp2,2 triliun ini akan dibangun setinggi 65,9 meter dan luas genangan 690 hektar berlokasi di tiga desa di Kabupaten Bone Bolango. Tiga desa itu Desa Tuloa, Owata dan Mongiilo.

Dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), akan ada pelepasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW] jadi alokasi penggunaan lain (APL) seluas 1.000 hektar. Niatnya, lahan itu untuk warga terdampak langsung genangan air bendungan.

Hamim Pou, Bupati Bone Bolango, membenarkan alokasi lahan buat warga di TNBNW itu. “Kami berharap, di areal 1.000 hektar itu, bisa disiapkan lokasi untuk warga,” katanya kepada Mongabay, pada penghujung November lalu.

Basir Noho, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bone Bolango bilang, sedang mengurus perubahan status itu. Hal ini, katanya, demi memikirkan warga terdampak pembangunan bendungan.

Dia bilang, area TNBNW yang mereka usulkan itu untuk program tanah obyek reforma agraria (Tora) dan program pemberdayaan ekonomi kolaboratif berbasis masyarakat.

Kalau masyarakat mengolah lahan dengan baik, pasti tidak ada ancaman kerusakan lingkungan.“Masyarakat boleh mengelola lahan di kawasan taman nasional, tapi tidak ada kepemilikan,” katanya.

Supriyanto, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (BTNBNW) Gorontalo juga memberikan informasi itu. Namun dia belum menerima surat resmi dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II sebagai pelaksana teknis.

Dia bilang, dalam proses perubahan status di kawasan TNBNW harus ada izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Katanya, banyak prosedur harus dilewati untuk melakukan itu.

“Jika mereka sudah menyurati KLHK, nanti ada tim yang dibentuk menilai dan mengevaluasinya. Kami tidak bisa bicara lebih jauh masalah ini, karena belum menerima surat resmi.”

Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II tak mau komentar soal ini.

Soelthon Nanggara, Ketua Forest Watch Indonesia mengatakan, perubahan status TNBNW bisa berbahaya terhadap lingkungan dan sosial. Pasalnya, taman nasional itu merupakan suatu kawasan yang memiliki ekosistem asli sebagai penyeimbang lingkungan.

“Jangan sampai alih fungsi lahan taman nasional sebagai tempat relokasi menimbulkan masalah baru.”

TNBNW, merupakan taman nasional darat terbesar di Sulawesi, dengan luas 282.008,757 hektar, mencakup dua wilayah, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, dan Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Taman nasional yang masuk Gorontalo seluas 110.000 hektar.

Taman nasional ini memiliki biodiversitas tinggi dan habitat penting bagi spesies khas Sulawesi. Teridentifikasi ada 125 jenis burung, 24 jenis mamalia, 23 jenis amphibi dan reptil, serta 289 jenis pohon.

Desa yang nanti akan ditenggelamkan untuk bendungan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Desa yang nanti akan ditenggelamkan untuk bendungan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Tak hanya itu, anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), babirusa (Babyrusa babyroussa), maleo (Macrocephalon maleo), yaki (Macaca nigra dan Macaca nigrescens), juga kuskus beruang Sulawesi (Ailurops ursinus) ada di taman nasional ini. Ada juga flora endemik seperti cempaka, palem matayangan, dan nantu.

Soelthon bilang, pemerintah harus terbuka dalam pemilihan tempat relokasi kepada warga terdampak. Dia bilang, kalau alih fungsi terjadi, fungsi taman nasional sebagai penyangga kehidupan warga akan hilang. Untuk itu, katanya, harus ada amdal khusus dalam alih fungsi ini.

“Apakah tidak ada pilihan tempat lain, selain taman nasional sebagai tempat relokasi?” tanyanya.

Kalau TNBNW jadi tempat relokasi, katanya, akan ada pembersihan hutan. Belum lagi kerawanan lain akan muncul seperti pembalakan lir, perburuan satwa, dan kerusakan lingkungan.

Bendungan bukan solusi utama banjir

Mega proyek triliun ini disebut untuk pengendalian banjir di Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Yakob Lahmutu, anggota Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) mengatakan, pembangunan Bendungan Bulango Ulu bukan solusi utama mengatasi persoalan banjir di Gorontalo.

Seharusnya, penataan dari hulu ke hilir, bukan membangun bendungan. Dia sebutkan, atasi persoalan banjir salah satu dengan restorasi dan rehabilitasi kawasan yang rusak.

Pemerintah, katanya, harus mencari solusi utama masalah banjir, bukan hanya menyediakan penampungan air berupa bendungan. Masalah deforestasi yang makin meningkat di Gorontalo, kata Yakob, seharusnya jadi poin pertimbangan dalam mencari solusi banjir.

“Kita pesimis Bendungan Bulango Ulu jadi solusi utama banjir,” katanya.

Proyek bendungan di Gorontalo, mulai jalan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Proyek bendungan di Gorontalo, mulai jalan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Data Forest Watch Indonesia, deforestasi di Gorontalo terus mengalami peningkatan. Satu contoh, hutan alam di Gorontalo pada 2000 seluas 823.390 hektar, tahun 2009 turun jadi 735.574 hektar. Kemudian, pada 2013 turun lagi jadi 715.293 hektar dan 2017 tinggal 649.179 hektar.

Penyebab deforestasi di kawasan hutan didominasi konsesi pertambangan ada 6.036 hektar. Diikuti lahan pertanian 3.133 hektar, perkebunan sawit 1.645 hektar dan hutan tanaman industri (HTI) 987 hektar.

Global Forest Watch juga mencatat, dari 2002-2020, Gorontalo kehilangan 52,3 hektar hutan primer basah, dan menyumbang 42% dari total kehilangan tutupan pohon dan periode sama. Area hutan primer basah di Gorontalo berkurang 7,2% dalam periode waktu ini.

Yakob bilang, dengan ada bendungan, warga terdampak bisa jadi akan membuka lahan kembali di kawasan hutan. Apalagi, ada rencana perubahan di kawasan TNBNW. Kondisi ini, katanya, akan meningkatkan deforestasi di Gorontalo.

“Tidak ada jaminan jika masyarakat tidak melakukan pembabatan hutan akibat terdampak bendungan. Apalagi dengan ada bendungan, akses menuju kawasan hutan sudah terbuka.”

Ketika tutupan hutan di hulu tergerus, katanya, akan memberikan sedimentasi cukup besar. “Itu akan berdampak ke umur bendungan.”

Proyek pembangunan bendungan di Gorontalo mulai berlangsung. Tampak di dataran tinggi mulai gundul untuk bikin sprasarana pendukung bendungan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Proyek pembangunan bendungan di Gorontalo mulai berlangsung. Tampak di dataran tinggi mulai gundul untuk bikin sprasarana pendukung bendungan. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Bingung pindah ke mana

Sementara itu, warga terdampak di tiga desa ada ribuan jiwa. Di Desa Tuloa, Kecamatan Bulango Utara ada 711 jiwa dari 212 keluarga, Kecamatan Bulango Ulu, Desa Owata ada 311 keluarga, dan Desa Mongiilo sebanyak 224 keluarga.

Usman Harun, warga Desa Mongiilo, Kecamatan Bolang Ulu, adalah petani kopra. Dia pasrah kala lahan perkebunan kelapa akan tenggelam karena bendungan. Hingga kini, dia belum tahu mau tinggal dimana.

“Pekerjaan hari-hari saya, hanya mengurus kelapa. Kelapa ini sudah dihargai untuk diganti karena terdampak pembangunan bendungan,” katanya.

Usman bilang, mayoritas penduduk di Bulango Ulu merupakan petani. Ada kelola kebun jagung, kelapa, buah-buahan, atau memanfaatkan pohon enau sebagai bahan baku gula aren.

“Awalnya, warga menolak pembangunan bendungan ini, karena mereka tidak mau lahan pertanian hilang. Kini, sudah banyak yang menerima larena dijanjikan ganti rugi yang sesuai,” katanya.

Usman bilang, kemungkinan akan membangun rumah di bukit yang tidak tergenangi air bendungan tetapi nanti setelah ada pembayaran ganti rugi.

“Kita mau tinggal dimana lagi, semua akan tenggelam. Bisa jadi saya akan mencari bukit yang tidak digenangi air untuk menjadi tempat tinggal.”

Sahruni Dukalang, warga Desa Owata juga bingung mau tinggal dimana kalau nanti mulai penenggelaman bendungan. Dia berharap, pemerintah bisa menyediakan lokasi untuk tempat tinggal nanti. Kalau tidak, dia tetap memilih tinggalkan desanya.

“Pasti gunung-gunung di sekitaran desa akan menjadi pemukiman, karena warga tidak tahu akan tinggal di mana lagi,” kata Sahruni.

Usman Harun, warga dengan rumah dan lahan bakal ditenggelamkan saat bendungan beroperasi. Petani kelapa ini belum tahu mau pindah ke mana. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Usman Harun, warga dengan rumah dan lahan bakal ditenggelamkan saat bendungan beroperasi. Petani kelapa ini belum tahu mau pindah ke mana. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Dia bilang, akan ada perubahan kehidupan masyarakat di lokasi terdampak. Banyak warga berencana tinggal di Kota Gorontalo kalau tak ada tempat relokasi.

“Di sini sudah banyak rumah, rumah itu suatu saat akan tenggelam. Lokasi ini akan jadi seperti danau. Sumber kehidupan masyarakat akan hilang,” katanya.

Tempat relokasi untuk warga terdampak pembangunan Bendungan Bolango Ulu sampai hari ini belum jelas. Metode pembayaran ganti rugi dengan uang menjadi salah satu penyebab. Balai Wilayah Sungai [BWS] Sulawesi II tidak menyediakan tempat relokasi bagi mereka yang mau menerima ganti rugi dengan pembayaran sejumlah uang.

Ali Antukai, Kepala Desa Owata ingin masalah yang dihadapi warga bisa cepat selesai. Dia berharap, pemerintah kabupaten dan provinsi, bisa memikirkan relokasi yang tak jauh dari desa, meski metode pembayaran ganti rugi dengan uang.

“Tempat tak jauh dari lokasi desa awal agar tidak menghilangkan administrasi Desa Owata,” katanya.

Ali mengatakan, kalau ada satu desa hilang dampak pembangunan bendungan ini akan berpengaruh kepada administrasi kecamatan. Setiap kecamatan, katanya, harus memiliki minimal enam Desa. “Ini harus jadi perhatian pemerintah kabupaten dan provinsi.”

Dia pun meminta pemerintah membuat jalan agar warga bisa menentukan tempat relokasi sebelum desa tenggelam.

Dalam dokumen amdal, bangunan terdampak pembangunan Bendungan Bulango Ulu di Desa Owata ada 175 rumah, yang masuk genangan 157 rumah. Desa Mongiilo ada 335 rumah, yang terkena genangan ada 280 rumah. Rumah terdampak di Desa Tuloa, Kecamatan Bulango Utara, tidak tercatat dalam amdal.

Adapun lahan yang akan terkena genangan air, terdiri dari kebun 35,11 hektar; lahan kosong, gundul 9,79 hektar, perkebunan 88,77 hektar, pemukiman 8,36 hektar, semak belukar 134,27 hektar, sungai 21,03 hektar; dan tegalan atau ladang 306,61 hektar.

Dalam amdal juga tercatat, relokasi pemukiman pertanian bagi warga terdampak bendungan seluas 2,127 hektar berada di Desa Mongiilo Utara 905,82 hektar, Ilomata 419 hektar, Pilolaheya 401,49 hektar, dan Suka Makmur 400,61 hektar.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.