Green Tumbilotohe: Menjaga Tradisi Gorontalo agar Berkelanjutan

Lampu minyak yang dinyalakan saat perayaan tumbilotohe atau penyalaan berjuta lampu minyak di akhir Ramadan di Kota Gorontalo/Hibata.id
Lampu minyak yang dinyalakan saat perayaan tumbilotohe atau penyalaan berjuta lampu minyak di akhir Ramadan di Kota Gorontalo/Hibata.id
  • Tumbilotohe, atau yang dikenal sebagai “malam pasang lampu,” adalah tradisi khas masyarakat Gorontalo yang dilaksanakan pada tiga malam terakhir di bulan Ramadan.
  • Namun, observasi kuantitatif terhadap dampak tradisi ini terhadap pencemaran udara, menghasilkan data yang perlu dipertimbangkan secara serius.
  • Dari perspektif kebijakan, integrasi konsep Green Tumbilotohe atau Tumbilotohe hijau dalam RPJMD dapat memberikan kerangka legal yang mendukung transisi berkelanjutan.
  • Transformasi ekologi Tumbilotohe tidak hanya menawarkan manfaat lingkungan, tetapi juga potensi ekonomi. Dengan begitu, perayaan Tumbilotohe lebih ramah lingkungan

Meski Ramadhan belum benar-benar berakhir, malam-malam di Gorontalo dipenuhi cahaya dari ribuan lampu yang sinarnya berpendar di sepanjang jalan, halaman rumah, sampai tepi sungai. Di malam-malam itu, masyarakat Gorontalo penuh suka merayakan tradisi Tumbilotohe: Malam Memasang Lampu.

Tumbilotohe, atau yang dikenal sebagai “malam pasang lampu,” adalah tradisi khas masyarakat Gorontalo yang dilaksanakan pada tiga malam terakhir di bulan Ramadan. Secara etimologi, “Tumbilotohe” berasal dari bahasa Gorontalo, di mana “tumbilo” berarti memasang dan “tohe” berarti lampu.

Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-15 atau ke-16, dimana pada masa itu, masyarakat menggunakan penerangan dari bahan alami seperti damar atau getah pohon yang dibungkus daun woka, dikenal sebagai “tohetutu,”untuk menerangi jalan menuju masjid.

Seiring waktu, sumber cahaya mulai terganti oleh api berwadah tempurung kelapa hingga botol bekas berbahan minyak tanah dan nabati, dipadukan dengan lampu bertenaga listrik warna-warni yang memperindah suasana.

Cahaya Tumbilotohe berjajar rapi, membuat suasana sakral dan hangat, menjadi manifestasi budaya yang menarik perhatian. Namun, di balik keindahannya tersimpan dilema ekologi yang masih diabaikan.

Tumbilotohe, menciptakan momentum kultural yang kental dengan nuansa religi dan kearifan lokal. Setiap tahunnya, ritual cahaya dengan pembakaran minyak ini menimbulkan kegelisahan bagi beberapa orang. Tradisi yang semula bermakna spiritualitas kini berhadapan dengan realitas tantangan ekologis: emisi dan polusi.

Tumbilotohe: Tradisi yang Meninggalkan Jejak “Karbon”

Observasi kuantitatif terhadap dampak tradisi ini terhadap pencemaran udara, menghasilkan data yang perlu dipertimbangkan secara serius. Jika disimulasi perhitungan emisi karbonnya, dengan perkiraaan 15.000 lampu minyak tanah yang terpasang selama tiga malam, dengan konsumsi rata-rata 0,08 liter per lampu.

Berdasarkan perkiraan itu, perayaan Tumbilotohe itu akan menghasilkan sekitar 9 ton CO₂, atau setara dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh empat orang Indonesia selama setahun penuh, atau perjalanan mobil sejauh 30.000 kilometer.

Baca juga: Menggali Keindahan Pantai Botubarani Gorontalo dengan Keramahan Hiu Paus

Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia mengenai emisi dari pembakaran minyak tanah menunjukkan bahwa selain karbon dioksida, pembakaran ini juga melepaskan partikel PM2,5 yang berkontribusi signifikan terhadap polusi udara.

World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa paparan terhadap partikel halus ini berkorelasi langsung dengan peningkatan risiko penyakit pernapasan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.

Dalam konteks global, laporan IPCC terbaru menggarisbawahi pentingnya memperhatikan emisi dari sektor rumah tangga dan kegiatan kultural.

Meskipun festival budaya seperti Tumbilotohe tidak termasuk kategori penyumbang emisi terbesar, namun dalam paradigma keberlanjutan kontemporer, setiap upaya mitigasi menjadi relevan, termasuk transformasi praktik kultural yang telah berlangsung lama.

Green Tumbilotohe: Inovasi Tradisi memanfaatkan Inovasi Teknologi

Berbagai alternatif teknologi telah dikembangkan untuk menghadirkan solusi yang memungkinkan keberlanjutan tradisi tanpa mengorbankan aspek ekologi. Festival Diwali di India dapat dijadikan model komparatif yang relevan.

Studi yang dipublikasikan dalam Jurnal Renewable and Sustainable Energy Reviews mengilustrasikan bagaimana transisi dari lampu minyak tradisional ke lampu LED bertenaga surya berhasil menurunkan tingkat polusi udara secara signifikan tanpa mengurangi nilai kultural dari festival tersebut.

