Aktivitas transhipment BJA. (Foto: FWI)
Aktivitas transhipment BJA. (Foto: FWI)

Ekspor Wood Pellet di Gorontalo Diduga Ilegal

  • Pelet kayu, sebagai bahan baku pembangkit biomassa maupun PLTU co-fring. Permintaan pasar ekspor lumayan, antara lain ke Korea Selatan dan Jepang. Di Indonesia, Gorontalo, salah satu produsen pelet kayu. Koalisi masyarakat  sipil menilai,  pelet kayu untuk biomassa malah membabat hutan alam. Bahkan, ada dugaan pelet-pelet kayu ke Jepang dan Korel  ekspor lewat cara-cara melanggar.
  • Pemanfaatan biomassa pelet kayu sebagai sumber energi hanya menghasilkan utang emisi karena dari kerusakan hutan alam. Hutan alam, ekosistem paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman.
  • PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) merupakan perusahaan pengolahan pelet kayu berdiri pada 2020. Perusahaan ini mendapatkan bahan baku dari PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL), merupakan perusahaan perkebunan sawit yang bertransformasi menjadi HTE.
  • Bentang Alam Popayato-Paguat, kata Terry, menjadi daerah tangkapan air, habitat satwa, menjadi koridor penting biodiversitas dan berbagai spesies kunci. Ia juga menghubungkan wilayah timur dan barat Sulawesi.

Di sebuah pelabuhan, sejumlah Dump Truk terlihat laulalang. Ada yang sedang membongkar muatannya, ada pula yang sedang yang berjejer rapi di tepi jalan. Di ujung pelabuhan, tiga orang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) tengah sibuk mengikat sebuah barang diatas mobil yang berkapasitas 30 ton itu. Barang-barang itu rupanya akan dipindahkan ke salah satu kapal tongkang yang sudah siap berlabuh.

“Ini pelabuhan PT. Biomasa Jaya Abadi (BJA). Barang-barang yang dimuat ke kapal tongkang itu adalah wood pellet yang akan dikirimkan ke luar negeri,” kata seorang nelayan kepada Mongabay saat mengunjungi lokasi itu pada akhir Juli lalu.

Pelabuhan ini terletak di Desa Trikora, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. BJA yang merupakan perusahaan pengelola dan sekaligus memproduksi wood pellet, membangun pelabuhan ini sebagai terminal khusus untuk ekspor hasil produksinya.

Wood pellet yang diproduksi BJA adalah bahan bakar biomassa yang dapat dicampurkan dengan batu bara dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Proses pencampuran ini dikenal sebagai co-firing biomassa, yakni pembakaran batu bara bersama biomassa dalam satu sistem pembakaran yang sama.

Di Indonesia, wood pellet diklaim menjadi salah satu jenis bahan bakar Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan. Bahkan, PLN memandang co-firing biomassa sebagai solusi yang murah untuk menurunkan emisi sektor pembangkit listrik serta menjadi strategi menurunkan emisi karbon.

PLN menargetkan sebanyak 52 PLTU di Indonesia pada tahun 2025 akan menggunakan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi dengan porsi 5 sampai 10 persen. Wood pellet yang dibutuhkan setidaknya 8 sampai 14 juta ton per tahunnya. PLN berencana akan memenuhi kebutuhan tersebut dari hasil produksi Hutan Tanaman Energi (HTE).

Aktivitas Wood Pellet di Pindahkan di Kapal dari Pelabuhan. (Foto: FWI)
Aktivitas Wood Pellet di Pindahkan di Kapal dari Pelabuhan. (Foto: FWI)

Adapun di luar negeri, Wood pellet juga termasuk komoditas ekspor dan bukan barang yang murahan. Menurut Sistem Informasi Legalitas Kayu, rata-rata harga biomassa dalam bentuk wood pellet sebesar Rp 2.170 per-kilogram. Di Indonesia, setidaknya ada 7 industri yang melakukan ekspor wood pellet, termasuk BJA.

Dalam website resmi, BJA bermimpi menjadi pemimpin global dalam memproduksi wood pellet. Bahan bakunya didapatkan dari perusahaan sawit yang bertransformasi menjadi HTE, yakni; PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL). Kedua perusahaan ini juga berlokasi di Gorontalo dengan memiliki total wilayah dengan luas 27.353,53 hektar.

Dengan luas wilayah yang cukup besar itu, negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan tertarik berbisnis dengan BJA sebagai penyediaan wood pellet untuk pembangkit listrik skala besar mereka. Kini, BJA menempati salah satu produsen wood kayu terkemuka di Indonesia karena volume produksi dan perdagangan tahunannya tercatat yang paling besar.

BJA menyematkan label hijau pada produknya dengan memiliki komitmen keberlanjutan untuk perlindungan dan konservasi lingkungan. Perusahaan ini pun mendapatkan sertifikat Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK), dengan menegaskan komitmen terhadap standar ketat dan menjadi pilihan utama bagi mitra yang mencari solusi energi ramah lingkungan.

Namun, penelusuran yang dilakukan Mongabay pada awal Agustus 2024 menunjukkan gambaran yang berbeda. Melalui analisis citra satelit dan spasial serta data ekspor wood pellet, ditemukan indikasi adanya ketidaksesuaian antara komitmen keberlanjutan BJA dan praktik di lapangan. Aktivitas deforestasi yang dilakukan oleh BTL dan IGL, yang menyuplai bahan baku untuk BJA, diduga kuat melanggar prinsip keberlanjutan yang dijanjikan.

Penelusuran kami juga menemukan bahwa sebagian wood pellet yang diekspor oleh BJA mungkin melanggar hukum, tidak tercatat dalam sistem KLHK. Selain itu, aktivitas transhipment kapal BJA diduga dilakukan di wilayah Konservasi Perairan, yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas operasionalnya.

Wood Pellet Yang Diproduksi (Foto: Forest Watch Indonesia)
Wood Pellet Yang Diproduksi (Foto: Forest Watch Indonesia)

Membabat Hutan Alam

Biomasa Jaya Abadi adalah perusahaan pengolahan wood pellet kayu yang dirikan sejak tahun 2020. Perusahaan industri wood pellet ini mendapatkan bahan baku dari PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL) yang merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah bertransformasi menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE).

Pada 2010, BTL dan IGL mendapatkan izin lokasi dari Bupati Pohuwato, Syarif Mbuinga ketika itu berdasarkan surat keputusan Nomor 171/01/VI/2010 yang masiing-masing seluas 16.000 hektar dan 12.000 hektar untuk perkebunan sawit. BTL berlokasi di Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur dan Lemito. Sedangkan IGL berlokasi di Kecamatan Lemito, Wanggarasi.

Pada 2011, perusahaan yang terafiliasi dengan Provident Agro Group ini mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dari KLHK dengan luas 15.797,48 hektar kepada BTL dan 11.860 hektar kepada IGL. Pada Januari 2022, izin itu dicabut Presiden Jokowi karena dinilai kedua perusahaan itu tidak beroperasi di lapangan.

Namun, secara diam-diam, kedua perusahaan ini justru telah mengajukan izin penetapan hutan hak kepada KLHK pada 2020 dengan luas 15.493 hektar untuk BTL, dan 11.860 hektar untuk IGL. Pada 13 Mei 2020, KLHK pun akhirnya menyetujui usulan tersebut dengan skema hutan hak sesuai luasan yang diusulkan.

Artinya, SK pencabutan izin pelepasan kawasan hutan yang dibebankan pada BTL dan IGL tidak merubah apapun. Pada Februari 2020, kedua perusahaan ini juga telah melakukan perubahan komoditas jenis tanaman pada izin usaha perkebunan yang awalnya sawit menjadi Gamal dan Kaliandra, jenis tanaman energi yang dikenal sebagai green biomass bahan baku wood pellet.

Peta deforestasi di konsesi PT BTL dan PT IGL Kabupaten Pohuwato
Peta deforestasi di konsesi PT BTL dan PT IGL Kabupaten Pohuwato. (Sumber: FWI)

Berdasarkan analisis citra satelit dan spasial oleh Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode 2021-2023, BTL telah melakukan deforestasi sebesar 1.105 hektar hutan alam untuk dijadikan bahan baku wood pellet. Sedangkan, menurut analisis Nusantara Atlas pada Januari 2023 – Agustus 2024, IGL telah membabat hutan alam sebesar 36 hektar dengan kepentingan yang sama.

Mongabay mendatangi wilayah ini pada pertengahan Agustus 2024 lalu, untuk melihat langsung aktivitas deforestasi yang dilakukan kedua perusahaan ini. Dilokasi, kedua perusahaan ini ternyata betul memanfaatkan kayu hutan alam dengan cara land clearing atau mendeforestasi hutan di dalam konsesi mereka untuk dijadikan bahan baku wood pellet ke BJA.

Padahal, pada tahun 2019, wilayah yang dibabat oleh BTL dan IGL itu sebelumnya adalah hutan hujan tropis yang merupakan rumah berbagai spesies, termasuk yang endemik Sulawesi, seperti Julang Sulawesi, Anoa, dan Babirusa. Namun, atas nama transisi energi, semua ekosistem ini dimusnahkan untuk diubah jadi kebun Gamal dan Kaliandra, jenis tanaman yang bisa dipanen dengan waktu singkat.

Terry Repi, Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) mengatakan, wilayah Gorontalo yang memiliki nilai konservasi tinggi berada di Pohuwato, lebih tepatnya berada di kedua wilayah perusahaan yang menyuplai bahan baku wood pellet ke BJA. Dirinya juga pernah melakukan penelitian langsung di Bendang Alam Popayato-Paguat tersebut pada tahun 2021 lalu.

Terry bilang, distribusi konservasi tinggi yang ada di Pohuwato juga diakui dalam dokumen Folu Net Sink 2030 Provinsi Gorontalo yang menyebut, ada sekitar 84.566,87 hektar wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi di Pohuwato. Angka itu adalah yang terbesar dari Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Gorontalo.

Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI
Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI

Bendang Alam Popayato-Paguat, kata Terry, menjadi wilayah tangkapan air, habitat, menjadi koridor penting biodiversitas dan berbagai spesies kunci, serta menghubungkan wilayah timur dan barat Sulawesi. Ia bilang, jika ini wilayah ini hilang akibat kebun energi, akan memfrekmentasi koridor tersebut.

“Sebanyak 23 spesies mamalia di wilayah itu, dan 16 jenis diantaranya merupakan endemik, serta ada 4 jenis yang dilindungi. Ada sebanyak 175 jenis burung di wilayah itu juga, dan 41 jenis diantaranya endemik, dan 21 jenis dilindungi,” kata Terry Repi dalam diskusi yang dibuat FWI.

Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI mengatakan, apa yang dilakukan oleh BTL dan IGL ini tidak sesuai dengan jalan transisi energi yang sebenarnya. Pasalnya, produksi biomassa wood pellet menghasilkan emisi karbon dari deforestasi yang dilakukan oleh BTL dan IGL.

“Jadi yang dibuat oleh BTl dan IGL ini bukan hutan tanaman energi, tapi hutan emisi karena mereka membabat hutan alam,” kata Anggi Putra Prayoga kepada Mongabay pertengahan Agustus lalu.

Menurut Anggi, pemanfaatan biomassa wood pellet sebagai sumber energi hanya akan menghasilkan utang emisi karena berasal dari kerusakan hutan alam. Dimana, hutan alam adalah salah satu ekosistem yang paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman.

Misalnya, dalam 1 hektar hutan alam dapat menyimpan karbon sebanyak 254 ton karbon-C. Sedangkan hutan tanaman dapat menyimpan karbon hanya 107,86 ton karbon per hektar. Artinya, konversi 1 hektar hutan alam menjadi hutan tanaman melalui land clearing hanya akan menghasilkan hutang emisi karbon sebesar 146,14 ton karbon-C per hektar.

Anggi bilang, masifnya pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan akan memicu konversi hutan dan lahan secara besar-besaran. Proyek biomassa hanya akan meningkatkan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia semakin tinggi dan mendorong terjadinya deforestasi secara terencana atas nama label hijau terbarukan.

Dalam riset Trend Asia pada 2022 dengan judul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi,” menyebut, pengembangan HTE untuk memenuhi bahan baku biomassa wood pellet berpotensi menimbulkan deforestasi, paling rendah 630 ribu hektare hingga tertinggi 2,1 juta hektar. Perhitungan FWI mencatat, deforestasi terencana dari pembangunan HTE dapat mencapai 420 ribu hektar.

Sementara itu, Direktur Operasional BTL, IGL, dan BJA, Burhanuddin memprotes perusahaannya disebut melakukan deforestasi. Ia bilang, perusahaannya tidak melakukan pembabatan hutan alam, melainkan melakukan pembukaan lahan untuk membangun tanaman alam. Menurutnya, wilayah yang sudah dalam HGU perusahaannya tidak bisa disebut hutan alam.

“Saya tidak mau dikatakan bahwa wilayah perusahaan  adalah hutan alam, karena wilayah konsesi kita sudah memiliki HGU. Kita juga membangun kebun dengan tanaman alam,” kata kata Burhanuddin kepada Mongabay akhir Agustus lalu.

Meski begitu, kata Burhanuddin, perusahaan memang melakukan land clearing, namun pihaknya langsung melakukan penanaman dengan sebanyak 5 ribu pohon per hektar. Jika dijumlahkan dengan kayu alam, katanya, lebih banyak tanaman alam yang ditanami perusahaannya dibanding yang ditebang.

Dengan begitu, Burhanuddin mengklaim tidak melakukan deforestasi dan mengikuti semua peraturan yang ada. Terlebih lagi, katanya, produk yang dihasilkan oleh perusahaannya adalah salah satu bahan yang menjadi perhatian dunia untuk mendukung transisi energi. Ia bilang, yang salah itu adalah ketika dilakukan penebangan, tapi tidak ditanami Kembali.

“Pohon yang kita tanam di dalam HGU perusahaan itu akan dipanen nanti 4 tahun kemudian. Dalam sekali tanam, kita bisa melakukan panen sebanyak 5 kali. Karena begitu kita panen, tanaman itu kita sisanya 50 sentimeter sehingga bisa tumbuh lagi. Jadi tidak ada deforestasi,” tegasnya.

Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI
Hutan alam sudah terbabat. Foto: FWI

Dugaan Perdagangan Ilegal

Dari aktivitas deforestasi yang dilakukan BTL dan IGL, perusahaan yang mendapatkan keuntungan lebih besar adalah BJA. Pada 18 Maret 2020 lalu, kedua perusahaan tersebut telah menandatangani nota kesepakatan dengan BJA untuk berkomitmen memenuhi kebutuhan produksi ekspor wood pellet.

Pengiriman wood pellet dilakukan langsung di pelabuhan terminal khusus milik BJA di Desa Desa Trikora, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Di Pelabuhan yang kerap disebut “Pelabuhan Lalape” itu, wood pellet diangkut melalui kapal tongkang milik BJA dan transhipment ke kapal asing asal Panama yang berada di tengah laut, tak jauh dari pelabuhan.

Melalui kapal kapal asing asal Panama itu, Hanwa Co., Ltd. yang menjadi importir dalam bisnis ini mengirim wood pellet ini ke pelabuhan bongkar Fushiki-man’yo, Kota Takaoka, Toyam Jepang, dan di pelabuhan bongkar Gunsan di Kota Gunsan, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Kedua negara telah menguasai komoditas wood pellet dari Indonesia untuk kepentingan transisi energi mereka.

Misalnya Jepang, sedang menargetkan untuk memproduksi listrik sebesar 1.065 Terawatt hour (TWh) yang dituangkan dalam bauran energi 2030, dan 3,7-4,6 persen di antaranya akan ditargetkan berasal dari biomassa. Sedangkan Pemerintah Korea Selatan telah mengumumkan suatu rencana transisi energi dengan target 20% untuk energi terbarukan pada tahun 2030.

Pasalnya, listrik yang digunakan oleh dua negara itu mayoritas bersumber dari energi fosil atau baling banyak menggunakan batubara. Adapun wood pellet digunakan kedua negara ini untuk dicampurkan dengan batu bara di sejumlah PLTU mereka. Cara itu diklaim dapat menurunkan emisi sektor pembangkit listrik serta menjadi strategi menurunkan emisi karbon.

Mongabay melakukan analisis data terbuka dengan membandingkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data KLHK untuk melihat lebih jauh aktivitas ekspor wood pellet dari Gorontalo. Hasilnya, BJA yang merupakan satu-satunya pabrik pengelola wood pellet di Gorontalo ini diduga kuat telah melakukan ekspor wood pellet ke luar negeri secara ilegal, atau tanpa tercatat (Unreported) dalam sistem KLHK.

Menurut data Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) KLHK, sejak Oktober 2023 sampai Agustus 2024, BJA tercatat telah melakukan ekspor wood pellet sebanyak 7 kali ke Jepang dan Korea Selatan dengan total 82.273 metrik ton melalui perusahaan Hanwa Co., Ltd. salah satu perusahaan global trading yang berbasis di Jepang. Adapun nilai ekspor mencapai 11,1 juta USD.

Sementara, data ekspor wood pellet dari perusahaan BJA menyebut, sebanyak 21 kali BJA telah melakukan ekspor wood pellet dari November 2022 hingga Agustus 2024. Adapun jumlah wood pellet yang dikirim ke Jepang dan Korea Selatan mencapai 230.398 metrik ton dengan ekspor mencapai 31.78 juta USD.

Disisi lain, data BPS Gorontalo menyebut, aktivitas ekspor wood pellet dari Gorontalo sudah terjadi sebanyak 27 kali sejak tahun 2021 hingga Juni 2024 dengan 8 negara tujuan, yakni; Korea Selatan, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Estonia, Irak, Qatar, dan Suriah. Adapun totalnya mencapai 230.672,39 metrik ton dengan nilai mencapai 32.14 juta USD.

Artinya, ada perbedaan data yang signifikan antara data KLHK, BJA, dan BPS dengan selisih ekspor wood pellet yang cukup besar. Jika mengacu pada data milik BJA, ada sebanyak 14 aktivitas ekspor wood pellet tidak tercatat dalam sistem KLHK. Potensi kerugian negara mencapai 20.58 juta USD, atau setara 316 miliar (kurs Rp 15.396 per 6 September 2024).

Pada 16 Agustus lalu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI mengamankan kapal MV Lakas yang dicurigai membawa barang ilegal berupa wood pellet di perairan Gorontalo. Kapal tersebut berbendera Filipina dengan 17 anak buah kapal (ABK). Berdasarkan Informasi yang diperoleh, wood pellet yang dibawa kapal itu adalah milik BJA dengan 10.545 metrik ton.

Namun, hanya beberapa waktu saja, kapal tersebut langsung dilepas kembali oleh Bakamla. BJA ketika dikonfirmasi mengklaim, bahwa wood pellet yang diangkut kapal tersebut telah mendapatkan izin berlayar lengkap dari lembaga berwenang, seperti Karantina, Bea Cukai, Imigrasi dan Syahbandar di Gorontalo.

Dugaan praktik Unreported juga tergambar dalam SILK yang menyebut, kayu yang dijadikan wood pellet tercatat hanya berasal dari kayu Jambu-jambu (Eugenia sp.); dan Nyatoh (Madhuca sp.). Padahal, dalam penelitian Terry Repi bersama Burung Indonesia menyebut, wilayah itu adalah kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Artinya, tidak hanya dua jenis pohon yang ada di wilayah tersebut.

Bukan hanya itu, pada tanggal 7-9 Juni 2024, kapal tongkang milik BJA ini juga tercatat melakukan transhipment dengan kapal asing yang berasal dari Panama dengan jarak 2 mil dari daratan Pohuwato. Aktivitas transhipment itu berada di luar areal Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dimiliki BJA.

Adapun hasil analisis spasial FWI menunjukkan bahwa kapal asing membuang jangkar di dalam zona inti (bukan zona pemanfaatan) yang merupakan wilayah Calon Kawasan Konservasi Perairan Daerah di Kabupaten Pohuwato. Ironisnya, wilayah itu juga merupakan lokasi penangkapan dan perlindungan gurita Masyarakat Suku Bajo Torosiaje.

Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesia Working Group and on Forest Finance (IWGFF) mengatakan, semua aktivitas perdagangan kayu atau bahan bakunya seperti wood pellet harus tercatat di SILK. Hal itu untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas.

Sistem itu, kata Willem, untuk mendukung upaya pemerintah untuk memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu yang tidak sah. Sederhananya, jika ada aktivitas ekspor kayu atau bahan turunnya tidak tercatat dalam SILK KLHK, aktivitas ekspor itu patut diduga ilegal dan bisa memicu kerugian negara.

“Ekspor wood pellet milik BJA yang tidak tercatat dalam sistem KLHK perlu dicurigai. Bisa jadi ada perbuatan melawan hukum dengan adanya aktivitas ekspor yang tidak tercatat di SILK ini. Singkatnya, bisa saja ada perdagangan ilegal yang dilakukan,” kata Willem Pattinasarany kepada Mongabay pada 7 September 2024.

Willem bilang, modus-modus perdagangan kayu ilegal serta bahan baku turunannya kerap kali diketahui dari praktik Unreported ini. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari produk yang diekspor dan bisa mengarah ke pencucian uang. Menurutnya, praktik ini juga disebut sebagai kejahatan penipuan dalam perdagangan sebagai upaya menghindari pajak.

Menurut Willem, perusahaan yang melakukan praktik Unreported atas produknya bisa laporkan kepada pihaknya yang berwajib, sekaligus sertifikat SVLK-nya harus dicabut. Dalam kasus BJA, kata Willem, KLHK, Dirjen Pajak, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus melakukan penyelidikan lebih dalam terkait perbedaan data ekspor tersebut.

Sejak pekan lalu, Mongabay menghubungi Drasospolino Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK melalui pesan whatsapp untuk mengkonfirmasi perbedaan data ekspor wood pellet yang dilakukan BJA. Namun, hingga berita ini terbit, dirinya tidak meresponnya.

Namun, Burhanuddin membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaannya. Sebagai pelaku usaha, kata dia, pihaknya mengikuti semua aturan yang berlaku dan mestinya tidak ada perbedaan data yang terjadi. Ia bilang, 21 kali aktivitas ekspor wood pellet itu sudah dilaporkan ke KLHK, tanpa terkecuali.

Burhanuddin menjelaskan, ketika perusahaannya melakukan ekspor wood pellet, dokumen-dokumen yang diperlukan semua dilampirkan dan dikirim ke pembeli. Ia bilang, pihaknya tidak pernah mengabaikan aturan-aturan yang ada, terlebih lagi produksi wood pellet dari perusahaannya cukup besar dan setiap pengiriman menggunakan kapal yang besar.

“Wood pellet yang kita kirim ini bukan barang yang hanya 1 atau 2 kilogram saja. Tapi ekspor yang kita lakukan ini rata-rata 10 ribu metrik ton dengan menggunakan kapal besar. Jadi barang ini tidak mungkin kita sembunyikan,” kata Burhanuddin.

Soal hanya dua jenis kayu yang tercatat dalam SILK, kata Burhanuddin, perusahaannya hanya mencatat jenis pohon yang mayoritas saja dan memiliki nama latin di system KLHK. Adapun soal transhipment yang berada di luar areal PKKPRL yang dimiliki BJA, katanya, itu adalah tanggung jawab agent, bukan perusahaannya.

“Aktivitas transhipment itu juga berdasarkan arahan dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Tilamuta. Itu bukan tanggung jawab kita. Setiap kegiatan kita itu juga berada dalam pengawasan,” jelasnya.

Peta Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dimiliki BJA. (Sumber: FWI)
Peta Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang dimiliki BJA. (Sumber: FWI)

Siapa yang Diuntungkan?

Berdasarkan penelusuran profil perusahaan menggunakan data resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), orang-orang yang penerima manfaat dari aktivitas BTL, IGL, dan BJA adalah korporasi pemilik modal besar dan pengusaha yang punya relasi dengan penguasa. Orang-orang terafiliasi melalui PT Provident Investasi Bersama Tbk.

Secara historis, BTL dan IGL awalnya merupakan anak perusahaan dari PT Provident Agro Tbk yang saat ini berubah nama PT Provident Investasi Bersama Tbk. Pada Juli 2019, PT Provident Investasi Bersama Tbk menjual mayoritas saham BTL dan IGL ke PT Buana Pratama Cipta, yang 1% sahamnya dimiliki oleh Heru Purnomo dan 99% sahamnya dimiliki oleh PT Reka Varia Tara.

Penelusuran Mongabay menemukan, PT Reka Varia Tara ini tidak tercatat dalam sistem AHU saat dilakukan verifikasi pada 5 Agustus 2024. Tetapi, dalam laporan Mighty Earth yang terbit pada Mei 2024 menemukan, ternyata kepemilikan PT Reka Varia Tara sendiri berada di tangan Andy Kelana, yang menguasai 87,5 persen saham dan Helena Adnan yang memiliki 12,5 persen saham.

Dua orang itu adalah pengacara asal Indonesia yang tergabung dalam firma hukum Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH) yang berbasis di Jakarta. Firma hukum ini memberikan “nasihat hukum” di bidang pertambangan, minyak dan gas, kehutanan dan perkebunan, energi terbarukan, serta industri listrik dan energi. Salah satu Klien AKHH utamanya adalah Provident Capital, perusahaan yang mendirikan PT Provident Investasi Bersama Tbk.

Adapun total modal saham yang disetor dari BTL dan IGL secara keseluruhan adalah sebesar Rp 277 miliar (US$17,8 juta). Dengan besarnya investasi modal ini, Mighty Earth meyakini bahwa Andy Kelana dan Helena Adnan tidak mungkin mendanai secara pribadi modal saham itu atau tidak mungkin menjadi pemilik manfaat dari kedua perusahaan itu.

Menurut Mighty Earth, Andy Kelana dan Helena Adnan memegang saham BTL dan IGL untuk dan atas nama pemegang saham pengendali PT Provident Investasi Bersama Tbk, yakni;; Winato Kartono, Edwin Soeryadjaya, Garibaldi Thohir, dan Sandiaga Uno melalui PT Saratoga Sentra Business. Orang-orang tersebut diduga dikaburkan jejaknya melalui PT Reka Varia Tara (RVT) yang tidak tercatat dalam AHU.

Mighty Earth menyebut, penjualan saham BTL dan IGL dilakukan untuk menjaga kepentingan pemilik sebenarnya dalam Provident Group, dengan demikian menyatakan bahwa penjualan tersebut hanyalah sebuah transfer internal dalam grup tersebut.

Tak hanya itu, dugaan keterlibatan PT Provident Investasi Bersama Tbk dalam bisnis biomassa ini juga tergambar dalam profil perusahaan PT Biomass Jaya Abadi (BJA), perusahaan yang membeli bahan baku wood pellet dari BTL dan IGL. Dimana, semua pemilik saham di BJA semua terafiliasi baik secara langsung, maupun tidak langsung dengan PT Provident Investasi Bersama Tbk.

Misalnya, PT Sekawan Artha Lestari yang memegang 34,5 persen saham BJA, yang struktur kepengurusannya dipegang oleh dua orang direksi dari PT Provident Investasi Bersama Tbk, seperti Tri Boewono dan Budianto Purwahjo. Andy Kelana juga tercatat memiliki 3,7 persen saham BJA.

Ada juga nama Albert Saputro Presiden Direktur PT Merdeka Copper Gold Tbk, perusahaan yang didirikan oleh Provident Capital, tercatat menjadi komisaris di BJA. Selain itu, Hanwa Co., Ltd. salah satu perusahaan global trading asal Jepang yang mengembangkan ‘kemitraan Biofeuls’ dengan Provident Group juga memiliki saham sebesar 20 persen di BJA.

Tak sampai disitu, PT Energi Hijau Bersama memiliki 41,8 persen saham BJA, membuat keterlibatan PT Provident Investasi Bersama Tbk dalam bisnis Biomassa di Gorontalo ini lebih jelas. Pemegang saham pengendali PT Provident Investasi Bersama Tbk, Garibaldi ‘Boy’ Thohir – yang kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir, memiliki 11,4 persen saham PT Energi Hijau Bersama.

Ada pula PT Surya Nuansa Ceria, anak perusahaan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) milik Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno juga memiliki saham 38,6 saham di PT Energi Hijau Bersama. Nama Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) RI Sakti Wahyu Trenggono juga tercatat memiliki saham 5,7 persen saham PT Energi Hijau Bersama.

Dengan struktur korporasi yang kompleks ini, pada dasarnya, menyembunyikan pemilik manfaat utama korporasi dan melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu besar itu.

Disisi lain, PT Provident Investasi Bersama Tbk memiliki komitmen investasi keberlanjutan dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosialnya, serta tata kelola yang baik atau Environmental, Social, Governance (ESG).

Pada 1 September 2024 lalu, Mongabay mengirimkan surat ke PT Provident Investasi Bersama Tbk melalui email resmi perusahaan untuk mempertanyakan hubungan mereka dengan BTL, IGL, dan BJa. Namun, sampai berita ini terbit, surat tersebut tak kunjung dibalas.

Sementara, Burhanuddin membantah bahwa ketiga perusahaannya terafiliasi dengan PT Provident Investasi Bersama Tbk. Sebagai karyawan, dirinya tidak mengetahui lebih jelas siapa saja pemilik saham dalam perusahaannya atau perusahaan induknya.

“BTL, IGL, dan BJA bukan tidak terafiliasi dengan PT Provident Investasi Bersama Tbk,” ia menandaskan.

 


*Tulisan ini merupakan Fellowship dari Forest Watch Indonesia (FWI)


Tulisan ini sebelumnya telah terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.