Korea Selatan Akhirnya Mengurangi Subsidi Biomassa

Wood Pellet Yang Diproduksi (Foto: Forest Watch Indonesia)
Wood Pellet Yang Diproduksi (Foto: Forest Watch Indonesia)
  • Meningkatnya bukti emisi karbon dan penggundulan hutan telah mendorong Korea Selatan untuk mengakhiri subsidi energi terbarukan untuk pembangkit listrik biomassa baru dan fasilitas pembakaran bersama milik negara mulai Januari 2025, dengan pengurangan bertahap untuk pembangkit listrik yang sudah ada. 
  • Kebijakan baru akan menyusutkan kredit energi terbarukan yang tersedia untuk pelet kayu impor, mengirimkan sinyal ke seluruh Asia bahwa Korea Selatan akan mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar hutan yang terkait dengan penggundulan hutan tropis. 

18 Desember 2024 — Korea Selatan hari ini mengumumkan reformasi besar dukungan pemerintah terhadap energi biomassa, dengan mengurangi subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa. Langkah ini merupakan Inisiatif bersama baru Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Dinas Kehutanan Korea, dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Reformasi ini ditulis dalam semua dokumen berjudul “Rencana untuk Meningkatkan Struktur Pasar Bahan Bakar dan Tenaga Biomassa,” berupaya untuk mengatasi kritik domestik dan internasional terhadap biomassa atas dampaknya terhadap lingkungan.

Langkah ini juga dipandang sebagai pembatalan kebijakan terbesar semacam ini di Asia, yang siap membatasi pertumbuhan industri biomassa yang cepat dan tidak terkendali di kawasan tersebut.

Langkah ini datang setelah meningkatnya kekhawatiran pada 2024 mengenai dampak perubahan iklim dan ketergantungan Korea Selatan yang besar pada impor biomassa. “Berbagai masalah telah muncul seiring perluasan pasar biomassa,” ujar MOTIE dalam pernyataannya.

“Dampak subsidi harga Sertifikat Energi Terbarukan (REC) telah menyebabkan persaingan antara bahan baku untuk pembangkit listrik dan bahan baku untuk daur ulang, sementara kritik mengenai deforestasi dan emisi karbon yang disebabkan oleh pembangkit listrik biomassa terus meningkat.” Sambung MOTIE.

Baca juga: Ekspor Wood Pellet di Gorontalo Diduga Ilegal

Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Korea Selatan berencana mengurangi insentif REC—kredit yang dikeluarkan per megawatt listrik terbarukan yang dihasilkan—yang selama ini lebih menguntungkan biomassa dibandingkan sumber energi lain seperti tenaga surya dan angin.

Saat ini, pabrik biomassa yang menggunakan kayu dari hutan yang masih berdiri menerima multiplikator REC yang lebih tinggi dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya, yang menghambat transisi energi bersih Korea Selatan.

Adapun reformasi mengurangi subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa.yang dibuat oleh Pemerintah Korea Selatan setidaknya ada empat poin penting yakni.

    • Pembangkit listrik biomassa baru: Semua REC untuk fasilitas biomassa baru akan berakhir, sehingga tidak ada lagi proyek biomassa kayu tambahan yang memasuki pasar.
    • Pembangkit listrik milik negara: REC untuk enam pembangkit listrik tenaga batu bara dan biomassa milik negara akan berakhir pada Januari 2025. Bobot untuk tiga pembangkit listrik biomassa khusus milik negara akan dikurangi secara bertahap dari 1,5 menjadi 0,5 pada tahun 2027.
    • Pembangkit listrik milik swasta: Pembobotan untuk enam pembangkit listrik co-firing akan dihapuskan secara bertahap selama dekade berikutnya, sementara pembobotan saat ini sebesar 1,5 akan dikurangi menjadi 0,5 selama 15 tahun ke depan untuk 12 pembangkit listrik khusus.
    • Bahan bakar ‘biomassa hutan yang tidak terpakai’ dalam negeri: Pembobotan REC untuk pelet dan serpihan yang terbuat dari apa yang disebut residu kehutanan akan tetap tidak berubah pada 1,5 untuk pembakaran bersama dan 2,0 untuk pembakaran khusus.

Keputusan Korea Selatan untuk memangkas subsidi secara substansial untuk semua biomassa kecuali bahan baku domestik ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Pengurangan subsidi biomassa impor diharapkan akan berdampak di seluruh Asia, khususnya di negara-negara dengan industri biomassa yang sedang berkembang seperti Vietnam dan Indonesia .

Pasalnya, sebagian besar ekspor pelet kayu dari Asia Tenggara ditujukan ke Korea Selatan dan Jepang. Saat ini, Korea Selatan mendapatkan 71% pelet kayu impornya dari Asia Tenggara, sementara Jepang diperkirakan akan menjadi importir pelet kayu terbesar di dunia pada 2030.

Baca juga: Hutan Gorontalo Terancam Deforestasi di Tengah Proyek Transisi Energi

Vietnam, sebagai produsen pelet kayu terbesar kedua di dunia, memenuhi sebagian besar permintaan dari kedua negara, sementara Indonesia mengharuskan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk menggunakan biomassa bersama, yang berpotensi merusak lebih dari 10 juta hektar hutan.

Oleh karena itu, pembatasan subsidi Korea Selatan untuk biomassa impor merupakan langkah signifikan untuk mengurangi perannya dalam ‘mengimpor deforestasi’—yang berpotensi menjadi preseden bagi kawasan tersebut.

Namun, masih ada kekhawatiran terkait dampak kebijakan baru ini terhadap hutan domestik Korea Selatan. Analisis data pemerintah menunjukkan bahwa residu kehutanan domestik sering kali diperoleh melalui penebangan habis-habisan, yang dapat merusak hutan lebih dari 87% dari waktu.

Kritikus juga menunjuk pada garis waktu penghentian bertahap yang lambat untuk pabrik biomassa swasta, dengan alasan bahwa beberapa fasilitas akan tetap menguntungkan hingga tahun 2040-an. Para ilmuwan menekankan urgensi pemotongan emisi yang mendalam dan cepat di semua sektor, termasuk energi biomassa.

Hansae Song, Pemimpin Hutan & Penggunaan Lahan di Solutions for Our Climate (SFOC) menilai, keputusan Korea Selatan untuk mengurangi dukungan bagi jenis biomassa yang paling berbahaya—biomassa impor dan pembakaran bersama batu bara—memberikan sinyal bahwa pemerintah mulai memperhatikan biaya ekonomi dan lingkungan dari industri ini.

“Industri biomassa telah terbukti tidak layak secara finansial, membakar subsidi pemerintah dan hanya menyisakan karbon dioksida dan hutan gundul,” kata Hansae Song melalui siaran pers yang diterima.

Meskipun reformasi kementerian energi merupakan koreksi yang sudah lama tertunda, katanya, reformasi ini merupakan langkah ke arah yang benar. Ia bilang, meratakan hutan hujan di Asia Tenggara untuk bahan bakar pembangkit listrik di Asia Timur dengan cepat kehilangan pijakan.

Baca juga: Oligarki Membajak Transisi Energi di Bisnis Biomassa

“Namun, pergeseran ke arah eksploitasi hutan domestik menunjukkan bagaimana sekelompok kecil kepentingan industri terus memberikan pengaruh yang tidak proporsional, menyandera alam kita,” jelasnya

Menurutnya, pemberian jaminan dukungan terbarukan secara de facto kepada pabrik biomassa swasta hingga 15 tahun ke depan memastikan bahwa jutaan ton kayu akan tetap dibakar setiap tahunnya, mendorong krisis iklim semakin mendekati titik kritis yang tidak dapat dipulihkan.

“Kelemahan-kelemahan ini tidak akan luput dari perhatian. Oposisi publik akan terus menentang ketergantungan Asia yang berlebihan terhadap biomassa, menyelamatkan transisi energi dari solusi iklim yang salah ini,” tegasnya.

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media Forest Watch Indonesia (FWI) menilai kebijakan ini merupakan langkah baik dari Korea Selatan untuk turut serta menghentikan pengrusakan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan baku biomassa.

“Lebih dari 80% ekspor biomassa kayu dari Indonesia merupakan berasal dari kerusakan dan aktivitas penggundulan hutan, bukan dari hasil rehabilitasi,” kata Anggi Putra Prayoga.

Sebenarnya, kata Anggi, dua negara tujuan ekspor wood pellet Indonesia adalah Jepang dan Korea Selatan. Menurutnya, kedua negara ini harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan hujan tropis yang sedang berlangsung.

“Catatan FWI (2024), jika kebijakan pemanfaatan biomassa terus didukung dengan kebijakan pendanaan, ada 4,65 juta hektare hutan alam yang diproyeksikan dirusak,” pungkasnya.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.