Setelah melakukan pengumpulan sampah khusus brand Unilever selama satu minggu penuh, sejumlah aktivis Greenpeace mengembalikan sampah-sampah tersebut ke produsen, yang telah ditempel pada logo U raksasa, di depan Graha Unilever, pada siang 20 Juni 2024. Aksi ini bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban Unilever, untuk mengambil dan mengolah kembali sampah plastik yang telah mereka hasilkan.
Menurut laporan Audit Merek (Brand Audit) dalam 5 tahun terakhir, Unilever merupakan salah satu perusahaan FMCG terbesar yang selalu masuk ke dalam daftar pencemar tertinggi, baik secara nasional maupun global. Audit Merek yang dilakukan di 4 negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mendapati Unilever sebagai pencemar teratas dengan jumlah total kemasan plastik sekali pakai sebanyak 1.851.
Baca juga: Produsen Harus Bertanggung Jawab dengan Sampah Mereka!
Secara global Unilever memproduksi saset dan berencana akan menjual 53 miliar saset tahun ini, atau setara dengan 1700 saset per detik. Saat ini Unilever global sedang membatalkan komitmen sebelumnya untuk mengurangi penggunaan plastik murni sebesar 50% pada tahun 2025 — target yang diperbarui kini berfokus pada pengurangan penggunaan plastik murni sebesar 30% pada tahun 2026.
Unilever mengklaim menginginkan dunia yang ‘bebas limbah’, namun 99,8% kemasan plastiknya saat ini adalah kemasan sekali pakai. Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa dengan laju saat ini, dibutuhkan waktu lebih dari tahun 3000 sebelum 100% produk plastik Unilever dapat digunakan kembali.
Tanggung jawab produsen atas sampah dan secara khusus tentang saset tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 75 tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Mewajibkan produsen, salah satunya industri manufaktur, untuk membuat peta jalan pengurangan sampah dari kemasannya sebesar 30%.
Mengacu pada Permen LHK nomor 75 tahun 2019, hingga saat ini baru sebanyak 18 produsen yang melakukan pilot project dari 42 produsen yang telah mempunyai dokumen peta jalan. Walaupun Permen LHK nomor 75 tahun 2019 ini memerintahkan penghapusan kemasan saset dibawah 50 ml, tapi dengan kondisi saat ini tanpa adanya komitmen pengurangan produksi, dan transparansi kemajuan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, sampah saset akan terus mencemari dan membebani lingkungan.
Baca juga: Kawasan Timur Indonesia Rentan Terhadap Pencemaran Plastik
“Saatnya menagih tanggung jawab Unilever, sebagai salah satu produsen FMCG terbesar di dunia, untuk serius menjalani komitmen pengurangan produksi plastik mereka, serta mendesak mereka untuk membuka peta jalan pengurangan sampahnya,” ujar Ibar Akbar, Plastic Project Lead Greenpeace Indonesia.
Laporan brand audit saset ini melibatkan 25 organisasi di 4 negara di Asia, untuk melihat persebaran penjualan kemasan saset di negara-negara Asia. Untuk Asia Tenggara sendiri, konsumsi saset hampir mencapai separuh dari pangsa global dengan proyeksi mencapai angka 1,3 triliun saset terjual setiap tahunnya pada tahun 2027.
Perjanjian plastik global yang sedang berlangsung proses negosiasinya antara negara anggota, menjadi satu-satunya peluang seumur hidup untuk mengatasi krisis plastik. Maka, sangat penting untuk memiliki perjanjian plastik global yang kuat dan ambisius untuk mengurangi produksi plastik dan mendorong beralihnya bisnis plastik sekali pakai ke sistem guna ulang.
Sumber: Greenpeace Indonesia
Leave a Reply
View Comments