Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Hutan yang sudah dibabat untuk dijadikan sebagai kebun tebu. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Jutaan Hektar Kebun Tebu di Papua akan Menggerus Masyarakat Adat?

  • Pemerintah Indonesia berencana mengembangkan industri perkebunan tebu jutaan hektar di Merauke, Papua Selatan. Proyek ini digadang-gadang untuk mendukung swasembada gula nasional dan bioetanol. Berbagai kalangan khawatir rencana ini berisiko menyengsarakan Masyarakat Adat Papua.
  • Proyek pangan dan energi seluas 2 jutaan hektar ini masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) sebagai lanjutan dari proyek pengembangan pangan skala besar (food estate). Nilai investasi proyek ini mencapai US$8 miliar, setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252). 
  • Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, mengatakan, proyek pangan dan energi ini akan menjadi masalah baru Orang Asli Papua dalam mempertahankan tanah mereka. Terlebih, proyek ini masuk sebagai proyek strategis nasional PSN yang berisiko menafikan partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan dan pelaksanaan PSN.
  • Sri Palupi, Peneliti The Institute For Ecosoc Rights pun memprkirakan, proyek percepatan swasembada gula nasional dan bioetanol ini akan menciptakan kembali cerita kelaparan di tanah Papua. Proyek ini akan “membunuh” pelan-pelan Masyarakat Adat Papua.

Pemerintah Indonesia sedang membangun perkebunan tebu skala besar di tanah Papua, tepatnya di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Proyek ini bertujuan untuk mendukung percepatan swasembada gula nasional dan Bioetanol sebagai bahan bakar nabati ini. Sekitar 2 juta hektar lahan yang akan digunakan.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sudah membuat Satuan Tugas (Satgas) untuk mempercepat proyek ini pada 19 April 2024 lalu. Bahlil Lahadalia Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mejadi Ketua Satgasnya.

Adapun lahan yang digunakan sekitar 2 juta hektar. Proyek pangan dan energi ini pun bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai lanjutan dari program Food Estate. Nilai investasi yang dibutuhkan dalam proyek tersebut mencapai US$8 miliar atau setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252,15).

Proyek ini terbagi dalam 4 klaster, dan bakal terdapat 5 konsorsium dalam negeri yang akan terlibat untuk mengembangkan proyek tersebut. PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN) atau Sugar Co dan Wilmar Group pun bakal itu bergabung ke dalam konsorsium tersebut. Proyek ini bakal dikelola oleh swasta dan BUMN.

Konsorsium itu akan membangun 5 pabrik gula, lahan pabrik gula, sekaligus produksi bioetanol, kebun, dan pembangkit listrik dengan kapasitas 120 megawatt (120 MW). Akses jalan, pelabuhan, hingga bendungan akan di ikut dibangun sebagai infrastruktur pendukung kepada proyek ini.

Baca jugaKebun Tebu Datang, Jutaan Hektar Hutan Papua akan Hilang

Saat ini, proyek tersebut sudah mulai berjalan dan sedang dalam tahapan pembibitan awal dengan luas lahan pembibitan mencapai 120 hektar, yang dikembangkan oleh PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri. Bibit tebu yang digunakan itu diimpor dari negara Australia, dan diperkirakan proses pembibitan itu akan butuh waktu hingga 11 bulan.

Namun, menurut Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, proyek ini akan memperpanjang cerita konflik agraria di tanah cendrawasih. Ia bilang, proyek ini juga pasti akan mengabaikan hak-hak masyarakat adat di wilayahnya dengan menggerus ruang hidup mereka.

