- Frasa “hak-hak tradisional,” yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca-amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang sangat penting bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
- Rina Mardiana, akademisi dari IPB University, dengan tegas menyatakan, RUU Masyarakat Adat adalah wujud nyata dari amanat konstitusi yang menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Erwin, yang mewakili Perkumpulan HuMa, mengungkapkan bahwa berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa frasa “hak tradisional” dimaksudkan untuk memberikan ruang yang fleksibel dalam interpretasi.
- Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat adat akan terus terpinggirkan dan tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai. Pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk mewujudkan masyarakat adat.
Dalam semangat memperjuangkan keadilan konstitusional dan perlindungan yang komprehensif bagi masyarakat adat di Indonesia, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengadakan Diskusi Publik yang bertajuk “Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya dalam Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat.”
Kegiatan ini tidak hanya menjadi ajang untuk menggali pemahaman lebih dalam mengenai hak-hak tradisional yang dijamin dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, tetapi juga merupakan forum penting untuk menegaskan perlunya kehadiran payung hukum yang melindungi eksistensi masyarakat adat Indonesia di tingkat nasional.
Diskusi ini lahir dari keprihatinan yang mendalam terhadap ketidakjelasan definisi hukum yang mengatur “hak-hak tradisional,” yang hingga kini belum mendapatkan penjabaran yang jelas dan tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Frasa “hak-hak tradisional,” yang menggantikan istilah “hak asal-usul” pasca-amandemen UUD 1945, menyimpan konsekuensi hukum dan sosial yang sangat penting bagi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat.
Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut tentang definisi ini, hak-hak masyarakat adat tetap berada dalam ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan dan keberlanjutan hidup mereka.
Baca juga: Masyarakat Adat Masih Sulit Diakui dan Lindungi Negara
Rina Mardiana, akademisi dari IPB University, dengan tegas menyatakan, RUU Masyarakat Adat adalah wujud nyata dari amanat konstitusi yang menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Rina, tanpa adanya undang-undang yang secara khusus mengatur hal ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat tetap bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rentan menimbulkan ketegangan serta konflik.
Rina menambahkan bahwa masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki hubungan historis, budaya, dan sosial yang erat dengan wilayah tertentu, serta memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.
“Mereka berhak mengatur diri sendiri, memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta melestarikan budaya mereka yang telah diwariskan secara turun temurun,” kata Rina
Rina menekankan bahwa masyarakat adat bukanlah bagian dari pecahan kerajaan atau eks-swapraja, melainkan kelompok otonom yang memiliki hak yang tak terpisahkan dari tanah air mereka.

Lebih lanjut, Erwin, yang mewakili Perkumpulan HuMa dan juga menjadi bagian dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, mengungkapkan bahwa berdasarkan risalah sidang perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa frasa “hak tradisional” dimaksudkan untuk memberikan ruang yang fleksibel dalam interpretasi.
“Karena hingga akhir pengesahan Pasal 18B ayat (2), ruang lingkup hak-hak tradisional belum sepenuhnya disepakati secara rinci,” kata Erwin.
Menurut Erwin, salah satu referensi yang dapat digunakan untuk merumuskan hak-hak masyarakat adat dalam RUU Masyarakat Adat adalah melalui pemahaman atas maksud dari frasa tersebut, atau yang dikenal dengan istilah original intent.
Di samping itu, situasi-situasi yang dihadapi masyarakat adat dan norma-norma yang sudah berlaku di lapangan juga harus menjadi dasar pertimbangan penting dalam penyusunan undang-undang ini.
“UU Masyarakat Adat harus memperjelas hak-hak yang melekat pada masyarakat adat, memastikan bahwa hak-hak tersebut adalah hak asasi manusia (HAM), dan menempatkan negara dalam posisi bertanggung jawab untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak tersebut,” jelas Erwin dengan penuh keyakinan.
Baca juga: Masyarakat Adat Kunci Penting Kedaulatan Pangan
Dalam konteks ini, urgensi untuk segera disahkannya RUU Masyarakat Adat semakin jelas. Realitas yang terjadi di lapangan memberikan gambaran yang sangat konkret tentang ketidakadilan yang dihadapi masyarakat adat.
Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, masyarakat adat menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah hilangnya akses terhadap sumber daya agraria yang sangat vital bagi kehidupan mereka. Hal ini terjadi karena ketidakjelasan payung hukum yang melindungi hak-hak masyarakat adat.
Triawan Umbu Uli Mekahati, seorang perwakilan dari Koppesda Sumba, menambahkan, “Kami sudah berusaha melakukan berbagai upaya agar kedudukan masyarakat adat mendapat perlindungan dan pengakuan yang utuh. Namun, tanpa dukungan regulasi nasional yang jelas, kami seringkali dianggap sebagai gangguan bagi pembangunan, padahal hak-hak kami diabaikan.”
Umbu Tri, sapaan akrabnya, juga menekankan bahwa masyarakat adat di Sumba Timur memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada kearifan lokal dan berkelanjutan.
Mereka, katanya, mengelola tanah dan hutan melalui sistem kelembagaan adat, di mana pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah adat yang melibatkan semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda.

“Proses ini bertujuan untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan dan memastikan kelestarian alam untuk generasi yang akan datang,” ucapnya.
Di sisi lain, masyarakat adat di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, juga merasakan urgensi yang sama. Wilayah adat mereka sudah sejak lama menjadi sumber kehidupan yang memberikan jaminan atas kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, air bersih, serta obat-obatan.
Bagi mereka, wilayah adat bukan hanya tempat tinggal, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas mereka sebagai masyarakat adat. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Harnilis, seorang tokoh adat dari Meratus.
“Kami mengelola sumber daya alam dengan prinsip gotong royong yang melibatkan seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki, perempuan, tua, maupun muda. Tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya, semuanya memiliki peran yang sama besar dalam menjaga keberlanjutan alam dan kehidupan kami.”
Harnilis juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait rencana pemerintah untuk menjadikan wilayah adat mereka sebagai Taman Nasional atau kawasan konservasi. Ia dengan tegas menolak rencana tersebut, karena hal itu akan mengancam hak-hak tradisional masyarakat adat yang telah hidup berdampingan dengan alam selama berabad-abad.
Baca juga: Menanti Tindakan Nyata DPR dan Pemerintah untuk Masyarakat Adat
“Hutan ini bukan hanya tempat tinggal kami, tetapi bagian dari hidup kami. Jika hutan ini diambil dari kami, maka kami akan kehilangan segalanya—hidup kami, identitas kami, dan bahkan masa depan kami,” ujar Harnilis dengan penuh emosi.
Penting untuk dicatat bahwa hak-hak tradisional yang dijamin dalam UUD 1945 merupakan mandat konstitusional yang tidak bisa diabaikan. Keberadaan masyarakat adat sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia harus diakui secara hukum, dan negara wajib hadir untuk melindungi hak-hak mereka.
Tanpa payung hukum yang jelas, masyarakat adat akan terus terpinggirkan dan tidak akan mendapatkan perlindungan yang memadai. Pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah penting untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat adat.
Jika negara gagal untuk segera mengesahkan undang-undang ini, maka Indonesia akan terus mengabaikan amanat konstitusi untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali.
Pemenuhan hak-hak tradisional harus diwujudkan dalam bentuk pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang konkret dan efektif, yang dapat memastikan perlindungan, pemberdayaan, dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Leave a Reply
View Comments