Lokasi pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Bulangu Ulu (Foto: Sarjan Lahay)
Lokasi pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Bulangu Ulu (Foto: Sarjan Lahay)

Delusi Proyek Bendungan Bulango Ulu

  • Pembangunan Bendungan Bulango Ulu yang seharusnya mendukung sektor pertanian, justru meminggirkan petani. Mereka kehilangan mata pencaharian akibat PSN ini.
  • Proyek ini juga membuat sebagian petani terkatung-katung tak tahu arah untuk mencari hidup. Kondisi ini membuat mereka harus mencari cara lain untuk bertahap hidup.
  • Bendungan ini disebut bukan solusi untuk pertanian di Gorontalo. Sebaliknya, mega proyek ini diprediksi akan berdampak buruk secara ekologis dan membuat petani semakin rentan.
  • PSN ini juga dinilai bisa memperparah krisis iklim karena bisa memicu gas metana, serta mendorong deforestasi. Pembangunannya juga menafikan partisipasi masyarakat.

Di atas bukit, sejumlah ekskavator terlihat giat membongkar gunung, memindahkan bongkahan batuan dan pasir ke dalam deretan dump truk berkapasitas 30 ton yang rapi terparkir di tepi jalan. Di samping kendaraan, para pekerja berseragam proyek dengan mantel cerah dan helm pelindung terlihat mengarahkan supir dump truk agar tidak tergelincir.

Inilah suasana di lokasi pembangunan Bendungan Bolango Ulu, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) senilai Rp2,4 triliun. Bendungan ini akan dibangun dengan tinggi 65,9 meter dan luas genangan 483 hektar, mencakup tiga desa di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Tiga desa itu yaitu; Desa Tuloa, Owata dan Mongiilo.

Bendungan Bulango Ulu ini adalah proyek besutan Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo (Jokowi), bagian dari 61 bendungan yang direncanakan antara 2014 hingga 2024. Dirancang dengan multifungsi, bendungan ini akan memenuhi kebutuhan air baku sebesar 2.200 liter per detik serta menyediakan sumber tenaga listrik dengan kapasitas 4,96 megawatt.

Selain itu, bendungan ini diharapkan dapat mengamankan dan memanfaatkan sumber daya air di wilayah Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Bone Bolango, dengan kapasitas tampung mencapai 84 juta meter kubik. Keberadaan bendungan ini diprediksi akan meningkatkan produktivitas pertanian di Gorontalo dan sekitarnya.

Baca juga: Hak Masyarakat Adat di Era Investasi dan Kuasa Korporasi

Sebenarnya, pembangunan bendungan ini adalah PSN yang digagas sejak tahun 2018. Dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang diperoleh, pembangunan bendungan ini, terdapat tiga tahap. Yakni, tahap pra konstruksi, konstruksi dan tahap operasional. Tahap konstruksi mulai 2019-2022, proses pengisian awal bendungan pada 2022.

Proses pengisian itu, akan dilakukan jika proses pembebasan lahan dengan masyarakat setempat telah selesai dilaksanakan. Proses pengisian itu, akan dilakukan selama satu tahun, dan bendungan ini akan mulai beroperasi pada tahun 2023. Namun, karena ada aksi penolakan warga, tahap konstruksi baru dimulai awal 2021 lalu.

Saat proses penyusunan Amdal yang dilakukan pada tahun 2017, rona awalnya menunjukkan ada 75,7 persen masyarakat setempat tidak menyetujui dengan pembangunan Bendungan Bulango Ulu, dan 23,3 persen yang setuju. Hal tersebut menunjukan persentase penduduk yang tidak setuju lebih besar dibandingkan dengan yang setuju.

Sejumlah alat berat sedang bekerja untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Bulangu Ulu (Foto: Sarjan Lahay)
Sejumlah alat berat sedang bekerja untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Bulangu Ulu (Foto: Sarjan Lahay)

Pasalnya, dampak dari pembangunan bendungan ini akan dirasakan oleh sekitar 747 keluarga, dengan sekitar 437 rumah yang harus dibongkar demi kelancaran proyek PSN ini. Tentu saja, ini akan berdampak besar pada kehidupan petani setempat dan mengubah tatanan sosial-ekonomi mereka.

Namun, Pemerintah Indonesia tetap ngotot untuk melanjutkan pembangunan mega proyek ini dengan tetap tidak mengindahkan penolakan yang terjadi di masyarakat. Alhasil, sampai hari ini proyek ini belum selesai karena terkendala proses pembebasan lahan yang terus bermasalah, serta belum selesai dibayarkan.

Pada April 2024, Presiden Jokowi mengunjungi proyek Bendungan Bulango Ulu untuk mengecek progres fisik yang telah mencapai 48,4 persen Dalam kunjungan tersebut, Jokowi menegaskan bahwa bendungan ini bertujuan memperkuat infrastruktur nasional, mendukung sektor pertanian, dan menyediakan irigasi untuk 4.950 hektar lahan pertanian di Gorontalo.

Selain itu, bendungan ini akan memainkan peran penting dalam pengendalian banjir di wilayah hilir Sungai Bolango, dengan mampu mengurangi debit air banjir hingga 414 meter kubik per detik. Jokowi bilang, pembangunan bendungan ini menjadi simbol komitmen pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur yang berkelanjutan dan multifungsi.

Baca juga: Bendungan Datang, Gula Aren Bulango Ulu Akan Tenggelam?

“Proyek ini akan meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan perkebunan di Gorontalo serta daerah sekitarnya. Insya Allah, proyek ini akan selesai pada akhir tahun ini,” ujarnya dengan penuh optimisme.

Namun, apa yang dikatakan Jokowi itu seperti jauh dari panggangan api. Para petani yang berada di wilayah proyek justru terpinggirkan karena tidak ada lagi lahan yang bisa mereka gunakan untuk bertani. Terlebih lagi, sebagian besar lahan tersisa di wilayah tersebut berstatus kawasan hutan dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang dilindungi.

Apalagi, pemerintah hanya memberikan uang ganti rugi tanpa menyediakan lahan untuk relokasi bagi petani setelah pembangunan bendungan selesai. Kondisi ini berisiko menghilangkan identitas mereka sebagai masyarakat agraris, yang selama ini menggantungkan hidupnya pada pertanian. Dampaknya, banyak petani yang terpaksa kehilangan mata pencaharian mereka tanpa alternatif yang jelas.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan pembangunan Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Humas Provinsi Gorontalo)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan peninjauan pembangunan Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Humas Provinsi Gorontalo)

Kehilangan Ruang Hidup

Rasyid Nusi tengah sibuk mengupas buah kelapa, satu-satunya buah yang bisa dinikmatinya dari bekas lahan pertaniannya yang ada di Desa Owata, Kecamatan Bulango Ulu, Bone Bolango. Lelaki 56 tahun ini ingin membuat “santan” penyedap rasa masakan dari parutan buat kelapa yang sedang dikupasnya.

“Buah kelapa ini akan jadi kenang-kenangan dari bekas kebun saya yang ada di Desa Owata,” kata Rasyid Nusi ketika ditemui di kediamannya pada, awal November lalu.

Empat tahun lalu, Rasyid Nusi adalah seorang petani yang ada di Desa Owata, salah satu desa yang terkena dampak pembangunan bendungan. Dirinya setidaknya memiliki lebih dari 2 hektar lahan pertanian yang ditanami berbagai macam tanaman, baik tanaman tahunan, ataupun musiman.

Baca juga: Proyek Bendungan Bulango Ulu Mulai Konstruksi, Warga Keluhkan Debu dan Rawan Kecelakaan

Ketika itu, lelaki tiga orang anak ini bisa dibilang adalah petani ‘berdasi’ karena pendapatannya dari kebun jauh melebihi Upah Minimum Provinsi (UMP) Gorontalo tahun 2024 yang sebesar Rp 3.025.100. Ia bisa meraih pendapatan itu bisa setiap hari, minggu, atau dua minggu, tergantung hasil panen.

Misalnya, gula aren yang terbuat dari nira tandan bunga jantan pohon enau. Rasyid bisa memproduksi 5-7 kg per hari dengan harga Rp15.000 per kg, menghasilkan Rp1,8 juta-2,5 juta per bulan. Rasyid juga mendapatkan Rp1-1,5 juta per bulan dari penjualan tanaman pangan seperti ubi jalar, singkong, dan pisang.

“Kami tidak pernah kekurangan makanan, karena semua ada di kebun. Ketika harga beras naik, kami bisa makan ubi-ubian dari kebun saya,” ungkap Rasyid.

Rasyid Nusi ketika sedang mengucap buah kelapa di rumah kontrakannya. (Foto: Sarjan Lahay)
Rasyid Nusi ketika sedang mengucap buah kelapa di rumah kontrakannya. (Foto: Sarjan Lahay)

Rasyid juga memiliki kebun jagung seluas 2 hektar yang menghasilkan sekitar Rp60 juta setiap 4 bulan, dengan harga jual Rp3.500 per kilogram. Meski belum dipotong biaya perawatan, ia merasa pendapatan itu sudah cukup kebutuhan keluarganya.

Namun, sumber pangan dan hasil pertanian yang dulu melimpah di Bulango Ulu kini tinggal kenangan. Rasyid, yang sebelumnya bergantung pada kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup, kini kesulitan ekonomi setelah pindah ke Kota Gorontalo akibat proyek Bendungan Bulango Ulu. Pasalnya Kebunnya terletak di wilayah yang akan terendam oleh bendungan tersebut.

Rasyid bercerita kebunnya yang lebih dari 2 hektar dibayar negara sebesar Rp1,1 miliar untuk mendukung proyek ini. Meski jumlahnya besar, uang itu tidak cukup untuk bertahan lama. Ia merasa kehilangan kebun sama dengan kehilangan ruang hidup, karena sangat mempengaruhi ekonomi keluarga.

Baca juga: TNBNW jadi Relokasi Warga Terdampak Bendungan Bulango Ulu?

“Uang yang diberikan negara itu hanya bisa digunakan setahun lebih. Saya pindah ke Kota Gorontalo dan membeli rumah. Sisa uang, saya bagikan ke 3 orang anak saya yang juga sudah berkeluarga,” jelas Rasyid

Sebagai kepala keluarga, Rasyid kini hanya bisa mencari cara lain untuk bertahan hidup di Kota Gorontalo, seperti menjadi tukang bangunan. Namun, pendapatan dari pekerjaan itu tidak menentu, tergantung dari permintaan yang ada. Alhasil, rumah yang dibelinya di Kota Gorontalo kembali dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-sehari.

Kini, Rasyid bersama istrinya hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan di Kelurahan Lekobalo, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Ia mengaku menyesal menjual semua kebunnya ke negara untuk membangun proyek bendungan. PSN itu seperti memaksa dirinya bergantung pada pekerjaan tidak tetap yang membuatnya terpinggirkan.

Rasyid Nusi, eks Warga Owata yang merupakan kampung yang terdampak Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Sarjan Lahay)
Rasyid Nusi, eks Warga Owata yang merupakan kampung yang terdampak Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Sarjan Lahay)

Terkatung-katung

Cerita yang sama juga dialami oleh Purnama Sudarmika dan suaminya Dadang Nugraha yang saat ini masih tinggal di dusun 3, Desa Owata, lokasi genangan bendungan ini. Mereka bercerita, sejak adanya pembangunan bendungan, pasangan suami istri ini terkatung-katung tak tahu arah untuk mencari hidup.

Pasalnya, keduanya tidak bisa lagi bertani karena jembatan yang menghubungkan dusun 1 dan 3 roboh diterjang banjir pada tahun 2021 lalu. Akses jalan itu pun kini sudah menjadi jalur lintasan alat berat yang digunakan dalam proyek pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Kondisi ini membuat mereka harus mencari cara lain untuk bertahap hidup.

“Sudah hampir 4 tahun kami tidak bertani lagi. Kami hanya makan gaji di kebun tetangga, seperti membantu menanam jagung, atau tanaman lain,” kata Purnama Sudarmika ketika ditemui di kediamannya pada, awal November lalu.

Alasan lain mereka tak lagi bertani adalah karena belum menerima ganti rugi lahan dari negara. Purnama mengungkapkan, kebunnya yang lebih dari 2 hektar telah diukur dan dinilai oleh Satuan Tugas dari pemerintah sejak 2020, bahkan berkas kepemilikan lahan sudah diserahkan. Namun, hingga kini ganti rugi tersebut belum juga ada.

Baca juga: Pembangunan Bendungan Bulango Ulu Mulai Jalan, Sebagian Lahan Masih Sengketa

Padahal, pemerintah berjanji segera membayar ganti rugi lahan mereka. Janji itu membuat Purnama dan suaminya berhenti mengelola kebun, berharap pembayaran segera datang. Mereka khawatir, jika kebun dikelola, pemerintah tiba-tiba membayar ganti rugi dan hasil panen tak bisa dinikmati.

Meski begitu, Purnama mengaku kebunnya yang akan dibeli negara adalah satu-satu hartanya sejak datang ke Gorontalo pada 2006 sebagai warga transmigrasi. Ia khawatir tentang masa depan keluarganya, terutama setelah kehilangan sumber penghidupan yang telah mengantarkan dua anaknya hingga perguruan tinggi.

“Kebun ini telah mengantarkan dua anak saya hingga perguruan tinggi. Namun, karena bendungan ini proyek negara, kami tak bisa berbuat apa-apa dan harus menyerahkan kebun kami. Saat ini, kami belum tahu ke mana arah hidup setelah proyek ini selesai,” ucapnya.

Purnama Sudarmika ketika menceritakan bagaimana keluarganya terkatung-katung akibat adanya PSN ini. Mereka kesulitan untuk bertani. (Foto: Sarjan Lahay)
Purnama Sudarmika ketika menceritakan bagaimana keluarganya terkatung-katung akibat adanya PSN ini. Mereka kesulitan untuk bertani. (Foto: Sarjan Lahay)

Senada, Djamaluddin Mahmud, warga Dusun 3, Desa Owata, juga mengalami hal serupa. Lebih dari 10 hektar lahannya belum dibayar negara hingga kini. Sudah lebih dari lima kali, pria 65 tahun ini bersama warga melakukan aksi demonstrasi meminta pemerintah segera membayar lahan mereka.

Ia mengaku kesulitan bertani karena hampir empat tahun terkatung-katung dengan janji pemerintah yang tak kunjung direalisasikan. Saat ini, dirinya hanya bisa memanfaatkan air nira dari pohon enau untuk dibuat gula aren, sambil menunggu kebunnya dibayar negara. Proyek bendungan seperti penghambat mereka untuk bertahan hidup.

“Keberadaan proyek ini membuat kita terkatung-katung. Kebun masyarakat di sini banyak yang tidak dikelola selama bertahun-tahun akibat adanya proyek ini. Lahan kami pun sampai hari ini belum dibayar. Kami kecewa!” kata Djamaluddin Mahmud ketika ditemui di kediamannya pada, awal November lalu.

Sebenarnya, kata Djamaluddin, mega proyek ini sangat ditolaknya sejak pemerintah melakukan sosialisasi pada tahun 2017, meskipun dirinya ketika itu menjabat kepala dusun. Bukan tanpa alasan, pria yang merupakan generasi ketiga yang menetap di kampung itu tahu betul proyek ini akan merampas ruang hidup mereka.

Baca juga: “Kami Tinggal di Mana Kalau Ada Bendungan Bulango Ulu?“

Tak meleset, perkiraannya menjadi kenyataan. Proyek ini membuat banyak petani di kampungnya, termasuk dirinya, tak bisa bertani seperti dulu. Djamaluddin menyebut pembangunan bendungan ini seperti ‘menghidupkan petani di hilir, tetapi membunuh petani di hulu’.

Apa yang dikatakan Djamaluddin ini, bukan hanya sekadar perumpamaan. Banyak petani yang sudah menerima ganti rugi atas lahan mereka, telah memilih migrasi ke wilayah perkotaan dengan konsekuensi mencari cara lain untuk bertahan hidup, seperti yang kini dialami oleh Rasyid Nusi.

Djamaluddin sudah mengambil sikap untuk tidak meninggalkan kampungnya yang sejak zaman nenek moyangnya ditempati, meski suatu saat lahannya akan dibayar negara. Ia mengaku kadung nyaman dan mampu bertahan dengan kondisi apapun. Terlebih lagi, sudah banyak kenangan suka duka dilalui semasa hidupnya di kampung ini.

“Walaupun suatu saat lahan saya sudah dibayar oleh negara, saya tetap tinggal di kampung ini, meski harus membuka kebun lagi. Keahlian saya cuman bertani, dan saya tidak mau seperti teman-teman lain yang telah pindah ke kota,” tegas Djamaluddin.

Djamaluddin Mahmud sedang memegang gula aren, hasil olahan air nira dari pohon enau. (Foto: Sarjan Lahay)
Djamaluddin Mahmud sedang memegang gula aren, hasil olahan air nira dari pohon enau. (Foto: Sarjan Lahay)

Bukan Solusi Pertanian Gorontalo?

Tarmizi “Arief” Abbas, Koordinator peneliti di Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) mengatakan, meskipun bendungan dibangun untuk mendukung aktivitas pertanian, tetapi belum tentu bisa menjadi solusi pertanian di Gorontalo.

Pasalnya, kata Arief, masalah pertanian di Gorontalo sangat beragam, seperti rantai pasok, akses terhadap pasar yang masih didominasi oleh tengkulak, ketersediaan lahan, regulasi yang tidak berpihak kepada petani, perubahan iklim, hingga model perkebunan/pertanian yang diterapkan.

Apalagi, luas sawah di Gorontalo telah mengalami penurunan secara signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 lahan sawah di Provinsi Gorontalo tersisa 30.112 hektar, berkurang 4.652 hektar atau beralih fungsi sejak 2017 yang masih mencapai 34.764 hektar.

Kondisi itu, menurut Arief, membuat petani selalu berada dalam posisi yang rentan. Di Gorontalo misalnya, petani bahkan menempati posisi pertama sebagai kelas sosial yang paling miskin. Data BPS per Maret 2024, menunjukkan bahwa persentase kemiskinan 14.57persen dan didominasi oleh petani.

Lemahnya sektor pertanian ini juga didukung oleh data PDRB Gorontalo pada tahun yang juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi justru didominasi oleh sektor perdagangan dan jasa. Menurutnya, kondisi ini tentu saja memprihatinkan.

“Sebab, pemerintah selalu berkomitmen untuk menguatkan sektor pertanian, namun faktanya berbagai intervensi yang dilakukan justru tidak berdampak apa-apa sama sekali,” kata Arief Abbas, pada akhir awal November 2024 lalu.

Rendahnya produktivitas di sektor pertanian dapat berdampak pada rendahnya pendapatan yang diperoleh petani. Kondisi ini akan menyebabkan tingkat daya beli petani juga rendah, sehingga situasi tersebut akan mendorong petani terus berada dibawah garis kemiskinan.

BPS Gorontalo mencatat, selama sepuluh tahun terakhir, pendapatan riil petani di Provinsi Gorontalo juga belum menunjukan perubahan yang berarti. Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami fluktuasi selama tahun 2013 hingga 2023 dengan rata-rata sebesar 103,12 persen.

Artinya, meskipun pendapatan yang diterima petani dari sektor pertanian sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluarannya, keuntungan yang diperoleh masih sangat kecil. Ia bilang, ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan petani masih berada dalam batas yang rentan.

Terlebih lagi, petani Gorontalo saat ini sudah mengalami penuaan atau rata-rata berusia 45 tahun ke atas. Sedangkan pemuda berusia 15–29 tahun yang bekerja di sektor pertanian pada Februari 2024 mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan kondisi dua belas tahun yang lalu.

Menurunnya jumlah tenaga kerja muda dan semakin menua usia petani menjadi ‘alarm‘ bahwa sektor pertanian semakin tidak diminati. Kondisi ini mengkhawatirkan karena dapat mengancam ketahanan pangan, mengingat pentingnya peran sumber daya manusia dalam pembangunan sektor pertanian.

Meskipun PSN ini memiliki fungsi signifikan, tetapi tolok ukur produktivitas pertanian tidak hanya diukur melalui keberadaan bendungan saja. Menurutnya, yang lebih penting dari itu adalah memberikan jaminan kepada petani terkait akses ke lahan dan kepemilikan hak atas tanah.

Selain itu, kata dia, produktivitas pertanian harus didukung kebijakan pemerintah yang berpihak pada petani. Dirinya mencontohkan soal program agropolitan justru berdampak negatif secara signifikan pada produktivitas pertanian, dan membelenggu petani dalam sistem pasar kapitalisme.

Alih-alih meningkatkan produktivitas pertanian, Bendungan Bulango Ulu diprediksi akan berdampak buruk secara ekologis. Proyek ini, menurutnya, akan mendorong pembukaan lahan miring secara masif, penggunaan pestisida berlebihan, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati.

“Prasyarat pembangunan bendungan ini membutuhkan tanah dalam skala yang gigantik dengan konsekuensi berdampak pada akses petani ke lahan-lahan produktif mereka,” jelasnya.

Baca juga: Ayo Nikmati Sensasi Damai di Sungai Ilomata River Camp Gorontalo

Apalagi, skema ganti rugi tidak sesuai harapan masyarakat terkena dampak, terutama jika dibandingkan dengan hasil produksi pertanian yang mereka peroleh dari aktivitas tersebut. Dampak dominonya, petani kehilangan sumber penghidupannya.

Menurutnya, PSN tak ada bedanya dengan industri ekstraktif yang sangat rakus lahan. Ia bilang, keberadaan bendungan harus dilihat dalam konteks kontrol terhadap alat produksi, seperti lahan, air, dan sumber daya lainnya. Meskipun tujuannya untuk mengatur air, tetapi sumber daya tersebut tetap dikendalikan oleh negara dan korporasi besar.

“Keberadaan bendungan melalui skema PSN selama ini lebih diperuntukkan untuk mendukung produksi skala besar, seperti kawasan industri, ketimbang untuk kepentingan petani,” pungkasnya.