Analisis ekonomi menunjukkan relevansi praktis dari solusi ini. Investasi awal untuk lampu surya diperkirakan bisa memakan biaya Rp50.000 per unit dengan masa pakai hingga 5 tahun.

Jika dibandingkan dengan konsumsi minyak tanah yang mencapai biaya Rp30 juta per tahun (asumsi selama tiga malam perayaan), implementasi teknologi surya menawarkan penghematan jangka panjang yang substansial, mengacu pada data harga energi dari Kementerian ESDM.

Baca juga: Kontribusi Pohon Alpukat & Pohon Jambu Biji Dalam Keberlanjutan Lingkungan

Selain energi surya, pemanfaatan biogas dari limbah lokal juga menawarkan potensi yang menjanjikan. Studi FAO mengenai biogas menunjukkan bagaimana minyak jelantah atau kotoran ternak dapat dikonversi menjadi bahan bakar alternatif.

Pendekatan ini tidak hanya memitigasi emisi karbon tetapi juga menciptakan siklus ekonomi sirkular yang menguntungkan komunitas lokal.

Perspektif inovatif lainnya adalah pengembangan desain hibrid yang memadukan elemen tradisional dengan teknologi modern. Lampu tempurung kelapa yang menggunakan sumbu LED bertenaga surya dapat mempertahankan estetika visual tradisional sambil mengeliminasi dampak lingkungan yang negatif.

Penerapan konsep serupa telah berhasil diimplementasikan dalam proyek “lampu botol surya” yang didokumentasikan oleh National Geographic.

Rekomendasi: Transisi Energi untuk Ekologi

Transisi ekologi dalam praktik kultural menghadapi sejumlah tantangan yang perlu dianalisis secara kritis. Investasi awal yang relatif tinggi untuk teknologi alternatif dapat menjadi kendala bagi masyarakat dengan keterbatasan ekonomi.

Untuk mengatasi hal ini, diperlukan mekanisme pembiayaan inovatif seperti subsidi pemerintah atau program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dapat dirancang dengan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Lingkungan.

Dimensi sosiokultural juga menjadi pertimbangan krusial. Edukasi masyarakat tentang urgensi transisi ekologi perlu dilakukan dengan pendekatan yang sensitif terhadap nilai-nilai lokal.

Kolaborasi dengan seniman dan budayawan lokal dapat menjadi strategi efektif untuk mensosialisasikan desain lampu Tumbilotohe ramah lingkungan, tapi tetap mempertahankan esensi kultural dari tradisinya.

Baca juga: Mengapa Hutan Pinus Dulamayo Menjadi Primadona Wisata Gorontalo?

Dari perspektif kebijakan, integrasi konsep Green Tumbilotohe atau Tumbilotohe hijau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dapat memberikan kerangka legal yang mendukung transisi berkelanjutan.

Pendekatan ini tentu mengharuskan koordinasi lintas organisasi perangkat sektor kebudayaan, lingkungan hidup, dan pariwisata agar terciptak sinergi kebijakan yang komprehensif.

Peluang Pariwisata Berkelanjutan

Transformasi ekologi Tumbilotohe tidak hanya menawarkan manfaat lingkungan, tetapi juga potensi ekonomi. Perayaan yang dimodifikasi dengan pendekatan berkelanjutan dapat menjadi daya tarik wisata budaya hijau yang unik, sejalan dengan tren global pariwisata berkelanjutan.

Misalnya, Festival Lampion Pingxi di Taiwan merupakan contoh komparatif yang menunjukkan bagaimana tradisi lampion dapat direvitalisasi menjadi atraksi wisata internasional dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan.

Menurut data Kemenparekraf, segmen pariwisata berkelanjutan mengalami pertumbuhan yang konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Green Tumbilotohe dapat diposisikan sebagai produk wisata yang menawarkan pengalaman autentik sekaligus mengedukasi wisatawan tentang praktik budaya berkelanjutan.

Pendekatan ini juga dapat menjadimodel replikatif bagi festival serupa di Indonesia, seperti perayaan Ogoh-Ogoh di Bali, yang juga menghadapi dilema ekologi dalam setiap kegiatannya.

Refleksi: Masa depan tradisi di tengah iklim yang terus berubah

Tumbilotohe merepresentasikan dilema kontemporer yang dihadapi banyak tradisi kultural di era perubahan iklim. Di satu sisi, terdapat imperatif untuk melestarikan praktik kultural yang membentuk identitas kolektif masyarakat. Di sisi lain, realitas ekologis menegaskan urgensi untuk beradaptasi dengan paradigma keberlanjutan.

Transformasi Tumbilotohe menjadi perayaan yang lebih ramah lingkungan bukanlah upaya untuk mendegradasi nilai tradisional, melainkan evolusi yang diperlukan untuk memastikan keberlanjutan tradisi itu sendiri. Pendekatan adaptif ini mengakui dinamisme budaya sebagai entitas yang terus berkembang, bukan artefak statis yang terisolasi dari konteks global.

Untuk itu, mari jadikan perayaan Tumbilotohe, Tradisi Malam Pasang Lampu, cahayanya tidak sekedar menerangi Gorontalo di malam-malam terakhir Ramadhan, tetapi juga menjadi cahaya penerang masa depan—sebuah manifestasi harmonisasi antara warisan budaya dan tanggung jawab ekologis yang dapat menginspirasi generasi mendatang.

 


Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.

Dosen Universitas Muhammadiyah Gorontalo