Merawat Pampa, Hutan Perempuan Adat Moa

Para Perempuan Adat Moa, membawa beragam hasil panen mereka dari hutan pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Para Perempuan Adat Moa, membawa beragam hasil panen mereka dari hutan pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Perempuan Adat Moa punya hutan khusus bernama pampa. Pampa adalah zona tradisional Masyarakat Adat Moa, dengan otoritas pemanfaatan oleh perempuan. Setiap pagi, para Perempuan Adat Moa harus ke wilayah ini karena pampa merupakan “dapur kedua” bagi mereka.
  • Setiap rumah tangga Masyarakat Adat Moa tak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk kebutuhan pangan karena sebagian besar dari pampa. Sementara, produksi kakao, kopi, dan berbagai jenis tanaman perkebunan yang dikelola laki-laki berfungsi sebagai sumber pendapatan untuk keperluan hidup lain.
  • Pampa, kini, dari zona lahan tempat budidaya berbagai tanaman sayur-mayur berubah jadi seperti hutan karena sudah ditanami kopi, dan kakao. Konsep pertanian menetap pada pampa itu terlihat berkembang membentuk sistem agroforestri dengan banyak tanaman tahunan.
  • Dalam mengelola pampa, Perempuan Adat Moa lebih mengutamakan sistem kerja berkelompok dan bergilir yang disebut mome ala pale.  Dalam prinsip kerja mome ala pale, uang bukanlah hal utama, yang mereka perlukan tenaga, kerja sama, dan solidaritas kelompok.

Pagi itu, Elisabet Heta tengah sibuk menyiapkan bekal di rumahnya di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). Satu persatu, berbagai peralatan kebun pun dimasukkan dalam baki, tas khusus perempuan adat moa yang terbuat dari rotan dan bantu. Tak berselang lama, perempuan berumur 52 tahun ini langsung bergegas pergi.

“Saya mau pergi ke pampa,” kata Elisabet Heta kepada Mongabay, pada Juli 2023 lalu. Pampa adalah salah satu zonasi tradisional Masyarakat Adat Moa, yang otoritas pengelolaan dan pemanfaatannya menjadi milik kaum perempuan. Setiap pagi, semua Perempuan Adat Moa harus ke wilayah ini karena pampa merupakan “dapur kedua” bagi mereka.

Sejatinya, perempuan dan pampa merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan komunitas Adat Topo Uma, salah satu Suku Kulawi yang berbahasa uma ini. Pasalnya, lahan pampa yang relatif dekat dengan pemukiman mereka itu, ditanami berbagai macam tanaman untuk kebutuhan pangan keluarga.

Elisabet bilang, setiap keluarga memiliki sekitar 300 meter persegi lahan pampa yang ditanami aneka jenis tanaman muda, seperti; sayur-mayur, umbi-umbian, kacang tanah, jagung, cabai (rica), dan berbagai jenis bumbu dapur lainnya. Bibit-bibit tanaman diperoleh dengan cara saling bertukar (barter) dan juga dengan membuat pembibitan sendiri dari tanaman yang sudah ada.

“Karena hasil panen hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, maka pemilihan jenis bibit pun yang akan ditanam selalu disesuaikan dengan kebutuhan setiap keluarga,” kata perempuan empat anak ini.

Meskipun bersifat subsisten, Perempuan Adat Moa ini juga memainkan peran penting dalam pengelolaan keuangan keluarga. Jika kaum laki-laki bekerja di lahan-lahan pertanian yang berorientasi produksi dan pasar, kaum perempuan berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan keluarga.

Artinya, setiap rumah tangga Masyarakat Adat Moa tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk kebutuhan pangan karena sebagian besar kebutuhan itu diperoleh dari pampa. Sementara, produksi kakao, kopi, dan berbagai jenis tanaman perkebunan yang dikelola oleh kaum laki-laki berfungsi sebagai sumber pendapatan untuk kebutuhan hidup lainnya.

Adapun permukaan pampa dilakukan sebelum masa membuka bonea, salah satu zonasi tradisional Masyarakat Adat Moa yang diperuntukkan untuk kebun padi ladang atau jagung. Elisabet bilang, pembukaan pampa yang lebih awal itu sebagai cara perempuan untuk memastikan ketersedian bahan pangan keluarga, sebelum seluruh anggota keluarga mulai bekerja di bonea.

Sementara dalam mengelola pampa, Perempuan Adat Moa lebih mengutamakan bekerja dengan sistem kerja berkelompok dan bergilir yang disebut dengan Mome Ala Pale. Katanya, dalam prinsip kerja Mome Ala Pale, uang bukanlah hal yang utama, yang dibutuhkan adalah tenaga, kerja sama, dan solidaritas kelompok.

Hal ini berlaku untuk semua perempuan Adat Moa, kecuali jika seseorang terkena penyakit (sakit) atau ada urusan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan. Meski begitu, katanya, jika ada seseorang dalam kelompoknya tidak dapat mengikuti Mome Ala Pale, ia harus mencari orang lain sebagai tenaga pengganti dari luar kelompoknya atau dari desa Moa.

“Setiap kelompok kerja perempuan di Desa Moa ini bervariasi dan berbasis pada Rukun Tetangga (RT). Dalam setiap kelompok biasanya berjumlah 20 hingga 23 orang,” jelas Elisabet Heta

Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Warisan Leluhur

Agustim Mpadjama, tina ngata (Ibu Kampung) mengatakan, pampa merupakan warisan leluhur yang tidak bisa dipisahkan dengan Perempuan Adat Moa hingga hari ini. Pampa pun merupakan salah satu dari 15 tingkatan atau kategori (zona) hutan yang ditetapkan oleh leluhur Masyarakat Adat Moa menurut pengetahuan dan pemanfaatannya. Ia bilang, Pampa terinternalisasi ke dalam Hukum Adat Topo Uma.

Komunitas adat Topo Uma adalah salah satu suku asli Kulawi atau biasa disebut Masyarakat Adat Moa memiliki kultur budaya yang sama dengan etnis Uma secara umum, khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam. Jauh sebelum adanya Negara, Masyarakat Adat Moa telah lama menjalankan kearifan lokal pengelolaan berdasarkan Hukum Adat Topo Uma, secara bijaksana.

Secara filosofi, di Kulawi secara umum dikenal dengan penyebutan hintuwu (yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta). Katanya, pampa adalah bagian yang tak terpisahkan dari filosofi itu.

Dengan begitu, kata Agustin, pampa memiliki nilai religius bagi perempuan Adat Moa yang tergambar dari cara perempuan mengolah pampa. Dahulu, membuka lahan untuk pampa selalu dimulai dengan upacara adat yang dipimpin oleh Tetua Adat, yang dianggap memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Tope Hoi, penguasa alam semesta.

“Tujuan upacara adat itu, untuk memohon kepada Tope Hoi agar diberi kesuburan tanah, terhindar dari hama yang dapat merusak tanaman, dan memohon perlindungan, serta keselamatan dalam setiap pekerjaan di pampa,” kata Agustim Mpadjama.

Namun, katanya, tradisi ini mulai ditinggalkan sejak masuknya agama dan semakin kuatnya dominasi gereja. Peran dan fungsi Tetua Adat di masa lalu berubah menjadi ibadah biston yang sepenuhnya dilakukan oleh “opsir”, atau pimpinan gereja Bala Keselamatan yang ada di Moa. Walaupun begitu, katanya, mereka masih terus menggelar tradisi wunca (upacara syukur) terhadap hasil pertanian termasuk dari pampa yang digelar gereja.

Melekatnya nilai-nilai religius itu membuat pampa tak sekedar kebun yang bisa menghasilkan kebutuhan dapur pelengkap nasi saja, tapi lebih dari itu. Pampa menjadi bagian terpenting dalam struktur sosial kelembagaan adat Komunitas adat Topo Uma, khususnya sebagai wadah atau ruang Perempuan Ada Moa untuk saling berinteraksi satu sama lain.

Agustim bilang, setiap perempuan yang sudah berumah tangga, secara otomatis akan mengolah pampa dan ikut bergabung dalam sistem kerja Mome Ala Pale tanpa ada paksaan. Perempuan Adat Moa meyakini Mome Ala Pale sebagai sebuah tradisi dalam budaya Topo Uma, yang diwariskan secara turun menurun sebagai salah satu identitas perempuan adat di Desa Moa.

Di pampa, katanya, kaum perempuan dapat saling bertukar informasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka dalam membudidayakan berbagai jenis tanaman. Selain itu, Mome Ala Pale menjadi wadah dan ruang kaum perempuan saling berinteraksi dan bersosialisasi tanpa batas-batas hierarki. Pampa juga tempat perempuan mengaktualisasi diri dan membentuk jati diri sebagai sosok-sosok yang tangguh dan mandiri.

Meski begitu, katanya, ada sejumlah pantangan (palia) yang tidak boleh dilakukan di pampa. Misalnya, ketika hujan terjadi saat proses pembukaan pampa di pagi hari, itu dianggap sebagai pertanda buruk. Masyarakat pun tidak diizinkan untuk beraktivitas di lahan pertanian lainnya, termasuk di pampa. Ia bilang, jika hal ini dilanggar akan menyebabkan musibah atau kesialan yang fatal, bahkan kematian.

Selain itu, katanya, suara bunyi gemuruh angin yang terdengar pada saat bekerja di pampa, juga dipercaya sebagai tanda peringatan untuk segera beristirahat sejenak. Sekitar 5 sampai 10 menit setelah bunyi gemuruh itu berhenti baru pekerjaan dapat dilanjutkan kembali.

“Semua pantangan yang dalam bahasa uma disebut palia itu masih dipercaya dan dipegang teguh oleh Perempuan Adat Moa hingga saat ini,” jelasnya

Perempuan Adat Moa panen kacang di pampa. Foto: Sarjan Lahay
Perempuan Adat Moa panen kacang di pampa. Foto: Sarjan Lahay

Dari Ketimpangan Lahan, Membentuk Agroforestri

Sebenarnya, pampa milik Masyarakat Adat Moa ini tak seperti dulu lagi. Zonasi Lahan yang menjadi tempat budidaya berbagai tanaman sayur-mayur itu, kini berubah seperti hutan karena sudah ditanami pohon kopi, dan kakao. Konsep pertanian menetap pada pampa itu terlihat berkembang membentuk sistem agroforestry karena sudah banyak ditanami tanaman tahunan.

Helni Gopi, salah satu Tokoh Perempuan Adat Moa menjelaskan, perubahan bentuk lahan pampa itu terjadi sejak bumingnya kopi di jaman penjajahan Belanda, dan Kakao pada awal kemerdekaan. Saat itu, katanya, kedua tanaman komersial itu memiliki harga yang fantastik dan banyak diminati negara-negara luar. Mereka pun akhirnya ramai-ramai menanam tanaman tahunan itu di berbagai wilayah zonasi pertanian, termasuk di pampa.

Bahkan, kata Helni, pada tahun 1955-1960 Desa Moa menjadi salah satu desa penyuplai kopi terbesar di Sulawesi Tengah. Sementara, katanya, pada tahun 1990-1997, kakao di Desa Moa sangat terkenal dengan kualitas baik karena budidayanya dilakukan secara tradisional tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

“Dahulu, vanili juga banyak ditanami di wilayah pampa. Namun karena harganya turun drastis, masyarakat menggantinya dengan kopi dan kakao,” kata Helni Gopi sembari memanen kacang di wilayah pampa milikinya yang tumbuh subur dengan tanaman kakao.

Selain itu, kata Helni, perubahan bentuk lahan pampa itu juga disebabkan oleh penetapan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) pada tahun 1993, yang mayoritas wilayahnya berada di hutan adat mereka. Penetapan sepihak itu, katanya, telah membuat ketimpangan dan berdampak pada pola pemanfaatan lahan untuk wilayah kelola Masyarakat Adat Moa.

“Ruang penghidupan kita terhimpit karena keterbatasan akses atas tanah dan lahan yang dapat dikelola untuk pertanian ladang serta kebun. Hal itu juga membuat Pampa yang awalnya ditanami sayur-mayur, kini sudah ditanami kopi dan kakao,” jelasnya

Dalam Masyarakat Adat Moa, tanah dan lahan sangat penting untuk bercocok tanam dan mengembangkan budidaya pertanian sebagai sumber pendapatan dan kebutuhan hidup. Sekitar 97 persen warga Masyarakat Adat Moa adalah petani yang mengolah jagung, kopi, dan kakao. Padi ladang, padi sawah, kemiri, dan tanaman palawija juga ditanam mereka.

Namun, karena ada penetapan TNLL, ada sekitar 85% wilayah Adat Masyarakat Adat Moa masuk dalam kawasan hutan Negara. Helni bilang, masyarakat tidak dapat lagi mengambil kopi dan kako karena area tersebut masuk dalam kawasan hutan. Bahkan, banyak pohon kopi dan kakao yang ditebang oleh petugas TNLL saat melakukan patroli.

“Kalau kita melakukan perlawanan atas penebangan pohon kopi dan kakao itu, maka kita dianggap menghambat pembangunan, dan dicap sebagai perusak hutan. Sehingganya, wilayah pampa yang awalnya hanya ditanami sayur-mayur, kini sudah ada tanaman kopi dan kakao,” kata Helni

Dengan adanya ketimpangan pemanfaatan lahan itu, Masyarakat Adat Moa bersama pemerintah desa mengusulkan pengakuan Hutan Adat dengan luas 7.738 hektar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2017. Mereka pun dibantu oleh Karsa institute dan Kemitraan-Partnership.

Alih-alih mendapatkan pengakuan yang cepat, mereka justru harus menunggu lebih dari 4 tahun agar wilayah hutan adat mereka diakui. Itupun yang diberikan hanya sebesar 1.484 hektar saja berdasarkan SK yang diterbitkan pada 10 September 2021 lalu. Helni bilang, mereka sangat kecewa.

Meskipun begitu, Helni menyadari, kebijakan negara yang merampas lahan guna dijadikan kawasan hutan dan konservasi mendorong mereka menerapkan model pertanian yang berkelanjutan. Mereka semakin gemar memadukan kegiatan pengelolaan hutan dengan tanaman pertanian jangka pendek di wilayah pampa akibat kekurangan lahan.

Sebenarnya, teknik bertani seperti itu adalah istilah baru praktik lama yang disebut agroforestry. Ia bilang, leluhurnya telah melakukan cara itu sejak lama, tetapi pengelolaan hanya dilakukan kaum laki-laki. Namun, akibat semakin sempitnya ruang hidup mereka, Perempuan Adat Moa ikut andil dalam menerapkan wanatani itu di wilayah pampa mereka.

“Tak heran, kini wilayah pampa kita banyak sekali tanaman kopi dan kakao. Bahkan ada pohon aren juga,” jelas Helni sambil menambahkan, kaum laki-laki kini fokus mengelola di bonea, salah satu zonasi tradisional berkebun padi ladang atau jagung.

Warga adat Moa sedang panen kacang-kacangan dari Pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Warga adat Moa sedang panen kacang-kacangan dari Pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Dengan Agroforestry ‘Pampa’, Hutan Makin Terjaga

Menariknya, dengan adanya sistem agroforestry di wilayah kaum Perempuan Adat Moa yang disebut dengan pampa itu memberikan dampak positif untuk keberlangsungan hutan di sekitar desa mereka. Fenomena itu juga ikut memperkuat peran perempuan adat yang merupakan penjaga hutan abadi.

Hal itu seperti dikatakan oleh  Syukur Umar, Profesor ilmu ekonomi sumber daya hutan di Universitas Tadulako dalam bukunya yang berjudul “Agroforest Pampa (2022)”. Dalam bukunya itu, ia menemukan bagaimana praktek pengelolaan lahan dan hutan di pampa membentuk kebun hutan (forest garden), salah satu bentuk agroforestri yang menggabungkan tujuan pertanian dengan perlindungan hutan.

Syukur Umar bilang, pampa milik Perempuan Adat Moa memperlihatkan unsur-unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan rumput. Secara fisik tampak seperti hutan alam, termasuk kehidupan didalamnya. Namun, ketika melihat langsung, wilayah kaum perempuan moa ini merupakan kebun yang menyerupai hutan. Olehnya, ia menyebutnya sebagai agroforestry “pampa”.

“Agroforestry pampa miliki Perempuan Adat Moa itu menjadi jaring pengaman (safety net) setiap rumah tangga. Apalagi, mereka tinggal di sekitar TNLL,” kata Syukur Umar kepada Mongabay

Diketahui, Desa Moa memang salah satu desa terakhir di Kecamatan Kulawi Selatan yang berada di ujung selatan Kabupaten Sigi. Desa ini dikelilingi kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dengan luas 215.733,70 hektar yang memiliki berbagai keanekaragam hayati yang cukup tinggi, hingga berbagai spesies endemik sulawesi yang dilindungi.

Jaraknya, sekitar 24 km dari Gimpu, ibu kota kecamatan Kulawi Selatan, dan 120 km dari pusat Kota Palu. Dari Gimpu, modal transportasi yang dapat digunakan hanya sepeda motor dengan perjalanan sekitar sekitar tiga jam menyusuri jalan setapak di tepi jurang terjal di pinggiran sungai lariang-sungai terpanjang di Sulawesi.

Dengan kondisi itu, kata Syukur Umar, agroforestry pampa menjadi solusi terbaik bagi perempuan adat moa dalam menjaga hutan yang ada di sekitar desa mereka. Terlebih lagi, katanya, agroforest-pampa memiliki sifat agroforestri yang memadukan antara pertanian dan kehutanan yang saling melengkapi.

“Agroforest pampa karya Perempuan Adat Moa ini merupakan teknologi tradisional yang dilakukan secara turun temurun dan terlepas dari intervensi ilmuwan dan teknokrat. Ini yang membuat saya tertarik menulis soal Agroforest pampa ini,” jelasnya

Menurutnya, Agroforest pampa memiliki potensi strategis sebagai teknologi yang berakar pada masyarakat adat. Terlebih lagi, berdasarkan temuannya, agroforestri pampa dapat secara efektif digunakan dalam pengelolaan batas kawasan hutan atau sebagai teknologi daerah penyangga kawasan hutan dan taman nasional.

Lebih menarik lagi, kata Syukur Umar, agroforestri pampa yang lahir dari kreativitas berkebudayaan lokal ini memiliki nilai penerimaan sosial yang jadi kekuatan tambahannya. Selain itu, dengan potensi ekonominya, akan dapat menjadi sumber pendapatan dan memenuhi kebutuhan Masyarakat Adat Moa untuk kebutuhan sehari-hari.

“Jadi kita bisa mengatakan, Perempuan Adat Moa menjaga hutan dengan Agroforestri Pampa,” ujarnya

Perempuan Adat Moa bersiap ke kebun di pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa bersiap ke kebun di pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Bagi Masyarakat Adat Moa, hutan merupakan urat nadi dan menjadi sumber kehidupan turun temurun sejak dari nenek moyangnya. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural yang kuat terhadap hutan, dengan kata lain hutan adalah bagian integral dari kehidupan masyarakatnya.

Hampir seluruh sumber daya di hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan orang Moa. Kegiatan mereka di dalam hutan pun sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu sebelum adanya negara.

Desmon Mantaili, Program Manager Karsa mengatakan, Perempuan Ada Moa memiliki peran yang sangat krusial dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa Moa. Ia bilang, mereka menjadi salah satu kelompok yang memiliki legitimasi sosiologi dan kultural yang kuat dalam pelestarian lingkungan.

“Mereka pun kerap menjadi orang yang pertama melakukan penolakan jika ada hal yang mencoba merusak hutan yang ada di sekitar desa mereka. Jika dibandingkan, sifat kontrol Perempuan Adat Moa lebih tinggi dari petugas taman nasional,” kata Desmon Mantaili kepada Mongabay

Lebih dari satu dekade, Desmon terlibat langsung dalam pendampingan pengelolaan sumber daya alam di Desa Moa atas dukungan Kemitraan-Partnership. Selama itu, Ia melihat bagaimana Perempuan Adat Moa menjadi kelompok terdepan menjaga hutan dengan praktik agroforestri pampa.

Desmon bilang, agroforestri pampa adalah satu kesatuan ekosistem yang benar-benar tidak bisa dipisahkan dengan Perempuan Adat Moa. Hubungan ini mencakup aspek ekonomi dan ekologis serta spiritual dan budaya. Dengan begitu, katanya, Perempuan Adat Moa sejatinya merupakan penjaga hutan abadi.

“Dengan adanya agroforestri pampa, mereka (Perempuan Adat Moa) memiliki pengetahuan dan keterampilan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan,” jelas Desmon

Desmon mengaku sangat beruntung dan senang mendampingi masyarakat adat yang sudah memiliki kreativitas berkebudayaan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Apalagi, katanya, praktik ini dari turun temurun dijaga dengan baik hingga kini.

Ia bilang, dari pendampingan yang dilakukannya, pihaknya justru belajar banyak dari Masyarakat Adat Moa, khusus kaum perempuan yang melakukan praktik pertanian berkelanjutan dengan konsep pampa.

Menurutnya, praktek agroforestri pampa milik Perempuan Adat Moa ini bisa diadopsi oleh masyarakat lainnya yang tinggal berdampingan dengan kawasan hutan atau kawasan konservasi. Katanya, praktik itu sangat memberikan dampak positif dalam pelestarian lingkungan.

“Agroforestri pampa, cara Perempuan Adat Moa benar-benar menjaga hutan mereka,” pungkasnya.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.