- Bagaimana kabar penyelamatan Danau Limboto? Soal uang ganti pembebasan lahan warga pun belum jelas, ‘ribut’ luasan danau antar lembaga pemerintah, antara lain jadi penyebab upaya penyelamatan danau seakan jalan di tempat.
- Danau Limboto, merupakan danau terbesar di Gorontalo. Secara administrasi ia terletak di dua wilayah, 30% di Kota Gorontalo dan 70% di Kabupaten Gorontalo.
- Ada sekitar 16-17% lahan masyarakat Desa Tabumela dibebaskan pemerintah, tetapi hingga kini belum ada kejelasan pembayaran. Sebagai pemerintah desa, dia menjadi sasaran saat warga bertanya hasib lahan mereka.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, Limboto memiliki peran strategis, antara lain, aspek ekologis untuk reservoir alami limpasan air sungai yang masuk dari daerah tangkapan air atau pengendali banjir.
Yusni Daud langsung mengangkat tangannya kala moderator memberikan ruang bertanya di kegiatan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait revitalisasi Danau Limboto yang dilaksanakan pada Jumat (20/5/2022) lalu. Sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Tabumela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo, Yusni dengan lantang bertanya kapan pembayaran lahan warganya dilakukan yang sejak 2014 dibebaskan pemerintah.
Sejak tahun 2014, beberapa lahan warga yang berada di sekitar danau limboto dibebaskan untuk proyek revitalisasi, termasuk lahan milik warga tabumela. Yusni bilang, ada sekitar 16 sampai 17 persen lahan masyarakat Desa Tabumela dibebaskan pemerintah, tapi hingga kini belum dibayarkan. Sebagai pemerintah desa, dirinya menjadi sasaran empuk saat warga bertanya hasib lahan mereka.
Menurut Yusni, melalui kegiatan supervisi KPK untuk peninjaun revitalisasi danau limboto, merupakan waktu yang tepat untuk menyampaikan keluh kesah warga atas lahan mereka yang tak memiliki kepastian. Katanya, dahulu lahan-lahan itu sebagian merupakan lahan pertanian. Namun, akibat adanya proyek revitalisasi, kurang lebih 8 tahun lahan itu menjadi lahan tidur yang tak bisa dimanfaatkan oleh warga.
“Dari tahun 2014 sampai sekarang, lahan masyarakat saya belum terbayar. Kasiang lahan masyarakat saya, sudah 8 tahun, lahan mereka tidak memiliki kepastian kapan dibayarkan,” kata Yusni Daud saat bertanya di kegiatan supervisi KPK yang dilaksanakan di salah satu lokasi pintu air di danau limboto.
Saat itu, KPK memang melakukan supervisi revitalisasi danau limboto yang dihadiri oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar dan Plt. Direktur Korsup Wilayah IV KPK, Edi Suryanto bersama staf yang bertempat di salah satu pembangunan pintu air yang berada di Desa Tabumela, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo.
Lembaga diundang dalam kegiatan itu, yaitu dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Balai Wilayah Sungai Sulawesi II, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Gorontalo dan Polda Gorontalo.
Pemerintah Provinsi Gorontalo, Pemerintah Kota Gorontalo, dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo serta masyarakat sekitar turut diundang dalam kegiatan tersebut. Tujuannya, KPK berkeinginan adanya kolaborasi antar pihak termasuk warga sekitar untuk menyatukan satu visi misi bersama dalam melakukan penyelamatan danau limboto.
Pasalnya, danau ini merupakan salah satu danau kritis di indonesia dan termasuk dalam 15 danau prioritas nasional yang harus diselamatkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Yusni meminta, tahun ini harus ada kejelasan dari pemerintah untuk melakukan pembayaran atas lahan masyarakat yang sudah dibebaskan.
Selain Yusni Daud, Warni Uli, warga Desa Tualango, Kecamatan Tilango, Kabupaten Gorontalo juga ikut bertanya soal masalah yang sama di kegiatan tersebut. Lahan orang tuanya yang sudah puluhan tahun ditempati dan dikelola, sampai hari ini juga belum ada kepastian. Padahal, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari semua lahan-lahan yang dimiliki keluarganya dibayarkan setiap tahun kepada pemerintah desa.
