- Pembangunan jalan lingkar Gorontalo, bermasalah sejak awal. Mohammad Kasad, Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Gorontalo, mengatakan, dalam penyusunan dokumen studi kelayakan, harus ada analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pembangunan GORR. Amdal ini, tidak ada dalam proyek jalan ini.
- Jalur jalan proyek GORR itu, baik dari pembangunan Segmen I, II, dan III, ada pegunungan terjal, semak belukar, persawahan, pemukiman masyarakat, hutan alam, bahkan ada hutan lindung, hingga perlu ada kajian yang mendalam.
- Jalan lingkar Gorontalo yang merupakan proyek strategis nasional ini juga dinilai rawan bencana seperti longsor dan gempa karena ada sesar aktif. ‘Proyek belah gunung’ ini juga pernah mengalami masalah gerakan tanah atau longsor.
- Tercatat rentang 2014-2017 terjadi beberapa longsor pada daerah pembangunan proyek GORR. Contoh, longsor pada 1 Desember 2016 mengakibatkan menara listrik 150 kw roboh.
Jalan lingkar Gorontalo, atau disebut juga Gorontalo Outer Ring Road (GORR) sejak awal sudah bermasalah. Dari dokumen Kejaksaan Tinggi Gorontalo, yang diperoleh Mongabay, pembangunan proyek ini, tidak berdasarkan rencana pembangunan jangka menengah daerah [RPJMD] Gorontalo, dan tanpa melibatkan pemerintah kabupaten dan kota yang terkena proyek.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie meminta Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahaan Rakyat [PUPR] Gorontalo membuat dokumen perencanaan pembangunan GORR. Dinas PUPR Gorontalo langsung pelelangan konsultan studi kelayakan atau feasibility study [FS] pembangunan GORR.
Dalam kajian studi kelayakan itu, trase jalur jalan ada masuk dalam kawasan hutan lindung. Dinas PUPR Gorontalo menyusun dokumen perencanaan tanpa studi analisis mengenai dampak lingkungan [amdal] sebagaimana rekomendasi studi, terutama ada trase masuk kawasan hutan lindung.
Pemerintah Provinsi Gorontalo dinilai menyalahi Undang-undang Nomor 41.1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Presiden Nomor 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Peraturan Presiden Nomor 60 tentang perubahan Peraturan Presiden Nomor 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan.
Pemerintah Provinsi Gorontalo diduga sengaja merampungkan perencanaan, padahal hasil dan rekomendasi studi kelayakan menyebutkan, trase GORR masuk kawasan hutan lindung dan perlu kajian analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
“Namun tanpa kajian amdal Gubernur Gorontalo menerima hasil perencanaan yang dibuat Dinas PUPR Provinsi Gorontalo,” demikian tertulis dalam dokumen mengenai penyidikan yang diperoleh Mongabay.
Mohammad Kasad, Kasi Penkum Kejaksaan Tinggi Gorontalo, mengatakan, dalam penyusunan dokumen studi kelayakan, harus ada amdal pembangunan GORR. Amdal ini, katanya, tidak ada dalam proyek ini.
Di wilayah jalur jalan proyek itu, baik dari pembangunan Segmen I, II, dan III, ada pegunungan yang terjal, semak belukar, persawahan, pemukiman masyarakat, hutan alam, bahkan ada hutan lindung, yang perlu ada kajian yang mendalam.
“Seharusnya, saat menyusun FS, dan sebelum penetapan lokasi, harus kajian analisis mengenai dampak lingkungan. Namun, nanti setelah penetapan lokasi [penlok], amdal baru itu dibuat,” katanya kepada Mongabay, awal Juni lalu.
Mirisnya lagi, anggaran studi kelayakan diambil dari alokasi serupa untuk jalan By Pass yang merupakan pergeseran dari anggaran kendaraan dinas seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah [SKPD] Provinsi Gorontalo, sebelum perubahan APBD.
Jalan GORR sepanjang 45 km, ada 80% tanah negara dan kondisi tak layak dikuasai, berupa perbukitan. Kalau ada pembuatan jalan belahbukit maka rawan bagi Danau Limboto, yang dekat dengan lokasi itu. Material longsoran, katanya, akan jadi sedimen di Danau Limboto. Dia bilang, ada 22 km tanah negara ternyata dibayarkan oleh negara.

Dalam pembangunan GORR pada Segmen III, katanya, sebagian merupakan hutan lindung. Saat penetapan lokasi, Pemprov Gorontalo tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dengan begitu, katanya, mereka melanggar Pasal 19 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dan PP No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Juga, PP 60/2012 tentang perubahan PP No. 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Kasad mengatakan, salah satu dakwaan mereka adalah Pemerintah Provinsi Gorontalo tak memperhatikan hutan alam dan hutan lindung yang sebagian besar jadi lokasi pembangunan proyek. Kejaksaan, katanya, juga menjerat dengan UU PPLH.
Dakwaan lain, katanya, pembangunan jalan GORR tidak memperhatikan morfologi wilayah Gorontalo yang sebagian besar lokasi proyek itu merupakan pegunungan lereng terjal serta morfologi perbukitan bergelombang. Berbagai kajian dampak lingkungan tak dilakukan, katanya, karena tak ada amdal sebelum penetapan lokasi.
“Amdal itu dibuat nanti setelah penetapan lokasi. Jadi lokasi pembangunan jalan GORR ini hampir semua berada di pegunungan terjal. Ada banyak gunung dibelah.. Itu yang dipermasalah kita.”
Kerusakan lingkungan hidup, katanya, jadi faktor kerugian negara. Pembabatan hutan alam tanpa izin, dan perusakan gunung-gunung— pembangunan tak ada amdal— juga kesalahan besar. Apalagi, ada hutan lindung tetap masuk trase proyek.
“Sumber daya alam ini merupakan harapan untuk semua orang. Itu tetap dirusak, bisa jadi kerugian negara. Bukan hanya uang negara yang dikorupsi yang menjadi kerugiaan negara,” katanya.

Ancam hutan alam
Proyek GORR juga jadi ancaman serius terhadap keseimbangan lingkungan hidup dan bisa mempercepat laju deforestasi di Gorontalo. Proyek ini membelah belasan bukit dan gunung, tiga perbukitan kapur besar, satu sungai besar, dan persawahan masyarakat. Bahkan, ada hutan lindung yang menjadi trase jalan proyek jalan belah gunung ini.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, luas hutan alam di Gorontalo pada 2000 ada 823.390 hektar, tahun 2009 jadi 735.574 hektar. Lalu , pada 2013 berkurang jadi 715.293 hektar , dan 2017 jadi 649.179 hektar.
Deforestasi di Gorontalo tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pada 2009-2013, angka deforestasi 11.801 hektar, 8.484 hektar di luar konsesi. Deforestasi 2013-2017 naik lagi sebesar 39.085 hektar, dengan 27,029 hektar di luar konsesi, termasuk buat infrastruktur termasuk GORR.
Soelthon Nanggara, Ketua Forest Watch Indonesia, mengatakan, pembangunan infrastruktur jadi satu penyebab langsung deforestasi.
“Pembangunan jalan sebagai penyebab langsung, sekaligus bisa jadi trigger,” katanya. Kala gunung dan bukit dengan tutupan hutannya terbelah untuk jalan akan membuka akses. Akses terbuka ini bisa menjadi pemicu untuk terjadi berbagai hal seperti perambahan, pembalakan liar, perburuan, galian C dan lain-lain.
Soelthon bilang, bisa jadi setelah pembangunan GORR, ada investasi lanjutan yang memerlukan konversi hutan. Dia bilang, kebijakan pemerintah juga kerap jadi penyebab deforestasi
Budiyanto Sidiki, Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah [Bappeda] Gorontalo, mengatakan, tujuan utama pembangunan GORR ini untuk menghubungkan Bandara Jalaluddin Gorontalo dan Pelabuhan Penyeberangan Gorontalo.
Dia benarkan, bangun jalan ini sebabkan beberapa gunung terbelah, dengan melewati hutan alam, dan hutan lindung.
Setiap pembangunan infrastruktur, katanya, pasti dengan perencanaan matang. “Segmen III dalam pembangunan jalan GORR yang trase masuk hutan lindung, tidak ada perubahan. Namun, ada perencanaan teknis dibuat agar tidak masuk trase jalan itu, tidak masuk dalam hutan lindung. Perencanaan teknis itu, sudah ada hasil keputusan, tapi belum ada penlok,” katanya.
Kalau tetap masuk kawasan hutan lindung, kata Budiyanto, ada beberapa regulasi harus diikuti, termasuk izin KLHK). “Kita juga bisa menggunakan hutan lindung dengan izin pinjam pakai dari kementerian.”
Abdul Fandit, Kepala Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang [PUPR] Provinsi Gorontalo, tak mau dimintai tanggapan terkait deforestasi dampak pembangunan GORR.
Segmen I dan II, saat ini pembebasan lahan bermasalah, hingga berujung di meja hijau. Abdul enggan bicara untuk bagian ini. “Kalau untuk perencanaan segmen III saya bisa jelaskan.”

Perencanaan jalur ulang?
Untuk perencanaan GORR segmen III, katanya, gunakan aplikasi Quantm Trimble. Quantm Trimble adalah aplikasi pemetaan untuk perencanaan trase jalan, atau hal lain yang berkaitan dengan pemetaan muka bumi. Aplikasi ini, akan memberikan pilihan-pilihan trase berdasarkan perkiraan.
Dia bilang, kawasan hutan lindung akan mereka hindari secara otomatis kalau pakai aplikasi itu.
“Jika ada gunung sangat terjal, akan dihindari jika memakai aplikasi itu. Berdasarkan aplikasi itu juga, di segmen III ini, kita menyusun kembali analisis mengenai dampak lingkungan. Itu sementara diurus,” kataya
Nasruddin, Kepala Bidang Pengkajian dan Penataan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo, mengatakan, belum menerima laporan kelanjutan segmen III dalam pembangunan GORR. Bahkan, dia tak tahu apa-apa terkait lokasi itu.
Sepengetahuan dia belum ada penyusunan amda, baru sebatas tahapan perencanaan.
“Saat ini, segmen III, masih proses administrasi. Saya belum tau trase segmen III ini. Amdal juga belum ada hingga saya belum jelaskan detail.”
Kalau segmen III tetap memakai trase awal yang melewati hutan lindung, kata Nasruddin, juga tidak masalah. Mereka bisa pakai mekanisme pinjam pakai dan harus izin KLHK.
“Jika masuk peta indikatif penundaan pemberian izin baru, trase jalan GORR harus keluar dulu dari PIPPIB. Setelah keluar, baru bisa lanjut dalam proses amdal,” katanya.
Adhan Dambea, anggota DPRD Provinsi Gorontalo, mengatakan, pembangunan jalan GORR, berpotensi merusak lingkungan hidup.
Dia bilang, UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, menjelaskan soal kerugian negara, termasuk kehilangan sumber daya alam.
“Namun, penyidik tidak memakai UU ini untuk penyidikan kasus pembangunan jalan GORR. Padahal, jelas ada pembangunan GORR, banyak gunung, hutan alam, bahkan hutan lindung masuk dalam trase jalan. Ini cukup aneh,” katanya.
Sejak awal dia menentang pembangunan GORR ini. Kerugian kekayaan alam, termasuk ancaman deforestasi. “Coba kita lihat dan rasakan, jalan GORR sekarang, sangat bergelombang. Struktur jalan tidak baik. Kalau ada orang hamil melewati jalan itu, sangat berbahaya. Banyak hutan alam dan gunung jadi korban karena proyek ini.”
Untuk proses pinjam pakai, kata Adhan, tidak masuk akal. “Bagaimana mungkin pembangunan jalan ada proses pinjam pakai di hutan lindung. Apakah suatu saat jalan ini akan dibongkar lagi dan hutan akan dikembalikan? Hal yang tak mungkin.” Pembangunan jalan itu memerlukan lahan tak sedikit jadi rawan berdampak bagi lingkungan hidup.

Rawan bencana
Jalan lingkar Gorontalo yang merupakan proyek strategis nasional ini juga dinilai rawan bencana seperti longsor dan gempa karena ada sesar aktif. Sesar-sesar lokal itu diungkap dalam jurnal penelitian Nurfitriani, Guntur Pasau, dan Slamet Suyitno Raharjo. Berjudul “Identifikasi sesar di wilayah Gorontalo dengan analisis mekanisme bola fokus.”
Riset ini hasil kolaborasi dari Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sam Ratulangi dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG].
Berdasarkan penelitian itu, ada tiga daerah dugaan sesar aktif seismik yang memiliki kesesuaian dengan peta geologi Gorontalo. Daerah dugaan sesar I memiliki tipe sesar oblique yaitu kombinasi sesar turun dengan sesar mendatar sepanjang 24.54 km dan lebar rupture 8.51 km.
Daerah dugaan sesar II dan III memiliki tipe sama yakni sesar oblique. Sesar II merupakan kombinasi sesar naik dan mendatar, panjang 27.54 km dan lebar rupture 9.22 km. Sesar III dengan panjang 24.54 km dan lebar rupture 8.51 km.
Ada juga penelitian lain dibuat Fauzul Chaidir A Usman, Intan Noviantari Manyoe, Reskiyanto Fauzi Duwingik, dan Della Nawarita Putri Kasim dari Program Studi Teknik Geologi Universitas Negeri Gorontalo.
Penelitian itu menyebutkan, sesar-sesar lokal terbentuk ini dapat mempengaruhi pelapukan batuan dan membentuk alur-alur topografi terjal hingga batuan mengalami fragmentasi dan berpotensi longsor. Penelitian pada 2018 ini berjudul “Rekonstruksi Tipe Longsoran di Daerah Gorontalo Outer Ring Road (GORR) dengan Analisis Stereografi.
‘Proyek belah gunung’ ini juga pernah mengalami masalah gerakan tanah atau longsor. Tercatat rentang 2014-2017 terjadi beberapa longsor pada daerah pembangunan proyek GORR. Contoh, longsor pada 1 Desember 2016 mengakibatkan menara listrik 150 kw roboh.
Frekuensi gerakan tanah tinggi di wilayah ini, sangat berhubungan erat dengan faktor alamiah penyebab dari gerakan tanah yang meliputi morfologi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kemiringan lereng. Kerusakan ini, katanya, menghambat proses penyelesaian GORR yang sebenarnya ditargetkan rampung pada 2019.
Fauzul Chaidir A Usman, satu peneliti dalam jurnal itu mengatakan, observasi geomorfologi dan interpretasi peta topografi oleh tim mereka menunjukkan, daerah pembangunan GORR yang pernah longsor 2016 termasuk satuan perbukitan denudasional. Ia bercirikan pola kontur renggang dan tinggi pengaruh tenaga eksogen pada batuan di daerah itu.
Fauzul bilang, batuan penyusun di daerah itu ialah batu kapur [batu gamping]. Karakteristik batuan ini antara lain berwarna putih, masif, dan mengandung fosil koral dan moluska jenis gastropoda dan bivalvia yang melimpah.

Menurut dia, singkapan batuan telah mengalami pelapukan hingga terdapat perubahan warna kehitam-hitaman di bagian paling atas batuan. Perubahan ini, katanya, mengalami gradasi hingga yang paling akhir merupakan tanah [soil].
“Semua batuan di tempat penelitian kita adalah kapur yang dapat memicu longsor,” katanya.
Belum lagi, katanya, daerah itu yang dilewati sesar Gorontalo jadi kalau mengalami pergerakan tanah [gempa bumi], akan memicu longsor.
Saat dia melakukan pengukuran struktur geologi berupa bidang diskontinuitas di bidang gelincir longsoran dengan 104 data rekahan pada singkapan batuan temukan ada arah tegasan utama yang berpengaruh relatif berarah timur-barat. Pengaruh arah tegasan ini mengakibatkan zona lemah berarah utara-selatan yang berpotensi bergerak berdasarkan kemiringan lereng.
“Hasil analisis stereografi di daerah itu menunjukkan, kedudukan umum bidang gelin N 126oE/ 18o SW. Arah ini menunjukkan, pergerakan longsoran relatif berarah ke selatan, tepatnya menuju arah jalan utama GORR,” jelas Fauzul.
Abdul Fandit tak menjawab banyak saat ditanyakan mitigasi bencana kalau suatu saat terjadi longsor di GORR. Dia hanya menjelaskan, kalau hal itu tanggung jawab Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Gorontalo.
“Kita hanya melakukan perencanaan awal. Untuk pembangunan fisik itu urusan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional sekaligus soalnya mitigasinya. Kita sudah menyarankan, sebelum pembangunan dilakukan harus ada tanggul yang dibuat agar tidak terjadi longsor.”
Andri, Pejabat Pembuat Komitmen [PPK] pelaksanaan pembangunan lanjutan jalan GORR, Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Gorontalo, mengatakan, mitigasi GORR hanya pembuatan tanggul. Kalau longsor, mereka hanya melakukan penggalian dan pembersihan.
“Mitigasi hanya standar. Setiap badan jalan juga kita akan buat pagar pengaman jalan [gadrill] saja. Kita juga akan memasang rambu-rambu lalu lintas,” katanya. (Selesai)
Leave a Reply
View Comments