Anomali Proyek Pangan dan Energi Gunakan 20 Juta Hektar Hutan

Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI
Proses pengambilan kayu alam hutan Popayato, Pohuwato yang menjadi di wilayah konsesi BTL untuk dijadikan wood pellet. Foto: FWI
  • Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sudah mengidentifikasi lahan yang akan digunakan dalam proyek 20 juta hektar hutan cadangan pangan, energi, dan air. Jumlahnya bahkan lebih banyak, mencapai 20,6 juta hektar. Transparansinya pun menimbulkan tanda tanya.
  • Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan (Menhut), dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Kemenhut, 27 Februari, menyebut pihaknya melakukan analisis spasial yang melibatkan tumpang susun 9 peta tematik. Meliputi kawasan hutan, elevasi lahan, daya dukung, daya tampung, serta peta sawit nasional.
  • Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan, deforestasi akan terjadi karena seluruh lahan proyek berada dalam kawasan hutan. Tetap rakus lahan walau menggunakan agroforestri. Padahal, Indonesia sangat membutuhkan hutan untuk membangun sistem pangan dan energi nasional yang berdaulat, yang didukung sumber daya hutan yang berkelanjutan.
  • Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, meyakini, kemungkinan adanya wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal yang masuk wilayah yang direncanakan dalam proyek tersebut. Namun, pihaknya belum mengkaji lebih lanjut, karena Kemenhut sendiri belum membuka datanya ke publik.

Megaproyek ketahanan pangan, energi, dan air yang akan menggunakan lahan seluas 20,6 juta hektar, tampaknya akan tetap di lanjutkan tanpa mempertimbangkan masukan-masukan dan kritikan dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Pasalnya, Kementerian Kehutanan sudah melakukan identifikasi lahan yang akan digunakan dalam proyek ambisius tersebut.

Hal tersebut terungkap dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kehutanan yang dilaksanakan pada 27 Februari 2025 lalu. Dalam rapat tersebut, ada tiga isu strategis yang dibahas, salah satunya adalah rencana pengelolaan hutan cadangan untuk pangan, energi, dan air yang menggunakan lahan seluas 20,6 juta hektar.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menghadiri langsung rapat tersebut menjelaskan bahwa megaproyek 20,6 juta hektar itu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan, energi, dan air nasional, sejalan dengan cita-cita Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Menurut Raja Juli Antoni, program ini bertujuan untuk memperkuat kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, dan air. Ia bilang, program ini dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian diperinci lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021.

Baca juga: Risiko Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Proyek Pangan dan Energi

Dalam regulasi tersebut, kata dia, kawasan hutan dapat digunakan untuk pertanian tertentu yang mendukung ketahanan pangan dan energi, namun tanpa membuka kawasan hutan baru atau menyebabkan deforestasi. Selain itu, dirinya mengklaim program ini diharapkan dapat mendukung kegiatan reforestasi atau reboisasi, bukan menciptakan deforestasi.

Raja Juli Antoni menjelaskan, dalam penentuan kawasan hutan untuk cadangan pangan, energi, dan air, pihak telah melakukan analisis spasial yang melibatkan tumpang susun sembilan peta tematik. Peta-peta tersebut meliputi kawasan hutan, elevasi lahan, daya dukung, daya tampung, serta peta perkebunan sawit nasional.

Dari analisis tersebut, kata dia, ditemukan tiga tipe utama kawasan yang dapat dimanfaatkan. Tipe pertama yang diidentifikasi adalah kawasan hutan yang mencakup semak belukar, rawa, pertanian lahan kering atau campuran, serta sawah dengan ketinggian di bawah 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan bukan kawasan gambut, dengan luas 10,75 juta hektar.

Adapun tipe kedua adalah kawasan hutan yang terdiri dari perkebunan non-sawit, juga bukan kawasan gambut, dengan luas 1,09 juta hektar. Sementara itu, tipe ketiga mencakup kawasan hutan sekunder dengan kerapatan rendah, ketinggian kurang dari 1.000 mdpl, dan bukan kawasan gambut, yang memiliki luas mencapai 8,82 juta hektar. Total luas ketiga tipe kawasan ini mencapai 20,6 juta hektar.

Lebih lanjut, Raja Juli Antoni menambahkan bahwa kawasan hutan itu juga terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu kawasan hutan lindung (HL) seluas 975 ribu hektar dan kawasan hutan produksi (HP) seluas 19,6 juta hektar. Ia menyatakan, pihaknya siap untuk menyajikan data rinci mengenai sebaran potensi hutan cadangan pangan, energi, dan air di setiap provinsi.

“Jika diperlukan, data tersebut akan ditampilkan melalui platform yang memungkinkan untuk memasukkan nama provinsi atau kabupaten, sehingga data spasial yang lebih terperinci bisa diakses,” kata Raja Juli Antoni dalam rapat kerja tersebut.

Untuk mendukung proyek tersebut, kata dia, Kementerian Kehutanan telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Pertanian pada 14 Februari 2025 lalu, dengan tujuan meningkatkan sinergi kedua kementerian dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Selanjutnya, nota kesepahaman tersebut akan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerjasama operasional antara Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Direktorat Jenderal Perkebunan, yang diharapkan dapat memperkuat implementasi program-program tersebut di lapangan.

Baca juga: Walhi: Proyek 20 Juta Hektar akan Legalisasi Deforestasi dan Picu Kiamat Ekologi

Selanjutnya, penanaman serentak agroforestry telah dilaksanakan di 26 lokasi yang tersebar di 21 provinsi, dengan total luas mencapai 122 hektar. Program agroforestry ini, katanya, merupakan bagian dari upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman pangan. Selain itu, pihaknya juga terus mengembangkan perhutanan sosial untuk tanaman pangan, yang kini telah mencakup area seluas 1,1 juta hektar.

Raja Juli Antoni mengklaim produktivitas tanaman pangan dalam program agroforestry meningkat signifikan. Diperkirakan, produktivitas padi dengan pola agroforestry mencapai 2 ton gabah kering per hektar, setara dengan 1 ton beras per hektar. Saat ini, katanya, pendaftaran calon petani dan calon lokasi (CPCL) untuk target agroforestry padi lahan kering di areal perhutanan sosial tengah berlangsung.

Sesuai keputusan Menteri Pertanian, kata dia, penanaman padi lahan kering seluas 892.340 hektar direncanaka pada 2025, dan  389,4 hektar di antaranya berada di areal perhutanan sosial. Hingga saat ini, telah terdaftar dan diusulkan CPCL seluas 118.850 hektar. Program ini diharapkan dapat memperkuat ketahanan pangan Indonesia sekaligus menjaga kelestarian lingkungan melalui pendekatan perhutanan sosial yang berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah strategis tersebut, Kementerian Kehutanan berharap dapat mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan cadangan untuk mendukung ketahanan pangan, energi, dan air nasional, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan dalam sektor pertanian dan perhutanan sosial.

Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI
Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI

Deforestasi Terencana

Namun, apa yang disampaikan Raja Juli Antoni masih saja terus mendapatkan kritik oleh berbagai organisasi masyarakat sipil yang fokus mengawal isu lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Proyek pangan, energi, dan air yang akan menggunakan 20,6 juta hektar lahan ini disinyalir akan memicu deforestasi besar-besaran dan menggerus masyarakat adat dari ruang hidupnya.

Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan bahwa proyek yang akan gunakan 20,6 juta lahan ini tetap termasuk dalam skema deforestasi terencana, karena seluruh lahan yang akan digunakan berada dalam kawasan hutan. Meskipun mengklaim menggunakan sistem agroforestry, menurutnya, proyek ini tidak jauh berbeda dari proyek-proyek lain yang rakus lahan.

“Padahal, Indonesia sangat membutuhkan hutan untuk membangun sistem pangan dan energi nasional yang berdaulat, yang didukung oleh sumber daya hutan yang berkelanjutan. Hutan memiliki peran yang sangat penting dalam menyediakan air yang melimpah, asalkan hutan-hutan tersebut dijaga dengan baik,” kata Anggi.

Menurut Anggi, semangat yang diusung dalam kebijakan proyek ini bukanlah untuk mengembalikan atau memaksimalkan fungsi hutan. Sebaliknya, proyek ini justru akan menjadi jalan bagi korporasi-korporasi besar untuk meraup keuntungan tanpa harus mengeluarkan modal yang besar, dengan dalih ketahanan pangan dan kemandirian energi.

Baca juga: Proyek Strategis Nasional jadi Sumber Pelanggaran HAM

Anggi menambahkan, pemilihan korporasi sebagai agen utama untuk mewujudkan pencapaian tujuan proyek tersebut merupakan kebijakan ini sangat keliru karena orientasi korporasi hanya untuk mencari keuntungan semata. Meskipun mengusung dalil agroforestri, katanya, proyek 20,6 juta hektare ini dipastikan akan disusupi kepentingan korporasi yang ingin memanfaatkan kayu dari hutan alam secara gratis.

Anggi menjelaskan, ketika operasionalisasi izin oleh korporasi di lapangan menghadapi konflik sosial dan modal sosial yang tinggi, maka korporasi harus mengeluarkan biaya tambahan di luar rencana awal. Akibatnya, korporasi mencari cara untuk kembali mendapatkan modal, salah satunya dengan menebang kayu alam secara gratis tanpa perlu repot menanam kembali.

Skema tersebut seperti diterapkan oleh PT Inti Global Laksana, PT Banyan Tumbuh Lestari, dan PT Biomasa Jaya Abadi di Gorontalo. Anggi bilang, ketiga perusahaan itu menebang hutan alam terlebih dahulu sebelum menanam demi keuntungan dengan alasan transisi energi. Potret itu membuktikan bahwa hutan yang seharusnya dilihat dari segi fungsi ekologisnya, kini justru tidak lagi dipertimbangkan.

Padahal, hutan Indonesia semakin hari makin berkurang. Data Auriga Nusantara menyebut, Deforestasi Indonesia pada 2024 teridentifikasi seluas 261.575 hektare, meningkat 4.191 hektare dari deforestasi tahun sebelumnya yang tercatat seluas 257.384 hektare. Deforestasi terjadi di seluruh pulau besar di Indonesia, dan sebagian besar hutan alam yang hilang pada 2024 merupakan habitat spesies langka dan dilindungi di Indonesia.

Ironisnya, sebagian besar deforestasi yang terjadi di hutan lindung dan hutan produksi terjadi di daerah berizin, baik untuk pemanfaatan atau pengusahaan hutan oleh korporasi, maupun program pemerintah seperti proyek strategis nasional (PSN). Artinya, 97% deforestasi yang terjadi pada tahun 2024 kemungkinan besar merupakan deforestasi legal yang terjadi di atas izin korporasi dan program pemerintah.

Dengan begitu, Anggi meyakini bahwa proyek pangan, energi, dan air ini sangat berpotensi memicu deforestasi besar-besaran di Indonesia. Terlebih lagi, seluruh lahan yang akan digunakan ditentukan secara top-down, atau hanya di atas meja, yang membuka kemungkinan terjadinya kesalahan identifikasi kawasan.

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan yang diperoleh Mongabay, dari total 20,6 juta hektar hutan yang dialokasikan untuk proyek tersebut, sekitar 4,51 juta hektar berada dalam wilayah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), dan sekitar 5,92 juta hektar berada di wilayah perhutanan sosial. Sementara itu, sekitar 10,23 juta hektar yang diklaim belum memiliki izin di atasnya.

Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia berpikir hal serupa. Ia menilai bahwa proyek pangan dan energi tersebut pasti akan menyebabkan deforestasi. Pasalnya, kata dia, proyek ini akan menggunakan lahan seluas 8,8 juta hektar dari hutan sekunder yang merupakan bekas Izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Baca juga: Delusi Proyek Bendungan Bulango Ulu

Menurut analisis spasial dari Trend Asia, kata Amelya, proyek yang gunakan lahan 20,6 juta hektar akan menyebabkan deforestasi atau akan merusak hutan dengan luas 10,38 juta hektar. Angka ini hanya berasal dari penggunaan kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi (HP) yang belum memiliki izin.

“Deforestasi dari 10,38 juta hektare ini diperkirakan akan melepaskan emisi hingga 6,7 miliar ton karbon, yang tentunya akan memperburuk krisis iklim,” kata Amelya Reza Oktaviani, pada Jumat 28 Maret 2025 lalu.

Selain itu, terdapat sekitar 3,4 juta hektare hutan alam dalam kawasan PBPH yang saat ini terbengkalai atau idle, yang juga berpotensi mengalami deforestasi. Menurutnya, proyek pangan dan energi ini merupakan bagian dari deforestasi terencana yang akan merusak hutan, mengusir masyarakat adat, dan menghilangkan biodiversitas.

“Hutan sekunder banyak terdapat di daerah Kalimantan dan Indonesia Timur, termasuk Papua. Ini berarti izin-izin untuk 20 juta hektare akan masif diberikan di wilayah-wilayah tersebut,” jelasnya.

Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI
Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI

Amelya menjelaskan bahwa proyek pangan dan energi ini sepertinya sudah mencakup proyek 2 juta hektare bioetanol di Merauke, proyek biomassa 2,3 juta hektare, serta proyek biofuel B40. Dengan begitu, ia menilai bahwa proyek yang akan menggunakan lahan seluas 20,6 juta hektare ini bukan untuk kepentingan ketahanan pangan, melainkan semata-mata untuk bisnis energi dengan tujuan ekspor.

Menurutnya, pemerintah seperti tak mau belajar dari kegagalan dari berbagai proyek pembabatan hutan skala besar, mulai dari Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), Food & Energy Estate di Kalimantan Tengah, hingga proyek bioetanol seluas 2 juta hektare di Merauke. Ia mempertanyakan, sebenarnya proyek-proyek ini dipaksakan untuk kepentingan siapa?

Seharusnya, kata Amelya, pemerintah melihat ekosistem secara menyeluruh terlebih dahulu, sebelum memukul rata semuanya dengan pendekatan agroforestri, apalagi dengan padi. Hal itu, katanya, dapat mencederai kedaulatan pangan, mengingat tidak seluruh Indonesia bergantung pada nasi. Selain itu, ini juga berpotensi mengubah fungsi ekologis suatu kawasan.

Misalnya, kata dia, jika kawasan tersebut memiliki fungsi lindung karena berada di hulu sungai, seharusnya di reforestasi dengan tanaman kayu, namun yang terjadi malah diterapkan agroforestri dengan padi. Ia menilai bahwa perencanaan proyek ini adalah kekeliruan besar. Terlebih lagi, proyek ini merupakan deforestasi terencana yang kemudian dilegalkan melalui PP 23/2021 beserta peraturan turunannya.

“Yang seharusnya dilakukan adalah evaluasi terhadap PP 23/2021, karena bisa jadi banyak proyek yang sengaja dimasukkan ke dalam kawasan hutan,” ucapnya.

Baca juga: Hutan Gorontalo Terancam Deforestasi di Tengah Proyek Transisi Energi

Menurut Amelya, proyek ini seharusnya tidak boleh berjalan sama sekali. Dirinya memberikan tiga poin yang dapat dipertimbangkan agar proyek ini bisa dipikirkan kembali. pertama, dari segi deforestasi, proyek ini akan memperburuk krisis iklim dan merusak komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon serta memerangi krisis iklim.

Kedua, proyek ini akan mengkhianati komitmen Indonesia untuk menjaga biodiversitas yang telah disepakati dalam Konvensi COP16 CBD, karena penyingkiran hutan berarti juga menghilangkan kekayaan hayati yang ada di dalamnya. Ketiga, proyek ini akan memperluas dan memperluas displacement masyarakat adat.

“Pemerintah memiliki komitmen untuk menyediakan 12 juta hektare untuk Perhutanan Sosial, namun baru terealisasi 8 juta hektare, sementara proyek baru justru terus bertambah. Sementara itu, sudah banyak kasus di mana masyarakat adat berbenturan dengan PSN atau proyek-proyek semacam ini,” jelasnya.

Amelya bilang, proyek pangan dan energi ini dipastikan memicu konflik agraria. Terutama setelah adanya Perpres 5/2025, di mana konflik agraria kini akan melibatkan militer untuk ‘mengamankan’ kawasan tersebut. Dampak lanjutannya, katanya, ruang untuk bersuara bagi masyarakat akan semakin sempit.\

Masyarakat Adat Tehit-Knasaimos menerima sertifikat tanah atas tanah adat mereka sebagaimana diakui oleh hukum Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)
Masyarakat Adat Tehit-Knasaimos menerima sertifikat tanah atas tanah adat mereka sebagaimana diakui oleh hukum Indonesia. (Foto: Greenpeace Indonesia)

Menggerus Masyarakat Adat dan Petani

Proyek pangan, energi, dan air yang menggunakan lahan seluas 20,6 juta hektar ini juga disinyalir akan menggerus masyarakat adat karena lokasi lahan semua berada dalam kawasan hutan. Terlebih lagi, data berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut, ada sekitar 28 juta hektar wilayah adat tumpang tindih dengan hutan negara.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN meyakini, pasti ada wilayah adat miliki masyarakat adat dan komunitas lokal yang masuk dalam wilayah yang direncanakan dalam proyek tersebut. Namun, katanya, pihaknya belum mengidentifikasi lebih laju soal wilayah adat mana saja yang akan terancam, karena data spasial dari kementerian kehutanan soal proyek tersebut belum dibuka secara publik.

Saat ini, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat wilayah adat yang telah teregistrasi saat ini mencapai 32,6 juta hektar. Namun, data per Maret 2025 menunjukkan baru sekitar 5,3 juta hektar yang telah ditetapkan sebagai wilayah adat oleh pemerintah daerah (Pemda), serta baru 332 ribu hektar yang ditetapkan menjadi hutan adat.

Angka ini mencerminkan lambatnya proses pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat di Indonesia. Rukka menjelaskan, sudah lebih dari 26 tahun masyarakat adat masih terjebak dalam ketidakpastian hak atas wilayah adat mereka, yang hingga kini seringkali dianggap sebagai bagian dari kawasan hutan negara.

Baca juga: Ilusi Proyek Hilirisasi Nikel: Menghilangkan Nyawa, Memiskinkan Warga Sekitar

Menurut Rukka, proyek ambisius ini akan memperpanjang konflik agraria yang saat masih terus dialami oleh masyarakat adat. Data AMAN hingga Maret 2025 terdapat 110 kasus konflik yang melibatkan Masyarakat Adat, dengan sektor tertinggi berasal dari perkebunan skala besar, disusul pertambangan, serta proyek infrastruktur dan energi dalam skema Proyek Strategis Nasional (PSN).

Selain itu, kata Rukka, perampasan wilayah adat juga terus mengalami peningkatan, yakni; mencapai 2,8 juta hektar pada tahun 2024. Ia memprediksi, wilayah adat yang berkonflik kemungkinan akan meluas lagi dengan adanya proyek ini, terlebih lagi Pemerintahan Prabowo-Gibran ini menggunakan pendekatan militerisme dalam berbagai program yang akan dijalankan, termasuk proyek pangan, energi dan air tersebut.

“Proyek ini akan memperkuat militerisme di Indonesia, karena proyek dijalankan oleh korporasi dengan menggunakan pendekatan militer,” kata Rukka Sombolinggi kepada Mongabay pada Selasa 25 Maret 2025 lalu.

Perempuan Adat Moa panen kacang di pampa. Foto: Sarjan Lahay
Perempuan Adat Moa panen kacang di pampa. Foto: Sarjan Lahay

Anggi juga menjelaskan, kerap kali program pemerintah seperti ini tidak mengabaikan keterlibatan masyarakat sesuai dengan Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Menurutnya, jika sebuah proyek dibangun di atas kawasan hutan yang tidak terlegitimasi oleh masyarakat dan masyarakat adat, proyek tersebut pasti akan gagal.

“Jika orientasinya bukan untuk kepentingan rakyat, maka proyek tersebut juga akan gagal, meskipun mengusung embel-embel ketahanan pangan dan kemandirian energi. Seharusnya, pemerintah belajar dari pengalaman dan kegagalan sebelumnya,” ucapnya.

Mufida, peneliti dari FIAN Indonesia, menilai bahwa proyek yang akan menggunakan lahan seluas 20,6 juta hektare ini tidak sepenuhnya bertujuan untuk ketahanan pangan. Menurutnya, kepentingan utama dari proyek ini hanya untuk memfasilitasi korporasi dalam akumulasi kapital secara primitif. Ia bilang, petani yang seharusnya menjadi produsen pangan justru akan terpinggirkan dan digantikan oleh korporasi.

Sederhananya, kata Mufida, proyek seluas 20,6 juta hektar ini merupakan bagian dari proses perampasan aset yang menjadi basis produksi rakyat, termasuk hutan sebagai sumber pangan. Ia tegaskan, orientasi utama proyek ini hanya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi kapital korporasi, bukan untuk kesejahteraan petani, apalagi untuk kepentingan ketahanan pangan.

Baca juga: Proyek Jalan Belah Gunung di Gorontalo: Hutan Lindung Terancam, dan Rawan Bencana [2]

Proyek ini, kata Mufida, hanya merupakan proses mobilisasi tenaga kerja, di mana petani yang sebelumnya mampu memproduksi pangan sendiri, dipaksa untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja. Hal ini seperti yang terjadi di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, di mana petani dijebak untuk terlibat dalam pertanian kontrak food estate dengan mekanisme perburuhan dan relasi yang sangat timpang.