Wilayah genangan air Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Sarjan Lahay)
Wilayah genangan air Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Sarjan Lahay)

Picu Ketidakseimbangan Lingkungan

Mega proyek yang digadang-gadang sebagai solusi untuk pertanian di Gorontalo ini bukan hanya berpotensi memperburuk krisis iklim, tetapi juga dapat memicu ketidakseimbangan lingkungan. Pembangunan waduk akan mengubah 483 hektare lahan menjadi genangan air permanen, yang berdampak pada keseimbangan ekosistem setempat.

Renal Husa dari Simpul Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Gorontalo menyebutkan, hilangnya lahan sebagai resapan air alami dapat memengaruhi dinamika hidrologi lokal, termasuk pola aliran air tanah dan potensi sedimentasi di area genangan. Ia bilang, hal itu tidak dipikirkan oleh pemerintah

Menurut Renal, pembangunan bendungan ini dianggap sebagai bentuk “cuci tangan” pemerintah atas kerusakan hutan di wilayah hulu. Dirinya membayangkan ketika kerusakan hutan di hulu tidak dicegah dan diperbaiki, maka sedimentasi di bendungan tersebut dapat terkonsentrasi dalam 10-20 tahun ke depan.

Baca juga: Potensi Tenaga Surya di Indonesia Besar, Tapi Minim Dimanfaatkan Hingga Terjepit Regulasi

Renal memberikan contoh soal kondisi Danau Limboto yang luas kedalamannya semakin berkurang setiap tahun akibat sedimentasi. Ia memprediksi, bendungan yang digadang-gadang sebagai solusi pertanian di Gorontalo ini justru bisa menjadi masalah baru di masa depan.

“Meski terbatas, keanekaragaman hayati lokal tetap terancam oleh perubahan ekosistem yang ditimbulkan,” kata Renal Husa, pada Senin 25 November 2024.

Dari sisi sosial, masyarakat yang sebelumnya bergantung pada lahan di lokasi pembangunan untuk kegiatan ekonomi, seperti pertanian, kemungkinan akan terkena dampak secara langsung. Menurutnya, masyarakat yang terkena dampak perlu mendapatkan dukungan yang komprehensif, termasuk kompensasi yang adil.

 

Tak hanya itu, kata dia, masyarakat yang terkena dampak juga perlu diberikan pelatihan keterampilan baru serta pendampingan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan peluang ekonomi di tempat tinggal baru. Hal ini penting untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalani transisi dengan lancar dan mengurangi ketidakpastian.

Renal bilang, sistem beli putus yang diterapkan menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib masyarakat. Menurutnya, masyarakat yang terkena dampak seperti dibiarkan mencari solusi sendiri atas kebijakan yang dibuat pemerintah tanpa dukungan yang memadai.

Padahal, katanya, perpindahan ribuan masyarakat berpotensi menimbulkan konflik ruang di lokasi baru. Pemberian uang kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak pembangunan Bendungan Bulango Ulu tanpa adanya relokasi terencana dan dukungan lanjutan dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan lingkungan.

Masyarakat dibiarkan mencari solusi sendiri atas kehilangan tanah dan tempat tinggal mereka, yang berisiko menciptakan ketidakpastian dan ketimpangan di masa depan. Ia mengatakan, tanpa panduan atau dukungan pemerintah, sebagian warga mungkin akan menggunakan uang kompensasi untuk membeli tanah di wilayah lain.

“Hal ini berpotensi memicu konflik ruang dengan masyarakat setempat di lokasi baru” jelasnya.

Baca juga: Perusahaan Tambang Emas di Bone Bolango Ancam Potensi ‘Si Hitam Manis’

Bendungan Bulango Ulu ini dinilai akan mendorong ketimpangan penguasaan tanah di Gorontalo. Simpul Walhi Gorontalo mencatat, total konsesi perusahaan, mulai dari tambang, perkebunan sawit, hingga Hutan Tanaman Energi (HTE), ditambah dengan lokasi PSN, mencakup sekitar 424.768 hektar atau 35 persen dari luas wilayah Provinsi Gorontalo.

Angka itu belum termasuk pertanian monokultur jagung yang sejatinya juga digerakkan oleh industri. Jika pertanian jagung dihitung, maka total penguasaan tanah oleh korporasi—baik secara langsung maupun tidak langsung—akan mencapai 759.713,52 hektar atau 63 persen dari total luas wilayah Provinsi Gorontalo.

Angka itu hampir sebanding dengan luas kawasan hutan provinsi Gorontalo, yang mencapai 764.186,76 hektar atau atau 64 persen. Sementara itu, perhutanan sosial (PS) hanya mencakup 31.293,85 hektar atau 4 persen. Hal ini menunjukan begitu jomplangnya keberpihakan pemerintah kepada korporasi dengan masyarakat.

Selain itu, kata Renal, bendungan akan membuat tekanan terhadap lahan dapat meningkat, mendorong pembukaan lahan baru di wilayah hutan yang dilindungi. Apalagi, Kecamatan Bulango Ulu ini adalah wilayah penyanggah Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi.

Renal bilang, pembukaan lahan ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam fungsi ekologis kawasan, seperti resapan air dan habitat satwa liar. Kondisi ini akan menempatkan masyarakat dalam posisi rentan, di mana tanpa pengetahuan yang memadai, uang kompensasi bisa habis dengan cepat tanpa memberikan solusi jangka panjang.

“Akibatnya, mereka berisiko jatuh ke dalam kemiskinan lebih dalam, kehilangan penghidupan, dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Untuk mencegah dampak buruk ini, pemerintah perlu mengubah pendekatannya dalam memberikan kompensasi,” ucapnya.

Alih-alih hanya memberikan uang, katanya, sebaiknya ada program pendampingan yang membantu masyarakat dalam merencanakan masa depan mereka, seperti pelatihan keterampilan, bantuan untuk mendapatkan lahan yang legal dan produktif, serta akses ke layanan sosial di tempat baru.

Menurutnya, dengan pendekatan yang lebih inklusif dan bertanggung jawab, masyarakat dapat diberdayakan untuk menghadapi perubahan yang terjadi tanpa meninggalkan mereka dalam ketidakpastian.

Salah satu dump truk sedang beraktivitas mengangkut batuan. (Foto: Sarjan Lahay)
Salah satu dump truk sedang beraktivitas mengangkut batuan. (Foto: Sarjan Lahay)

Berdampak ke Krisis Iklim

Selain berdampak ke keberlangsungan hidup petani dan ketidakseimbangan lingkungan, Bendungan Bulango Ulu ini juga disinyalir akan memberikan dampak buruk terhadap krisis iklim atau pemanasan global. Pasalnya, mega proyek ini bisa memicu gas metana yang dapat memberikan emisi lebih besar ke atmosfer, dibanding dengan bahan bakar fosil.

Menurut The United Nations Environment Programme (UNEP), metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang lebih besar dibandingkan Karbon dioksida (CO2). Per satuan massa, metana memiliki efek pemanasan 86 kali lebih kuat daripada CO2 selama 20 tahun. Selama periode 100 tahun, metana 28 kali lebih kuat.

Dalam sebuah laporan Kementerian PUPR Tahun 2014 menyebut, waduk atau bendungan dapat menghasilkan gas metana. Pembentukan gas metana itu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: kondisi lahan sebelum diairi, kondisi kualitas air waduknya dan juga kondisi fisik waduknya.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa terdapat dua sumber utama emisi gas metana di bendungan, yaitu dari air waduk dan dasar bendungan. Air waduk berpotensi menghasilkan emisi gas metana karena mengandung unsur-unsur anorganik serta bahan organik yang dapat terurai dan membentuk gas metana.

Sementara itu, dasar bendungan berpotensi menghasilkan gas metana lebih besar dibandingkan air bendungan, karena mengandung lebih banyak bahan organik dari tanaman yang terendam saat penggenangan. Selain itu, kadar oksigen di dasar bendungan yang lebih rendah juga meningkatkan pembentukan gas metana.

Baca juga: Paus Orca Muncul di Perairan Bone Bolango, Hiu Paus Hilang

Artinya, emisi tersembunyi di balik proses ini menunjukkan bahwa pembangkit listrik tenaga air tidak sebersih yang banyak orang pikirkan. Pemicu munculnya emisi dalam proses ini bukan hanya air yang melewati turbin. Banyak gas rumah kaca yang terlarut juga melalui proses ini.

Zulham Sirajuddin, Dosen Pertanian di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) membenarkan bahwa metana adalah salah satu gas yang dapat memperburuk pemanasan global. Ia bilang, metana paling banyak dipicu dari aktivitas pertanian lahan basah yang tergenang, seperti persawahan.

Meskipun belum melakukan penelitian langsung soal gas metana di bendungan, tetapi dirinya cukup yakin bendungan bisa memicu gas metana karena ada proses penggenangan air. Seperti karbon dioksida yang larut dalam air bertekanan, gas metana juga dapat larut dalam air dalam kondisi tertentu.

“Proses pembangunan bendungan itu ada praktik pembalikan tanah cukup banyak. Ketika sudah selesai pembangunan, akan ada proses penggenangan air yang memungkinkan bisa memicu gas metana,” kata Zulham Sirajuddin pada 21 November 2024.

Peta genangan air Bendungan Bulangu Ulu (Sumber: BWS Sulawesi II)
Peta genangan air Bendungan Bulangu Ulu (Sumber: BWS Sulawesi II)

Sebenarnya, pemanfaatan pembangunan bendungan seperti diklaim pemerintah pusat itu, saat ini tengah dipertanyakan di dunia internasional. Ongkos pembangunan dan pemeliharaan dinilai sangat mahal dan dapat merusakan lingkungan, serta memberikan dampak buruk terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Misalnya, dalam sebuah penelitian dari Michigan State University yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), menyatakan ongkos atau dampak dari bendungan sering diremehkan, dan umur bendungan dinilai akan lebih pendek karena pengaruh perubahan iklim.

Penelitian itu menerangkan bagaimana pembangunan, deforestasi, dan perubahan iklim, sangat mempengaruhi biaya, produktivitas, dan umur bendungan. Jika pembangunan dan deforestasi meningkat, jumlah sedimentasi akan lebih besar masuk ke dalam sungai, dan itu akan memperpendek usia bendungan.

“Jika itu terjadi, akan membutuhkan tindakan intervensi yang lebih mahal seperti pengerukan. Hal tersebut hanya menimbulkan potensi korupsi dan hanya menguntungkan para kontraktor,” tulis dalam penelitian tersebut.

Baca juga: Tambang Ilegal Bone Bolango Hanya Ditutup Sementara, Mengapa?

Tak hanya itu, riset itu juga menjelaskan bahwa sekitar 472 juta orang di seluruh dunia terkena dampak negatif dari pembangunan bendungan dalam seratus tahun terakhir. Di bagian hilir, masyarakat yang bergantung pada sungai terpaksa tergusur, kehilangan ketahanan pangan dan mata pencaharian, serta mengalami kerugian budaya yang tak terukur.

Di Amerika Utara dan Eropa, jumlah bendungan yang diruntuhkan lebih banyak daripada yang dibangun. Sejak 2006, lebih dari 60 bendungan setiap tahun dibongkar di Amerika Serikat. Hal ini sangat kontras dengan Indonesia, yang merencanakan pembangunan 50-60 bendungan hingga 2024, termasuk Bendungan Bulango Ulu.

Bendungan besar yang dibangun mempunyai dampak merugikan sangat besar, merugikan kelompok miskin dan gagal memberikan pasokan listrik dan irigasi seperti yang direncanakan. Kondisi itu disinyalir akan dirasakan oleh masyarakat Bulango Ulu yang terkena dampak dengan adanya pembangunan bendungan.

Proses pembangunan tanggul penahan air. (Foto: Sarjan Lahay)
Proses pembangunan tanggul penahan air. (Foto: Sarjan Lahay)

PSN Berwatak Otoriter

Dari berbagai potensi ancaman yang bisa ditimbulkan dari Bendungan Bulango Ulu ini memberikan gambaran lebih jelas bagaimana mega proyek besutan Jokowi ini memiliki banyak dampak negatif. Sayangnya, PSN ini justru sangat otoriter karena sifatnya menafikan partisipasi rakyat dalam penentuan, persetujuan, dan pelaksanaan PSN.

Fenomena itu terbukti saat penyusunan Amdal yang dilakukan pada tahun 2017. Ketika itu, ada 75,7 persen masyarakat setempat tidak menyetujui dengan pembangunan Bendungan Bolango Ulu, dan 23,3 persen yang setuju. Ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tidak setuju lebih besar daripada yang setuju.

Namun, pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan pembangunan proyek ini dengan tetap tidak mengindahkan penolakan yang terjadi di masyarakat. Sikap otoriter ini yang membuat petani seperti Rasyid Nusi, Purnama Sudarmika dan suaminya Dadang Nugraha, serta Djamaluddin Mahmud akan kehilangan ruang hidup mereka.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, sejak perencanaan hingga pelaksanaan PSN di Indonesia seringkali tidak menggunakan prinsip keterbukaan informasi kepada publik. Praktik ini mendorong partisipasi masyarakat bermakna diabaikan.

Baca juga: Perusahaan Emas Ancam Habitat Julang Sulawesi di Bone Bolango

Kondisi itu ikut diperparah sejak hadirnya Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan dan mensejahterakan masyarakat, katanya, PSN kerap menghilangkan dan merampas sumber penghidupan masyarakat yang terkena dampak proyek. Dewi menilai, fenomena itu juga terjadi di PSN Bendungan Bulango Ulu.

“Melihat kondisi pembangunan Bendungan Bulango Ulu saat ini, dapat disimpulkan bahwa PSN ini tidak menciptakan lapangan pekerjaan atau mensejahterakan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat yang terkena dampak justru kehilangan sumber mata pencaharian mereka,” kata Dewi Kartika, pada 22 November 2024 lalu.

Apalagi, menurut Dewi, sebagian besar PSN lebih menguntungkan investasi dan elit politik. Pasalnya, skema PSN mencakup semua jenis proyek bisnis, termasuk pangan, energi, dan infrastruktur oleh swasta asing. Kondisi ini, katanya, berpotensi memperburuk perampasan tanah, penggusuran, dan eskalasi konflik agraria akibat percepatan PSN.

Desa Tuloa yang telah menjadi lokasi pembangunan PSN Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Sarjan Lahay
Desa Tuloa yang telah menjadi lokasi pembangunan PSN Bendungan Bulango Ulu. (Foto: Sarjan Lahay

Pengalokasian tanah yang hanya berfokus pada kemudahan investasi PSN diakomodir pemerintah melalui berbagai regulasi turunan UU Cipta Kerja, seperti PP 42/2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, PP 64/2021 tentang Bank Tanah, dan PP 19/2021 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum.

Dewi bilang, regulasi-regulasi itu telah mendiskriminasi hak konstitusional masyarakat, sehingga memperlemah posisi masyarakat khususnya petani dan masyarakat adat terkait hak atas tanah yang telah mereka kuasai, garap dan tempati selama puluhan tahun, bahkan jauh sebelum masa kemerdekaan.

Melalui UU Cipta Kerja dan ragam regulasi turunannya, katanya, telah menyebabkan perampasan tanah bekerja begitu cepat dengan dalih percepatan pembangunan nasional. Pendeknya, PSN yang dibangun pemerintah saat ini sarat dengan wajah kekerasan karena akan terjadi perampasan tanah dan penggusuran rakyat yang ada di wilayah proyek.

KPA mencatat, sepanjang 2020-Juli 2024 terdapat 134 letusan konflik agraria akibat PSN. Artinya, kata Dewi, PSN ikut memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia yang membuat banyak masyarakat yang tercerabut dari hak atas tanahnya, ketimbang dipenuhi hak atas tanahnya. Sejatinya, kata dia, PSN bukan proyek strategis nasional, tetapi “Penggusuran Skala Nasional”.

Baca juga: Warga Resah Operasi Perusahaan Tambang Emas di Bone Bolango

“Kebijakan dan peraturan yang ada saat ini tidak lagi memberikan ruang yang cukup memadai untuk masyarakat menyatakan protes. Sehingga terjadilah yang disebut sebagai perampasan lahan dalam skala luas,” jelas Dewi.

Menurut Dewi, masalah itu akan menjadi lebih parah ketika negara melakukan pembayaran tanah untuk kepentingan umum dengan skema “ganti kerugian putus”, atau tanah milik masyarakat dibayar tanpa menyediakan tempat untuk mereka. Ini seperti memaksa masyarakat untuk mencari cara lain untuk bertahan hidup, selain bertani.

Padahal, katanya, ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak hanya berupa kompensasi finansial, tetapi juga harus mencakup penyediaan tempat relokasi bagi masyarakat. Ia menilai, PSN Bendungan Bolango Ulu bertentangan dengan program swasembada pangan, karena justru akan menghilangkan lahan pertanian produktif.

“Apa yang terjadi di PSN di Gorontalo ini membuktikan janji UU Cipta Kerja yang ingin menciptakan lapangan pekerjaan, justru menciptakan pengangguran. Petani terbukti kehilangan sumber mata pencaharian karena adanya PSN, dan mereka terpaksa harus migrasi ke perkotaan,” ucapnya.

Gunung-gunung yang dibabat untuk pembangunan Bendungan Bulangu Ulu. (Foto: Sarjan Lahay)
Gunung-gunung yang dibabat untuk pembangunan Bendungan Bulangu Ulu. (Foto: Sarjan Lahay)

Acuhnya Pemerintah

Dengan berbagai potensi risiko dampak yang akan ditimbulkan, pemerintah seperti terkesan acuh memikirkan masa depan petani yang akan kehilangan ruang hidup akibat adanya PSN ini. Dampak lingkungan hingga krisis iklim yang berisiko diperparah dengan adanya mega proyek ini juga tak dihiraukan.

Kesan itu terbukti ketika saya mengirimkan surat permintaan wawancara kepada Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi II Ali Rahmat pada 25 November 2024 lalu. Dalam surat itu, setidaknya ada 13 pertanyaan yang saya ajukan, dari penyebab utama keterlambatan proyek, hingga bagaimana BWS Sulawesi II petani yang kehilangan ruang hidup akibat PSN ini.

Alih-alih menjawab, BWS Sulawesi II hanya menanggapi 2 dari 13 pertanyaan yang diajukan. Melalui surat resmi, mereka mengatakan sebagai pelaksana teknis, pihaknya tidak menyediakan tempat relokasi bagi masyarakat yang terkena dampak, tetapi hanya menyediakan tempat relokasi bagi fasilitas umum.

Baca juga: Tambang Emas Ilegal di Gorontalo Longsor, Penyebabnya?

Pasalnya, berdasarkan musyawarah, masyarakat sebagai pihak yang berhak (PYB) memilih bentuk ganti kerugian dalam bentuk uang tunai. Hal itu diatur dalam Undang-undang pengadaan tanah No. 02 Tahun 2012, pasal 36-37.

Selain itu, mereka mengaku tidak memiliki program pendampingan setelah dilakukan ganti rugi lahan bagi masyarakat yang terkena dampak proyek Bendungan Bulango Ulu. “Tidak ada,” tulis BWS Sulawesi II melalui surat yang ditandatangani oleh Kepala Sub Bagian Umum dan Tata Usaha, Risnawati T. Dangkua.

Sementara itu, Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Bone Bolango, Budiyanto Sidiki ketika dikonfirmasi terkait masalah serupa juga membenarkan bahwa belum ada tempat relokasi yang disiapkan bagi warga yang terkena dampak pembangunan Bendungan Bulango Ulu. Ia bilang, pemerintah hanya menyediakan tempat relokasi bagi fasilitas umum saja.

Lokasi pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Bulangu Ulu (Foto: Sarjan Lahay)
Lokasi pembangunan Proyek Strategis Nasional Bendungan Bulangu Ulu (Foto: Sarjan Lahay)

Alasannya, kata Budiyanto, lahan masyarakat yang terkena dampak dari pembangunan mega proyek ini diselesaikan dengan cara ganti rugi. Artinya, jika lahan masyarakat sudah dibayar negara, mereka memang wajib harus pindah dari wilayah itu, agar pembangunan bisa berjalan dengan lancar.

“Negara sudah membayar lahan masyarakat dengan ganti rugi yang cukup besar. Bahkan itu bisa disebut ganti untung. Ini adalah pilihan masyarakat sendiri,” kata Budiyanto Sidiki melalui sambungan telepon, pada 21 November 2024 lalu.

Dengan ganti rugi yang diberikan, kata Budiyanto, masyarakat bisa membeli lahan yang lebih baik daripada lahan mereka yang masuk dalam wilayah proyek. Menurutnya, ini kesempatan petani di Bulango Ulu untuk mencari kehidupan baru selain di wilayah proyek tersebut.

Baca juga: Belasan Ribu Hektar Kawasan Hutan Bakal jadi Tambang Emas di Bone Bolango

Namun, menurut Rasyid Nusi, kebijakan pemerintah yang memberikan ganti rugi tanpa disertai dengan relokasi justru membuat mereka terjebak dalam situasi yang sulit. Meskipun ganti rugi yang diberikan negara cukup besar, namun hal tersebut tidak dapat menjamin keberlangsungan hidup mereka dalam jangka panjang

Selama lebih dari tiga tahun, Rasyid merasakan betapa sulitnya seorang petani yang tiba-tiba harus beradaptasi dan bertahan hidup di lingkungan perkotaan. Tanpa lahan untuk bertani atau berkebun, Rasyid mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya setiap hari. Ia merasa seolah-olah dipaksa untuk mencari cara lain untuk bertahan hidup, selain bertani.

“Kalau saya tahu kondisi akan seperti ini, saya lebih memilih untuk tidak menjual lahan saya dan terus melakukan penolakan pembangunan Bendungan Bulango Ulu ini. Saya sangat menyesal,” pungkasnya.

 


Liputan ini didanai dari Grant Liputan Isu Dampak Pembangunan Proyek Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh AJI Makassar dan Internews.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.