Pada 18 Desember lalu, Korea Selatan mengumumkan pengurangan subsidi untuk sebagian besar kategori biomassa. Kementerian Perdagangan, Industri, dan Energi (MOTIE), Dinas Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan (Korsel) berinisiatif melakukan reformasi kebijakan ini sebagai respon atas kritik domestik dan internasional terhadap dampak pembakaran biomassa terhadap lingkungan, krisis iklim, dan ketergantungan besar Korsel terhadap kayu impor.
Pemerintah Korsel berniat untuk menurunkan Kredit Energi Terbarukan (REC Renewable Energy Certificate) yang secara timpang memprioritaskan energi biomassa ketimbang energi surya atau angin, dan secara artifisial membuat harga energi kayu menjadi murah.
Energi biomassa kayu, yang memanfaatkan kayu untuk dibakar sebagai sumber listrik, masih dianggap sebagai energi terbarukan oleh Pemerintahan Korea Selatan. Ia dapat dibakar dalam pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), atau dioplos (co-firing) sebagai campuran batu bara di PLTU. Sumber biomassa, khususnya kayu, mencakup 76% dari bauran bioenergi Korsel saat ini. Bioenergi sendiri menyumbang 27% dari porsi bauran energi terbarukan Korsel.
Hampir seluruh dari sumber biomassa ini diimpor Korea Selatan dari negara-negara berkembang seperti Vietnam dan Indonesia. Dampak eksploitasi kayu yang ditimbulkan oleh aktivitas ini, termasuk deforestasi, banjir, dan penggusuran masyarakat adat, telah ramai mendapat kecaman internasional.
Di Indonesia, Gorontalo merupakan salah satu daerah terdampak ekspor biomassa ke Korea Selatan yang telah berujung pada rencana deforestasi 282.100 hektare hutan. Ekspor ini dilakukan oleh PT Biomassa Jaya Abadi (BJA) yang sepanjang 2020-2024 telah mengekspor 267.115,96 ton pelet kayu ke Korea Selatan dan Jepang.
Baca juga: Korea Selatan Akhirnya Mengurangi Subsidi Biomassa
Hal ini akan mengancam bentang alam Popayato-Paguat yang merupakan area konservasi tinggi sekaligus habitat berbagai spesies endemik seperti Tarsius, Anoa, dan Rangkong. Konsesi ini juga berada di wilayah rawan bencana dan wilayah perlindungan air, yang akan memperparah risiko banjir dan kekeringan.
Pergeseran kebijakan Korea Selatan ini berpotensi berdampak pada pasar ekspor biomassa kayu Asia. Semua REC untuk fasilitas biomassa baru akan diakhiri. Insentif untuk pembangkit milik negara yang telah beroperasi akan dikurangi bertahap hingga 2027, sementara insentif pembangkit swasta akan dikurangi secara bertahap dalam 15 tahun ke depan.
Amalya Reza, juru kampanye bioenergi Trend Asia menilai bahwa hal ini menjadi preseden untuk perubahan perspektif, menantang status pembakaran kayu sebagai metode transisi energi yang valid. Menurutnya, perubahan ini langkah besar yang patut diapresiasi.
“Pemotongan subsidi berpotensi mengurangi keuntungan korporasi besar seperti Indika Nature, Malinau Hijau Lestari dan Biomassa Jaya Abadi untuk membalak hutan dan mengekspor kayu ke Korsel,” ujarnya.
Meski begitu, kata Amalya, Korsel memotong subsidi biomassa dengan alasan deforestasi, namun ironisnya Indonesia yang menjadi korban deforestasi malah masih gencar mendorong subsidi. Ia bilang, pemerintah harusnya menyingkirkan insentif fiskal dan non-fiskal untuk eksploitasi biomassa kayu dalam RUU EBT.
“Prabowo juga harus mengevaluasi Asta Cita yang berencana mendorong eksploitasi biomassa kayu untuk kebutuhan energi,” pungkas Amalya.
Forest Watch Indonesia (FWI) juga menilai bahwa kebijakan ini merupakan langkah baik dari Korea Selatan untuk menghentikan perusakan hutan. Pasalnya, lebih dari 80% ekspor biomassa kayu dari Indonesia berasal dari perusakan dan penggundulan hutan, bukan dari rehabilitasi.
Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI mengatakan, sudah seharusnya importir seperti Jepang dan Korea Selatan bertanggungjawab dan mempertimbangkan deforestasi hutan tropis yang berlangsung.
“Menurut data FWI, jika kebijakan biomassa terus didukung dengan kebijakan pendanaan, ada 4,65 juta hektare hutan alam Indonesia yang diproyeksikan rusak,” pungkasnya.
Leave a Reply
View Comments