Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dilakukan oleh PT. Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI) kepada tujuh koperasi pada 18 Februari 2025 di kantor PT. Hardaya Inti Plantations (HIP), yang disaksikan oleh perwakilan pemerintah daerah, menjadi sorotan. Langkah ini dianggap sebagai upaya PT. HIP untuk menutupi pengelolaan buruk kebun sawit kemitraan yang melibatkan petani lokal.
Pasalnya, pembangunan kemitraan perkebunan sawit di Kabupaten Buol hanya melibatkan PT HIP dan tujuh koperasi, yakni Koperasi Amanah, Plasa, Bersama, Awal Baru, Bukit Pionoto, Idaman, serta Fisabilillah. Program ini melibatkan 4.934 pemilik lahan dengan total luas 6.764 hektar dan dimulai sejak 2008.
Dengan demikian, kemitraan dalam pembangunan kebun sawit ini sejatinya terjalin antara petani dengan PT. HIP, bukan dengan PT. UMKI. Pengalihan pengelolaan kebun kemitraan dari PT. HIP kepada PT. UMKI hanya merupakan upaya untuk mengaburkan hubungan kemitraan dan menghindari tuntutan dari petani pemilik lahan.
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB), menyatakan bahwa selama ini PT. HIP mengelola kebun kemitraan dengan cara yang sangat buruk. Para petani pemilik lahan tidak pernah menerima bagi hasil, malah dibebani utang mencapai 590 miliar rupiah yang asal-usul dan penggunaannya tidak pernah dijelaskan.
“Seluruh hasil kebun kemitraan diambil oleh PT. HIP, sementara perusahaan mengelola kebun secara tertutup,” kata Fatrisia Ain dalam siaran pers, 20 Februari 2025.
Fatrisia mengungkapkan bahwa praktik buruk pengelolaan kebun oleh PT. HIP telah dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia. KPPU memutuskan bahwa PT. HIP secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
“Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hingga saat ini, PT. HIP tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,” ungkapannya.
Alih-alih taat hukum, kata Fatrisia, hingga saat ini PT. HIP belum melaksanakan sanksi dan perintah perbaikan yang salah satunya adalah audit keuangan, yang mencakup seluruh proses pembangunan kebun hingga tahun 2023 untuk koperasi Amanah. Sementara itu, enam koperasi lainnya masih dalam tahap pemeriksaan awal oleh KPPU RI.
Ironisnya, kata Fatrisia, PJ. Bupati Buol serta pemerintah daerah yang justru memfasilitasi kerjasama dan pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) antara PT. UKMI dan koperasi, sementara kemitraan tersebut masih terikat secara hukum dengan PT. HIP dan tengah menghadapi masalah, justru memperburuk penyelesaian konflik.
Fatrisia bilang, peralihan pengelolaan kebun kemitraan kepada PT. UKMI malah menutup langkah-langkah penyelesaian yang tengah diupayakan oleh para petani pemilik lahan. Pemerintah Daerah Buol seharusnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini dengan mendorong pelaksanaan putusan KPPU.
Ia meyakini, langkah PJ. Bupati bersama Pemda Buol yang memfasilitasi pengalihan pengelolaan kebun kemitraan kepada PT. UKMI—perusahaan yang baru didirikan pada 2023—dinilai sebagai upaya untuk mewakili kepentingan PT. HIP yang terus berusaha menguasai kebun kemitraan tersebut.
Padahal, kata Fatrisia, pembagian SHU oleh PT. UKMI sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah konflik kemitraan antara PT. HIP dan para petani pemilik lahan. Di sisi lain, katanya, audit menyeluruh—yang mencakup keanggotaan, pembangunan kebun, audit keuangan, dan penyehatan koperasi—belum dilakukan.
“Pengurus koperasi yang saat ini berkuasa diduga tidak berpihak pada kepentingan petani, bahkan ada indikasi penggelapan uang oleh oknum pengurus koperasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, pembagian SHU oleh PT. UKMI baru dilakukan dua kali, dengan nilai yang jauh dari kewajaran, dan tidak semua koperasi menerima bagian tersebut. Ia bilang, salah satu yang merasakannya adalah Koperasi Plasa.
Lebih lanjut, kata Fatrisia, dalam pembagian SHU, petani hanya menerima antara Rp. 150.000 hingga Rp. 300.000 per hektar. Padahal, harga sawit saat ini berkisar Rp. 2.300 per kilogram, yang berarti perusahaan hanya memberikan hasil kebun kepada petani sekitar 65 hingga 130 kilogram per hektar setiap bulannya.
Sementara itu, kata dia, satu hektar kebun sawit terdiri dari sekitar 136 pohon yang bisa dipanen 2 hingga 3 kali sebulan. Dengan pembagian uang sebesar itu, petani hanya memperoleh antara 3 hingga 6 tandan buah sawit (TBS) per hektar.
“Hal ini menunjukkan ketidakadilan yang jelas dalam pembagian hasil kebun kemitraan, sehingga sangat wajar jika para pemilik lahan menuntut agar lahan dan sertifikat mereka dikembalikan,” pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments