Kolonialisme, Ruang dan Transisi Energi

Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh Samuel Faber dari Pixabay)
Ilustrasi PLTS yang ada di Indonesia. (Gambar oleh Samuel Faber dari Pixabay)
  • Transisi energi di Indonesia kerap dipahami semata sebagai respons teknokratis terhadap krisis iklim. Namun di balik narasi itu, proyek transisi energi juga merupakan proyek politik.
  • Transisi energi, bukan sekadar proyek teknokratik, tetapi merupakan tindakan spasial dari pemerintahan yang sarat makna. Ia mengubah cara lahan dipersepsikan dari ruang hidup dan budaya menjadi ruang sumber daya.
  • Keadilan energi sejati hanya mungkin terwujud jika kita bersedia menggugat logika pembangunan yang selama ini membungkam, logika yang menjadikan tanah sebagai objek, dan masyarakat sebagai gangguan.

Ketika pemerintah berambisi untuk melakukan transisi menuju energi terbarukan, banyak yang menyambutnya sebagai tonggak menuju masa depan Indonesia yang lebih hijau, adil, dan inklusif. Imajinasi tentang panel surya yang menyinari atap-atap rumah warga, atau aliran listrik dari pembangkit panas bumi yang menjangkau desa-desa terpencil, menyulut optimisme akan hadirnya perubahan yang merata dan berkelanjutan.

Namun, di balik narasi cerah ini, ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang jarang ditelisik, di mana proyek ini dibangun? Di atas tanah siapa? Serta atas nama siapa pembangunan ini.

Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita pada satu kenyataan mendasar bahwa ruang tempat proyek-proyek ini dijalankan tidak pernah bersifat netral. Ia bukan sekadar lahan kosong yang menunggu diisi oleh infrastruktur. Ruang adalah konstruksi politik, arena di mana kekuasaan dinegosiasikan, dipaksakan, dan dilawan.

Ketika negara membangun infrastruktur energi di atas wilayah adat, yang  tengah berlangsung adalah proses perluasan kontrol, di mana tatanan sosial dirombak, relasi kuasa diatur ulang, dan batas-batas legitimasi atas tanah serta masa depan ditentukan ulang. Dalam proses ini, ada pihak-pihak yang disahkan untuk hadir dan memiliki, sementara yang lain disingkirkan secara halus, diam-diam, namun sistematis.

Transisi Energi, Kolonisasi, dan Produksi Ruang

Transisi energi di Indonesia kerap dipahami semata sebagai respons teknokratis terhadap krisis iklim. Namun di balik narasi itu, proyek transisi energi juga merupakan proyek politik. Pembangunan infrastruktur energi bukan hanya upaya memenuhi kebutuhan teknis, tetapi tentang membentuk ulang lanskap kekuasaan dan relasi teritorial di tingkat lokal.

Wilayah-wilayah tempat proyek transisi energi dijalankan seringkali direkayasa ulang menjadi zona ekstraksi dan pengendalian. Di dalamnya, tanah adat tidak lagi dipandang sebagai ruang hidup dengan nilai kultural dan spiritual, melainkan diubah menjadi objek tata kelola melalui logika teritorial yang mengabaikan relasi-relasi sosial dan pengetahuan lokal yang telah lama tertanam di dalamnya.

Baca juga: Anomali Proyek Pangan dan Energi Gunakan 20 Juta Hektar Hutan

Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan ini tidak diperlakukan sebagai ruang hidup yang utuh, melainkan direduksi menjadi simpul pasokan sumber daya, sebuah extractive hub yang berfungsi menopang sumber-sumber pertumbuhan ekonomi di wilayah lain (Bruna, 2022).

Wilayah-wilayah tersebut juga kerap dikonstruksikan sebagai sacrifice zones, yakni ruang-ruang yang secara sistematis dijadikan objek pengorbanan. Fenomena ini mencerminkan bentuk kekerasan spasial yang mengakar, di mana sebagian wilayah dan komunitasnya dianggap layak dikorbankan demi narasi kemakmuran nasional, pertumbuhan ekonomi, atau klaim kemandirian energi (Fuentes, 2021).

Ruang bukan entitas kosong atau netral, melainkan produk dari relasi sosial dan kekuasaan Henri Lefebvre (2009). Infrastruktur, dalam kerangka ini, bukan hanya intervensi teknis atau proyek pembangunan semata, tetapi instrumen politik yang digunakan negara untuk menciptakan, mengatur, dan mengklaim ruang.

Ketika negara memetakan lokasi proyek untuk transisi energi, maupun membangun akses seperti infrastruktur jalan, negara tidak hanya “membawa misi pembangunan” namun sedang mengukir jejak kekuasaan di atas lanskap yang selama ini mungkin absen dari jangkauan formal negara, atau bahkan menjadi ruang yang berpotensi melakukan perlawanan terhadap negara di kemudian hari.

Dalam konteks ini, praktik pemetaan yang dijalankan oleh agen-agen pembangunan negara bukan sekadar aktivitas teknis, melainkan tindakan politis yang secara aktif membentuk dan menyusun ulang realitas sosial-spasial. Melalui garis batas, titik koordinat, dan zonasi-zonasi yang ditetapkan, negara tidak hanya merepresentasikan ruang, tetapi juga menciptakannya sesuai dengan logika kekuasaan.

