Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) pada tahun 2025, agar hak-hak Masyarakat Adat dapat diakui dan dilindungi secara lebih efektif.
Saat ini, RUU Masyarakat Adat telah dimasukkan kembali dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025 dan dalam Prolegnas lima tahunan yang diusulkan DPR RI. Namun, dalam daftar tersebut, frasa yang digunakan masih merujuk pada “RUU Masyarakat Hukum Adat.”
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendorong penggunaan frasa Masyarakat Adat untuk mengakomodasi nomenklatur Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional dalam konstitusi, sekaligus memastikan adanya kemajuan yang nyata dalam upaya pengesahannya.
Veni Siregar, Senior Kampanye Kaoem Telapak, menegaskan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan momen penting bagi DPR RI dan Pemerintah Prabowo Subianto untuk menunjukkan keberpihakan mereka terhadap Masyarakat Adat.
“Pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat adalah tanggung jawab negara untuk memastikan keberlanjutan hidup dan kepastian hukum bagi mereka,” kata Veni Siregar
Ia bilang, DPR RI, khususnya Badan Legislasi dan delapan Fraksi Partai Politik, harus mengambil langkah strategis untuk terus membangun dialog konstruktif dengan Masyarakat Adat, agar Rancangan Undang-Undang yang dihasilkan mampu menjawab persoalan yang mereka hadapi.
“Perlindungan hak-hak Masyarakat Adat di tengah kekerasan dan kriminalisasi harus menjadi prioritas. Kontribusi Masyarakat Adat dalam menjaga kelestarian lingkungan juga patut diapresiasi,” ujar Veni.
Veni juga menambahkan bahwa Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat akan terus mengawal secara intensif agar RUU ini dapat disahkan pada 2025.
Baca juga: Hak Masyarakat Adat di Era Investasi dan Kuasa Korporasi
Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyatakan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan langkah konkret untuk mewujudkan cita-cita pembentukan negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah dan memajukan kesejahteraan umum, termasuk bagi Masyarakat Adat yang selama ini termarjinalkan.
“Pengesahan RUU Masyarakat Adat akan memberikan kepastian hukum serta menciptakan investasi yang berkeadilan bagi semua pihak. Undang-Undang Masyarakat Adat adalah ‘jalan pulang’ untuk meneguhkan kebangsaan dan Ke-Indonesiaan yang beragam,” kata Arman.
Arman juga memaparkan data dari AMAN yang menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir telah terjadi 687 konflik agraria di wilayah adat, yang mencakup lahan seluas 11,07 juta hektar. Konflik-konflik ini tidak hanya merampas tanah ulayat, tetapi juga menyebabkan 925 Masyarakat Adat menjadi korban kriminalisasi, dengan 60 orang di antaranya mengalami kekerasan oleh aparat negara, bahkan satu orang meninggal dunia.
“Perampasan tanah ulayat sering kali terjadi melalui proyek-proyek besar yang dilaksanakan tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai, serta mengabaikan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa/FPIC),” tambah Arman.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, yang terdiri dari 35 organisasi masyarakat sipil, menegaskan bahwa RUU ini merupakan kesempatan besar untuk memperbaiki ketidakadilan yang selama ini dialami oleh Masyarakat Adat.
Selain itu, RUU ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang komprehensif, termasuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah adat dan hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan identitas Masyarakat Adat.
Juandi Gultom, dari Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menegaskan dukungan PGI terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat. Juandi menyatakan bahwa Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan pemilik sah negeri ini, namun ironisnya mereka justru mengalami pengucilan oleh negara.
“Masyarakat Adat adalah pemilik awal dan sah dari negara ini, namun mereka dikucilkan oleh kebijakan negara saat ini,” ujarnya.
Baca juga: Pengakuan Wilayah Masyarakat Adat di Indonesia Masih Lamban
Lebih lanjut, Juandi menambahkan bahwa PGI aktif melakukan advokasi untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat. Kantor PGI bahkan menjadi rumah bagi berbagai pengaduan dan permohonan bantuan yang diajukan oleh Masyarakat Adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Ermelina Singereta, Manajer Bidang Advokasi Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), menegaskan bahwa pengabaian negara terhadap perlindungan hukum bagi Masyarakat Adat, khususnya perempuan, anak, dan kelompok rentan dalam mempertahankan ruang hidup mereka, adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang nyata.
“Banyak Perempuan Adat harus berhadapan dengan hukum yang tidak adil. Mereka ditangkap, diadili, bahkan dihukum karena mempertahankan hak dan identitas mereka sebagai Perempuan Adat. Bagi Perempuan Adat, hukum seperti fatamorgana: terlihat jelas tetapi sulit dijangkau,” ujar Ermelina.
Ermelina menekankan bahwa perlindungan hak Masyarakat Adat tidak hanya penting dari aspek keadilan, tetapi juga memiliki peran kunci dalam melestarikan keanekaragaman hayati global. Wilayah adat merupakan benteng terakhir bagi keanekaragaman hayati dunia, di mana diperkirakan 80% keanekaragaman hayati global tersimpan di dalamnya.
“Dengan pengetahuan tradisional yang diwariskan selama ribuan tahun, Masyarakat Adat telah menjadi penjaga alam dan ekosistem yang tak tergantikan,” ujarnya
Lebih lanjut, Ermelina menjelaskan bahwa keterlibatan Masyarakat Adat dalam pengelolaan wilayah adat berkontribusi besar terhadap upaya global untuk melestarikan lingkungan, mitigasi perubahan iklim, dan perlindungan ekosistem.
“Di tengah tantangan lingkungan yang semakin kompleks, peran Pemuda Adat menjadi sangat penting sebagai generasi penerus yang akan menjaga warisan leluhur,” jelasnya.
Hero Aprila, Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menegaskan bahwa keberadaan Undang-Undang Masyarakat Adat sangat penting untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh Pemuda Adat di berbagai sektor, mulai dari politik, hukum, sosial, budaya, hingga ekonomi dan pendidikan adat.
Sebagai generasi penerus, kata Hero, Pemuda Adat memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan wilayah adat yang lestari dan bebas dari diskriminasi serta intimidasi. Ketiadaan UU Masyarakat Adat hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan yang sudah berlangsung lama.
“Bagi kami, UU Masyarakat Adat adalah solusi nyata untuk menjawab tantangan yang kami hadapi,” kata Hero.
Leave a Reply
View Comments