Tak hanya itu, kata Warni, dahulu lahan-lahan itu menjadi sumber kehidupan keluarganya, baik untuk bertani atau menjadi lokasi tempat memancing ikan. Sayangnya, lahan itu sudah tidak bisa dimanfaatkan seperti dulu, akibat sudah dibebaskan pemerintah sejak tahun 2014. Ia memahami danau limboto perlu dan harus diselamatkan, tapi tidak bisa menyengsarakan masyarakat dengan tidak memberikan kepastian kepada pemilik lahan.
“Kami sangat berharap, pemerintah secepat mungkin bisa dilakukan pembayaran. Kami butuh kepastian atas lahan kita. Sudah sangat lama kita menunggu-menunggu ini, sampai hari ini belum ada pembayaran,” kata Warni Uli di dalam kegiatan tersebut.
Danau Limboto merupakan danau terbesar di Provinsi Gorontalo. Secara administrasi danau ini terletak di dua wilayah yaitu, 30 persen di Kota Gorontalo dan 70 persen di Kabupaten Gorontalo. Danau berada pada dataran rendah yaitu kurang lebih 25 meter dari permukaan laut (mdpl) dan merupakan hilir dari lima sungai besar dan 23 anak sungai kecil.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Gorontalo, luas danau ini disebutkan sekitar 3.334,11 hektar. BPDAS Bone Bolango mencatat secara fisiografis lanskap tangkapan air danau Limboto memiliki kemiringan yang beragam. Sangat curam 6,71 persen curam 42,80 persen, agak curam 3,03 persen, landai 4,24 persen dan datar 43,22 persen.
Kementerian Lingkungan Hidup juga mencatat danau limboto memiliki peran strategis yaitu; sebagai aspek ekologis untuk reservoir alami limpasan air sungai yang masuk dari daerah tangkapan airnya atau pengendali banjir; dapat memberikan sumber daya ekonomi penting perikanan atau budidaya dan tangkap; pengembangan wisata alam; sumber potensial air bersih; mengandung biodiversity untuk laboratorium alami; serta untuk pertanian.
Data Badan Riset Perikanan Tangkap DKP menyatakan terdapat 17 desa yang berbatasan langsung dengan perairan danau Limboto dan mayoritas penduduknya secara langsung maupun tidak langsung sangat tergantung secara ekonomi terhadap danau limboto. Misalnya sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan pedagang ikan yang menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) hingga saat ini.
Sayangnya, danau ini mengalami pendangkalan akibat degradasi lahan oleh erosi dari lahan dan menjadi sedimen, serta adanya okupasi wilayah danau oleh masyarakat sekitar. Pada 1932, rata-rata kedalaman danau 30 meter dengan luas 8.000 hektar. Pada 1970, kedalamannya menjadi 15 meter dengan luasan 4.500 hektar. Tahun 2003, kembali berkurang menjadi empat meter dengan luasan luas 3.054,8 hektar. Pada tahun 2017, luasan danau kembali berkurang menjadi 2.537 hektar dengan kedalaman 2,5 meter.
Berdasarkan perubahan luas danau maka kurang lebih 62 tahun yang terhitung sejak 1955 sampai 2017, luasan danau telah berkurang sekitar 5.463 hektar dari total luasan awal danau. Akibatnya, danau limboto rentan terhadap bencana alam seperti banjir di musim hujan dan kekurangan air atau kekeringan di musim kemarau. Hal itu yang mendasari prediksi danau limboto akan berubah menjadi daratan pada 2025. Sehingganya, danau limboto menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) karena termasuk dalam 15 danau kritis di Indonesia yang harus diselamatkan.
Penyelamatan Awal Danau
Wempi Waroka, PPK Danau Limboto, Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) II mengatakan, sejak tahun 2012 pihaknya melakukan upaya penyelamatan danau limboto yang disebut sebagai proyek revitalisasi. Upaya penyelamatan danau berdasarkan hasil dari Konferensi Nasional Danau Indonesia yang dilaksanakan pada Agustus 2009 yang bertempat di pulau Bali.
Konferensi itu menghasilkan kesepakatan yang disebut dengan “Kesepakatan Bali 2009” antara 9 menteri tentang pengelolaan danau berkelanjutan dalam mengantisipasi perubahan iklim global.
Dalam kesepakatan itu, ada 7 strategi pengembangan dan pemanfaatan potensi danau sebagai upaya untuk mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi danau berdasarkan keseimbangan ekosistem, yaitu; pengelolaan ekosistem danau; pemanfaatan sumber daya air danau; pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan informasi danau; penyiapan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terhadap danau; pengembangan kapasitas, kelembagaan dan koordinasi; peningkatan peran masyarakat; dan pendanaan berkelanjutan.
Kesepakatan Bali 2009 itu, menetapkan 15 danau prioritas yang akan ditangani bersama secara terpadu, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan pada periode 2010-2014. Penetapan danau prioritas berlandaskan pada kerusakan danau, pemanfaatan danau, komitmen pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan danau, fungsi strategis untuk kepentingan nasional, keanekaragaman hayati, dan tingkat resiko bencana.
15 danau tersebut adalah Danau Toba, Maninjau, Singkarak, Kerinci, Tondano, Poso, Tempe, Matano, Mahakam, Sentarum, Sentani, Batur, Rawa Danau, Rawa Pening dan Danau Limboto. Dari 15 danau prioritas yang perlu diselamatkan itu, 3 danau diantaranya mengalami pendangkalan yang cukup besar yaitu, Danau Rawa Pening yang ada di Semarang, Danau Tempe yang ada di Sulawesi Selatan, dan Danau Limboto di Gorontalo.
Wempi mengungkapkan dari 3 danau itu, Danau Limboto menduduki urutan pertama yang mengalami penyusutan terbesar dari sisi kedalaman dan luasnya yang semakin berkurang. Ironisnya, luasan danau yang berkurang itu yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk dijadikan sebagai lahan pertanian, budidaya perikanan, dan bahkan dijadikan sebagai pemukiman warga yang sudah bersertifikat atau memiliki alas hak.
Data BWSS II menyebutkan, ada 576 bidang tanah dengan luas 54,76 hektar memiliki alas hak atau sertifikat di sempadan dan badan danau. Semua itu terjadi akibat banyak okupasi-okupasi lahan oleh masyarakat sekitar. Sebagian besar areal di wilayah bantaran Danau Limboto saat ini telah digunakan oleh masyarakat sebagai tempat pemukiman permanen. Padahal, hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau
Tiga tahun selanjutnya setelah Kesepakatan Bali, atau tepatnya pada tahun 2012, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia membuat Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk revitalisasi danau limboto dan Balai Wilayah Sungai Sulawesi II menjadi penanggung jawabnya. Wempi bilang, pihaknya langsung membuat tanggung air di sejumlah tempat sebagai pencegahan ketika ada luapan air danau terjadi.
“Saat awal pekerjaan revitalisasi itu, semuanya diluar dugaan kita. Ternyata daerah danau yang kita lihat dan apa yang ada di dalam perencanaan, sudah ada kepemilikan lahan dari masyarakat sekitar. Kita kaget dengan kondisi itu, sehingganya tanggul yang dibuat tidak sesuai dengan yang kita harapkan,” kata Wempi Waroka kepada Mongabay, 24 Mei lalu.
Tahun 2014, BWSS II membuat pintu air yang dinamakan “Pintu Kanal Topodu” yang menjadi salah satu pintu air terbesar untuk menuju muara sungai di Kota Gorontalo. Tapi, sampai hari ini, Pintu Kanal Topodu itu belum bisa difungsikan akibat kanalnya belum jadi dibuat. Pasalnya, lahan yang berada di sekitaran pembangunan kanal itu masih bermasalah dalam proses pembebasan lahan, karena sejumlah lahan itu berada di sempadan dan badan danau. Hal itu membuat lahan warga belum memiliki kepastian pembayaran ganti rugi hingga kini.
Tak heran, Yusni Daud dan Warni Uli dan hampir semua warga yang hadir dalam kegiatan supervisi KPK RI saat itu, mempertanyakan kepastian waktu dan kapan lahan mereka dibayarkan. Wempi bilang, BWSS II tidak mau mengambil resiko untuk melakukan pembangunan secara total dan langsung melakukan pembayaran tanpa verifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Gorontalo.
Sejumlah lahan yang berada di sempadan dan badan danau yang memiliki sertifikat hak milik dan alas hak menjadi penyebab BWSS II ragu untuk melakukan pembayaran. Wempi bilang, jangan sampai pihaknya yang disalahkan karena sudah membayar tanah negara yang harusnya tidak bisa dilakukan. Itu yang menjadi alasan pihaknya meminta KPK untuk memfasilitasi masalah tersebut agar bisa menemukan solusi dengan cepat.
Apalagi, tahun 2021 lalu, Presiden Joko Widodo kembali membuat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional. Tujuannya, dari 15 danau kritis yang menjadi prioritas nasional termasuk danau limboto, harus segera dipercepat proses penyelamatannya. Semua sektor dan lembaga, baik kementerian hingga pemerintah daerah, diminta ikut terlibat dalam penyelamatan danau.
“Semua pihak harus terlibat dalam penyelamatan danau limboto. Hal itu jelas diperintahkan di Kesepakatan Bali 2009 dan Perpres yang dikeluarkan di tahun 2021 lalu. Jadi, tidak hanya BWSS II yang kerja saja, tapi semua instansi dan pemerintah daerah juga harus ikut terlibat,” ucapnya
Tertatih-Tatih
Penyelamatan Danau limboto yang dilakukan sejak tahun 2012 hingga sekarang ternyata masih tertatih-tatih. Perbedaan versi luasan danau limboto antara BWSS II dan BPN Provinsi Gorontalo menjadi masalah utamanya. BPN Provinsi Gorontalo mengklaim, luasan danau limboto sebesar 3.160 hektar dengan kepemilikan 825 bidang tanah yang memiliki sertifikat atau alas hak dan dikuasai warga sekitar.
Sementara, BWSS II berpegang teguh dengan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Gorontalo, yang menyebutkan luasan danau sekitar 3.334,11 hektar. Dari luasan itu, Data BWSS II ada 576 bidang tanah yang memiliki sertifikat atau alas hak. Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau menjadi rujukan BWSS II.
Jika sandingkan data BPN Provinsi Gorontalo dan BWSS II, ada sekitar 174 hektar dan 249 bidang tanah yang tak diakui BWSS II karena dianggap berada di sempadan dan badan danau, bahkan badan air. Perbedaan data itu yang menjadi masalah yang tak kunjung selesai saat lahan-lahan warga dibebaskan sejak tahun 2014. Hal tersebut yang terungkap dalam kegiatan supervisi KPK saat itu.
Menariknya, saat kegiatan itu, Erry Juliani Pasoreh, Kakanwil BPN Provinsi Gorontalo membantah semua anggapan itu. Menurutnya semua sertifikat yang dikeluarkan pihaknya, tidak berada di sempadan, badan danau, dan badan air. Ia juga menjelaskan secara tegas, sertifikat yang dikeluarkan itu, tidak sama sekali mengganggu pekerjaan revitalisasi atau penyelamatan danau
“Sertifikat yang dikeluarkan BPN terhitung sejak tahun 1994. Kita tidak mengetahui latar belakang atau alasan dari kebijakan pemerintah menerbitkan sertifikat saat itu. Tapi kami yakin, 825 bidang tanah yang memiliki sertifikat atau alas hak, tidak berada di badan air danau,” kata Erry Juliani Pasoreh saat memberikan sambutan dalam kegiatan itu.
Meski begitu, pihaknya akan kembali mencoba melakukan verifikasi lahan-lahan bersertifikat yang berada di sekitaran danau. Erry bilang, BPN juga yang berada di kabupaten/kota akan segeran dikerahkan untuk menindak lanjuti proses pembebasan lahan, guna memberikan kepastian atas lahan-lahan masyarakat yang sudah dibebaskan.
Sementara itu, Wempi Waroka, PPK Danau Limboto, BWSS II tak kaget dengan sikap BPN Provinsi Gorontalo yang membantah anggaran itu. Ia bilang, BPN terlalu menutupi diri dan hanya menggunakan peta luasan danau tahun 1995 saja, tapi tidak ada penjelaskan soal perubahan luasan danau pada tahun 1982-1983. Sikap BPN itu, yang justru menghambat proses revitalisasi danau limboto. Katanya, sejak tahun 2012 sampai sekarang, proyek revitalisasi baru mencapai 75 persen.
Sebenarnya, kata Wempi, luasan danau sudah klear dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2017 yang menyebut luasan danau sekitar 3.334 hektar. Hanya saja, saat penyusunan Perda itu, BPN tidak mau terlibat. Bahkan, setelah Perda itu selesai dibuat, BPN protes dan mala mengeluarkan luasan danau yang berbeda dari Perda itu. Alhasil, pihaknya beberapa kali mengembalikan uang pembebasan lahan ke negara akibat ego sektoral itu.
“Saat rapat yang dipimpin KPK pada tahun 2019 di Bappeda Provinsi Gorontalo, BPN masih bersikeras berpatokan di luasan mereka sendiri. Hal itu yang memicu proses pembebasan lahan yang hingga kini belum selesai. Sehingga, kami kembali minta pendampingan dari KPK untuk melakukan mediasi masalah ini, agar tidak berimplikasi hukum,” ucapnya
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar saat kegiatan itu, mengatakan jangan sampai dalam proses revitalisasi danau limboto bisa menimbulkan kerugian negara. Ia meminta Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui Gubernur-nya, dan Pemerintah Kota Gorontalo melalui Wali Kota-nya dan Pemerintah Kabupaten Gorontalo melalui Bupati-nya, harus terlibat secara penuh dalam menyelesaikan perbedaan data luasan danau tersebut.
Lili tak menginginkan, dari proyek revitalisasi yang merupakan sebagai upaya penyelamatan danau limboto, bisa berpotensi mengarah ke tindak pidana korupsi. KPK sangat melarang keras, ada tanah negara yang dibayarkan oleh negara. Lili meminta, BPN Provinsi Gorontalo harus kembali melakukan verifikasi lahan masyarakat sekitar danau. Jika ada lahan warga yang berada di sempadan dan badan danau, tidak boleh diberikan surat kepemilikan.
“Kita juga akan melakukan proses identifikasi untuk melakukan intervensi dalam masalah ini dengan bermaksud baik kepada seluruh masyarakat. Kita tak ingin ada anggaran negara yang dikeluarkan, tidak sesuai dengan peruntukan yang sesungguhnya,” kata Lili Pintauli Siregar dalam sambutannya.
Selain perbedaan data luasan danau limboto, ternyata masalah keramba jaring apung (KJA) turut menjadi salah satu penyebab revitalisasi danau limboto masih tertatih-tatih. BWSS II mencatat ada 2,559 unit KJA yang mempunyai pakan ternak 202 ton perhari. Dalam setahun, pakan ternak yang masuk dalam danau limboto sebesar 73,730 ton. BWSS II mengasumsikan, jika ada 10 persen pakan ternak tidak dimakan ikan, maka ada 7,373 ton setiap tahun sedimentasi yang ikut menyebabkan pendangkalan danau limboto.
Naswardi, Kepala BWSS II menyatakan, akibat pakan ternak yang masuk dalam danau limboto membuat kualitas air danau menjadi buruk. Degradasi lahan yang berada di sekitaran danau dan hulu danau, serta banyaknya masyarakat yang menanam jagung juga memberikan kontribusi yang besar terhadap krisisnya danau limboto. Katanya, hal itu yang menghambat pekerjaan revitalisasi danau sejak tahun 2012 hingga sekarang
Betul saja, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elya Nusantari dari Universitas Negeri Gorontalo pada tahun 2010 dengan judul “Kerusakan Danau Limboto Dan Upaya Konservasi Melalui Pemberdayaan Masyarakat Dan Peran Perguruan Tinggi” menyebutkan total erosi pada DAS Limboto sebesar 3.409.067,36 ton per tahun atau rata-rata erosi per hektar adalah 44,69 ton per hektar dalam setiap tahun atau 3.72 mm per tahun.
Dalam penelitian itu, nilai erosi tersebut disebutkan telah melewati ambang batas bahaya erosi yang diperkenankan dapat ditoleransikan yaitu sebesar 10 ton perhektar pertahun. Sementara, Naswardi bilang, beban danau limboto hanya 6 juta ton pertahun dan pihaknya mengaku kesulitan menangani sedimentasi itu. Apalagi, ada 30 persen dari luasan danau limboto tertutup dengan eceng gondok.
Alhasil, dengan berkurangnya luasan danau, masalah keramba jaring apung (KJA) dan sedimentasi yang cukup tinggi sering menyebabkan banjir. Pada musim hujan, danau tidak bisa menampung luapan air sungai yang bermuara ke Limboto. Akibatnya, banjir menenggelamkan rumah-rumah penduduk, lahan pertanian hingga mengalami gagal panen, bahkan tak jarang, Kota Gorontalo kerap dilanda banjir akibat masalah itu.
Marten Taha, Wali Kota Gorontalo yang juga turut hadir dalam kegiatan itu, mengeluhkan masalah tersebut. Ia bilang, danau limboto harus secepatnya diselamatkan karena sangat berdampak besar kepada warganya. Sebagai upaya penyelamatan danau, sejak 7 tahun lalu, pihaknya sudah melarang warganya membuat sertifikat dan melakukan okupasi di wilayah danau.
“Danau limboto, harus secepatnya diselamatkan. Karena, baik musim hujan atau kemarau, warga saya sangat terdampak. Ini harus menjadi perhatian kita semua,” ucapnya
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments