- Dalam dekade terakhir, deforestasi Indonesia menunjukkan penurunan, termasuk di sektor pulp dan sawit. Namun, analisis spasial terbaru mengungkapkan situasi berbeda. Ambisi hijau negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan, yang ingin gunakan biomassa sebagai sumber energi terbarukan mereka justru mendorong degradasi hutan hujan tropis Indonesia.
- Laporan Earth Insight, Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia (FWI), Solutions for Our Climate (SFOC), Trend Asia, dan Mighty Earth juga mencatat, Jepang menerima sekitar 38% dan Korea Selatan 62% dari ekspor pelet kayu Indonesia selama 2021-2023. Selama periode sama, volume ekspor biomassa kayu Indonesia meningkat dari 1.000 kali, dari 100 metrik ton per tahun.
- Timer Manurung, Direktur Eksekutif Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, pasar Jepang dan Korsel saat ini jadi pemicu perluasan kebun kayu energi Indonesia. Bersamaan dengan itu, kebijakan co-firing akan meningkatkan konsumsi biomassa dalam negeri hingga 8.400%. Kondisi ini, katanya, jadi ancaman serius bagi hutan dan masyarakat lokal.
- Berkat desakan para pihak, akhirnya Korsel kurangi subsidi pada biomassa. Pada 18 Desember 2024, Korsel mengumumkan reformasi besar dukungan pemerintah terhadap energi biomassa, dengan mengurangi subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa. Langkah ini merupakan inisiatif bersama Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Dinas Kehutanan Korea, dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Dalam dekade terakhir, tingkat deforestasi di Indonesia memang menunjukkan penurunan, termasuk di sektor pulp dan kelapa sawit. Namun, analisis spasial terbaru mengungkapkan situasi yang berbeda. Ambisi hijau negara-negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan, yang ingin menggunakan produk biomassa sebagai sumber energi listrik terbarukan mereka justru mendorong degradasi hutan hujan tropis Indonesia.
Jepang dan Korea Selatan adalah negara yang masif mengembangkan program transisi hijaunya melalui penggunaan produk biomassa. Negara Sakura dan Gingseng ini mengklasifikasikan pelet kayu sebagai sumber energi terbarukan dalam kebijakan energi nasionalnya mereka. Kedua negara ini menggunakan pelet kayu untuk pembangkit listrik biomassa, serta dicampurkan dalam bahan bakar di pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).
Di Jepang, program transisi hijau mereka disebut sebagai upaya menekan karbon di negaranya sendiri atau dikenal dengan Green Transformation (GX). Jepang mengembangkan pembangkit listrik berbasis biomassa baik secara penuh (full-firing), maupun bauran sebagian (co-firing). Untuk memenuhi ambisi energi hijau, Jepang mengimpor bahan baku biomassa berupa pelet kayu dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca juga: Anomali Proyek Pangan dan Energi Gunakan 20 Juta Hektar Hutan
Dalam mendukung mengimpor bahan baku biomassa berupa pelet kayu dari negara-negara berkembang, Jepang memberikan subsidi dan bantuan finansial langsung untuk mendukung pengembangan fasilitas energi biomassa, seperti pembangkit listrik berbasis biomassa atau sistem pemanfaatan energi biomassa untuk industri. Sistem ini sebagai upaya Jepang untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan setelah bencana nuklir Fukushima pada 2011.
Jepang juga menerapkan sistem Feed-in Tariff (FiT), yang menawarkan tarif tetap bagi produsen energi terbarukan, termasuk biomassa, untuk menjual listrik mereka ke jaringan listrik nasional. Sistem FiT ini sejalan dengan Rencana Energi Strategis (RES) yang disusun oleh Pemerintah Jepang pada April 2014, yang menetapkan target produksi listrik hingga 1.065 TWh dari sumber energi terbarukan, sesuai dengan Bauran Energi 2030.
Selain itu, Jepang tidak hanya mengimpor pelet kayu dari Indonesia dalam jumlah yang terus meningkat, tetapi juga berperan aktif dalam mendirikan proyek-proyek biomassa di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi domestiknya. Menurut laporan Mighty Earth pada Desember 2023, organisasi-organisasi Jepang terlibat dalam 49 proyek pembakaran bersama biomassa di Indonesia.

Sama seperti Jepang, Korea Selatan juga memberikan insentif besar untuk proyek biomassa melalui sistem Sertifikat Energi Terbarukan (REC), dimana pembangkit listrik yang menggunakan pelet kayu menerima subsidi yang lebih tinggi. Salah satu tujuan utama dari sistem REC adalah untuk mematuhi target energi terbarukan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Korea Selatan.
Korea Selatan memiliki target ambisius untuk meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi mereka. Sebagai bagian dari kebijakan ini, perusahaan pembangkit listrik dan perusahaan besar yang mengkonsumsi energi diwajibkan untuk membeli sertifikat REC sebagai bagian dari kewajiban mereka untuk memenuhi target penggunaan energi terbarukan.
Menurut Solutions for Our Climate (SFOC), pembangkit listrik biomassa di Korea Selatan telah menerima sekitar $3,7 miliar REC sambil membakar 50 juta metrik ton kayu sejak 2015. Meskipun ada masalah iklim dan hak asasi manusia, biomassa terus diberi subsidi yang lebih besar per unit daya yang dihasilkan daripada tenaga surya dan angin berdasarkan REC saat ini.
Baca juga: Hutan Rusak, Jabodetabek Banjir
Ambisi hijau yang dimiliki Jepang dan Korea Selatan dengan strategi memberikan subsidi dan bantuan finansial langsung untuk mendukung pengembangan fasilitas energi biomassa justru menghancurkan hutan hujan tropis di negara-negara, termasuk Indonesia. Alih-alih transisi energi, Jepang dan Korea Selatan hanya merusak hutan Indonesia dengan ambisi hijau mereka.
Laporan yang diterbitkan pada bulan Oktober oleh Earth Insight, Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia (FWI), Solutions for Our Climate (SFOC), Trend Asia, dan Mighty Earth tersebut mencatat bahwa Jepang menerima sekitar 38% dan Korea Selatan 62% dari ekspor pelet kayu Indonesia selama tahun 2021-2023. Selama periode yang sama, volume ekspor biomassa kayu Indonesia meningkat dari 1.000 kali, dari 100 metrik ton per tahun.
Ironisnya, pelet kayu yang diekspor ke Jepang dan Korea Selatan justru berasal dari hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Misalnya, pelet kayu yang diekspor oleh PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) diproduksi dari bahan baku yang diperoleh dari dua perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu PT. Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT. Inti Global Laksana (IGL), yang kemudian diubah menjadi kebun energi.
Berdasarkan analisis citra satelit dan spasial oleh FWI pada periode 2021-2023, BTL telah melakukan deforestasi sebesar 1.105 hektar hutan alam untuk dijadikan bahan baku pelet kayu. Sedangkan, menurut analisis Nusantara Atlas pada Januari 2023 – Agustus 2024, IGL telah membabat hutan alam sebesar 36 hektar dengan kepentingan yang sama. Hutan-hutan yang dibabat kedua perusahaan ini memiliki nilai konservasi tinggi berada di Sulawesi.
Analisis spasial yang dilakukan oleh FWI, pada periode 2021-2023, BTL telah melakukan deforestasi seluas 1.105 hektar hutan alam untuk dijadikan bahan baku pelet kayu. Sementara itu, menurut analisis Nusantara Atlas antara Januari 2023 hingga Agustus 2024, IGL tercatat telah menebang 36 hektar hutan alam dengan tujuan serupa. Hutan-hutan yang dibabat oleh kedua perusahaan ini terletak di Sulawesi dan memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi.
Selain itu, PT Korintiga Hutani (KTH), sebuah perusahaan joint venture antara Korindo (Korea-Indonesia) dan Oji Holdings (Jepang) yang beroperasi di Kalimantan Tengah, juga melakukan hal serupa. Berdasarkan data CELIOS, KTH menduduki peringkat teratas dalam hal luas pengembangan tanaman energi, dengan total area tanaman energi mencapai 50.628 hektar dari keseluruhan konsesi seluas 94.378 hektar.
Baca juga: UU Kehutanan Akan Direvisi, Bisa Disusupi Kepentingan Korporasi?
Analisis spasial yang dilakukan oleh FWI menunjukkan bahwa produksi serpihan kayu dan pelet kayu oleh KTH telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan alam seluas 13.003,18 hektar antara tahun 2021 hingga 2023. Angka ini belum termasuk deforestasi yang terjadi sebelum periode tersebut. Secara keseluruhan, sejak tahun 2000 hingga 2023, sekitar 81.535 hektar hutan telah hilang, atau sebesar 96% tutupan hutan dari total konsesi telah lenyap.
Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan, ambisi hijau jepang dan Korea Selatan sangat agresif untuk merusak hutan di Indonesia. Ekspor besar-besaran pelet kayu ini hanya memuaskan negara-negara maju saja, dan Indonesia hanya dijadikan sebagai tempat sampahnya.
“Beberapa bulan lalu, saya mengunjungi Jepang dan melihat bagaimana hutan-hutan mereka dijaga, bahkan yang di tengah kota. Ironisnya, Indonesia justru harus menanggung deforestasi akibat upaya transisi energi yang dilakukan Jepang,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara dalam acara publikasi hasil penelitian pada Selasa 17 Desember 2024 lalu.
Menurut Bhima, transisi energi seharusnya tidak mengorbankan lingkungan, seperti merusak hutan hujan. Transisi energi harus berlandaskan keadilan, benar-benar ramah lingkungan, dan tidak hanya menguntungkan negara-negara maju secara ekonomi. Ia biang, transisi energi harus memberikan manfaat yang sama besar bagi negara-negara maju dan berkembang, seperti Indonesia, untuk memastikan pemerataan keuntungan.

Hutan Indonesia dalam Tekanan
Menurut rencana energi Indonesia, biomassa kayu diperkirakan akan memasok 19,7 TWh energi pada 2025, dengan 64,5% diantaranya berasal dari co-firing PLTU batubara. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, “hutan tanaman energi” yang dibangun diharapkan dapat menyuplai separuh dari total bahan baku. Akibatnya, hutan-hutan di Indonesia akan menghadapi tekanan besar dari ekspansi kebun kayu energi untuk memenuhi permintaan biomassa.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Trend Asia pada 2022 dengan judul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi“, disebutkan bahwa untuk memenuhi kebijakan co-firing, diperlukan 10,23 juta ton pelet kayu per tahun, yang berasal dari hutan seluas 3,27 juta lapangan bola. Hal ini diperkirakan akan meningkatkan laju deforestasi sebesar 2,1 juta hektare per tahun.
Data FWI mencatat, 34 izin PBPH yang berstatus IUPHHK-HT dan berkomitmen mencadangkan areanya untuk Hutan Tanaman Energi (HTE). Total wilayah izin ini adalah sebesar 1,380,597,31 hektar, yang tersebar di 15 Provinsi. Dalam periode 2021-2023, terdapat deforestasi sebesar 33,322.96 hektar, dengan hutan alam tersisa seluas 470,490.88 hektar atau 33.66% di dalam keseluruhan izin.
Baca juga: Mengapa Hutan Pinus Dulamayo Menjadi Primadona Wisata Gorontalo?
Laporan Auriga Nusantara, dengan enam organisasi masyarakat sipil menemukan, lebih dari 10 juta hektare hutan tropis kini terancam di dalam zona pemungutan (haul zone) pabrik kayu serpih (chip mill) dan PLTU co-firing, termasuk lebih dari empat juta hektare yang berada di 127 Key Biodiversity Areas (KBA). Dari 1,2 juta hektare kebun kayu energi, sekitar 400.000 hektar merupakan hutan utuh, yang meliputi 14 KBA yang kini terancam.
Selain itu, lebih dari 3,9 juta hektare hutan utuh berada di dalam zona pemungutan PLTU co-firing, dengan lebih dari 1,5 juta hektare di antaranya berada di 104 KBA yang kini juga terancam. Juga ada lebih dari 4,1 juta hektare habitat orangutan juga terletak di dalam zona pemungutan pabrik kayu serpihan dan PLTU co-firing. Konflik dengan masyarakat lokal juga ditemukan meluas akibat memenuhi permintaan biomassa ini.
Permintaan pelet kayu dari Korea Selatan dan Jepang juga menjadi pendorong utama peningkatan kebun kayu energi di Indonesia. Program subsidi yang diterapkan di kedua negara tersebut secara signifikan telah meningkatkan permintaan dan produksi pelet serta kayu serpihan, yang berasal dari hutan-hutan di berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Timer Manurung, Direktur Eksekutif Auriga Nusantara mengatakan, pasar Jepang dan Korea Selatan saat ini menjadi pemicu perluasan kebun kayu energi Indonesia. Namun, bersamaan dengan itu, kebijakan co-firing akan meningkatkan konsumsi biomassa dalam negeri hingga 8.400%, yang menjadikannya sebagai ancaman serius terhadap hutan dan masyarakat lokal.
Menurut Timer, hutan Indonesia harus diselamatkan dari solusi iklim palsu ini, dan penggunaan kayu untuk energi biomassa harus dihentikan. Investasi seharusnya difokuskan pada perlindungan dan pemulihan alam demi masa depan bersama. Ia bilang, membakar kayu merupakan solusi energi palsu.
“Peningkatan deforestasi demi pembangunan kebun dan ekspor kayu energi menjadikan industri biomassa sebagai ancaman berganda bagi Indonesia,” kata Timer Manurung melalui rilis yang diterima Mongabay.
Baca juga: Wajah Orde Baru di Perpres Penertiban Kawasan Hutan
Pasalnya, laporan terbaru tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang dirilis pada akhir tahun lalu menyebutkan, Emisi karbon dioksida (CO2) Global di tahun 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Namun, dalam penelitian yang dipublikasikan oleh CELIOS pada 17 Desember lalu menemukan, program pemenuhan sektor ketenagalistrikan berbasis biomassa sampai saat ini justru memperpanjang dua bisnis tinggi emisi sekaligus: PLTU batu bara dan pembabatan hutan. PLTU batu bara yang seharusnya disuntik mati justru memiliki nafas lebih panjang karena sumber bahan bakunya dapat dioplos dengan biomassa.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia menargetkan penggunaan 10,2 juta ton biomassa untuk memenuhi bauran energi 23% pada 2025. Namun, pada 2023, baru tercapai 991.000 ton, jauh dari target 2,2 juta ton. Masih ada selisih sekitar 1,2 juta ton dari yang ditargetkan pada tahun sebelumnya. Artinya, pasokan biomassa domestik Indonesia belum tercapai 121% pada 2023.
Viky Arthiando, Peneliti CELIOS mengatakan, semenjak program PLTU co-ring berjalan pada 2020, produksi wood chips mengalami peningkatan yang tajam. Namun, dalam waktu bersamaan, produksi batu bara di Indonesia justru ikut mengalami peningkatan. Tercatat pada 2020, produksi batu bara di Indonesia sebanyak 1,9 juta MBOE dan meningkat hingga 2,3 juta MBOE pada 2020.
Alih-alih menghentikan penggunaan batu bara di boiler PLTU, kata Viky, upaya PLTU co-firing ini malah akan menjadi dalih melanggengkan ekstraksinya. Ia bilang, alasan mengurangi penggunaan energi fosil dengan mencampur kayu dalam boiler PLTU batubara hanya menjadi solusi palsu dalam penanganan krisis iklim.
Viky bilang, bahan baku kayu yang selama ini dianggap merusak lingkungan, dicuci oleh program transisi energi dan disebut sebagai bahan baku biomassa yang dianggap lebih ramah lingkungan. Komoditas yang sama, cara produksi yang sama–dengan penggalangan dan pembongkaran hutan–dapat dipermak seketika dengan program baru: transisi energi.
Baca juga: Risiko Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Proyek Pangan dan Energi
“Invasi bisnis justru semakin berekspansi pada komoditas kehutanan dalam pemenuhan bahan baku sektor kelistrikan. Negara-negara maju tetap saja mengeruk sumber daya alam negara berkembang. Kali ini dengan skenario transisi energi,” Viky Arthiando saat peluncuran laporan CELIOS dengan judul “Jerat Ambisi pada Hutan” pada Selasa 17 Desember 2024 lalu.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, ketika energi masih diletakan dalam kerangka bisnis, maka yang terjadi hanya eksploitasi dan berdampak negatif kepada masyarakat yang berada di wilayah ekstraksi. Dengan begitu, katanya, komoditas apapun yang dijadikan sebagai sumber energi, maka produksinya tetap akan memicu masalah.
“Ketika energi dipandang hanya dalam kerangka bisnis, maka ekstraksi dan produksinya akan dipaksakan untuk terus diperbesar. Dalam konsep ini, keuntungan hanya dinikmati oleh korporasi, sementara masyarakat sekitar justru harus menanggung dampak negatifnya,” kata Uli Arta Siagian saat menjadi penanggap dalam peluncuran laporan CELIOS.

Uli bilang, kehadiran HTE hanya bertujuan untuk memperpanjang ekstraksi batubara, memperpanjang umur PLTU, serta memperpanjang ekstraksi kayu. Menurutnya, upaya aktivasi izin-izin di sektor kehutanan melalui kebijakan atas nama transisi energi akan menambah kerentanan hutan, ekosistem gambut, dan masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Senada, Katherine Hasan, Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengatakan, transisi energi harus berkeadilan dan memiliki aspek kesejahteraan, dan Biomass co-firing adalah solusi palsu hadapi krisis iklim. Pemerintah, katanya, harusnya mempertimbangkan bisnis yang hanya memperpanjang penggunaan batubara ini.
Padahal, menurut Katherine, dalam penelitian yang dilakukan oleh CREA, skema biomass co-firing tidak memberikan banyak perubahan dalam pengurangan emisi atau polusi udara. Sebaliknya, biomass co-firing justru menghasilkan emisi besar di hilir karena bahan bakunya berasal dari aktivitas deforestasi. Belum lagi soal distribusi bahan bakunya yang juga memicu emisi.
Baca juga: Potret Karut Marut Lahan Hutan Tanaman Energi di Aceh Besar
Pemanfaatan biomassa kayu dari hutan alam dapat menciptakan utang emisi, karena hutan alam menyimpan lebih banyak karbon. 1 hektar hutan alam menyimpan 254 ton karbon-C, sedangkan hutan tanaman hanya 107,86 ton karbon. Konversi hutan alam menjadi hutan tanaman menghasilkan hutang emisi 146,14 ton karbon per hektar.
“Kalau memang ada pengurangan polusi udara atau emisi karbon dalam penggunaan biomassa co-firing, itu adalah keliru. Dalam penelitian kita, itu tidak terbukti,” kata Katherine Hasan saat menjadi penanggap dalam peluncuran laporan CELIOS.

