Cerita Warga Terdampak Proyek Jalan Lingkar Gorontalo [1]

Jalan lingkar Gorontalo msih menyisakan persoalan antara lain pembebasan lahan.Foto: arjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Jalan lingkar Gorontalo msih menyisakan persoalan antara lain pembebasan lahan.Foto: arjan Lahay/ Mongabay Indonesia

  • Proyek pembangunan jalan lingkar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road [GORR], bagian proyek strategis nasional ini menyisakan menimbulkan masalah bagi warga terdampak.
  • Lahan Merlin dan Ridwan, seluas 4.399 meter persegi hanya dihargai Rp52 juta. Di atas lahan itu ada usaha ternak ayam petelur dengan tiga bangunan kandang, masing-masing 8×30 meter.
  • Proyek pembangunan jalan lingkar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road [GORR] dibangun untuk peningkatan efisiensi jaringan transportasi, yang akan menghubungkan Bandara Jalaluddin Gorontalo dan Pelabuhan Penyeberangan Gorontalo.
  • Proyek GORR ini, target rampung pada 2017, dengan pekerjaan tiga segmen tetapi molor hingga kini. Berbagai masalah muncul, seperti pembebasan lahan, studi kelayakan tak sesuai kondisi alam bahkan dugaan korupsi hingga berujung di persidangan.

Merlin Tahir, masih tak rela saat mengingat pembebasan lahannya untuk proyek pembangunan Jalan Lingkar Gorontalo, pada 2014. Tanahnya di Desa Dumati, Kecamatan Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, masuk dalam trase dan ganti rugi tak wajar. “Saya tidak terima.”

Lahan Merlin seluas 4.399 meter persegi hanya dihargai Rp52 juta. Di atas lahan itu ada usaha ternak ayam petelur dengan tiga bangunan kandang, masing-masing 8×30 meter.

Dalam satu kandang ada 2.000 ayam, total ada 6.000 dalam tiga kandang. Ada dua bangunan rumah, dan satu bangunan pembibitan ayam di lahan itu.

Permeter, tanah Merlin hanya dihargai Rp45.000, padahal dia meminta setiap meter Rp1,5 juta termasuk usaha miliknya. Tanpa konfirmasi dan negosiasi, langsung tetapkan harga dengan tak manusiawi.

Uang Rp 52 juta, katanya, tak cukup untuk membangun kembali usahanya, apalagi ada bangunan yang jadi korban. Dia menolak tegas.

“Lahan dihargai Rp52 juta, kandang hanya Rp 2 juta. Sementara atap membangun satu kandang itu pakai 400 material. Bagaimana bisa uang Rp2 juta cukup untuk membangun kembali kandang seperti itu? Beli paku saja uang itu tidak cukup,” katanya kepada Mongabay, awal Juni lalu.

Perempuan dua anak ini langsung menggugat Pemerintah Gorontalo ke Pengadilan Negeri Gorontalo terkait harga lahan yang tak wajar. Ada sejumlah warga juga ikut, namun tuntutan mereka tidak mendapatkan hasil. Gugatan mereka diperintahkan untuk diperbaiki.

Merlin bersama suaminya, Ridwan Samiden, terus mencari keadilan. Pemerintah Kabupaten Gorontalo, DPRD, hingga Pemerintah Gorontalo kerap mereka kunjungi untuk dapat solusi.

Usaha ternak ayam petelur terdampak. Ayam-ayam mati karena stres, kepanasan dan sebagian tak bisa bertelur karena pepohonan di lahannya terbabat oleh pekerja proyek.

Lahan dan rumah warga terdampak pembangunan jalan lingkar Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Lahan dan rumah warga terdampak pembangunan jalan lingkar Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Ridwan saban hari mendatangi Kantor Gubernur Gorontalo dengan tujuan bertemu Gubernur Rusli Habibie. Niatnya, meminta kejelasan nasib dan usaha yang sudah lama mereka bangun.

Presiden Joko Widodo, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kapolri saat itu, pernah dia surati. Semua itu tak ada hasil. Pemerintah Gorontalo menitipkan uang ganti rugi di pengadilan.

“Sampai detik ini, kami belum menerima uang ganti rugi dari mereka [Pemerintah Provinsi Gorontalo]. Uang ganti rugi itu hanya dititip di pengadilan karena tidak sesuai harga yang kita inginkan. Kami tidak menerima uang itu. Tak mau ambil itu di pengadilan,” kata Ridwan.

Dia bilang, mulai mencari keadilan sampai meminta keadilan, dilakukan untuk memperjuangkan lahan mereka. Tanah itu, katanya, sumber kehidupan keluarga ditambah tiga karyawan.

Pemerintah Provinsi Gorontalo tetap eksekusi tanpa surat dari pengadilan. Dalil mereka, proyek jalan lingkar Gorontalo harus cepat terbangun. Alhasil, usaha ternak ayam petelur Ridwan dan Merlin pun bangkrut.

“Dari usaha itu, saya sehari bisa mendapatkan pendapatan Rp4-Rp5 juta. Sejak mereka [Pemprov Gorontalo] eksekusi, usaha kami sudah goyang, akhirnya bangkrut.”

Tiga karyawan pun terpaksa mereka berhentikan karena sudah tidak sanggup membayar gaji. “Ayam-ayam yang tersisa kami langsung jual,” kata Ridwan.

“Kalau diingat, saya kecewa dengan pemerintah.”

Ridwan tetap tak mau mengambil uang ganti rugi yang dititipkan di pengadilan. Dia yakin, keadilan suatu saat akan datang walaupun harus perlu waktu lama.

Mereka tak percaya lagi lembaga-lembaga pemerintah. Mereka kuatkan diri dengan berdoa pada Tuhan.

“Semua ini, saya serahkan kepada Allah SWT. Yakin akan mendapatkan keadilan dari-Nya. Jika tidak mendapatkan keadilan di dunia, biarlah pengadilan Allah SWT yang akan menghukum mereka semua.”

Pada 10 Juni lalu, Lia Samiden, mengajak saya melihat langsung tempat usaha ayam petelur orangtuanya, Merlin dan Ridwan, yang terpaksa tutup sejak 2018.

Dia menunjukkan bangunan kandang ayam yang sudah lapuk termakan usia. “Kita tidak bisa membangun kembali karena sudah tak ada uang.”

Lia kadang meneteskan air mata kalau mengingat peristiwa yang keluarga mereka alami.

“Saat eksekusi di lokasi ini, kita semua menangis. Saya pernah pingsan, saat melawan beberapa aparat kepolisian dan Satpol-PP. Mereka tetap tidak peduli, terus eksekusi.”

Serupa dialami Abdul Karim Dalanggo. Lelaki 70 tahun ini juga terdampak proyek jalan yang masuk proyek strategis nasional (PSN) ini.

Abdul, biasa dipanggil Ka Suri ini warga Desa Talumelito, Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo. Dia pernah protes kepada pemerintah desa saat penetapan lokasi di lahan milikinya.

Dia marah karena tak ada pemberitahuan soal lahan dan rumah yang masuk trase pembangunan GORR.

Ka Suri bilang, pemerintah desa bersama provinsi langsung penetapan lokasi [penlok] tanpa pemberitahuan. Setengah rumahnya terkena proyek yang akan menghubungkan Bandara Jalaluddin Gorontalo dan Pelabuhan Penyeberangan Gorontalo ini.

Dia protes, dan meminta penjelasan kepada pemerintah desa. “Saya bukan tidak mendukung pemerintah, tapi kita juga tolong dihargai. Harusnya ada pemberitahuan kepada saya untuk penlok. Mereka seenaknya tanpa menghiraukan saya. Jelas saya keberatan,” kata Abdul.

Keberatan Ka Suri tak berlangsung lama. Sekitar sebulan usai protes, pemerintah desa dan provinsi mendatangi rumahnya. Lahan seluas 800 meter persegi dapat ganti rugi Rp230 juta lebih, dengan konsekuensi rumah harus tergusur.

Abdul menerima dengan catatan: rumah digusur setelah rumah baru terbangun.

“Lahan saya langsung dibayar, saya langsung membangun rumah baru. Saya juga membeli satu motor. Setelah rumah baru terbangun, rumah lam saya izinkan digusur.”

Kondisi sama Usman Adili, warga Desa Pilohayanga, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo. Desa Pilohayanga ini masuk dalam Segmen II pembangunan Gorontalo Outer Ring Road [GORR]. Saat pembebasan lahan, kata Usman, tak bisa berbuat apa-apa. Satu petak lahan sawah seluas 2.000 meter persegi dihargai Rp106 juta.

Dia punya satu petak lahan sawah lagi seluas 5.000 m2, terkena proyek jalan 900 m2, dengan pembayaran Rp47 juta.

Lelaki empat anak ini tak protes. Dia tak mau memperpanjang masalah apalagi sampai ke meja pengadilan. Semua harga dia terima walaupun ada sedikit kekecewaan.

“Saya hanya tidak mau bermasalah dengan siapapun jadi saya langsung menerima harga itu.” Dia total terima Rp153 juta.

Usman kini tak lagi jadi petani, banting setir berwirausaha. Uang ganti rugi dia jadikan modal membuat minimarket. Sisanya, untuk kebutuhan keluarga dan anak-anaknya.

“Sisa lahan sawah yang tidak terjual, sudah tidak ditanami padi lagi. Sudah ada beberapa orang ingin membeli saya belum ingin menjual,” katanya.

Merlin, Ridwan, Abdul maupun Usman, sebagian orang yang terdampak pembebasan lahan proyek pembangunan jalan lingkar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road [GORR]. Mereka sebagian dari 1.184 orang terdampak.

Jalan lingkar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road [GORR], bagian proyek strategis nasional yng membelah bukit. Foto: arjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Jalan lingkar Gorontalo atau Gorontalo Outer Ring Road [GORR], bagian proyek strategis nasional yng membelah bukit. Foto: arjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pembangunan GORR, terbagi atas tiga segmen dengan panjang 45 km. Pada Segmen I sekitar 16 km di wilayah Kabupaten Gorontalo melewati 11 desa dengan pembebasan lahan pada 2015-2016.

Untuk segmen II, sepanjang 14 km, masih di Kabupaten Gorontalo melewati 10 desa dengan tahapan, empat desa pembebasan lahan pada 2014, enam desa dalam 2015.

Untuk Segmen III, melewati 12 desa di Kabupaten Gorontalo, dan enam kelurahan di Kota Gorontalo. Hingga kini, tidak berjalan karena jalur masuk dalam hutan lindung dan keterbatasan anggaran.

Target pembangunan GORR berfokus pada peningkatan efisiensi jaringan transportasi, yang akan menghubungkan Bandara Jalaluddin Gorontalo dan Pelabuhan Penyeberangan Gorontalo. Pembangunan fisik dari 2014 sampai 2017 menelan anggaran Rp.951,84 miliar dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN).

Proyek GORR ini, target rampung pada 2017, dengan pekerjaan tiga segmen tetapi molor hingga kini. Berbagai masalah muncul, seperti pembebasan lahan, studi kelayakan tak sesuai kondisi alam bahkan dugaan korupsi hingga berujung di persidangan.

Buntut kasus ke pengadilan, ada 22 kepala desa dan 800 penerima ganti rugi dari 1.184 orang terdampak pembebasan lahan GORR menjadi saksi, tak termasuk Merlin dan Ridwan.

Indikasi dugaan korupsi pembebasan lahan dalam pembangunan GORR ini, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan [BPKP] melaporkan ada Rp43,355 miliar kerugian negara karena ada dugaan korupsi pembebasan lahan dalam proyek ini.

Empat orang jadi tersangka yaitu, mantan Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Gorontalo, Asri Wahyuni Banteng, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Perwakilan Gorontalo, Gabriel Triwibawa; dan dua dari konsultan appraisal sebagai penilai tanah, Ibrahim dan Farid Siradju.

Asri Wahyuni Banteng, saat ini sudah vonis bersalah bersama-sama dalam dugaan korupsi pembebasan lahan dalam pembangunan GORR . Dia harus menjalani hukuman 1, 6 tahun penjara dikurangi masa tahanan dan denda Rp100 juta.

Ibrahim dan Farid Siradju juga dinyatakan bersalah dengan kurungan badan masing-masing selama 3, 6 tahun.

Hingga berita ini terbit, berkas perkara tersangka mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Perwakilan Gorontalo, Gabriel Triwibawa, baru dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Gorontalo pada 14 Juni lalu.

Berkas Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sudah dinyatakan lengkap dan siap sidang. (Bersambung)

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.