WALHI Tantang Gubernur Sulteng Terpilih Atasi Masalah Lingkungan dan

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Anwar Hafid dan dr. Reni A. Lamadjido resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk periode 2025-2030. Pelantikan dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, pada Kamis 12 Februari 2025/

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulteng memberikan tantangan yang tegas kepada pasangan pemimpin baru tersebut untuk segera menangani masalah lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM) yang telah mengancam kesejahteraan masyarakat di Sulteng.

Salah satu masalah lingkungan yang dimaksud, yakni terkait kerusakan alam akibat aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit di wilayah tersebut. WALHI menuntut agar dalam 100 hari pertama, Anwar dan dr. Reni dapat menunjukkan komitmen mereka dalam memperbaiki keadaan tersebut.

Wandi, Manager Kampanye WALHI Sulteng, menegaskan bahwa langkah konkret dari pemerintah provinsi sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan yang sudah lama mencemari bumi Sulawesi Tengah.

WALHI juga menilai sudah saatnya Gubernur baru memegang kendali penuh untuk mengatasi masalah lingkungan dan memberikan keadilan bagi rakyat yang selama ini terdampak oleh kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Saat ini, WALHI Sulteng ingin melihat bukti nyata dari janji-janji politik yang diucapkan para calon Gubernur selama masa kampanye. Salah satunya adalah penanganan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit skala besar.

“Kami berharap Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru dilantik dapat segera mewujudkan janji tersebut dalam 100 hari kerja mereka,” ujar Wandi dengan tegas.

Sulteng memang menghadapi tantangan besar dalam hal kerusakan lingkungan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Data yang diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa hingga Mei 2024, tercatat ada sebanyak 678 izin tambang yang tersebar di wilayah Sulawesi Tengah.

Jumlah itu menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan semakin memperburuk situasi ekologis di provinsi ini.

Wandi bilang, aktivitas pertambangan yang tidak terkendali, terutama yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, telah menyebabkan penghilangan Wilayah Kelola Rakyat (WKR), deforestasi masif, serta kerusakan lingkungan yang berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar.

“Lebih parahnya lagi, praktik perusakan lingkungan ini berdampak langsung pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang,” jelasnya.

Dalam setahun terakhir saja, kata Wandi, Sulteng mengalami setidaknya enam kali bencana ekologis, seperti banjir dan longsor, yang disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap keadilan lingkungan. Bencana-bencana ini jelas mengancam kehidupan warga, terutama mereka yang tinggal di daerah yang terdampak langsung oleh aktivitas pertambangan.

Dalam konteks ini, WALHI Sulteng merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang secara tegas mengamanatkan pengawasan ketat terhadap aktivitas yang berpotensi merusak lingkungan.

Sayangnya, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dianggap sangat kurang dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku perusak lingkungan. Praktik eksploitasi yang tidak berkelanjutan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar rakyat ini semakin memperburuk kondisi yang ada.

“Undang-Undang sudah jelas mengatur tentang perlindungan lingkungan hidup, namun dalam prakteknya, banyak pelanggaran yang dibiarkan begitu saja. Kerusakan yang terjadi bukan hanya merugikan alam, tetapi juga merugikan masyarakat, yang seharusnya mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang sehat,” tambah Wandi.

Di tengah isu kerusakan lingkungan, salah satu program besar yang kini tengah hangat diperbincangkan adalah rencana pembukaan Sulawesi Palm Oil Belt (SPOB) yang mengusung target ekspansi perkebunan sawit hingga satu juta hektar di Pulau Sulawesi.

“Di Sulteng, rencana ini mencakup sekitar 300.000 hektar lahan yang direncanakan untuk dijadikan perkebunan sawit skala besar,” ungkapnya

Saat ini, kata dia, total luas area perkebunan sawit di provinsi ini tercatat mencapai 152.598,24 hektar, yang sudah menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan sosial, termasuk perampasan tanah masyarakat adat, kerusakan hutan, dan konflik agraria.

Ia menjelaskan, program SPOB ini juga diprediksi akan meningkatkan potensi deforestasi yang lebih luas, yang pada gilirannya akan memperburuk perubahan iklim dan mengancam keberagaman hayati yang ada di Sulawesi Tengah.

Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai meningkatnya praktik perampasan tanah dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang menentang rencana tersebut, seperti yang telah terjadi di beberapa kawasan perkebunan sawit yang sudah ada. Kasus-kasus penganiayaan terhadap petani dan masyarakat yang melawan pengambilalihan tanah mereka masih terus terjadi.

“Jika SPOB ini benar-benar terealisasi, dampaknya akan sangat besar. Tidak hanya deforestasi yang akan semakin parah, tetapi juga konflik agraria akan semakin meningkat. Kami khawatir banyak tanah masyarakat yang akan dirampas, yang sudah terbukti terjadi pada beberapa perusahaan sawit di Sulawesi Tengah,” ujar Wandi.

Melihat situasi yang semakin memburuk ini, WALHI Sulawesi Tengah dengan tegas mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru dilantik untuk segera mengambil langkah-langkah tegas dalam mengatasi masalah ini.

WALHI meminta agar pemerintah provinsi segera mengevaluasi semua izin tambang yang sudah dikeluarkan, serta meninjau kembali rencana program SPOB yang dapat menyebabkan kerusakan lebih parah pada lingkungan dan kehidupan masyarakat.

“Kami menantang Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah yang baru dilantik untuk segera bertindak. Jangan biarkan kerusakan lingkungan terus berlanjut dan merugikan rakyat. Evaluasi izin-izin tambang yang ada, hentikan ekspansi perkebunan sawit, dan pastikan program pembangunan yang ada tidak merusak alam dan hak-hak rakyat,” tegas Wandi.

WALHI juga menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap aktivitas perusahaan yang beroperasi di Sulawesi Tengah, serta penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan.

Selain itu, WALHI berharap Gubernur yang baru dapat mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya memperhatikan keuntungan ekonomi, tetapi juga kelestarian alam dan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.

“Ini saatnya untuk perubahan. Kami berharap Gubernur Anwar Hafid dan Wakil Gubernur dr. Reni A. Lamadjido dapat membawa Sulawesi Tengah menuju arah yang lebih baik, dengan menjadikan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat sebagai prioritas utama,” tutup Wandi.

WALHI Sulteng mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mengawasi dan mendukung upaya-upaya yang diambil oleh pemerintahan yang baru dalam mewujudkan Sulawesi Tengah yang lebih hijau, berkelanjutan, dan adil.

Staf Redaksi Benua Indonesia