- Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan menuai banyak sorotan. Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, regulasi anyar ini kental Orde Baru karena membuka lebar ruang keterlibatan militer.
- Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, khawatir, perpres ini justru untuk menggusur pemukiman, kebun dan ladang masyarakat di dalam kawasan hutan. Apalagi, banyak proyek pemerintah yang haus lahan, mulai dari proyek strategis nasional (PSN), dan wacana hutan cadangan untuk pangan dan energi.
- Muhammad Isnur, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mendesak, perpres tidak memicu penggusuran terhadap masyarakat adat atau komunitas lokal yang telah lama tinggal di kawasan hutan.
- Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS menyebut, kebijakan ini mengandung corak militerisme yang kuat. Regulasi ini rawan membuka ‘kotak pandora’ pasca-reformasi, karena menempatkan kembali TNI dalam posisi strategis kebijakan publik.
Pasca berencana membuka hutan untuk pangan dan energi, serta menegaskan bahwa kelapa sawit bukanlah penyebab utama deforestasi, kini presiden Prabowo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perpres yang dibuat pada 25 Januari 2025 lalu ini menjadi sorotan berbagai pihak.
Pasalnya, ada persoalan mendasar dari Peraturan Presiden ini, yaitu pendekatan militerisme dalam penertiban kawasan hutan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, militerisasi dalam kawasan hutan atas nama penertiban ini dapat menjadi ancaman bagi masyarakat yang selama ini hidup dan beraktivitas di dalam dan sekitar kawasan hutan.
Militerisasi dalam pengelolaan kawasan hutan ini tampak jelas dalam struktur Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan. Satgas ini terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu pengarah dan pelaksana, dengan posisi ketua dan wakil ketua yang didominasi oleh TNI dan Polri. Dominasi aparat militer dan kepolisian disinyalir lebih mengedepankan kekuatan keamanan ketimbang solusi berbasis pemberdayaan masyarakat.
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional mengatakan, Peraturan Presiden ini juga menyamakan antara aktivitas legal dalam kawasan hutan berbasis korporasi dengan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial (penetapan kawasan hutan secara sepihak), dan konflik agraria dengan perusahaan-perusahaan pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
Baca juga: Banjir Berulang, Aktivis Desak Cabut Izin Alih Fungsi Hutan di Pohuwato
Kebijakan itu, kata Uli, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), khususnya Pasal 11 ayat (4) yang menyatakan masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Artinya, kata Uli, Perpres ini tidak boleh menyentuh masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasannya belum selesai dan menjadi subyek untuk penataan kawasan. Ia bilang, Perpres tersebut juga tidak boleh menyasar masyarakat yang saat ini masih mengalami konflik dengan korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
Seharusnya, Uli menegaskan, jika memang Presiden berani, harusnya Perpres ini diarahkan untuk menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan.
“Bukan beraninya kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan,” kata Uli Arta Siagian.
Uli juga menyayangkan keterlibatan institusi pertahanan dalam Perpres ini, seperti Menteri Pertahanan dan TNI, yang mendominasi struktur Satuan Pengarah dan Pelaksana. Keterlibatan tersebut dinilai bertentangan dengan tugas, fungsi, dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara.

Uli juga menambahkan pihaknya juga menyayangkan keterlibatan Institusi Pertahanan dalam Perpres ini seperti Menteri Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia dalam struktur Satuan Pengarah dan Pelaksana. Keterlibatan tersebut bertentangan dengan Tugas, Fungsi dan Peran TNI sebagai alat pertahanan negara.
“Selanjutnya kami mempertanyakan juga kepada DPR, apakah keterlibatan TNI dalam Perpres ini sudah mendapatkan persetujuan dari DPR? Mengingat pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) memerlukan Persetujuan DPR,” ujarnya.
Menurut Uli, keterlibatan TNI dalam Perpres ini tidak bisa dibenarkan dengan dalih perbantuan, yang seharusnya diterapkan hanya ketika permasalahan melampaui kapasitas otoritas sipil. Ia mempertanyakan, apakah kementerian terkait, seperti Kehutanan, Lingkungan Hidup, dan aparat penegak hukum, tidak cukup mampu menangani masalah ini sehingga harus melibatkan TNI?
Uli mengkhawatirkan, Perpres Penertiban Kawasan Hutan ini justru dipakai untuk menggusur pemukiman, kebun serta perladangan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan dengan tujuan untuk mengalokasikan kembali kawasan tersebut untuk kebutuhan lainnya seperti pangan dan energi, sebagaimana program pemerintah membuka hutan untuk pangan dan energi.
Baca juga: Merawat Pampa, Hutan Perempuan Adat Moa
Apalagi, dengan menjadikan program tersebut sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), kata Uli, proses militerisasi dapat dilegalkan melalui Perpres ini. Berdasarkan pengalaman panjang, katanya, negara cenderung lebih mudah menertibkan, menggusur, dan merampas tanah rakyat daripada mengambil kembali hutan dan lahan yang selama ini dikuasai—baik secara ilegal maupun legal—dari korporasi.
Menurut Uli, penertiban kawasan hutan dalam Perpres ini mencakup pembayaran denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset. Hal ini berbeda dengan sanksi yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 2021, yang lebih menekankan pada penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan, persetujuan melanjutkan kegiatan usaha, atau persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagai mekanisme penyelesaian.
“Namun seluruh tipologi persoalan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan yang diatur dalam Perpres diselesaikan dengan Penguasaan Kembali Kawasan Hutan oleh negara. Hal ini menjadi baik jika memang diarahkan untuk menertibkan korporasi-korporasi yang selama ini melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan,” jelasnya.
Meski demikian, Uli mempertanyakan, bagaimana dengan pemulihan hutan yang telah rusak, karena aspek ini sama sekali tidak diatur dalam Perpres tersebut. Menurutnya, penguasaan kembali kawasan hutan seharusnya tidak menghapuskan tanggung jawab korporasi untuk memulihkan hutan yang telah rusak.
Seharusnya, kata Uli, pemerintah juga melakukan tindakan pemulihan setelah menguasai kembali, bukan justru mengalokasikan kawasan hutan tersebut untuk aktivitas bisnis atau program lainnya. Selanjutnya, kata dia, sangat penting juga untuk memastikan keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam proses penertiban kawasan hutan.
“Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi penuh memberikan data dan informasi berbasis fakta lapangan, memberikan masukan, agar implementasi Perpres ini tidak dilakukan secara ugal-ugalan di lapangan,” ucapnya.

Rasa Orde Baru
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai pendekatan militer yang diterapkan Presiden Prabowo dalam penertiban kawasan hutan melalui Perpres Nomor 5 Tahun 2025 mirip dengan gaya era Orde Baru (Orba), zaman pemerintahan sang mertua Presiden Soeharto. Pada masa itu, masyarakat sipil takut mengkritik kebijakan pemerintah karena tekanan aparat di daerah.
Julius Ibrani, Ketua PBHI, melibatkan militer untuk mengamankan investasi dan pembangunan sudah terbaca sejak Proyek Strategis Nasional (PSN) ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan PSN. Dalam pelaksanaan proyek-proyek tersebut, aparat keamanan dan lembaga penegak hukum dikerahkan untuk mengamankan PSN.
Untuk mendukung keterlibatan militer, kata Julius, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja), yang membuka peluang lebih besar bagi militer dalam pengamanan proyek, khususnya untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Pengerahan aparat keamanan diperkuat dengan PSN dikategorikan sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas).
Julius bilang, regulasi-regulasi yang dibuat di era Presiden Joko Widodo memperkuat keyakinan bahwa pemerintah akan menerapkan pendekatan militerisasi dalam kebijakan. Prediksi ini terbukti dengan pernyataan kontroversial Presiden Prabowo pada akhir tahun lalu yang meminta aparat keamanan, termasuk TNI, untuk mengamankan perusahaan kelapa sawit.
Perpres Nomor 5 Tahun 2025, menurut Julius, melegitimasi peran TNI dalam pendekatan keamanan untuk proyek-proyek pemerintah. Saat ini, hampir semua proyek PSN, seperti food estate di Merauke Papua dan Rempang Eco-City, dikawal TNI. Ia juga menyebutkan bahwa sektor perkebunan sawit dan kehutanan pun sudah lama berada di bawah pengawalan TNI.
Baca juga: Risiko Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Proyek Pangan dan Energi
“Di Indonesia, TNI adalah satu-satunya lembaga yang kebal dari kasus korupsi. Bahkan, ketika KPK mencoba mengusut kasus TNI, KPK justru meminta maaf karena merasa terancam. Gaya militer ini yang diduga akan dimanfaatkan untuk memuluskan proyek pemerintah saat ini,” kata Julius Ibrani.
Keterlibatan TNI dalam proyek, termasuk investasi, bertentangan dengan Jati Diri Tentara Profesional dan bertentangan dengan peran dan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, sebagaimana diatur dalam UU TNI. Menurutnya, hal ini berisiko menimbulkan pelanggaran HAM di masa depan.
Keterlibatan TNI dalam proyek ini melanggar Tugas Pokok TNI sesuai Pasal 7 UU TNI, karena tidak memenuhi syarat sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang memerlukan kebijakan dan keputusan politik negara bersama DPR. Meskipun ada ketentuan OMSP, alasan ini bisa menjadi dalih yang dipaksakan karena batasan keterlibatan TNI yang tidak jelas.
Senada, Muhammad Nur, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berharap Perpres tidak memicu penggusuran terhadap masyarakat adat atau komunitas lokal yang telah lama tinggal di kawasan hutan. Menurutnya, praktik penertiban saat ini justru lebih banyak menyasar masyarakat sipil, bukan korporasi.
Adapun keterlibatan militer dalam penertiban, menurutnya, bisa menimbulkan asumsi bahwa masyarakat di kawasan hutan dianggap mengganggu pertahanan. Pendekatan militer ini, katanya, keliru karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan bahwa TNI adalah alat pertahanan untuk menjaga kedaulatan, bukan untuk menertibkan hutan

“Saat ini sudah ada polisi kehutanan yang memang tugasnya untuk melakukan penertiban hutan, bukan harus melibatkan militer lagi. Kita khawatir keterlibatan TNI dalam penertiban ini justru berujung ke penggunaan kekerasan,” kata Muhammad Nur.
Apalagi, kata Muhammad Nur, pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya merencanakan berbagai proyek skala besar, seperti rencana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk proyek pangan dan energi. Rencana ini, katanya, berpotensi menggerus masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, dan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 disinyalir menjadi alat untuk penggusuran.
Seharusnya, kata dia, pemerintah mendata penguasaan kawasan hutan oleh korporasi besar, kemudian mengambil alih wilayah tersebut dan menyerahkannya kepada masyarakat, bukan malah ‘diputihkan’ seperti dalam UU Cipta Kerja. Dia menegaskan, kawasan hutan yang dikuasai oleh para jenderal juga harus diambil alih.
“Keterlibatan militer dalam berbagai proyek ini beresiko membahayakan negara dan memundurkan kemajuan reformasi TNI,” jelasnya.
Dimas Bagus Arya, Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga memiliki pandangan serupa. Menurutnya, Perpres ini mengandung corak militerisme yang kuat, berpotensi membuka ‘kotak pandora’ pasca-reformasi, karena menempatkan TNI kembali dalam posisi strategis dalam kebijakan publik.
Baca juga: Potret Karut Marut Lahan Hutan Tanaman Energi di Aceh Besar
Menurutnya, pemerintah seharusnya memanfaatkan hutan untuk kepentingan rakyat, sesuai amanat UUD 1945, bukan untuk korporasi besar yang telah terbukti merusak hutan. Ia bilang, kika Perpres ini efektif menindak pengrusakan hutan yang melibatkan korporasi besar, maka Perpres ini bisa dianggap penting.
Namun, Dimas menilai, motivasi hadirnya Perpres ini cenderung hanya untuk memuluskan proyek-proyek besar yang sedang direncanakan dan sedang dibangun oleh pemerintah. Menurutnya, pemerintah menganggap proyek-proyek tersebut memerlukan keterlibatan aparat keamanan untuk melakukan sekuritisasi demi kelancaran proyek.
Padahal, kata Dimas, tidak ada urgensi melibatkan militer dalam berbagai proyek, karena sudah ada lembaga berwenang yang menangani hal tersebut. Misalnya, untuk penertiban kawasan hutan, negara sudah memiliki polisi kehutanan yang diberi tugas melalui UU untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan.
Dimas khawatir keterlibatan militer dalam penertiban kawasan hutan ini justru akan dimanfaatkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu, yang jauh dari tujuan lahirnya Perpres tersebut. Jika itu terjadi, katanya, bisa menambah catatan buruk dan memperpanjang cerita konflik agraria di Indonesia.
“Saat ini, banyak warga atau masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan, namun banyak dari mereka belum mendapatkan perlindungan negara melalui pengakuan hutan adat. Jika Perpres ini disalahgunakan, masyarakat adat bisa terancam dan tergerus dari ruang hidup mereka,” ucap Dimas Bagus Arya.

Pentingnya Keterbukaan Informasi Publik
Meskipun mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan, Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) berharap implementasi Perpres penertiban kawasan hutan bisa mengarah ke perbaikan tata kelola sawit, khususnya dengan membuka data informasi mengenai Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit.
Hingga 2023, luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 6,1 juta hektar, sementara hanya 5,8 juta hektar yang memiliki izin HGU. Anggi menegaskan, Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa HGU jelas merupakan ilegal.
Menurut catatan FWI (2025), luas HGU pada 2024 mencapai 9,26 juta hektar, dengan 795 ribu hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan. Tata kelola sawit yang buruk ini tidak hanya merusak hutan alam Indonesia, tetapi juga berpotensi memperburuk praktik korupsi di sektor sumber daya alam.
Disisi lain, terdapat konsesi tambang seluas 4,99 juta hektar di dalam kawasan hutan, dengan hanya sekitar 400 ribu hektar yang memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau persetujuan penggunaan kawasan hutan. Sebanyak 1.899 IUP lainnya tidak memiliki izin, yang dapat dianggap ilegal dan merugikan negara.
“Penertiban kawasan hutan bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan negara melalui denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset di kawasan hutan. Namun, tujuan ini akan sulit tercapai tanpa prinsip keterbukaan informasi,” kata Anggi.
Menurut Anggi, keterbukaan informasi mengenai HGU, seperti lokasi spesifik, pemegang HGU, dan jenis komoditas, diyakini dapat meminimalisir praktik ilegal, seperti perambahan kawasan hutan dan korupsi dalam proses perizinan serta penertiban kawasan hutan.
Anggi bilang, permohonan untuk membuka informasi HGU pernah diajukan FWI pada 6 Agustus 2013. Sayangnya, kata Anggi, meskipun sudah lebih dari sembilan tahun berlalu, Kementerian ATR/BPN terus menolak membuka informasi HGU ke publik, walaupun sudah ada berbagai putusan hukum yang inkracht.
Padahal, pada 22 Juli 2016, kata Anggi, Komisi Informasi Pusat (KIP) telah memutuskan bahwa HGU adalah informasi yang terbuka untuk publik. Bahkan, Mahkamah Agung (MA) pun menolak kasasi yang diajukan ATR/BPN pada 6 Maret 2017. Namun, meskipun sudah ada putusan hukum yang jelas, kementerian ini tetap enggan membuka data HGU.
Tak hanya itu, FWI juga melaporkan ketidakpatuhan ATR/BPN ke Ombudsman RI pada 2017, yang berlanjut dengan proses mediasi hingga 2019. FWI bersama Koalisi kemudian melaporkan ATR/BPN ke Bareskrim pada 25 Maret 2019. Meskipun ATR/BPN mengajukan Peninjauan Kembali (PK), kedua PK tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.

Menurutnya, Ketidakpatuhan Kementerian ATR/BPN terhadap putusan hukum yang menyatakan data HGU sebagai informasi terbuka menunjukkan sikap pembangkangan terhadap hukum. Padahal, penertiban kawasan hutan sangat rentan terhadap praktik korupsi dan transaksional di sektor sumber daya alam
“Oleh karena itu, dibutuhkan integritas yang tinggi untuk menjalankan tugas ini,” pungkasnya.
Senada, Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menekankan pentingnya keterbukaan informasi publik terkait perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan. Menurutnya, informasi ini sangat krusial sebagai langkah awal untuk memastikan bahwa Perpres ini benar-benar akan digunakan untuk menertibkan izin-izin konsesi perusahaan “nakal” yang beroperasi di kawasan hutan.
Perpres ini, kata Arman, juga harus dipahami dalam konteks proses-proses penetapan kawasan hutan yang sedang digenjot oleh Kementerian Kehutanan, yang dalam praktiknya mendapat perlawanan dari masyarakat adat. Pasalnya, penetapan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak partisipatif, alih-alih mengedepankan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
Arman menyampaikan kekhawatirannya, jangan sampai Perpres ini malah digunakan sebagai alat untuk melegitimasi resettlement terhadap masyarakat adat yang telah mendiami kawasan secara turun-temurun berdasarkan hukum adat, namun diklaim sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan negara.
Ketakutan Arman ini sejalan dengan pandangan Uli, yang menilai Peraturan Presiden tersebut cenderung menyamakan antara aktivitas legal berbasis korporasi di kawasan hutan dengan masyarakat yang selama ini menjadi korban dari penetapan kawasan hutan secara sepihak oleh negara.
“Jangan sampai, melalui Perpres ini, masyarakat adat justru yang menjadi korban, sementara korporasi yang diuntungkan,” kata Muhammad Arman.
Abdul Haris dari Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia memiliki pandangan serupa. Menurutnya, Perpres ini bisa dipakai untuk percepatan penanganan 2,31 juta hektare lahan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh 2.128 perusahaan, yang 569 perusahaan diantaranya adalah anggota GAPKI dengan total luas 810,425 hektar.
Menurut Haris, dengan penegakan hukum yang kuat terhadap berbagai kejahatan lingkungan sektor perkebunan dan kehutanan, maka akan tercipta kepatuhan. Hal itu akan membuat partisipasi publik kembali kuat karena ada kepercayaan yang tinggi pada aparat penegak hukum.
“Jika publik terlibat aktif, maka tidak dibutuhkan satuan tugas khusus untuk mengurusi hutan karena ada kepentingan bersama disitu,” pungkasnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments