Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di lahan gambut yang kaya karbon dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada Juli 2023, (Foto: Auriga Nusantara)
Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di lahan gambut yang kaya karbon dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada Juli 2023, (Foto: Auriga Nusantara)

Perusahaan Kayu Hancurkan Hutan Alam dan Gambut Kalimantan, Ancam Habitat Orangutan

  • Hutan alam dan lahan gambut di Indonesia masih terus terbabat walaupun berbagai aturan ada dari  peraturan setop izin di hutan alam dan lahan gambut sampai kebijakan perlindungan gambut. Kasus penebangan hutan alam di lahan gambut terjadi di konsesi perusahaan kayu, PT Mayawana Persada (Mayawana) di Kayong Utara, Kalimantan Barat.
  • Sejak 2021-2023, Mayawana menghancurkan hutan alam lebih 33.000 hektar atau seluas hampir setengah ukuran Singapura. Angka itu menyumbang lebih dari seperempat deforestasi di ratusan konsesi perkebunan kayu pulp dan sawit di seluruh nusantara.
  • Aktivitas itu juga dibarengi konflik dengan komunitas lokal yang tinggal di dalam dan dekat konsesi perusahaan. Menurut petisi Barisan Pemuda Adat Nusantara, tanah leluhur Komunitas Kualan Hilir tumpang tindih dengan 3.650 hektar konsesi Mayawana. Pada Mei 2020, perwakilan Mayawana dengan pemimpin komunitas membuat kesepakatan melarang bagian dari tanah leluhur mereka tidak dibangun perkebunan kayu pulp.
  • Menurut peta habitat terbitan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi PT Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Penelitian Analisis Viabilitas Habitat pada 2016 memastikan, hutan dan gambut di konsesi PT Mayawana itu sesuai untuk jadi habitat orangutan.

Pada Kamis, 21 Maret lalu, merupakan Hari Hutan Dunia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mencanangkan momen ini untuk merayakan dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya semua jenis hutan. Pada setiap Hari Hutan Dunia, semua negara-negara, termasuk Indonesia didorong untuk melakukan upaya dalam melestarikan hutan.

Namun, alih-alih melestarikan, Pemerintah Indonesia justru membiarkan praktek-praktek deforestasi terus terjadi di berbagai wilayah, salah satunya di Provinsi Kalimantan Barat. Dilokasi itu, salah satu perusahaan kehutanan, PT Mayawana Persada (Mayawana) diberikan izin oleh negara untuk melakukan deforestasi berbasisi komoditas.

Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace International, Woods & Wayside International, dan Rainforest Action Network menemukan, bagaimana Mayawana tengah memimpin gelombang peningkatan deforestasi yang terjadi di Indonesia.

Menurut laporan itu, sejak tahun 2021-2023, Mayawana telah membabat hutan alam hingga lebih dari 33.000 hektare atau seluas hampir setengah ukuran Singapura. Angka itu menyumbang lebih dari seperempat total deforestasi di ratusan konsesi perkebunan kayu pulp dan sawit di seluruh nusantara.

Menggunakan analisis data spasial melai TheTreeMap untuk Atlas Nusantara, laporan ini juga menemukan, tahun 2020, lebih dari setengah hutan alam yang dihancurkan di konsesi Mayawana berada di lahan gambut yang kaya karbon. Pada tahun 2023, persentase deforestasi di area gambut meningkat hingga lebih dari 80% dari jumlah deforestasi pada tahun tersebut.

Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara mengatakan, area yang telah dibuka oleh Mayawana dari hutan alam dengan cepat diubah menjadi perkebunan kayu pulp. Menurut analisis dari TheTreeMap, kata Hilman, hingga akhir tahun 2023, Mayawana telah membangun 45.187 hektar perkebunan kayu pulp.

Berdasarkan penginderaan jauh itu, Mayawana terindikasi mulai menanam spesies kayu pulp pada tahun 2019. Padahal, sejumlah penelitian menyebut, pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kayu pulp industri bisa melepaskan gas karbon dioksida (CO2) dan metana dalam jumlah yang besar.

Deforestasi di konsesi PT Mayawana Persada, 2001–2023, Sumber: Nusantara Atlas atau TheTreeMap 2024.
Deforestasi di konsesi PT Mayawana Persada, 2001–2023, Sumber: Nusantara Atlas atau TheTreeMap 2024.

Artinya, perubahan penggunaan lahan ini berkontribusi langsung terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), dan meningkatkan risiko kebakaran di lanskap ini. Hilman bilang, akibat deforestasi dan konversi lahan gambut itu, Mayawana memberikan emisi gas rumah kaca sebesar 12,2 juta metrik ton CO2e selama periode tiga tahun antara 2020-2022.

“Pada awalnya kami berpikir saat seluruh pihak sedang berupaya untuk menurunkan angka deforestasi, justru Mayawana dalam 3 tahun terakhir telah melakukan aktivitas pengrusakan lingkungan di Kalimantan Barat,” kata Hilman Afif saat peluncuran laporan mereka melalui kanal Youtube Auriga Nusantara pada Senin, 18 Maret 2024 lalu.

Diketahui, PT Mayawana Persada atau disebut Mayawana ada perusahaan perkebunan kayu pulp yang berkedudukan di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pada tahun 2010, perusahaan ini mendapat izin kehutanan dari KLHK dengan luas konsesi sebesar 136.710 hektar.

Hilman bilang, deforestasi yang dilakukan Mayawana dalam tiga tahun terakhir melewati angkat deforestasi selama satu dekade sejak perusahaan itu mendapatkan izin. Aktivitas itu juga dibarengi konflik dengan komunitas lokal yang tinggal di dalam dan dekat dengan konsesi perusahaan.

Menurut petisi yang dibuat oleh Barisan Pemuda Adat Nusantara, tanah leluhur komunitas Kualan Hilir tumpang tindih dengan 3.650 hektar area konsesi Mayawana. Pada Mei 2020, perwakilan Mayawana dengan pemimpin komunitas membuat kesepakatan untuk melarang bagian dari tanah leluhur mereka tidak dibangun perkebunan kayu pulp.

Alih-alih menaatinya, pada bulan April 2022, Mayawana justru melanggar kesepakatan dengan menebang hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat lokal Kualan Hilir, serta ladang-ladang yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari rumah tangga mereka. Masyarakat lokal Kualan Hilir pun memberikan sanksi adat dan denda terhadap perusahaan pada bulan September 2022.

Mirisnya, Mayawana lagi-lagi tak menaati sanksi adat itu dan justru terus melakukan penebangan di lahan di sekitar area yang dianggap keramat oleh komunitas. Kondisi pun memanas, terlebih saat komunitas Kualan Hilir melakukan penghadangan terhadap alat berat yang digunakan oleh perusahaan untuk membabat hutan.

Tak hanya itu, anggota komunitas bahkan mendirikan ritual “mandoh” untuk menghalangi mesin-mesin itu untuk memaksa agar Mayawana keluar dari tanah leluhur mereka. Dari protes yang dilakukan itu, Mayawana akhirnya mengkriminalisasikan tiga orang dari komunitas, salah satu diantaranya berhasil dimasukan ke penjara.

Spesies terancam punah makin terjepit

Sebenarnya, konsesi Mayawana ini merupakan ekosistem hutan dataran rendah yang memiliki habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan, termasuk beberapa spesies yang terancam punah dan rentan. Terlebih lagi, lokasi perusahaan ini berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Palung.

Menurut peta habitat yang diterbitkan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Penelitian Analisis Viabilitas Habitat pada 2016 memastikan, area hutan dan gambut di dalam konsesi Mayawana itu sesuai untuk menjadi habitat orangutan.

Adapun pengamatan yang dilakukan oleh Program Konservasi Orangutan Gunung Palung (GPOCP) terhadap sarang dan suara panggilan serta ketersediaan sumber makanan di area itu memperkirakan, ada 61 orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang tinggal di sekitar Sungai Paduan.

Hilman bilang, deforestasi yang dilakukan Mayawana ini berpotensi memotong koridor yang digunakan oleh orangutan Kalimantan untuk berpindah dari satu area ke area yang lainnya. Pada saat yang sama, pembukaan hutan ini juga membuka akses yang lebih luas bagi manusia untuk masuk ke hutan dan habitat orangutan.

“Kondisi itu akan menambah tekanan lebih lanjut pada populasi orangutan Kalimantan, bahkan bisa memicu kepunahan karena habitatnya tergerus,” jelas Hilman

Padahal, populasi orangutan Kalimantan telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir, dengan hampir 150.000 individu hilang antara tahun 1999 dan 2015. Pada tahun 2016, diperkirakan hanya 57.350 orangutan Kalimantan yang tersisa di alam liar.

Selain itu, dalam survei GPOCP tahun 2022 menunjukkan, keberadaan 10 spesies mamalia dan 85 spesies burung di hutan lindung Sungai Paduan. Ia bilang, GPOCP juga menemukan bukti spesies-spesies lain yang terancam punah dan rentan tinggal di dalam atau dekat dengan batas konsesi Mayawana.

“Spesies-spesies yang terancam punah dan rentan itu diantaranya; owa jenggot-putih (Hylobates albibarbis), burung rangkong gading (Rhinoplax vigil), dan Beruang Madu (Helarctos malayanus),” ungkap Hilman

Habitat orangutan di dalam dan dekat dengan area konsesi PT Mayawana Persada menurut IUCN, Sumber Habitat orangutan dari peta IUCN
Habitat orangutan di dalam dan dekat dengan area konsesi PT Mayawana Persada menurut IUCN, Sumber Habitat orangutan dari peta IUCN

Menurut Hilman, keberadaan berbagai spesies itu akan semakin terancam lagi karena ada sekitar 55.625 hutan tropis berada dalam konsesi Mayawana yang akan direncanakan di babat lagi. 60 persen dari hutan itu pun berada di lahan gambut.

“Potret citra satelit terbaru yang kami lakukan menunjukkan bahwa ada aktivitas dari perusahaan berupa pembuatan kanal di area selatan konsesi. Artinya ancaman itu semakin nyata melalui aktivitas perusahaan hari ini,” jelasnya

Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi mengatakan hal serupa. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan pihaknya, Mayawana terus memperluas ekspansinya dengan menggusur lahan hingga ke perbatasan wilayah Desa Paoh Concong di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sampai saat ini.

Bukan hanya itu, kata Andi, dari hasil pemantauan citra satelit terpantau, Mayawana sudah membuat garis kisi-kisi yang akan menjadi area clearing selanjutnya. Wilayah itu terindikasi berada area gambut lindung ke daerah barat daya.

Menurutnya, apabila ini terus berlanjut, maka potensi pembukaan hutan di wilayah itu akan terus meningkat hingga mencapai 6.268 hektar. Ia bilang, luasan itu bisa mengeluarkan emisi gas rumah kaca sebesar 344.740 metrik ton CO2.

Tak hanya itu saja, kata Andi, perusahaan monokultur telah membuka hutan hingga ke tepi sungai utama yang mengalir melalui konsesi di satu kawasan. Bahkan disisi lain terpantau pembukaan hutan yang dilakukan hingga jarak 40 meter dari tepi sungai.

“Pembukaan hutan di wilayah konsesinya terjadi dengan ugal-ugalan dan melanggar prinsip pelestarian lingkungan,” kata Andi Muttaqien kepada Mongabay, pada Jumat 22 Maret 2024 lalu.

Padahal dalam Pasal 6 ayat 3 Permen PUPR Nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, dijelaskan bahwa garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.

Deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada sejak 2021. @Nusantara Atlas/TheTreeMap
Deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada sejak 2021. @Nusantara Atlas/TheTreeMap

 

Andi mendesak, ekspansi perkebunan kayu Mayawana yang membabat hutan alam, gambut dan habitat orangutan tersebut harus dihentikan. Ia juga bilang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mesti harus bertanggung jawab atas deforestasi yang terjadi tersebut

Pasalnya, kata Andi, KLHK mengetahui wilayah itu adalah area habitat orangutan Kalimantan. Namun, KLHK tetap memberikan izin kepada Mayawana dengan membiarkan pembabatan hutan alam di wilayah itu terus terjadi sampai sekarang.

“KLHK juga mengetahui bahwa wilayah itu memiliki indikatif fungsi lindung ekosistem gambut dan indikatif fungsi budidaya ekosistem gambut, Tetapi, merek  (KLHK) tetap memberikan izin,” jelasnya

“Jadi kalau gambut itu di clearing dan ditanami akasia dan eukaliptus maka semua fungsi alam itu akan berubah. Hal itu  akan berkontribusi besar terhadap krisis iklim yang lebih lanjut,” sambungnya

Sebenarnya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat secara resmi telah melaporkan PT Mayawana Persada ini ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kalimantan Barat pada 28 Desember 2023 lalu.

Amung Hidayat, Sekretaris DLHK Kalimantan Barat mengatakan, jika terdapat indikasi pelanggaran oleh PT Mayawana Persada, maka pihaknya akan segera melakukan koordinasi dan tindak lanjut kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Semua laporan yang masuk akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan dan sepanjang terpenuhi bukti-bukti yang konkrit dan akurat,” kata Amung Hidayat seperti dikutip di media Junalis.co.id. Namun, hingga saat ini, belum kabar soal tindakan yang diberikan kepada perusahaan HTI tersebut.

Mongabay juga berupaya menghubungi Siti Nurbaya Bakar Menteri LHK, dan Bambang Hendroyono selaku Sekjen KLHK melalui pesan Whatsapp. Namun, hingga tulisan ini terbit, keduanya tak merespon pesan yang dikirim.

Sementara itu, dari berbagai catatan pemberitaan sejak tahun 2023 hingga kini, Mayawana tidak sedikitpun memberikan penjelaskan terkait temuan sejumlah NGO itu. Sebaliknya, Mayawana justru seolah-olah menghindar saat diminta konfirmasi terkait masalah tersebut.

“Tolong hubungi Kelvin (humas Humas perusahaan yang ada di Pontianak.). Kebetulan saya tidak sedang menangani Mayawana,” kata I Made Suarjana, Humas PT Mayawana Persada pada 24 Februari 2024 lalu seperti dikutip melalui Jurnalis.co.id

Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di hutan alam dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada pada Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Gambar udara yang menunjukkan luasnya deforestasi di hutan alam dalam konsesi kayu pulp PT Mayawana Persada pada Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Kepemilikan Anonim

Diketahui, menurut dokumen profil perusahaan, PT Mayawana Persada ini didirikan sejak tahun 1994, dan pada tahun 2010 baru mendapatkan izin kehutanan. Secara historis, perusahaan kayu ini dimiliki oleh Alas Kusuma Group, yang mengendalikan sejumlah perusahaan kehutanan dan sawit di Indonesia.

Hingga akhir Desember 2022, Grup Alas Kusuma secara resmi sudah tak memiliki semua saham Mayawana, ketika separuh sahamnya dibeli oleh perusahaan yang identitas kepemilikannya tidak diketahui atau anonim.

Pada tanggal 23 Desember 2022 juga, separuh saham PT Mayawana Persada dialihkan dari PT Suka Jaya Makmur, sebuah perusahaan Alas Kusuma, ke Green Ascend, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Malaysia dan didirikan pada tahun 2017.

Penelusuran Auriga Nusantara bersama sejumlah NGO menemukan, pemegang saham tunggal Green Ascend adalah sebuah perusahaan yang terdaftar di British Virgin Islands dengan nama Green Ascend Group Limited yang didirikan pada tahun 2017.

Pada tanggal 23 Desember 2023, 50 persen sisa saham Alas Kusuma yang dimiliki oleh PT Harjohn Timber, dialihkan ke Beihai International Group Limited, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Hong Kong.

Sementara, Beihai International Group Limited dimiliki oleh sebuah perusahaan yang berkedudukan di Samoa yang bernama Balaji Investment Group Holdings Limited.

Dua wilayah ini, yaitu; British Virgin Islands dan Samoa, kata Hilman, tidak sama sekali memberikan akses publik terhadap informasi pemegang saham perusahaan. Sehingga, kepemilikan individu yang merupakan pemilik manfaat utama dari Mayawana itu tidak dapat diidentifikasi atau tersembunyi.

Artinya, struktur korporasi yang kompleks ini, pada dasarnya, menyembunyikan pemilik manfaat utama korporasi dan melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu besar itu.

“Di British Virgin Islands sebenarnya bisa, tapi dikecualikan mengenai stakeholdernya. Kalau di Samoa, kita tidak bisa mendapatkan informasi apapun tentang sebuah perusahaan. Olehnya, kita sebut ini sebagai pembabat anonim,” kata Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara

Spot deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. (Foto: Auriga Nusantara)
Spot deforestasi dalam konsesi PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat. (Foto: Auriga Nusantara)

Meskipun perusahaan-perusahaan itu dapat menyembunyikan pemilik manfaat utama di yurisdiksi rahasia, mereka masih meninggalkan jejak dokumen keterbukaan korporasi, seperti nama-nama petinggi, alamat bisnis, dan mitra perdagangan yang dapat membuka keterkaitan mereka dengan grup korporasi tertentu.

Dalam kasus Mayawana, kata Hilman, kesamaan pengurus korporasi, hubungan operasional manajemen dan relasi rantai pasok menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki keterkaitan dengan Royal Golden Eagle Group (RGE).

Diketahui, RGE adalah salah satu produsen terbesar di dunia untuk bubur kayu dan produk turunannya: kertas cetak, tisu, kemasan, dan rayon viscose. Pada tahun 2015, RGE menginisiasi kebijakan keberlanjutan “nol-deforestasi” dalam rantai pasoknya.

DI Indonesia, unit bisnis pulp dan kertas RGE adalah Asia Pacific Resources International Ltd, atau APRIL yang menjalankan pabrik PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau di Pulau Sumatra. APRIl sendiri mempublikasikan laporan keberlanjutannya untuk memenuhi standar pelaporan International.

Kebijakannya keberlanjutan RGE atau APRIL itu mengharuskan setiap pemasok kayu harus melindungi daerah-daerah dengan nilai konservasi tinggi. Namun, kata Hilman, temuan dilapangan justru berbanding terbalik. Mayawana miliki hubungan RGE, baik dari kesamaan pengurus korporasi, hubungan operasional manajemen, hingga relasi rantai pasok.

Misalnya, Green Ascend yang pemegang saham mayoritas Mayawana sejak Desember 2022, memiliki kesamaan pengurus perusahaan dengan perusahaan-perusahaan milik RGE yang dimiliki secara anonim. Diantaranya, PT Industrial Forest Plantation dan PT Adindo Hutani Lestari, yang keduanya turut membabat hutan alam untuk perkebunan serat kayu.

Perusahaan lainnya juga meliputi pabrik chip kayu di Kalimantan Timur, PT Balikpapan Chip Lestari, dan pabrik kayu baru di Kalimantan Utara, PT Phoenix Resources International, yang juga berada dalam kendali RGE berdasarkan laporan “Babat Kalimantan” yang dibuat oleh Greenpeace Indonesia pada tahun 2023 lalu.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Green Ascend juga memiliki pengurus perusahaan yang pernah atau masih menjabat sebagai pengurus untuk perusahaan-perusahaan induk Malaysia dari perusahaan kehutanan lain di Indonesia yang terkait dengan RGE.

Sebagai contoh, kata Arie, PT Adindo Hutani Lestari adalah pemasok pulp kayu di Kalimantan Utara untuk pabrik bubur kertas RGE di Sumatera. Pemegang saham mayoritas Adindo adalah Bioenergy Enterprise Sdn Bhd, dan Direktur asli Bioenergy adalah mantan karyawan RGE yang sama, Chew Chong Pan, yang juga adalah pemegang saham Green Ascend (M) Sdn Bhd.

Kayu dari hutan alam dimuat ke dalam tongkang di dalam area konsesi Mayawana untuk diangkut ke pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya di Sumatra, Agustus 2023, (Foto: Greenpeace Indonesia)
Kayu dari hutan alam dimuat ke dalam tongkang di dalam area konsesi Mayawana untuk diangkut ke pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya di Sumatra, Agustus 2023, (Foto: Greenpeace Indonesia)

“Per Februari 2024, Bioenergy dan Green Ascend memiliki tiga sekretaris perusahaan yang sama, yang diangkat oleh kedua perusahaan pada hari yang sama (27 Desember 2021),” kata Arie Rompas saat peluncuran laporan mereka melalui kanal Youtube Auriga Nusantara pada Senin, 18 Maret 2024 lalu.

Pada contoh yang lain, kata Arie, PT Industrial Forest Plantation, (IFP) adalah pemasok kayu pulp yang memiliki keterkaitan dengan RGE. Hingga Mei 2022, katanya, pemegang saham mayoritas PT Industrial Forest Plantation adalah perusahaan Malaysia EGL Capital Sdn Bhd, yang juga memiliki pemegang saham dan direktur yang sama dengan Green Ascend dan Bioenergy.

Sejak Mei 2022, pemegang mayoritas saham PT Industrial Forest Plantation adalah Pioneer Sage Sdn Bhd, dan saat ini masih demikian. Ia bilang, salah satu Direktur Pioneer Sage hingga Agustus 2023 adalah Yap Xian Long, yang saat ini menjadi Direktur Green Ascend sejak Desember 2022 dan dilaporkan sebagai pemilik manfaat Mayawana.

Adapun pengurus perusahaan Green Ascend saat ini dan sebelumnya, katanya, adalah orang-orang yang pernah menjabat sebagai pengurus di PT Balikpapan Chip Lestari, perusahaan induk yang berbasis di Malaysia yang mengelola pabrik chip kayu di Balikpapan, Kalimantan Timur.

“Pabrik chip kayu ini membeli kayu dari PT Adindo Hutani Lestari, PT Industrial Forest Plantation, dan pemasok pulp kayu lainnya yang berafiliasi dengan RGE pada tahun 2022,” ungkapnya

Selanjutnya, Arie bilang, perusahaan itu mengirim chip kayu secara eksklusif ke pabrik bubur kertas di Rizhao, Tiongkok yang dimiliki oleh Asia Symbol dimiliki RGE. Pengirimannya menggunakan perusahaan pengiriman laut yang berada di bawah kendali bersama dengan RGE. Ia bilang, Asia Symbol pun sudah mengaku menerima kayu dari PT Balikpapan Chip Lestari.

Tak hanya itu, kata Arie, pegawai yang saat ini bekerja untuk Green Ascend juga memiliki hubungan dengan PT Phoenix Resources International, perusahaan induknya di Malaysia yang membangun pabrik bubur kayu di Kalimantan Utara.

“PT Phoenix Resources International, seperti perusahaan perkebunan pulp dan pabrik chip kayu yang dimiliki secara anonim, tetapi hubungan bisnis menunjukkan bahwa itu dimiliki bersama dengan RGE,” jelasnya

Selain itu, kata Arie,  struktur perusahaan Mayawana juga memiliki hubungan dengan Apical, group sawit milik RGE yang diakui secara publik. Dimana, Yap Ritchie, sekretaris Green Ascend hingga 12 Januari 2024 juga menjabat sebagai sekretaris korporat Apical (Malaysia) Sdn Bhd, perusahaan minyak sawit RGE di Malaysia. Pada tahun 2022, Phang Kim Mee juga menjabat sebagai sekretaris Apical (Malaysia) Sdn Bhd.

Gambar udara pembukaan hutan alam di dalam konsesi kebun kayu pulp PT Mayawana Persada, Agustus 2023 (Foto: Greenpeace Indonesia)
Gambar udara pembukaan hutan alam di dalam konsesi kebun kayu pulp PT Mayawana Persada, Agustus 2023 (Foto: Greenpeace Indonesia)

Keterkaitan Manajemen Operasional dan Rantai Pasok

Hilman Afif, Juru Kampanye Auriga Nusantara mengatakan, Individu yang diidentifikasi sebagai manajer operasional Mayawana adalah pemegang saham dalam berbagai perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan individu dan alamat yang juga terhubung dengan RGE.

Misalnya, kata Hilman, Andrea Gunawan Suwandi bertanggung jawab atas operasi Mayawana sejak 2019 merupakan individu yang memiliki keterkaitan dengan berbagai perusahaan RGE di sektor pulp.

Hilman bilang, pada tahun 2019 hingga Februari 2024, Andrea Gunawan Suwandi memiliki separuh saham di PT Cahayamas Lestari Jaya, yang berkedudukan di Indonesia. Andrea juga merupakan pemegang saham minoritas di PT Super Mitra Nusantara Abadi.

“Menarinya, alamat kantor PT Super Mitra Nusantara Abadi itu sama dengan alamat kantor perusahaan kelapa sawit RGE, di Asian Agri di Medan, Sumatera Utara,” kata Hilman Afif

Sementara itu, kata Hilman, pemegang saham mayoritas PT Super Mitra Nusantara Abadi adalah PT Bintang Utama Lestari, yang sampai beberapa tahun lalu memiliki alamat yang sama dengan kantor pusat RGE dan APRIL di Jakarta pusat.

Hilman bilang, di antara pemegang saham sebelumnya PT Super Mitra Nusantara Abadi meliputi Sukanto Tanoto, Ketua Pendiri RGE dan pemilik manfaat perusahaan tersebut bersama istrinya, Tinah Bingei, hingga Agustus 2008.

Sedangkan, PT Super Mitra Nusantara Abadi memiliki separuh saham dari perusahaan lain, yaitu PT Asiaraya Panelindo Hutanilestari, yang hingga baru-baru ini, juga memiliki alamat yang sama dengan kantor pusat RGE di Jakarta.

Masyarakat adat Dayak Benua Kualan Hilir melakukan protes terhadap penghancuran hutan keramat mereka dengan mendirikan ritual “mandoh” untuk menghalangi alat berat dan menuntut agar Mayawana pergi dari tanah leluhur mereka, (Foto: Auriga Nusantara)
Masyarakat adat Dayak Benua Kualan Hilir melakukan protes terhadap penghancuran hutan keramat mereka dengan mendirikan ritual “mandoh” untuk menghalangi alat berat dan menuntut agar Mayawana pergi dari tanah leluhur mereka, (Foto: Auriga Nusantara)

Dalam laporan Tanoto Foundation tahun 2015, seorang mantan komisaris PT Asiaraya Panelindo Hutanilestari, yaitu Protasius Daritan disebutkan sebagai “salah satu pemimpin senior RGE Indonesia”.

Adapun PT Asiaraya Panelindo Hutanilestari memiliki 50% saham di PT Wananugraha Bimalestari, yang mengoperasikan pengusahaan konsesi serat kayu di Sumatera. Hilman bilang,  APRIL mencatat PT Wananugraha Bimalestari sebagai “mitra pemasok” jangka panjang.

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Informasi dari rantai pasokan menunjukkan hal serupa. Dimana, sebuah pabrik kayu lapis milik PT Asia Forestama Raya telah menerima pasokan kayu hutan alam dari konsesi PT Mayawana.

Arie bilang, Sukanto Tanoto adalah individu yang hingga pada tahun 2008 merupakan pemilik dari pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya. Kemudian, katanya, Sukanto Tanoto mempertahankan sebagian kepemilikan pabrik tersebut melalui perusahaan induknya PT Dasa Anugrah Mandiri hingga bulan Juli 2023.

“Ketika itu, sahamnya dialihkan ke Glory Heights Limited, sebuah perusahaan yang berkedudukan di British Virgin Islands dan perusahaan itu pun terhubung dengan RGE,” kata Arie Rompas.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Rencana Pasokan Bahan Baku Industri (SI-RPBBI) yang dikelola oleh KLHK, pabrik kayu lapis PT Asia Forestama Raya di Provinsi Riau memiliki kapasitas produksi 68.500 m3 per tahun.

Pada tahun 2022, pabrik itu disebutkan beroperasi dengan setengah di bawah kapasitas terpasangnya, mengkonsumsi bahan baku kayu sebanyak 43.640 m3 untuk memproduksi sebanyak 21.736 m3 kayu lapis, sepertiga diantaranya kemudian diekspor.

Menurutnya, pabrik itu menggunakan 43.640 m3 bahan baku kayu untuk memproduksi 21.736 m3 kayu lapis pada tahun 2022, setengah dari kapasitas terpasangnya, dan sepertiga diantaranya diekspor. Pada tahun 2023, pabrik itu juga menerima 35.215 m3 kayu dan memproduksi 16.831 m3 kubik kayu lapis.

“Pada tahun 2022 hingga 2023, perusahaan itu menerima kayu hutan alam dari PT Mayawana Persada,” ungkapnya

PT Mayawana Persada memiliki pengurus perusahaan yang sama dengan perusahaan- perusahaan yang terhubung dengan RGE.
PT Mayawana Persada memiliki pengurus perusahaan yang sama dengan perusahaan- perusahaan yang terhubung dengan RGE.

Bukan hanya itu, kata Arie, data laporan RPBBI pada tahun 2022 menyebutkan, Mayawana memasok 10.808 m3 kayu gelondongan dari hasil membabat hutannya ke PT Asia Forestama Raya. Pada tahun 2023, volume kayu yang dipasok oleh Mayawana ke Asia Forestama Raya meningkat menjadi 13.423 m3.

“Tahun lalu, Mayawana memasok lebih dari 98% dari kayu hutan alam atau 38% dari pasokan kayu keseluruhan yang diterima oleh Asia Forestama Raya,” katanya

Untuk membuktikan temuan itu, pihaknya bersama tim melakukan diversifikasi dengan perangkat pelacakan yang dipasang di tongkang milik Mayawana pada pengiriman kayu bulan Juni 2023. Hasilnya, kayu dari tempat penimbunan kayu gelondongan Mayawana ternyata betul mengarah ke Asia Forestama Raya.

“Kami menemukan, kayu-kayu tersebut meninggalkan tempat penimbunan kayu gelondongan Mayawana pada tanggal 6 Agustus 2023 dan tiba di dermaga Asia Forestama Raya pada tanggal 15 Agustus 2023,” pungkasnya

Arie menegaskan, bukti-bukti yang dilakukan pihaknya bersama NGO lainnya dalam metodologi pelacakan rantai pasok itu sangat jelas dan sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Termasuk keterhubungan antara Mayawana dengan RGE.

Untuk itu, Arie mendesak  PT Mayawana Persada untuk segera menghentikan deforestasi dan memulihkan lahan gambut yang telah dibuka, mengungkapkan pemilik manfaat utamanya, dan menyelesaikan konfliknya dengan komunitas lokal secara adil dan bertanggung jawab.

Arie juga meminta Grup RGE untuk mengakui relasinya dengan PT Mayawana Persada, dan berkomitmen untuk membuka secara penuh struktur kendali dan kepemilikannya terhadap subsidiari, afiliasi, dan korporasi lain yang terkait.

Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)
Kegiatan pembukaan hutan di konsesi PT Mayawana Persada untuk penyiapan lahan perkebunan kayu pulp skala industri, Juli 2023 (Foto: Auriga Nusantara)

Konsumen RGE, serta para pemberi pinjaman, juga diminta untuk menyelidiki temuan pihaknya, dan menuntut penghentian segera penghancuran hutan tropis dan konflik sosial yang dipicu oleh PT Mayawana Persada dan “korporasi bayangan” lain yang terhubung dengan RGE.

Forest Stewardship Council untuk juga diminta menghentikan “proses pemulihan” bagi APRIL agar kembali masuk ke dalam skema sertifikasi keberlanjutan, setidaknya sampai Mayawana berhenti deforestasi dan pembukaan lahan gambut.

“Mayawana juga harus menyelesaikan konfliknya dengan komunitas lokal secara adil dan bertanggung jawab,” tegas Arie

Namun, RGE melalui APRIL, unit bisnis pulp dan kertas di Indonesia membantah, bahwa mereka tidak memiliki hubungan pemasok dengan PT Mayawana Persada. APRIL pun menjelaskan, mereka teguh mempertahankan komitmennya untuk tidak melakukan deforestasi dalam rantai pasoknya sebagai bagian dari Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan.

Selain itu, APRIL menegaskan, RGE dengan tegas membantah adanya hubungan antara RGE dengan pemegang sahamnya dan PT Mayawana Persada. RGE menyatakan bahwa tidak ada asosiasi yang sah antara RGE dan PT Phoenix Resources International.

Semua pasokan serat, termasuk sumber pihak ketiga, kata APRIL, akan sesuai dengan Kebijakan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan yang secara eksplisit berkomitmen untuk tidak melakukan deforestasi dalam rantai pasokan kami dari sumber manapun.

APRIL bilang, Pasokan serat APRIL saat ini dan di masa depan sebagian besar akan bersumber dari konsesi milik APRIL dan pemasoknya. Sementara, Informasi yang disajikan terkait individu hanya menunjukkan adanya jaringan hubungan profesional standar, dan bagian dari perkembangan karier normal.

“Keterhubungan antara korporasi itu bersifat spekulatif dan tidak berdasar, serta kurangnya informasi rinci dan factual,” tulis Geeta Ramachanran, Head of International Communications, APRIL Group melalui surat yang dibuat 8 Maret lalu untuk merespon laporan lembaga swadaya masyarakat yang berjudul “Pembalak Anonim

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.