Korea Selatan Akhirnya Mengurusi Subsidi Biomassa
Pada 18 Desember 2024 lalu, Korea Selatan mengumumkan reformasi besar dukungan pemerintah terhadap energi biomassa, dengan mengurangi subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa. Langkah ini merupakan Inisiatif bersama baru Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Dinas Kehutanan Korea, dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Reformasi ini ditulis dalam semua dokumen berjudul “Rencana untuk Meningkatkan Struktur Pasar Bahan Bakar dan Tenaga Biomassa,” berupaya untuk mengatasi kritik domestik dan internasional terhadap biomassa atas dampaknya terhadap lingkungan. Langkah ini juga dipandang sebagai pembatalan kebijakan terbesar semacam ini di Asia, yang siap membatasi pertumbuhan industri biomassa yang cepat dan tidak terkendali di kawasan tersebut.
Langkah ini datang setelah meningkatnya kekhawatiran pada 2024 mengenai dampak perubahan iklim dan ketergantungan Korea Selatan yang besar pada impor biomassa. “Berbagai masalah telah muncul seiring perluasan pasar biomassa,” tulis MOTIE dalam dokumen pernyataannya.
Baca juga: Perusahaan Kayu Hancurkan Hutan Alam dan Gambut Kalimantan, Ancam Habitat Orangutan
“Dampak subsidi harga Sertifikat Energi Terbarukan (REC) telah menyebabkan persaingan antara bahan baku untuk pembangkit listrik dan bahan baku untuk daur ulang, sementara kritik mengenai deforestasi dan emisi karbon yang disebabkan oleh pembangkit listrik biomassa terus meningkat.” Sambung MOTIE.
Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Korea Selatan berencana mengurangi insentif REC—kredit yang dikeluarkan per megawatt listrik terbarukan yang dihasilkan—yang selama ini lebih menguntungkan biomassa dibandingkan sumber energi lain seperti tenaga surya dan angin.
Saat ini, pabrik biomassa yang menggunakan kayu dari hutan yang masih berdiri menerima multiplikator REC yang lebih tinggi dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya, yang menghambat transisi energi bersih Korea Selatan.

Adapun reformasi mengurangi subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa.yang dibuat oleh Pemerintah Korea Selatan setidaknya ada empat poin penting yakni.
- Pembangkit listrik biomassa baru: Semua REC untuk fasilitas biomassa baru akan berakhir, sehingga tidak ada lagi proyek biomassa kayu tambahan yang memasuki pasar.
- Pembangkit listrik milik negara: REC untuk enam pembangkit listrik tenaga batubara dan biomassa milik negara akan berakhir pada Januari 2025. Bobot untuk tiga pembangkit listrik biomassa khusus milik negara akan dikurangi secara bertahap dari 1,5 menjadi 0,5 pada tahun 2027.
- Pembangkit listrik milik swasta: Pembobotan untuk enam pembangkit listrik co-firing akan dihapuskan secara bertahap selama dekade berikutnya, sementara pembobotan saat ini sebesar 1,5 akan dikurangi menjadi 0,5 selama 15 tahun ke depan untuk 12 pembangkit listrik khusus.
- Bahan bakar ‘biomassa hutan yang tidak terpakai’ dalam negeri: Pembobotan REC untuk pelet dan serpihan yang terbuat dari apa yang disebut residu kehutanan akan tetap tidak berubah pada 1,5 untuk pembakaran bersama dan 2,0 untuk pembakaran khusus.
Keputusan Korea Selatan untuk memangkas subsidi secara substansial untuk semua biomassa kecuali bahan baku domestik ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Pengurangan subsidi biomassa impor diharapkan akan berdampak di seluruh Asia, khususnya di negara-negara dengan industri biomassa yang sedang berkembang seperti Vietnam dan Indonesia.
Baca juga: Program Sulawesi Palm Oil Belt Ancaman Baru Hutan Sulawesi
Pasalnya, sebagian besar ekspor pelet kayu dari Asia Tenggara ditujukan ke Korea Selatan dan Jepang. Saat ini, Korea Selatan mendapatkan 71% pelet kayu impornya dari Asia Tenggara, sementara Jepang diperkirakan akan menjadi importir pelet kayu terbesar di dunia pada 2030.
Vietnam, sebagai produsen pelet kayu terbesar kedua di dunia, memenuhi sebagian besar permintaan dari kedua negara, sementara Indonesia mengharuskan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk menggunakan biomassa bersama, yang berpotensi merusak lebih dari 10 juta hektar hutan.
Oleh karena itu, pembatasan subsidi Korea Selatan untuk biomassa impor merupakan langkah signifikan untuk mengurangi perannya dalam ‘mengimpor deforestasi’—yang berpotensi menjadi preseden bagi kawasan tersebut.
Namun, masih ada kekhawatiran terkait dampak kebijakan baru ini terhadap hutan domestik Korea Selatan. Analisis data pemerintah menunjukkan bahwa residu kehutanan domestik sering kali diperoleh melalui penebangan habis-habisan, yang dapat merusak hutan lebih dari 87% dari waktu.
Kritikus juga menunjuk pada garis waktu penghentian bertahap yang lambat untuk pabrik biomassa swasta, dengan alasan bahwa beberapa fasilitas akan tetap menguntungkan hingga tahun 2040-an. Para ilmuwan menekankan urgensi pemotongan emisi yang mendalam dan cepat di semua sektor, termasuk energi biomassa.

Hansae Song, Pemimpin Hutan & Penggunaan Lahan di Solutions for Our Climate (SFOC) menilai, keputusan Korea Selatan untuk mengurangi dukungan bagi jenis biomassa yang paling berbahaya—biomassa impor dan pembakaran bersama batu bara—memberikan sinyal bahwa pemerintah mulai memperhatikan biaya ekonomi dan lingkungan dari industri ini.
“Industri biomassa telah terbukti tidak layak secara finansial, membakar subsidi pemerintah dan hanya menyisakan karbon dioksida dan hutan gundul,” kata Hansae Song melalui siaran pers yang diterima.
Meskipun reformasi kementerian energi merupakan koreksi yang sudah lama tertunda, katanya, reformasi ini merupakan langkah ke arah yang benar. Ia bilang, meratakan hutan hujan di Asia Tenggara untuk bahan bakar pembangkit listrik di Asia Timur dengan cepat kehilangan pijakan.
“Namun, pergeseran ke arah eksploitasi hutan domestik menunjukkan bagaimana sekelompok kecil kepentingan industri terus memberikan pengaruh yang tidak proporsional, menyandera alam kita,” jelasnya
Baca juga: Merawat Pampa, Hutan Perempuan Adat Moa
Menurutnya, pemberian jaminan dukungan terbarukan secara de facto kepada pabrik biomassa swasta hingga 15 tahun ke depan memastikan bahwa jutaan ton kayu akan tetap dibakar setiap tahunnya, mendorong krisis iklim semakin mendekati titik kritis yang tidak dapat dipulihkan.
“Kelemahan-kelemahan ini tidak akan luput dari perhatian. Oposisi publik akan terus menentang ketergantungan Asia yang berlebihan terhadap biomassa, menyelamatkan transisi energi dari solusi iklim yang salah ini,” tegasnya.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI) menilai kebijakan ini merupakan langkah baik dari Korea Selatan untuk turut serta menghentikan pengrusakan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa.
“Lebih dari 80% ekspor biomassa kayu dari Indonesia merupakan berasal dari kerusakan dan aktivitas penggundulan hutan, bukan dari hasil rehabilitasi,” kata Anggi Putra Prayoga.
Sebenarnya, kata Anggi, dua negara tujuan ekspor wood pellet Indonesia adalah Jepang dan Korea Selatan. Menurutnya, kedua negara ini harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan hujan tropis yang sedang berlangsung.
“Catatan FWI (2024), jika kebijakan pemanfaatan biomassa terus didukung dengan kebijakan pendanaan, ada 4,65 juta hektare hutan alam yang diproyeksikan dirusak,” pungkasnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia, dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments