Area Proyek Emas Pani di Pohuwato, Gorontalo.. (Foto: PETS)
Area Proyek Emas Pani di Pohuwato, Gorontalo.. (Foto: PETS)

Potret Konflik Lahan Tambang Emas di Pahuwato

  • Persoalan lahan antara warga penambang rakyat dan perusahaan tambang emas, PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS), berujung rusuh, September lalu. Anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) itu sudah menguasai lahan-lahan yang sejak dulu dikelola warga penambang.
  • Sekitar Februari, satgas mulai pendataan dan pendukumentasian lahan-lahan kaplingan masyarakat yang akan masuk program itu. Awal Agustus lalu, pendataan dan pendokumentasian lahan pun selesai, sekitar 2.135 berkas, dengan jumlah titik lokasi sama.
  • Sayangnya, alih-alih mendapatkan ganti rugi sesuai, lahan-lahan masyarakat penambang ternyata ada yang dihargai hanya Rp2,5 juta setiap berkas. Kondisi ini,  memicu kemarahan masyarakat hingga mereka demo September lalu, yang mengakibatkan peristiwa pembakaran.
  • Demonstrasi warga penambang di Pohuwato bukan kali ini terjadi. Dua dekade terakhir ini, warga penambang berulang kali unjuk rasa ke Pemerintah Pohuwato, selaku pemegang kekuasaan wilayah di ujung barat Gorontalo itu.

Kantor Bupati Pohuwato, Gorontalo menjadi korban saat ribuan masyarakat penambang emas yang mengatasnamakan Forum Ahli Waris Penambang Pohuwato melakukan demonstrasi pada Kamis 21 September lalu. Rumah Dinas Bupati, Kantor DPRD, hingga fasilitas milik perusahan pun ikut jadi korban.

Aksi tersebut buntut dari proses ganti rugi lahan yang lambat diberikan perusahaan tambang emas PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS), terlebih harga yang diberikan dinilai tak layak. Pasalnya, anak perusahaan dari PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sudah menguasai lahan warga penambang yang sejak dulu dikelola oleh warga sekitar.

Penguasaan lahan oleh perusahaan itu membuat warga penambang merasa dibatasi. Apalagi, sejak awal tahun 2023, perusahaan sudah melakukan eksploitasi di gunung pani, wilayah utama titik pengelolaan emas perusahaan. Di wilayah itu, warga juga sudah puluhan tahun mencari emas.

Dengan ketimpangan ruang itu, perusahaan berjanji akan memberikan kompensasi kepada warga penambang dengan nama program tali asih. Program itu bertujuan untuk mengalihkan proses warga penambang ke profesi lainnya, seperti; menjadi petani; peternak; atau profesi lainnya selain bertambang.

Dalam program itu, Pemerintah Daerah Pohuwato menjadi mediator untuk membantu mempercepat program itu. Sejak awal tahun 2023, Bupati Pohuwato Saipul Mbuinga sudah membuat Satuan Tugas (Satgas) yang melakukan pendataan dan pendukumentasian lahan-lahan kaplingan warga penambang untuk dimasukan dalam program itu.

Alhasil, pada awal Agustus lalu, Satgas yang dibuat itu sudah menyerahkan dokumen itu kepada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Pohuwato, melalui Bupati Saipul Mbuinga. Ia berjanji akan mengantarkan langsung dokumen itu ke pimpinan tertinggi perusahaan di Jakarta.

Sayangnya, sampai tanggal 21 September lalu itu, proses ganti rugi lahan belum semuanya diberikan, terlebih uang ganti rugi tak sesuai dengan harapan masyarakat. Hal itu menjadi pemicu warga penambang yang tergabung dalam Forum Ahli Waris Penambang Pohuwato melakukan aksi unjuk rasa hingga membakar Kantor Bupati Pohuwato.

Dalam orasi, massa aksi meminta perusahaan harus mengembalikan lahan dan lokasi warisan leluhur yang sudah digarap selama bertahun-tahun oleh mereka. Selain itu, mereka juga mendesak perusahaan PETS menghentikan aktivitas penambangan emas karena dinilai merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

Sebenarnya, sebelum membakar Kantor Bupati Pohuwato, massa aksi awalnya mendatangi kantor perusahaan di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia. Mereka memecahkan kaca-kaca kantor, dinding-dinding mess karyawan, mobil-mobil operasional, hingga membakar bangunan dan tangki Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berada di tempat tersebut.

Kondisi yang mencekam itu tidak bisa dikendalikan polisi, karena jumlah massa aksi cukup banyak ketimbang aparat keamanan.

 

Kantor Bupati Pohuwato yang sudah dibakar massa aksi. (Foto: Humas Provinsi Gorontalo)
Kantor Bupati Pohuwato yang sudah dibakar massa aksi. (Foto: Humas Provinsi Gorontalo)

Setelah itu, massa aksi juga mendatangi bangunan milik Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani Marisa di Kecamatan Duhiadaa dan Marisa dengan melakukan hal serupa. KUD ini merupakan koperasi yang bekerjasama dengan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) melalui PETS yang akan mengeksploitasi gunung pani dalam pengelolaan emas.

Selanjutnya, para massa aksi langsung menuju ke Kantor Bupati Pohuwato yang juga tak jauh dari Kantor KUD tersebut. Mereka awalnya berniat bertemu bupati yang sebelumnya berjanji akan menyelesaikan persoalan antara perusahaan dan penambang lokal.

Sayangnya, emosi massa aksi semakin memuncak saat tak berhasil bertemu Bupati. Mereka mulai berbuat anarkis dengan merusak kantor bupati dengan cara melempari batu dari luar Gedung. Massa aksi yang ada di dalam Gedung mulai merusak interior yang ada di dalam tanpa ampun. Meja, kursi hingga foto yang terpajang di dalam ruangan kantor bupati pun dihancurkan.

Di ruang lobi, sejumlah massa aksi mulai menyusun seluruh meja, kursi, lalu mereka mulai membakarnya. Tak beberapa menit berselang, bangunan kantor dua lantai itu terbakar hebat. Si jago merah mulai melahap secara perlahan gedung milik Negara itu sampai ludes. Banyak berkas-berkas penting yang tak bisa diselamatkan.

Tak hanya itu, emosi massa aksi belum terbendung. Rumah Dinas Bupati dan Kantor DPRD Pohuwato yang tak jauh dari lokasi itu juga pun ikut dirusak. Semua fasilitas di gedung-gedung itu dipecahkan tanpa ampun.

Kondisi yang memanas itu berakhir ketika ratusan polisi dari Polda Gorontalo berhasil memukul mundur mereka menggunakan gas air mata. Meski begitu, sebanyak 10 anggota kepolisian mengalami luka-luka dan patah tulang saat melakukan pengamanan.

“Dari 10 orang anggota polisi yang luka-luka, 2 diantaranya patah tulang. Jumlah massa aksi dengan jumlah polisi sangat jauh berbeda,” kata Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Gorontalo Irjen Pol Angesta Romano Yoyol

Usai membubarkan massa aksi, Polda Gorontalo berhasil mengamankan 40 demonstran yang diduga sebagai provokator pada aksi unjuk rasa yang merusak fasilitas perusahaan, dan membakar Kantor Bupati Pohuwato, serta merusak fasilitas negara lainnya.

Kini, per tanggal 5 Oktober, sudah ada 35 orang yang ditetapkan menjadi tersangka. Sebagian tanah di Polres Pohuwato, dan sisanya ditahan di Polda Gorontalo.

Tampak depan Kantor Bupati yang sudah hangus terbakar. (Foto: Sarjan Lahay)
Tampak depan Kantor Bupati yang sudah hangus terbakar. (Foto: Sarjan Lahay)

Bukan Pertama Kali

Sebenarnya, demonstrasi yang dilakukan oleh warga penambanga di Pohuwato bukan kali ini saja terjadi. Kurang dari dua dekade terakhir ini, warga penambang lokal terus berulang-ulang kali melakukan aksi unjuk rasa ke Pemerintah Daerah Pohuwato selaku pemegang kekuasaan wilayah di ujung barat Gorontalo itu.

Tuntutan mereka bermacam-macam, ada yang menolak keberadaan perusahaan tambang karena dinilai merusakan lingkungan dan merugikan masyarakat. Ada juga tuntutan yang meminta penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), hingga tuntutan ganti rugi lahan yang menjadi isu sentral dalam aksi unjuk rasa pada 21 September lalu.

Di Kecamatan Buntulia, sejak dulu memang ada aktivitas pertambangan rakyat atau biasa disebut Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dilakukan oleh warga sekitar. Bahkan, ada warga yang berasal dari kecamatan tetangga, kabupaten tetangga, hingga provinsi tetangga.

Adapun lokasi pertambangan itu terletak di sekitar gunung pani. Secara administratif daerah gunung pani termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Taluditi, Buntulia dan Paguat. Sebagian gunung pani itu berada di wilayah Kawasan Cagar Alam Panua, yang merupakan perlindungan burung maleo, dan sebagiannya masuk dalam kawasan hutan.

Dilokasi itu, warga penambang menggunakan dua sistem, yaitu; tambang dalam dan tambang permukaan. Dalam sistem tambang dalam, mereka mengambil urat-urat kuarsa mengandung emas. Sementara, dalam sistem tambang permukaan, mereka menggunakan talang tanam, semprot, atau paretan dan penambangan pada aliran sungai dengan cara mengalirkan aliran air melewati sluice box untuk menangkap emas yang hanyut.

Saat melakukan pengolahan emas, warga sekitar menggunakan tromol dengan pendulangan. Penggunaan tromol untuk mengolah endapan emas primer maupun sekunder, sedangkan pendulangan untuk mengolah endapan emas aluvial/campuran emas dan pasir. Kedua cara pengelolaan tersebut menggunakan proses amalgamasi, yaitu memakai merkuri atau perak sebagai media untuk menangkap emas.

Padahal, pada tahun 2020, Gubernur Gorontalo sudah melarang keras penggunaan merkuri dalam wilayah pertambangan melalui Peraturan Gubernur Nomor 71 tahun 2020 tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.

Pasalnya, dalam penelitian Ramli Utina, dan rekannya dari Universitas Negeri Gorontalo menunjukan, kandungan merkuri sudah cukup tinggi di Pohuwato, bahkan sudah mencemari rantai makanan spesies burung perairan di kawasan pesisir.

Pada April 2022, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat keputusan Nomor; 98.K/MB.01/MEM.B/2022 menetapkan 21 dititik Wilayah Pertambang Rakyat (WPR) di Gorontalo, termasuk di wilayah Kecamatan Buntulia, Pohuwato.

Masalahnya, para penambang tidak semuanya berada di dalam WPR yang ditetapkan pemerintah. Ada yang berada di wilayah perusahaan PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM), dan PETS yang sejak tahun 2017 dan 2020 memiliki izin operasi produksi (OP).

Fenomena itu yang kemudian membuat perusahaan GSM dan PETS melalui perusahaan induknya PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) membuat program tali asih sebagai upaya untuk mengalihkan profesi masyarakat lingkar tambang.

Penjagub Ismail Pakaya didampingi Kapolda Gorontalo, Bupati Pohuwato dan jajaran lainnya saat diwawancarai terkait pembakaran Kantor Bupati Pohuwato, yang dilakukan oleh sejumlah orang, Kamis (21/9/2023). Foto – Isam
Penjagub Ismail Pakaya didampingi Kapolda Gorontalo, Bupati Pohuwato dan jajaran lainnya saat diwawancarai terkait pembakaran Kantor Bupati Pohuwato, yang dilakukan oleh sejumlah orang, Kamis (21/9/2023). Foto – Isam

Di program itu, para penambang yang memiliki lahan akan diberikan kompensasi dari perusahaan berupa uang, agar mereka bisa keluar dari wilayah itu, serta tidak lagi melakukan aktivitas pertambangan. Syaratnya, mereka harus mengajukan proposal ke perusahaan.

Program ini sudah berjalan sejak tahun 2022 lalu. Saat itu, setidaknya sudah ada puluhan pemilik lahan tambang penambang lokal menerima tali asih dari perusahaan dengan harga 5 juta rupiah setiap proposal yang masuk ke perusahaan. Dalam setiap proposal sama dengan 1 titik lokasi lahan.

Namun, sebagian warga penambang lokal protes atas harga yang ditawarkan perusahaan itu. Mereka menilai, harga yang diberikan itu hanya bisa membiayai kebutuhan kebutuhan mereka dalam sebulan. Sedangkan, perusahaan akan pengelolaan wilayah pertambangan itu sekitar 25 tahun kedepan.

Buntut dari protes itu, beberapa kali warga penambanga lokal melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Bupati dan DPRD Pohuwato. Rapat Dengar Pendapat (RDP) pun beberapa kali dibuat untuk program tali asih itu yang belakangan disebut ganti rugi lahan tersebut.

Akhirnya, pada awal 2023 lalu, Pemerintah Daerah Pohuwato membuat Satuan Tugas (Satgas) untuk menjadi mediator dalam mempercepat pelaksanaan program tali asih dari perusahaan itu.

Sekitar bulan Februari, Satgas mulai melakukan pendataan dan pendukumentasian lahan-lahan kaplingan masyarakat yang akan dimasukan dalam program itu. Awal Agustus lalu, pendataan dan pendukumentasian lahan pun selesai. Ada sebanyak 2.135 berkas yang diterima Satgas.

Sayangnya, alih-alih mendapatkan ganti rugi yang sesuai, lahan-lahan masyarakat penambang ternyata hanya dihargai minimal 2,5 juta rupiah setiap berkas. Terlebih lagi, ada larangan jual beli emas hasil tambang Pohuwato untuk membatasi aktivitas masyarakat penambang lokal.

Pertengahan Agustus lalu, DPRD Pohuwato pernah membuat Rapat Dengar Pendapat (RDP) soal masalah itu. Ironisnya, RDP itu pun berujung ricuh.

Hingga awal September, solusi dari berbagai masalah yang diprotes warga penambang tak menemukan solusi. Kondisi itu yang memicu kemarahan masyarakat hingga mereka melakukan demonstrasi 21 September lalu, yang akhirnya mengakibatkan pembakaran Kantor Bupati Pohuwato.

“Perusahaan berjanji akan memberikan bantuan dari program tali asih itu dengan jumlah yang layak. Tetapi, realisasinya itu sangat tidak layak, yaitu hanya minimal 2,5 juta dalam satu titik lokasi. Ini yang menjadi masalah” kata Limonu Hippy, Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato seperti dikutip di TV One

Penolakan harga lahan oleh warga penambang juga itu berangkat dari perbandingan pembayaran yang dilakukan sebelumnya oleh perusahaaan. Katanya, ada beberapa penambang tertentu lahannya dibayar dengan harga cukup tinggi, dari ratusan juta, bahkan ada yang sampai miliaran rupiah dalam satu titik lokasi.

“Sehingga hal itu menjadi acuan penambang lainnya untuk tidak menerima ganti rugi lahan yang hanya diberikan 2,5 juta saja,” jelas Limonu Hippy

Salah satu warga marisa sedang melihat dokumen-dokumen penting yang hangus terbakar di Kantor Bupati Pohuwato. (Foto: Sarjan Lahay)
Salah satu warga marisa sedang melihat dokumen-dokumen penting yang hangus terbakar di Kantor Bupati Pohuwato. (Foto: Sarjan Lahay)

Daud Ismail, salah satu penambang lokal mengatakan, harga yang dipatok perusahaan itu hanya bisa membiayai hidupnya dalam 1 bulan, dan tidak cukup dijadikan sebagai modal usaha. Ia bilang, perusahaan harus lebih memahami warga penambang lokal yang juga ingin mencari hidup di wilayah itu.

Daud bilang, dari 2.135 berkas yang diterima Satgas, ada tiga miliknya. Ia berharap, salam satu berkas bisa dihargai sebesar Rp 50 juta rupiah. Jika dijumlahkan, ada sebesar Rp 150 juta rupiah yang harus diterimanya. Katanya, harga yang dipatoknya itu sudah cukup sesuai untuk membiayai hidupnya dan keluarganya kedepan, sekaligus sebagai modal usaha.

“Pekerjaan kami ini cuman bertambang. Tidak ada pekerjaan lain,” kata Daud Ismail kepada Mongabay pada 29 September lalu. Ia mengaku tidak mengikuti demonstrasi pada 21 September lalu karena usianya sudah cukup berumur.

Ironisnya, MDKA yang merupakan induk perusahaan GSM dan PETS justru mengklaim, demonstrasi yang berujung anarkis itu bukan dipicu oleh ganti rugi lahan. Perusahaan juga mengaku tidak mengenal pelaku-pelaku yang melakukan kerusuhan.

Selain itu, perusahaan juga berdalih, pemberian tali asih pada tahun 2022 yang mencapai sampai miliaran rupiah itu merupakan program awal yang dibuat. Menurut perusahaan, program tali asih pada tahun 2022, dan tahun 2023 cukup berbeda.

“Grup Merdeka selalu mengedepankan dialog dan musyawarah dengan seluruh pemangku kepentingan sebagai cara untuk menjaga komunikasi dan hubungan baik yang sudah terjalin selama ini,” kata Boyke Poerbaya Abidin, Presiden Direktur PETS dan GSM

Sampai hari ini, kata Boyke, perusahaannya telah memberikan tali asih dan pilihan program alih profesi ke lebih dari 2.200 penambang. Ia bilang, pihaknya selalu terbuka untuk berdiskusi dengan semua pihak dalam mencari solusi terbaik.

“Kami sangat menyayangkan terjadinya insiden ini dan mengecam tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum massa pendemo, yang tidak bertanggung jawab yang mengakibatkan terjadinya kerusakan,” kata Boyke

Sementara itu, Bupati Pohuwato Saipul Mbuinga mengaku telah melakukan upaya-upaya yang maksimal untuk memediasi masalah ganti rugi lahan yang disebut sebagai program tali asih itu. Ia berjanji akan mengevaluasi segala yang berkaitan dengan pertambangan di Pohuwato agar masyarakat tidak dirugikan.

“Ada dua format yang diberikan kepada penambang. Jika ada yang setuju dengan program tali asih yang dibuat perusahaan, kami meminta tanda tangan dari penambang. Tapi, jika ada juga yang tidak setuju, kami juga meminta tanda tangan yang memberikan ruang negosiasi dengan perusahaan,” kata Saipul Mbuinga

Namun, karena insiden pembakaran Kantor Bupati Pohuwato, proses percepatan pembayaran ganti rugi lahan tambang yang ada di Pohuwato diambil alih oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo. Saipul berharap, warga penambang agar lebih bersabar menunggu proses realisasi program tali asih itu.

Pada 25 September lalu, MDKA akhirnya digugat ke Pengadilan Negeri Gorontalo atas Surat Gubernur Gorontalo tanggal 4 September 2015 Perihal Keputusan Nomor 351/17/IX/2015 tentang Pengalihan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi KUD Dharma Tani kepada PT. Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) yang dinilai melawan hukum.

Pembagian wilayah Proyek Emas Pani. (Foto: MERDEKA COPPER GOLD)
Pembagian wilayah Proyek Emas Pani. (Foto: MERDEKA COPPER GOLD)

Siapa Dibalik Perusahaan?

Di Kabupaten Pohuwato, ada dua perusahaan tambang emas yang sudah mendapatkan izin operasi produksi (OP). Salah satunya adalah PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) yang memegang konsesi Kontrak Karya (KK) generasi ke-V di Blok Pani seluas 7.932,1 hektar yang sudah masuk tahap OP sejak 2017, dan direncanakan akan beroperasi sampai dengan tahun 2049.

Selain itu, ada juga PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) seluas 100 hektar di lokasi yang berdampingan dengan GSM. Pada tahun 2020 lalu, PT PETS ini sudah masuk dalam tahapan operasi produksi (OP) untuk pengelolaan pertambangan emas hingga tahun 2049.

Sebelumnya, PT GSM adalah milik PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB), melalui anak perusahaan PT J Resources Nusantara (JRN). Namun, karena sedang mengalami masalah dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) atau BNI terkait pelunasan fasilitas pinjaman, JRN akhirnya menjual seluruh saham GSM ke PT Andalan Bersama Investama (ABI) pada tahun 2021 lalu.

Pada Maret 2022, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) mengakuisisi saham PT ABI dan PT Pani Bersama Jaya (PBJ) yang memiliki mayoritas saham GSM. Artinya, MDKA menjadi pemilik saham mayoritas GSM saat ini. Sementara itu, PETS merupakan perusahaan yang dibuat berdasarkan kerjasama Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani dan PT Puncak Emas Gorontalo (PEG) sejak 2014.

KUD Dharma Tani ini adalah koperasi yang dibuat oleh masyarakat penambang sejak tahun 1980-an, sementara PEG merupakan anak perusahaan GSM. Karena saham GSM sudah diakuisisi oleh MDKA, maka PETS juga secara otomatis menjadi anak perusahaan dari MDKA.

Dari data profil perusahaan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM yang diunduh 25 September 2023, menyebutkan KUD Dharma Tani memiliki 51 persen atau 255 lembar saham dengan nilai Rp. 255 juta rupiah di PETS. Sisanya milik PT Puncak Emas Gorontalo (PEG) dengan kepemilikan saham sebesar 49 persen atau 245 lembar saham dengan nilai RP. 245 juta rupiah.

Sementara itu, Komisaris Utama PETS diduduki oleh Garibaldi Thohir yang tak lain merupakan kakak kandung Erick Thohir Menteri Badan Usaha Milik Negara saat ini. Berdasarkan laporan Tempo pada tahun 2014, salah satu taipan pertambangan RI ini diduga telah terlibat dalam kasus suap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan memberikan uang senilai 700 ribu dollar AS melalui orang kepercayaannya.

Bukan hanya itu, ada juga nama Uns Mbuinga yang menduduki Komisaris PETS sejak tahun 2018. Uns Mbuinga merupakan Wakil Ketua DPRD Pohuwato periode 2004-2009, dan mantan Ketua MUI Pohuwato, serta sempat menjadi Ketua KUD Dharma Tani. Pada 21 Juli 2019, ia menghembuskan nafas terakhir di di Rumah Sakit Bumi Panua Pohuwato.

Berikutnya, ada juga nama Idris Kadji yang saat ini merupakan Wakil Ketua DPRD Pohuwato dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sekaligus menjabat sebagai Ketua KUD Dharma Tani; serta juga nama Syamsul B. Ilyas merupakan pengacara di Jakarta. Keduanya menjabat sebagai Komisaris di PETS sejak tahun 2018 hingga kini.

Struktur Kepemilikan MDKA. Sumber, Merdeka Coper Gold Project.
Struktur Kepemilikan MDKA. Sumber, Merdeka Coper Gold Project.

Tak hanya itu, dalam jabatan komisaris di PETS, ada juga nama Lodewijk F Paulus yang merupakan politikus dari Partai Golkar. Saat ini, Lodewijk F Paulus menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI periode 2021-2024 menggantikan Azis Syamsuddin yang tersangkut kasus korupsi.

Pada 2 Oktober lalu, DPR RI melalui Komisi VII sempat menjadwalkan RDP soal konflik pertambangan di Kabupaten Pohuwato yang hingga memicu kebakaran kantor Bupati. Namun, RDP tersebut tiba-tiba ditunda tanpa alasan dengan waktu yang belum diketahui.

Mongabay menghubungi Lodewijk F Paulus melalui akun instagramnya pada 3 Oktober lalu untuk meminta tanggapannya soal polemik pertambangan di Pohuwato serta penundaan RDP di DPR RI. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, pesan itu belum dibalas.

Selanjutnya, berdasarkan informasi di website MDKA, Proyek Emas Pani atau biasa disebut Pani Gold Project (PGP) di gunung Pani Pohuwato itu dikelola oleh PT Pani Bersama Jaya (PBJ), PT Pani Bersama Tambang (PBT), PT Puncak Emas Gorontalo (PEG), PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS), dan PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM). Semua perusahaan itu merupakan anak perusahaan MDKA.

Sementara itu, pemilik saham MDKA terbesar saat ini adalah PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) milik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan kepemilikan saham 18,569 persen. Sedangkan, taipan pertambangan RI yang juga menjabat sebagai komisaris utama perusahaan PETS, Garibaldi ‘Boy’ Thohir memiliki saham sebesar 7,358 persen di MDKA.

Adapun PT Mitra Daya Mustika memiliki saham sebesar 12,058 persen di MDKA. PT Mitra Daya Mustika merupakan perusahaan yang dimiliki oleh Winato Kartono melalui PT Provident Capital Indonesia. Winato sendiri merupakan mantan pimpinan investment banking Citi Group di Indonesia.

Ada juga PT Suwarna Arta Mandiri memiliki saham sebesar 5,588 persen di MDKA. Perusahaan ini merupakan entitas anak dari emiten agroindustri Provident Agro (PALM) yang dikendalikan oleh Grup Saratoga dan Winato Kartono melalui PT Provident Capital Indonesia.

Selain itu, ada juga perusahaan asal Hong Kong, Brunp and Catl Co. Limited (Brunp) menjadi pemegang saham sebesar 5 persen di MDKA. Brunp diketahui sebagai anak usaha CATL yang didirikan pada 2005. Perusahaan ini bergerak di bidang baterai kendaraan listrik.

Dengan kepemilikan saham MDKA ini, apakah proses ganti rugi lahan bisa dibayarkan secara layak ke masyarakat penambang lokal? atau justru akan memperpanjang konflik?

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.