Pemetaan menjadi instrumen yang digunakan untuk melegitimasi klaim atas tanah dan sumber daya, membingkai ruang seolah-olah netral dan objektif, padahal sesungguhnya sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi dan sering kali mengulang pola-pola kolonialisme dalam bentuk baru.

Baca juga: Negara, Resistensi, dan Logika Ekonomi dalam Transisi Energi

Dalam Colonialism and Its Forms of Knowledge, Bernard S. Cohn (1996) memahami kolonialisme bukan hanya sebagai dominasi politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai proyek besar produksi pengetahuan. Kolonialisme, kata Cohn, bergantung pada pembentukan sistem-sistem pengetahuan yang memungkinkan penjajahan dijalankan secara sistematis dan efektif.

Melalui survei, peta, studi etnografi, dan klasifikasi sosial, kekuasaan kolonial seperti Inggris di India tidak sekadar ‘mempelajari’ masyarakat yang mereka jajah namun juga  menciptakan kerangka untuk melihat dan mengatur masyarakat tersebut. Pengetahuan menjadi alat kontrol yang menjangkau sampai ke struktur sosial, keyakinan, dan bahkan ruang hidup masyarakat lokal.

Logika ini tak hanya hidup dalam masa kolonial klasik namun mewarisi bentuknya dalam praktik-praktik pembangunan kontemporer, termasuk dalam proyek transisi energi di Indonesia hari ini. Peta, sebagai salah satu warisan teknologi kolonial, tetap menjadi instrumen sentral dalam mengatur dan membayangkan ruang.

Dalam proyek energi terbarukan, tanah ditampilkan sebagai ‘sumber daya’, terukur, dapat dikalkulasi, dan siap dikapitalisasi. Pemetaan wilayah kerja panas bumi, peta konsesi, hingga survei geologi disusun dalam bahasa teknokratik yang tampak objektif, namun sejatinya sarat dengan logika kuasa.

Seperti dalam praktik kolonial masa lalu, peta-peta ini tidak sekadar merepresentasikan kenyataan, melainkan menciptakan kenyataan yang sesuai dengan kepentingan negara. Dalam proses itu, pengetahuan lokal, hubungan spiritual terhadap tanah, serta struktur sosial komunitas seringkali disingkirkan atau dianggap tak relevan. Tanah adat direduksi menjadi sekadar koordinat dan potensi cadangan energi, bukan sebagai ruang hidup yang sarat makna.

Dengan kata lain, proyek transisi energi hari ini membawa jejak kolonial dalam bentuk baru. Ia mereproduksi logika penguasaan dan pengetahuan yang serupa hanya kali ini dibungkus dalam narasi hijau dan janji pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk memahami secara kritis bagaimana transisi energi berlangsung, kita perlu bertanya bukan hanya apa yang dibangun, tetapi juga bagaimana ruang diproduksi, pengetahuan siapa yang dianggap sah, dan untuk siapa pembangunan ini sebenarnya bergerak.

Baca juga: Danai PLTU, Komitmen Bank Mandiri Dukung Transisi Energi Indonesia Diragukan

Transisi energi, bukan sekadar proyek teknokratik, tetapi merupakan tindakan spasial dari pemerintahan yang sarat makna. Ia mengubah cara lahan dipersepsikan dari ruang hidup dan budaya menjadi ruang sumber daya. Ia mengubah cara lahan diakses dari wilayah adat yang dijaga melalui relasi sosial dan ritus menjadi wilayah konsesi yang dikontrol melalui peta, izin, dan regulasi negara.

Ia juga mengubah cara lahan dihargai dari tempat bermakna spiritual dan historis menjadi komoditas yang bisa ditukar dan diinvestasikan. Dalam logika ini, ruang tidak hanya dibentuk oleh kebutuhan teknis, melainkan juga oleh hasrat politik untuk menegaskan kehadiran negara dan membentuk ulang tatanan sosial.

Memusatkan Keadilan dalam Politik Spasial Transisi Energi

Transisi energi yang sungguh adil tak cukup hanya mengganti batu bara dengan sumber lain, atau turbin dengan panel surya. Ia menuntut pergantian cara pandang terhadap dunia, cara kita memaknai ruang, melihat komunitas, dan membayangkan masa depan. Ini bukan sekadar soal efisiensi atau keberlanjutan, tapi tentang siapa yang punya kuasa untuk mendefinisikan arah perubahan.

Keadilan energi sejati hanya mungkin terwujud jika kita bersedia menggugat logika pembangunan yang selama ini membungkam, logika yang menjadikan tanah sebagai objek, dan masyarakat sebagai gangguan. Kita perlu berani menggeser lensa  dari eksploitasi menuju relasi,  dari penguasaan menuju pengakuan, dari representasi menuju redistribusi kekuasaan.

Transisi yang paling radikal adalah yang mengembalikan hak untuk bermimpi dan menentukan arah hidup kepada mereka yang selama ini dicabut dari peta, secara harfiah maupun politis. Ia terjadi ketika peta dibalik, suara pinggiran menjadi pusat, dan keberlanjutan tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang, tetapi tumbuh dari akar, dari komunitas, dari ruang yang selama ini dianggap tertinggal.

Sebab tanpa keadilan, energi hanya akan menjadi kekuatan yang menerangi sebagian dan menggelapkan yang lain serta  tanpa keberanian untuk mengubah struktur, transisi hanyalah putaran kolonialisme dalam kemasan yang lebih ramah lingkungan.

 


Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.

Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM.