- Masyarakat adat di nusantara ini masih hidup dalam was-was dan ketidakpastian. Hak-hak mereka termasuk soal penguasaan hutan maupun lahan masih minim pengakuan dan perlindungan.
- Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per 18 Maret 2024, terdapat 28,2 juta hektar dari 1.452 peta wilayah adat dari yang telah teregistrasi. Dari jumlah itu, hanya 13,8% atau 3.939.106 hektar ada penetapan dari pemerintah daerah.
- Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini baru menetapkan hutan adat sebanyak 131 komunitas dengan total 244.195 hektar. Padahal, potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistrasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektar.
- Sepanjang 2023, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, setidaknya ada 2.578.073 hektar wilayah adat terampas oleh negara dan korporasi. Sebagian besar penguasaan wilayah adat disertai kekerasan dan kriminalisasi.
Masyarakat Adat di Indonesia terus mendapatkan tantangan yang serius atas pengakuan wilayah adatnya. Alih-alih diakui, pemerintah daerah hingga pemerintah pusat seperti hanya melihat sebelah mata kepada mereka yang sebenarnya berperan penting dalam melestarikan dan mengelola sumber daya alam di Indonesia. Pasalnya, hingga kini, kelompok ini masih terus termarginalkan, bahkan tergerus dari tanah leluhur mereka.
Misalnya, pada pekan lalu, Masayrakat adat Pamaluan Penajam Paser Utara hanya diberikan waktu 7 hari untuk pindah dari kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN). Menurut Otoritas IKN, keberadaan mereka tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) IKN. Padahal, Masyarakat Adat Pamaluan ini sudah lama tinggal menetap di kawasan IKN sebelum rencana pemindahan ibu kota.
Apa yang dialami Masyarakat Adat Pamaluan ini adalah hanya salah satu dari sekian banyak kasus Masyarakat Ada di Indonesia yang tanah ulayatnya dirampas negara dengan dalil berbagai kepentingan. Bahkan, sepanjang tahun 2023, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat setidaknya terdapat 2.578.073 hektar wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi atas nama investasi.
Mirisnya lagi, sebagian besar perampasan wilayah adat tersebut disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban, dan 204 orang diantaranya luka-luka, 1 orang ditembak sampai meninggal dunia, dan kurang lebih 100 rumah warga Masyarakat Adat dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara.
“Sejak negara ini merdeka, masyarakat ada itu terus berada di suatu situasi ketakutan karena ruang hidup mereka dirampas negara dan korporasi atas nama investasi dan konservasi,” kata Erasmus Cahyadi dari AMAN, pada konferensi pers yang diselenggarakan oleh Badan Registrasi Wilayah Adat, pada Selasa 19 Maret 2024 lalu.
Menurut catatan AMAN tahun 2023 menyebutkan, perampasan wilayah adat oleh negara itu disebabkan oleh Political will pemerintahan yang sangat rendah. Misalnya, penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN dan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan sumber daya alam mengandung unsur-unsur “penyangkalan” yang kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Dimana, negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat- tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan.
Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per tanggal 18 Maret 2024, terdapat 28,2 juta hektar dari 1.452 peta wilayah adat dari seluruh nusantara yang telah teregistrasi di BRWA. Dari jumlah itu, hanya 13,8 persen atau sebesar 3.939.106 hektar yang baru ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, proses pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah ini masih cukup lambat. Pasalnya, BRWA menemukan, kerja-kerja advokasi yang dilakukan oleh masyarakat adat untuk mendapatkan wilayah adat sangat kuat di lapangan. Pihaknya pun secara signifikan menaikkan status kelengkapan data wilayah adat dari tercatat menjadi registrasi.
Hal itu menunjukan, kemauan politik, program kerja, serta anggaran pemerintah daerah untuk menyelenggarakan proses rekognisi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat ini masih belum cukup signifikan. Dimana, ada 934 wilayah adat dengan luas 21 juta hektar berada di wilayah kabupaten yang sudah ada peraturan daerah (Perda).
Namun, kata Kasmita, Perda itu sifatnya hanya tata cara bagaimana mengakui masyarakat adat, atau belum ada penetapan. Ia bilang, untuk melakukan penetapan itu harus ada verifikasi dari panitia hukum adat yang harus dibentuk di setiap pemerintah daerah.
Meski begitu, katanya, panitia hukum adat harus mengetahui cara melakukan verifikasi wilayah adat yang diusulkan dan semua itu harus membutuhkan anggaran yang cukup besar. Sementara, katanya, pemerintah daerah, baik di kabupaten dan provinsi mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pengakuan wilayah adat itu sangat sedikit.
Kasmita bilang, kondisi itu yang memicu kesenjangan yang begitu besar antara wilayah adat yang sudah pengaturannya dengan yang sudah ditetapkan. Terlebih lagi, sudah banyak wilayah adat tumpeng tindih dengan kawasan hutan serta perizinan industri kehutanan, pertambangan, hingga perkebunan.
Pemerintah daerah pun enggan ini masuk ke ruang tersebut karena bisa menimbulkan persoalan buat mereka. Kasmita bilang, perlu upaya-upaya yang lebih kuat lagi dari pemerintah daerah untuk melakukan proses-proses verifikasi masyarakat adat dan wilayah adatnya.
“Jadi ada hambatan anggaran ada hambatan kemauan politik dari kepala daerah dengan perangkatnya yang kurang. Jadi tak heran, masyarakat adat setiap daerah kerap mengalami konflik agraria,” jelasnya
Sementara itu, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga kini baru menetapkan hutan adat di 131 komunitas dengan total luas mencapai 244.195 hektar. Padahal potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistrasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektar.
Dari angka-angka tersebut bisa dilihat terdapat gap yang sangat lebar antara capaian pengakuan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Daerah yang cukup cepat, sementara pemerintah pusat berjalan dengan sangat lamban.
Padahal sejak pada 2014, Presiden Joko Widodo mengkampanyekan akan mengalokasikan penguasaan lahan kepada rakyat berupa perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria seluas 5 juta hektar. Namun, data-data dari BRWA menunjukan, janji Jokowi itu bagai pungguk merindukan bulan. Kasmita bilang, KLHK harus segera melakukan upaya percepatan verifikasi hutan adat yang sudah diusulkan.
“Sebenarnya sudah cukup banyak data-data usulan hutan adat yang masuk ke KLHK, namun belum secara cepat ditindaklanjuti untuk proses verifikasi hutan adat di daerah,” kata Kasmita Widodo, pada konferensi pers yang diselenggarakan oleh BRWA, pada Selasa 19 Maret 2024 lalu.
Sebenarnya, kata Erasmus Cahyadi, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil sangat siap untuk menuntut pengakuan wilayah adat mereka. Namun, sisi lain komitmen negara tak kunjung berubah, atau capaiannya sangat kecil. Sebaliknya, wilayah adat itu justru secara parsial berdasarkan sektor masing-masing kementerian yang oleh hukum diberi wewenang untuk mengatur sumber daya alam.
Erasmus bilang, jalan yang rumit dan panjang inilah yang menyebabkan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak Masyarakat Adat atas hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas wilayah adat menjadi amat sulit dicapai. Sehingga wilayah-wilayah adat dapat dengan mudah dirampas dan selalu berakhir pada kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat.
Sebetulnya, kata Erasmus, pihaknya menyadari bahwa satu-satunya cara mengakhiri persoalan-persoalan sektoralisme dan ketidak adanya komitmen yang kuat dari pemerintah itu adalah dengan melahirkan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat (UUMA).
Namun, kurang lebih 15 tahun sejak rencana UUMA itu diusulkan pada tahun 2010, hingga kini belum ada kejelasan. Akibatnya tidak ada kelembagaan dan program di tingkat nasional yang dapat menggerakkan seluruh proses perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.
Alhasil, pada oktober 2023 lalu, AMAN dan Komunitas Masyarakat Adat Adat telah mengajukan gugatan kepada Presiden dan DPR RI karena tidak melaksanakan mandat konstitusi. Pasalnya, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat secara turun-temurun sebelum kemerdekaan Indonesia.
Hingga saat ini pun belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat. Sebaliknya, pemerintah justru mengeluarkan berbagai undang-undang melegitimasi perampasan wilayah adat dan kekayaan yang berada di dalamnya. Akibatnya, Masyarakat Adat kehilangan wilayah adatnya.
Sebenarnya, praktek tidak berpihaknya negara terhadap masyarakat adat ini telah terjadi sejak orde baru. Hal itu terbukti berdasarkan laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara yang berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi” (2022).
Dalam laporan itu menemukan bagaimana industri ekstraktif diberikan ruang yang seluas-luasnya menguasai wilayah Indonesia dengan berbagai bisnis mereka yang turut merusak lingkungan, merampas lahan masyarakat, memicu konflik agraria, memperparah kondisi bumi hingga memicu krisis iklim.
Misalnya, sejak Presiden Republik Indonesia Soeharto berkuasa selama 32 tahun, ada sekitar 78 juta hektare hutan dan lahan diberikan sepanjang rezimnya kepada korporasi, terutama setelah diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968. Pemberian penguasaan hutan dan lahan itu berupa izin kehutanan, sawit, maupun tambang.
Pada zaman Habibie, Gus Dur, dan Megawati yang berkuasa 2-3 tahun telah memberikan penguasaan lahan dengan total 6 juta hektare kepada korporasi.
Namun, pada rezim Megawati, ada 13 korporasi diizinkan menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektar (dari total luas izin 6.257.640.49 hektar), setelah dirinya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004 atas Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Selain itu, pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang selama 10 tahun berkuasa menjadi Presiden Indonesia yang paling banyak menyerahkan penguasaan lahan seluas 55 juta hektare kepada korporasi, pasca reformasi.
Sedangkan, Pada zaman Joko Widodo yang berjalan kurang lebih 9 tahun sejak 2014, telah menyerahkan lahan ke korporasi mencapai 8 juta hektar. Pemberian lahan ke korporasi diprediksi akan lebih masif terjadi, terlebih saat disahkannya UU Cipta Kerja.
Dari total izin yang diberikan kepada korporasi itu, ada 19 juta hektar diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektar kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektar untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan untuk perkebunan sawit. Artinya, yang diberikan kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektare.
Di sisi lain, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektare. Dengan demikian, 92% alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8% kepada rakyat, itupun dibagi-bagi menjadi Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Kemitraan Kehutanan, Hutan Tanaman Rakyat, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, dan Hutan Adat. Hal ini memperlihatkan begitu jomplangnya perlakuan korporasi dengan masyarakat adat.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengungkapkan, Masyarakat Adat saat ini sedang dalam kondisi kritis karena imbas dari kegagalan Presiden dan DPR RI memenuhi mandat konstitusi untuk melindungi dan memajukan hak-hak Masyarakat Adat.
Rukka bilang, menurut catatan AMAN, dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi perampasan 8,5 juta hektar wilayah adat dan 678 orang Masyarakat Adat mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Akibatnya, AMAN dan delapan perwakilan komunitas adat berjuang untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
“Saat ini, kita berhadap-hadapan dengan seperangkat undang-undang dan kebijakan yang dibuat untuk memberikan karpet merah bagi perusahaan untuk merampas wilayah adat kita. Ini kerugian besar buat Masyarakat Adat,” kata Rukka Sombolinggi seperti dikutip melalui website AMAN.
Data BRWA menunjukan, dari analisis tutupan hutan di 1.425 wilayah adat, ada sekitar 6,4 juta hektar berada di wilayah izin konsesi. Izin-izin itu terdiri dari Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Hutan Alam (PBPH HA), Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Hutan Tanaman (PBPH HT), Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan Hak Guna Usaha (HGU) milik korporasi.
Kasmita bilang, alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat masyarakat adat, justru pemerintah akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP Nomor 18/2021. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih menerjemahkan hak menguasai negara secara eksesif. Terlebih lagi, pemerintah Indonesia belum membuat atau menyiapkan satu infrastruktur pendaftaran wilayah adat.
Padahal, kata Kasmita, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 35 telah menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat. Kebijakan negara menerbitkan HPL di atas wilayah adat justru berpotensi hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yg telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.
Kasmita menjelaskan, masyarakat adat memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya. Mereka juga menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan yang tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim hingga penyelamatan keanekaragaman hayati.
“Ironisnya, hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhurnya dicoba diputuskan dengan kepentingan investasi. Hal ini akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia,” kata Kasmita Widodo
Tak hanya itu, dalam catatan AMAN tahun 2023 menemukan pada isu krisis iklim, pemerintah Indonesia tidak pernah memandang Masyarakat Adat sebagai aktor kunci dalam aksi mitigasi dan adaptasi. Hal ini tercermin di dalam Perpres No 98/2021 Tentang Nilai Ekonomi Karbon yang dibentuk untuk mengoperasionalkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Perubahan Iklim.
Hal itu juga tercermin di Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim dengan meletakkan karbon sebagai komoditas dagang yang hanya akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar yang selama ini terbukti sebagai perusak hutan dan pencipta polusi.
Bahkan Peraturan OJK No 14/2023 Tentang Bursa Karbon secara tegas telah menutup jalan Masyarakat Adat untuk dapat menjadi penyelenggara bursa karbon. Pasal 3 Peraturan OJK ini mewajibkan entitas yang dapat menjadi penyelenggara bursa karbon harus memiliki modal Rp. 100 miliar dan bukan pinjaman.
Dengan begitu, ancaman terhadap masyarakat adat dan wilayah adat berpotensi masih terus berlangsung di masa transisi pemerintahan maupun pada masa pemerintahan mendatang. Ketiadaan UU Masyarakat Adat, masifnya investasi, dan implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah menjadi kombinasi yang sempurna terhadap perampasan wilayah adat serta penyingkiran masyarakat adat atas ruang hidupnya.
Kasmita bilang, kerumitan yang dialami masyarakat adat dalam menghadapi kondisi politik kebijakan daerah dan birokrasi pengakuan wilayah adat, hak-hak atas tanah, hutan serta wilayah pesisir laut perlu segera dihentikan.
“Pemerintah pusat dan daerah perlu segera melakukan terobosan dan kemudahan bagi masyarakat adat melakukan pengakuan hak-hak masyarakat adat,” tegas Kasmita Widodo.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments