Tantangan Masyarakat Adat Tapanuli Utara Kelola Hutan Adat

Ompu Elja, Petani Kemenyan Aek Godang sedang menyadap kemenyan (Foto: Barita Lumbanbatu)
Ompu Elja, Petani Kemenyan Aek Godang sedang menyadap kemenyan (Foto: Barita Lumbanbatu)
  • Hutan Adat Aek Godang adalah tempat yang istimewa, dikelilingi oleh berbagai sungai dan air terjun yang menakjubkan.
  • Memiliki luas 544 hektar, hutan ini mempunyai beragam jenis pohon, salah satunya kemenyan.
  • Sebagian besar pendapatan warga adat Aek Godang Tornauli berasal dari hasil menjual getah kemenyan.
  • Potensi wisata menjadi salah satu alternatif dalam kelola hutan adat, dan bisa memberi dampak ekonomi

Di pagi yang cerah, saya diajak oleh Halomoan Hutapea untuk menjalani petualangan di dalam Hutan Adat Aek Godang, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Kali ini, tujuan kami adalah mencari ikan batak di sungai yang mengalir di tengah hutan yang penuh misteri ini. Hutan Adat Aek Godang adalah tempat yang istimewa, dikelilingi oleh berbagai sungai dan air terjun yang menakjubkan.

Dalam perjalanan kami, Halomoan Hutapea, yang juga menjabat sebagai Ketua Adat Ompu Rikkot Hutapea, berharap bisa mendapatkan banyak ikan batak. “Mudah-mudahan banyak dapat (ikan batak),” ujarnya sambil tersenyum optimis.

Kami berjalan menyusuri tepian sungai Aek Godang. Halomoan, yang berusia 62 tahun, membawa jala dan menyandang bakkul, kantongan khusus dari rotan untuk menampung ikan. Sungai Aek Godang sendiri memiliki nama yang menarik. “Aek” berarti air, dan “Godang” berarti banyak. Sungai ini adalah sumber makanan sehari-hari bagi sembilan keluarga yang tinggal di desa ini.

Namun, sayangnya, warga desa mulai mengeluh karena hasil tangkapan ikan tidak sebanyak dulu. Saat senja mulai menjelang, wajah Halomoan pun tampak murung. “Hanya beberapa ekor ikan saja, kecil-kecil (setengah jengkal),” keluhnya sambil menunjukkan bakul yang berisi ikan-ikan kecil.

Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak turut mengungkapkan keprihatinan serupa. Menurutnya, populasi ikan di sungai Aek Godang terus menurun karena penangkapan yang berlebihan. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pengetahuan masyarakat tentang budidaya ikan.

“Kita akan mencari solusi bersama dengan melibatkan berbagai pihak dalam konservasi ekosistem sungai agar populasi ikan tetap terjaga”, kata Hengky saat berdiskusi di Pondok Padao Arsak, Aek Godang.

Selain dari penangkapan berlebihan, perubahan iklim juga menjadi ancaman serius bagi ekosistem sungai dan sumber daya ikan. Perubahan iklim dapat menyebabkan suhu air sungai meningkat, yang akan mempengaruhi kehidupan ikan dan makanan mereka secara langsung maupun tidak langsung.

Akademisi, Desrita S.Psi, M.Psi, dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, mengungkapkan bahwa penting untuk mengidentifikasi jenis ikan tertentu, seperti jurung. Jika ikan ini termasuk dalam daftar spesies terancam punah menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature), maka tindakan konservasi atau budidaya menjadi suatu keharusan.

Masyarakat Adat Tapanuli Utara sedang menanam pohoh. (Foto: Barita Lumbanbatu)
Masyarakat Adat Tapanuli Utara sedang menanam pohoh. (Foto: Barita Lumbanbatu)

Desrita menjelaskan salah satu pendekatan konservasi ikan yaitu restocking, memindahkan ikan ke perairan tertutup, mengurung mereka dalam lingkungan yang terkendali, atau memeliharanya di dalam kolam dengan suhu yang mirip dengan habitat aslinya. Kemudian, perkembangan ikan tersebut diawasi dengan cermat untuk menentukan apakah mereka bisa dibudidayakan atau tidak.

Selain itu, salah satu solusi lainnya adalah dengan menetapkan larangan pengambilan ikan dalam kurun waktu tertentu.

“Seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Tapanuli Selatan yang tinggal di sekitar Sungai Batang Gadis yang memberlakukan ‘lubuk larangan’. Di sana mereka hanya mengambil ikan saat hari raya idul fitri”, kata Desrita saat wawancara melalui telepon.

Menurutnya aturan akan berjalan dengan baik bila masyarakat adat yang hidup di sekitar hulu dan hilir sungai berkolaborasi dengan pemerintah desa, pendamping, akademisi atau peneliti, maupun stakeholder lainnya.

Selain menjadi sumber pangan (ikan), Sungai Aek Godang digunakan oleh masyarakat sebagai sumber energi listrik dan irigasi ke persawahan milik warga yang dihuni 8 kepala keluarga itu.

“Dulu listrik kami dari kincir, diaktifkan setiap malam, bergantian bertugas mengurus (mengoperasikan) kincir. Sejak tahun lalu (2022) PLN (listrik) masuk ke sini (dusun aek godang) kincir air sudah tidak digunakan lagi.”, kata Ompu Maruli.

Keajaiban Sungai Aek Gudang punya kaitan erat dengan kondisi hutan yang mengelilinginya, Hutan Adat Aek Godang Tor Nauli, seluas 544 hektar, menyajikan beragam jenis pohon seperti kemenyan, petai, durian, dan aren yang mendominasi lanskapnya.

Setelah mengarungi sungai, keesokan harinya saya menemani kakek berusia 70-an ke dalam hutan, Ompu Elja Hutapea, menderes getah kemenyan. Sebagian besar pendapatan warga adat Aek Godang Tornauli berasal dari hasil menjual getah kemenyan. Tapanuli Utara termasuk penyumbang kemenyan terbesar, sekitar 70 persen di Sumatera Utara (2020).

“Sejak tahun 80-an sudah kutanam kemenyan, dan sampai sekarang masih bisa dipanen, dari hasil menjual getah kemenyan, ke 6 anak-anak saya sekolah hingga tamat SMA”, katanya sambil memegang alat cukil, menyadap getah kemenyan yang keluar dari batangnya.

Dirinya mengeluh harga kemenyan, bahkan pernah turun drastis, dari Rp300.000 per kilogram ke 150 ribu rupiah per kilonya. Tak hanya sekedar mengambil hasil dari hutan, Ompu Elja punya kebiasaan menanam bibit pohon di sela aktivitas menyadap kemenyan, dia menanam bibit pohon kemenyan, durian, dan petai di lahan tempat dia bekerja.

Halomoan Hutapea, Ketua Komunitas Ompu Rikkot Hutapea, Aek Godang, sedang menjala ikan di sungai. (Foto: Barita Lumbanbatu)
Halomoan Hutapea, Ketua Komunitas Ompu Rikkot Hutapea, Aek Godang, sedang menjala ikan di sungai. (Foto: Barita Lumbanbatu)

Tata Kelola Hutan Adat

“…. baru-baru ini ada enam wilayah adat yang telah diubah statusnya dari hutan negara menjadi hutan adat. Kami berharap akan ada landasan hukum yang lebih kuat untuk melanjutkan langkah ini ketika ada pergantian bupati. Dana sebesar 320 juta rupiah telah disiapkan untuk ini dan akan disalurkan pada bulan Oktober”, kata Nikson Nababan, Bupati Tapanuli Utara, membuka diskusi di Tarutung, 5 September 2023.

Bupati menegaskan pentingnya tata kelola hutan adat dalam konteks Indonesia. Katanya, UU otonomi daerah kini memberikan lebih banyak kewenangan kepada kepala daerah, dan setiap daerah diwajibkan untuk menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati, dan peraturan desa juga diakui oleh undang-undang.

Sementara itu, Ketua Dewan AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak menyampaikan bahwa hutan adat merupakan kunci untuk menjaga sumber daya alam secara berkelanjutan sambil melindungi budaya dan lingkungan.

“Ini adalah tantangan kompleks yang perlu diatasi, karena pengelolaan hutan adat harus berdasarkan pada kearifan lokal dan budaya”, kata Roganda.

Lalu, Deny Rahardian dari BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat) menggarisbawahi beberapa tantangan dalam pengelolaan hutan adat yang berkelanjutan. Tantangan-tantangan ini termasuk keterbatasan anggaran di daerah, kurangnya kapasitas lembaga dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, serta kesulitan dalam memenuhi syarat pengakuan MHA melalui kebijakan sektoral.

“Kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, dianggap sebagai kunci untuk mengatasi tantangan-tantangan ini”, kata Deny.

Sedangkan T. Hadi Priyanto dari Ditjen Subdit PPR Bangda Mendagri (Kementerian dalam Negeri) lebih menyoroti pentingnya mengintegrasikan wilayah adat ke dalam tata ruang di beberapa daerah. Ini melibatkan verifikasi, penyesuaian, dan perencanaan tata ruang yang hati-hati, termasuk pencantuman Kawasan Hutan Adat dalam pola ruang lindung oleh pemerintah daerah provinsi.

“Program perhutanan sosial atau hutan adat bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dalam pemanfaatan kawasan hutan desa, dan terintegrasi ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memastikan pelaksanaan yang baik.”, tambah Hadi Rahmanto, Dirjen Bina Pembangunan Daerah.

Sungai Aek Godang Tornauli (Foto: Barita Lumbanbatu)
Sungai Aek Godang Tornauli (Foto: Barita Lumbanbatu)

Akses dan Potensi Wisata

Berkaitan dengan tata kelola, Hengky Manalu menilai potensi wisata menjadi salah satu alternatif dalam kelola hutan adat, dan bisa memberi dampak ekonomi langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat.

“Di sini ada banyak spot air terjun, dan sungai, tak jauh dari kota Tarutung, hanya dua jam. Ini solusi alternatif pengembangan pasca memperoleh Hutan Adat, jangan nanti hutan adat jadi tidak produktif”, Kata Hengky Manalu, AMAN Tano Batak.

Meskipun akses informasi atau sinyal masih kurang memadai, warga sangat mengapresiasi kinerja Bupati Tapanuli Utara yang sudah memberi perhatian terkait akses jalan menuju desa Aek Godang, sehingga memudahkan mereka menjual hasil hutan dan sumber daya alam non kayu.

“Baru tahun lalu (2022) listrik masuk ke kampung kami, dan baru tahun ini juga jalan diperbaiki ke kampung ini, sinyal pun susah”, kata Halomoan sambil menunjukkan arah lokasi proyek pembangunan jalan yang sedang berlangsung.

Saat ini AMAN Tano Batak sedang mendorong agar hutan adat menjadi objek wisata, menyiapkan sumber daya masyarakat yang sadar wisata, dan berharap adanya perjanjian kerjasama antara pihak pemerintah daerah, pemerintah desa, dan masyarakat adat Aek Godang.

Barita Lumbanbatu adalah seorang Penulis sekaligus Advokat Publik. Tahun 2019 pernah dinobatkan menjadi peserta terbaik Pelatihan Pantau (Jurnalisme Agama dan Jurnalisme Sastrawi).