Diketahui, menurut Undang-Undang Otonomi khusus Papua, semua orang asli papua (OAP) merupakan masyarakat hukum adat. Hampir seluruh sumber daya di hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan orang papua. Kegiatan mereka di dalam hutan pun sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu, sebelum adanya Negara

Masyarakat Adat di Papua memiliki pemikiran yang mendalam terkait interaksinya dengan hutan. Menurut mereka, hutan tidak hanya dimaknai sebagai sumber pemenuhan kebutuhan jasmani saja, namun lebih dari itu, hutan juga menjadi inspirasi budaya yang melahirkan ikatan-ikatan spiritual dan religi. Bagi orang papua, hutan adalah “Ibu” yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Meskipun demikian, kata Franky, kemegahan hutan alam di tanah Papua tidak pernah lepas dari ancaman deforestasi dan degradasi. Industri-industri ekstraktif berbasis lahan secara masif dan sistematis terus mengkonversi hutan alam dan menggerus kehidupan Masyarakat Adat Papua dari tanah ulayat mereka. Hal itu pun memicu konflik agraria.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut, sejak Tahun 2015 hingga 2023, ada 2.939 letusan konflik yang mencakup 6,3 juta hektar lahan dan ada 1,759 juta keluarga menjadi korban di Indonesia. Sementara di Papua, ada 41 letusan konflik terjadi di 85 ribu hektar lahan dan ada 83 ribu keluarga menjadi korban.

Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pun menyebut, per 18 Maret 2024, ada setidaknya 241 peta wilayah adat dengan total 12,2 juta hektar tersebar di lima provinsi di tanah Papua. Namun, baru 16 peta wilayah adat dengan total 564,370 hektar yang baru dapat status pengakuan penetapan oleh pemerintah daerah.

Ironisnya, Hutan Adat yang ditetapkan di Tanah Papua oleh pemerintah pusat baru 39.841 hektar saja, yang tersebar di dua Provinsi, yaitu Papua dan Papua Barat. Artinya, baru sekitar 0,3 persen dari total wilayah adat di Tanah Papua yang ditetapkan Pemerintah Indonesia menjadi Hutan Adat.

Menurut Franky, proyek pangan dan energi ini akan menjadi masalah baru yang akan dihadapi Orang Asli Papua dalam mempertahankan tanah ulayat mereka. Terlebih lagi, proyek tersebut dimasukan sebagai PSN yang sifatnya menafikan partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan dan pelaksanaan PSN.

Apalagi, kata Franky, skema PSN telah memasukkan semua kategori proyek bisnis termasuk bisnis pangan dan energi oleh swasta asing. Kondisi ini, katanya, akan menambah cerita perampasan tanah dan memperparah eskalasi konflik agraria akibat percepatan PSN di Papua.

Orientasi pengalokasian tanah semata untuk kemudahan investasi PSN itu yang diakomodir pemerintah melalui berbagai regulasi turunan UU Cipta Kerja. Misalnya: PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional; PP 64/2021 tentang Bank Tanah; dan PP 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Franky bilang, regulasi-regulasi itu telah mendiskriminasi hak konstitusional masyarakat, sehingga memperlemah posisi masyarakat khususnya petani dan masyarakat adat terkait hak atas tanah yang telah mereka kuasai, garap dan tempati selama puluhan tahun, bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan.

Baca juga: Perusahaan Kayu Hancurkan Hutan Alam dan Gambut Kalimantan, Ancam Habitat Orangutan

Melalui UU Cipta Kerja dan ragam regulasi turunannya, katanya, telah menyebabkan perampasan tanah bekerja begitu cepat dengan dalih percepatan pembangunan nasional. Pendeknya, proyek pangan dan energi di Papua Selatan ini sarat dengan wajah kekerasan karena akan terjadi perampasan tanah dan penggusuran rakyat yang ada di wilayah proyek.

“Kebijakan program dan peraturan yang ada sekarang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat di daerah, termasuk di Papua. Sehingga terjadilah yang disebut sebagai perampasan lahan dalam skala luas,” kata kata Franky Samperante kepada Mongabay pada 26 April lalu.

Apa yang dikatakan oleh Franky Samperante itu selaras dengan penelitian yang dilakukan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan FIAN Indonesia pada tahun 2023 dengan judul “Biopolitik Food Estate dan Kerusakan Metabolik Alam-Manusia Papua”. Dalam penelitian itu menjelasan, pertanian skala luas berbasis tanah justru memperburuk kondisi pangan dan gizi orang asli papua

Penelitian itu mengambil studi kasus dari implementasi program bernama Lumbung Pangan Nasional yang berubah menjadi program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di masa pemerintahan Presiden SBY (2009-2014), Sawah sejuta hektar ala Presiden Jokowi (2014-2015), serta proyek Food Estate terkini yang berbasis komoditi jagung di dua kabupaten, yaitu Keerom dan Boven Digoel, Provinsi Papua.

Dimana, sepanjang lebih dari satu dekade, program food estate dengan berbagai sebutan itu selalu menyasar tanah subur Papua untuk dijadikan lumbung pangan. Alih-alih menghasilkan banyak makanan dan kesejahteraan, proyek itu justru berkonsekuensi pada kekurangan gizi dan kemiskinan. Perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak dari proyek tersebut.

“Sampai hari ini, semua sektor ekstraktif, termasuk proyek pangan dan energi tidak memberikan dampak positif kepada orang papua. Justru orang yang dari luas papua yang menikmatinya, termasuk korporasi-korporasinya,” tegas Franky Samperante

Wilayah konsesi PT Global Papua Abadi (GPA), salah satu perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Wilayah konsesi PT Global Papua Abadi (GPA), salah satu perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Memiskinkan Masyarakat Adat Papua

Iwan Nurdin, aktivis FIAN Indonesia mengatakan pertanian skala besar itu sudah terbukti hanya menguntungkan korporasi saja, dan memiskinkan masyarakat, khususnya Orang Asli Papua atau Masyarakat Adat Papua. Hal itu pun selaras dengan penelitian yang dilakukan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan FIAN Indonesia pada tahun 2023 lalu itu.

Adapun penelitian itu menjelaskan, program food estate dengan berbagai sebutan yang dibuat sejak tahun 2010 hingga sekarang tidak memberikan dampak yang positif untuk menurunkan angka kemiskinan di tanah cendrawasih. Sebaliknya, sampai tahun 2023, Papua terus menduduki peringkat pertama daerah termiskin di Indonesia.

Disisi lain, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 mendapati angka stunting di Papua adalah tertinggi ke-3 dari seluruh provinsi di Indonesia (34,6%) atau 13% lebih tinggi dari angka rata-rata Indonesia (21,6%). Dalam peta kerawanan pangan, Provinsi Papua pun selalu berwarna merah dari tahun ke tahun.

Penelitian itu pun menyebut, perubahan bentang alam Papua menjadi perkebunan dan pertambangan secara cepat dalam 20 tahun terakhir menjadi penyebab utama angka kemiskinan dan stunting di tanah Melanesia ini berada di atas rata-rata nasional.

Alih-alih ketahanan pangan dan energi, kata Iwan, percepatan swasembada gula nasional dan Bioetanol di di Papua tidak berbasiskan masyarakat, dan justru hanya memfasilitasi korporasi yang rakus lahan. Padahal, katanya, sudah ada proyek yang serupa dibuat Pemerintah Indonesia pada tahun 2010 yang terbukti gagal.

Baca juga: Potret Konflik Lahan Tambang Emas di Pahuwato

Proyek serupa yang dimaksud Iwan itu adalah program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke dibuat Pemerintah Indonesia pada 2010. Proyek pangan dan energi itu mengalami kegagalan akibat ketidaksesuaian pada aspek lahan.

Pasalnya, berdasarkan hasil penelitian Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) pada tahun 2010 menyebut, lahan yang ‘sangat sesuai’ ditanami tebu di Merauke hanya seluas 127.800 hektar saja. Adapun lahan yang “cukup sesuai” untuk ditanami tebu juga hanya 398.000 hektar saja.

Sementara itu, luas lahan di Merauke yang sesuai tetapi marginal atau membutuhkan modal yang tinggi dan campur tangan pemerintah maupun swasta mencapai 1,59 juta hektar. Sedangkan ada 11.870 hektar lahan yang tidak sesuai untuk ditanami tebu. Ini berarti hanya 25% dari 2 juta hektar lahan yang direncanakan cocok untuk ditanami tebu, dan sisanya berisiko gagal panen.

“Baiknya, pertanian-pertanian skala besar itu dihentikan,” kata Iwan dari FIAN Indonesia yang merupakan organisasi masyarakat sipil yang fokus mendorong hak atas pangan dan gizi sebagai pemenuhan hak asasi manusia bagi seluruh warga negara.

Meski begitu, PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN), salah satu perusahaan yang akan ikut membangun perkebunan tebu skala besar di Papua Selatan menepis hasil penelitian Lapan itu. Perusahaan Sugar Co itu optimis bahwa proyek swasembada gula dan bioetanol yang dibuat pemerintah tidak akan gagal seperti program MIFEE pada Tahun 2010.

Presiden Direktur Sugar Co Aris Toharisman mengatakan, kegagalan program MIFEE akan menjadi pembelajaran untuk mensukseskan proyek pangan dan energi itu. Ia bilang, dari 2 juta hektare lahan yang disiapkan untuk proyek swasembada gula dan bioetanol di Merauke, sekitar 50% atau 1 juta hektar di antaranya akan khusus dialokasikan untuk tanam tebu.

Aris bilang, saat ini pemerintah sedang menyusun feasibility study (FS) agar proyek kebun tebu jutaan hektar di Merauke, Papua Selatan itu bisa matang. Adapun lahan 1 juta hektar yang akan di tanam tebu juga masih dikaji oleh konsultan agar bisa mendapatkan angka produktivitas yang sesuai untuk penanaman tebu di lahan tersebut.

“Dahulu memang ada kegagalan-kegagalan terkait dengan MIFEE, barangkali itu menjadi pembelajaran dari kegagalan kita, bagaimana sekarang kita harus menyiapkan jauh lebih baik lagi agar kegagalan yang terjadi ini tidak terulang,” kata Aris Toharisman seperti dikutip di Bloomberg Technoz.

Walaupun begitu, Sri Palupi, Peneliti The Institute For Ecosoc Rights memprediksi, proyek percepatan swasembada gula nasional dan Bioetanol dengan luas lahan dua kali lebih besar dari Provinsi Banteng ini pasti akan menciptakan kembali cerita kelaparan di tanah Papua. Katanya, proyek ini akan “membunuh” secara pelan-pelan masyarakat adat Papua.

Terlebih lagi, katanya, proyek ini sudah berlabel PSN yang akan menghilangkan dengan paksa partisipasi masyarakat dan menganggap bahwa hutan adat milik masyarakat ada Papua adalah tanah kosong yang tidak memiliki penghuni. Dampak lanjutan yang akan terjadi adalah krisis pangan hingga memicu kelaparan, bagi Orang Asli Papua.

“Semua Masyarakat Adat Papua itu sangat bergantung pada hutan. Ketika hutan hilang, sumber kehidupan juga pasti akan hilang, dan akan terjadi krisis pangan. Sudah banyak kasus kelaparan yang terjadi di tanah Papua, dan ini bisa terjadi lagi dengan adanya perkebunan tebu skala besar,” kata Sri Palupi kepada Mongabay, 14 Mei lalu.

Baca juga: Sawit Datang, Danau Toju Hilang

Menurut Sri Palupi, logika pembangunan ekonomi yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia sangat salah kaprah. Dimana konsep pembangunan ekonomi yang digunakan saat ini hanya menguntungkan kelompok tertentu saja (pemodal dan kaum kaya). Sementara masyarakat akar rumput menjadi kelompok yang paling tertindas.

Sri Palupi bilang, salah satu bahaya terbesar dari salah kaprahnya konsep pembangunan tersebut adalah kecenderungan untuk menekan aspek material dari pertumbuhan. Konsekuensinya, masyarakat miskin, lembah, dan marjinal akan dipinggirkan.

“Menurut pemerintah, jika tanah diberikan kepada rakyat akan menyebabkan lambatnya pembangunan. Sehingga tanah-tanah itu diberikan kepada korporasi. Artinya, indikator utama pembangunan yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia adalah uang,” jelasnya

Padahal, kata Sri Palupi, pembangunan itu bukan tentang pabrik, bendungan, jalan, atau perkebunan tebu skala besar direncanakan di ujung paling timur Indonesia itu. Akan tetapi, katanya, pembangunan adalah tentang manusia.

“Tujuannya adalah pemenuhan materi, budaya, dan spiritual bagi masyarakat. Faktor manusia adalah nilai paling tertinggi dalam pembangunan,” tegasnya

Salah satu pos jaga milik perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)
Salah satu pos jaga milik perusahaan kebun tebu di Marauke. (Foto: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

Akan Memperpanjang Cerita Pelanggaran HAM

Tanah Papua menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang sarat akan konflik. Akibat kebijakan pembangunan membuat Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kerap terjadi di tanah cendrawasih ini. Aparat militer sering ditempatkan di berbagai tempat di Papua untuk mengamankan pembangunan atau aktivitas industri ekstraktif, selain meredam perlawanan senjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Fenomena itu terbukti dari kajian cepat 10 organisasi masyarakat sipil non pemerintah yang dibuat pada tahun 2021 dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya,”. Kajian cepat ini sempat membawa dua orang aktivis HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ke meja hijau.

Diketahui, keduanya dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan terkait dugaan pencemaran nama baik karena membahas konten dengan judul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!” yang tayang di kanal Youtube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021.

Dalam konten itu, kajian cepat dari 10 organisasi itu menjadi rujukan pembahasan Haris dan Fatia dalam membaca keterlibatan industri ekstraktif terhadap operasi militer di Tanah Papua. Pada januari 2024 lalu, keduanya divonis bebas karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Artinya, kajian cepat itu memiliki dasar riset yang kuat dan meyakinan.

Menurut Franky Samperante, apa yang dijelaskan dalam penelitian itu bisa terjadi dalam proyek percepatan swasembada gula nasional dan Bioetanol di Papua Selatan ini. Ia bilang, pasti akan terjadi mobilisasi militer secara besar-besaran untuk mengamankan proyek ini dengan dalil “menjaga stabilitas keamanan negara”.

“Artinya, proyek pangan dan energi ini akan memperpanjang cerita pelanggaran HAM di Tanah Papua,” kata Franky Samperante

Baca juga: Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’

Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sepanjang 2023 ada 5.301 berkas pengaduan dugaan pelanggaran HAM yang diterima. Dari aduan itu, ada 2.753 dugaan pelanggaran HAM. Meski jumlah itu mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, cerita dugaan pelanggaran HAM di Tanah Papua belum membaik sejauh ini.

Misalnya, selama Tahun 2023, setidaknya ada 113 peristiwa pelanggaran HAM di Papua yang dicatat oleh Komnas HAM. Temuan itu hanya kasus yang dipantau melalui media dan banyak di antara kasus tersebut berupa konflik kekerasan. Data itu juga mengafirmasi soal masih terbatasnya ruang demokrasi di Papua, karena masih ada penggunaan kekerasan dalam menangani demonstrasi.

Dimana, Komnas HAM menemukan, ada penanganan berlebihan excessive use of force di dalam menangani demonstrasi atau unjuk rasa, dan juga penerapan pasal makar untuk mempidanakan ekspresi dari warga di Papua. Pelaksanaan otonomi khusus jilid 2 di Papua menjadi penyebab utama kasus pelanggaran HAM sangat subur di Papua.

Catatan Akhir Tahun 2022 milik Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dengan judul “Otonomi Penguasa” memberikan gambar sedikit jelas bagaimana otonomi khusus jilid 2 di Papua berwajah otoritarianisme yang dikendalikan dan dijalankan berdasarkan kepentingan dan kekuatan penguasa dominan.

Selain itu, dalam catatan itu menyebut, UU Cipta Kerja menjadi alat penguasa negara dan modal untuk kepentingan bisnis, membuka keran investasi di tanah adat, memperlancar ekstraksi sumber daya alam dan produksi komoditi, perluasan pasar dari pengurasan hak buruh dan degradasi lingkungan.

Adapun penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan masih juga belum memenuhi rasa keadilan, menurut hasil penelitian itu. Hak dasar dan hak bebas berekspresi, sendi kehidupan demokrasi partisipasi dan institusi rakyat diabaikan dan dibungkam dengan cara kejam. Hal itu sejalan dengan suburkan pelanggaran HAM yang melibatkan militer.

Sri Palupi yakin, proyek pangan dan energi di Papua Selatan pasti tidak akan jauh berbeda dengan Industri-industri ekstraktif lainnya yang sudah masuk di Papua dengan pendekatan kekerasan. Ia bilang, ketika ada Orang Asli Papua yang melakukan penolakan atas proyek tersebut pasti akan dituduh tidak mendukung pembangunan atau gerakan separatis.

“Dengan begitu, aparat penegak hukum atau militer melegitimasi kekerasan yang menyebabkan pelanggaran HAM kepada Orang Asli Papua yang membuat gerakan penolakan itu. Disisi lain, korporasi yang diuntungkan,” jelas Sri Palupi.

Profesor Mirza Satria Buana, Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Lambung Mangkurat mengatakan, dalam konsep perlindungan HAM, pembangunan seharusnya memberikan ruang-ruang kebebasan dan kesempatan yang sama. Ia bilang, HAM menjadi esensi dari hukum dan pembangunan itu sendiri.

“Pembangunan tanpa ada struktur hukum dan perlindungan HAM kepada masyarakat, maka pembangunan itu hanyalah ilusi,” kata Profesor Mirza Satria Buana dalam Forum Diskusi Budaya yang dibuat oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional pada Senin 13 Mei lalu.

Profesor Mirza bilang, dalam perlindungan HAM seharusnya pemerintah memberikan “pilihan politik” dan meningkatkan kemampuan masyarakat, serta menyediakan mekanisme “kesepakatan” yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Selanjutnya, kata dia, pemerintah harus menyediakan mekanisme akuntabilitas kepada masyarakat.

Baca juga: Tambang Emas Ilegal Jarah Cagar Alam Panua

Selain itu, kata Profesor Mirza, pemerintah harus secara langsung melaksanakan kewajiban HAM-nya kepada masyarakat, serta tidak boleh ambigu dan harus jelas dan konsisten. Regulasi perlindungan HAM pun harus selaras dengan prakteknya di lapangan.

“Bagaimana mungkin pembangunan bisa berjalan sesuai HAM, kalau sedari awal pun tidak ada ruang yang diberikan rakyat untuk menyuarakan kepentingan mereka,” jelasnya

Iwan Nurdin. yang juga Ketua Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, pemerintah seharusnya mengembangkan pertanian berbasis masyarakat yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Papua.

Pasalnya, kata Iwan, perputaran ekonomi di pertanian berbasis masyarakat dapat dirasakan langsung oleh orang papua, dibandingkan dengan pertanian skala besar yang hanya menguntungkan korporasi saja.

Pemerintah juga diminta harus melindungi lahan-lahan pertanian milik warga papua yang sudah ada. Ia bilang, banyak lahan-lahan pertanian dan hutan adat milik orang asli papua yang dikonversi menjadi wilayah-wilayah industri hingga masuk dalam konsesi-konsesi perusahaan.

“Dalam konsep perlindungan HAM, orang asli papua tidak boleh menjadi buruh di tanahnya sendiri,” pungkasnya


Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik disini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.