“Kasus itu melibatkan korporasi PISAgro yang terdiri dari Bayer CropScience, Indofood, McKinsey & Company, Nestlé, Sinar Mas, Syngenta, dan Unilever. Petani tidak diberikan salinan butir-butir isi kontrak, bahkan buruh tani food estate tersebut kemudian didikte melalui pemberian pinjaman input pertanian dari perusahaan,” kata Mufida pada Rabu 26 Maret 2025 lalu.

Selain itu, kata dia, ditemukan bahwa pola kontrak telah menjadikan petani sebagai konsumen tetap bagi produsen pupuk dan pestisida. Dalam kasus tersebut, PT ATS Inti Sampoerna terlibat sebagai distributor pupuk. Ia bilang, tidak menutup kemungkinan bahwa skema serupa akan dijalankan dan dikembangkan untuk rencana pembukaan hutan seluas 20 juta hektare yang diklaim sebagai proyek ketahanan pangan.

Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Mufida bilang, dalil pengembangan agroforestri yang diklaim pemerintah dalam proyek ini sebenarnya sudah terbantahkan oleh beberapa kasus food estate di Indonesia. Salah satu contohnya adalah pelaksanaan proyek Food Estate di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Proyek tersebut dibangun menggunakan skema hutan adat dan hutan kemasyarakatan, bahkan sebagian wilayahnya berada dalam kawasan hutan lindung.

Mufida menjelaskan, model food estate yang dikembangkan di Pulang Pisau adalah cetak sawah, padahal sekitar 30% warga desa masih bergantung pada kawasan hutan kemasyarakatan untuk mencari pangan, seperti umbi-umbian, buah liar, dan ikan sungai, terutama di masa-masa sulit. Alhasil, proyek itu berdampak negatif pada ketersediaan bahan pangan masyarakat, akibat gagal total selama dua tahun berturut-turut.

Sebenarnya, kata Mufida, dalam konteks pemecahan masalah terkait akses terhadap sumber daya, produksi pangan, dan kontrol masyarakat terhadap sumber daya, model agroforestri dan skema perhutanan sosial bukanlah solusi yang sesungguhnya. Menurutnya, perhutanan sosial hanya merupakan trik untuk menunjukkan bahwa negara memberi akses hutan kepada masyarakat.

“Padahal dalam aspek partisipasi, kontrol, dan pembagian manfaat, masyarakat ditempatkan secara semu. Mereka tetap berada dalam posisi tidak berdaya dan tidak berdaulat atas haknya terhadap sumber daya, khususnya sumber daya hutan,” jelasnya.

Baca juga: Cerita Warga Terdampak Proyek Jalan Lingkar Gorontalo [1]

Seharusnya, kata Mufida, pemerintah memfasilitasi petani kecil sebagai produsen pangan dengan memberikan akses lahan secara luas, dan membantu mereka untuk meningkatkan produktivitas pangan mereka di lahan yang sudah ada, bukan harus membuka lahan lagi yang dapat memicu masalah yang serius. Langka itu dipercayanya sebai jalan solusi untuk meningkatkan produksi pangan dan secara bertahap.

Selanjutnya, kata Mufida, strategi tersebut juga harus diikuti dengan reforma agraria untuk merombak alokasi penguasaan lahan yang selama ini timpang. Dengan demikian, langkah tersebut akan mendorong perubahan tingkat kesejahteraan yang lebih merata dan berkeadilan. Ia bilang, dalam jangka panjang, strategis itu akan mendobrak ketimpangan ekonomi ekstrem yang masih terjadi di Indonesia.

Meskipun masih ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi upaya itu, kata dia, strategi tersebut setidaknya lebih jelas akan membawa kita pada cita-cita kedaulatan pangan, dimulai dari kedaulatan produsen pangannya sendiri. Menurutnya, tanpa langkah-langkah tersebut, petani hanya akan terus tergusur, kehilangan lahan, dan menjadi buruh tani.

“Tanpa langka-langka itu, hak-hak petani akan tercerabut, dan mereka akan kehilangan peran sebagai produsen pangan. Tidak menutup kemungkinan, hal ini akan terjadi dalam pelaksanaan proyek ketahanan pangan yang akan menggunakan lahan 20,6 juta hektar ini,” pungkasnya.


Tulisan ini pertama kali terbit di situ Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silakan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.