Produsen Harus Bertanggung Jawab dengan Sampah Mereka!

Sampah-sampah kemasan plastik di Ambon, Maluku. Foto: Ecoton
Sampah-sampah kemasan plastik di Ambon, Maluku. Foto: Ecoton
  • Sampah plastik dari kantong sekali pakai, kemasan produk makanan, minuman maupun berbagai keperluan rumah tangga banyak berserakan di sudut-sudut jalan maupun di tepian sungai dan pesisir. 
  • Dari 514 kabupaten dan kota di Indonesiahanya 45% memiliki Peraturan Daerah (Perda) Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan.
  • Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, setiap produsen penyumbang sampah di Indonesiaharus diberi sanksi tegas
  • Hasil penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara, ada 68 sungai strategis nasional dibanjiri mikroplastik yang merupakan serpihan kecil sampah plastik. 

Sampah di Indonesia masih saja menjadi persoalan yang sangat serius dan sampai saat ini belum terselesaikan dengan baik. Berbagai kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia disinyalir tidak sepenuhnya memberikan dampak yang positif dan belum terimplementasi dengan baik untuk pengelolaan sampah di Indonesia, terlebih soal sampah plastik yang sangat sulit terurai.

Parahnya lagi, sampah-sampah plastik tersebut terdeteksi mencemari berbagai segmen lingkungan, mulai dari penumpukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), kontaminasi pada ekosistem laut, sungai dan air tawar, hingga polusi udara akibat pembakaran sampah plastik.

Pada tahun 2018, Indonesia menghasilkan sekitar 9.975.000 ton sampah plastik, setara dengan 15% dari total timbulan sampah. Dari jumlah tersebut, antara 270.000 hingga 590.000 ton sampah plastik diperkirakan berakhir di lingkungan laut. Pengelolaan sampah yang tidak tepat di darat adalah alasan utama mengapa plastik berakhir di lingkungan laut.

Berdasarkan laporan dari National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia yang diterbitkan pada Oktober 2022 lalu menunjukan, ada sekitar 49 persen dari sampah kota yang terkumpul dibuang ke tempat pembuangan akhir, sementara 51 persen lainnya masih dikelola dengan buruk.

Pengelolaan sampah yang buruk itu kebanyakan melalui pembuangan terbuka, pembakaran, atau kebocoran ke saluran air yang menambah masalah polusi plastik dan sampah. Selain itu, Pandemi COVID-19 juga meningkatkan produk plastik tertentu, seperti masker dan sarung tangan.

Sampah plastik yang berakhir di lautan menjadi salah satu pemicu utama pencemaran di lingkungan laut dan pesisir, dan memiliki dampak langsung yang substansial. Pasalnya, dengan pencemaran sampah ke lautan sangat berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati laut, jasa ekosistemnya bagi masyarakat, dan ekonomi.

Pada tahun 2016, Forum Ekonomi Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050 akan ada lebih banyak sampah plastik di lautan daripada populasi ikan. Hal itu akan terjadi jika tidak ada strategi dan intervensi kebijakan yang efektif yang harus dilakukan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.

Pasalnya, Indonesia menjadi negara kedua penghasil sampah plastik terbesar di Dunia setelah Tiongkok. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memperkirakan, sebanyak 37 persen sampah plastik ditemukan di pantai dan laut. Tak hanya itu, berdasarkan hasil Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN), seluruh wilayah Indonesia, baik Provinsi dan kabupaten/kota, sudah dibanjiri mikroplastik.

Sebenarnya, beberapa tahun terakhir Indonesia telah mengadopsi berbagai langkah legislatif membuat kebijakan untuk mengurangi polusi plastik dan pengurangan limbah. Diantaranya, Rencana Aksi Nasional Kelautan Sampah Plastik 2017-2025, yang diatur melalui Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah Sampah Laut yang menargetkan ada pengurangan sekitar 70 persen sampah plastik di laut.

Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga sudah membuat Peraturan No. P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Peraturan itu dibuat dengan tujuan menekan produsen harus bertanggung jawab untuk melakukan pengurangan sampah mereka dengan target 30% dari total sampah Indonesia pada tahun 2029.

Sampah plastik kemasan berbagai hal ditemukan di tepian sungai maupun laut di berbagai daerah di Indonesia. Foto: Ecoton
Sampah plastik kemasan berbagai hal ditemukan di tepian sungai maupun laut di berbagai daerah di Indonesia. Foto: Ecoton

Tak hanya itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga sudah membuat Peraturan No.5 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Plastik Pada Destinasi Wisata Bahari. Peraturan bertujuan untuk menargetkan pengelolaan sampah plastik di sektor pariwisata bisa lebih baik.

Selain itu, ada juga peraturan tingkat regional dan lokal yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang juga mengintervensi persoalan sampah serta meningkatkan kesadaran dan mengatur kampanye pembersihan.

Namun, Indonesia terkesan tertinggal dalam hal penerapan sistem pengelolaan sampah yang efektif, atau kurang aktif dalam kebijakan untuk mengurangi plastik, dan untuk mengurangi sejauh mana kebocoran plastik menjadi sampah laut. Di bawah skenario saat ini, negara berisiko tidak dapat mencapai target nasional untuk mengurangi sampah plastik laut sebesar 70% pada tahun 2025.

Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) menilai, Pemerintah Indonesia tidak terlalu tegas dalam mengimplementasikan semua peraturan yang dibuat, termasuk Peraturan No. P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Sebenarnya, kata Fajri, Peraturan No. P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen merupakan langkah awal yang cukup baik untuk mengarahkan pengurangan sampah oleh produsen. Tapi, Fajri menilai implementasi dari kewajiban produsen yang diatur dalam peraturan tersebut masih sangat lambat dilakukan.

Produsen, katanya, kebanyakan masih menggunakan pengurangan sampah dengan melakukan daur ulang, apalagi ada yang menggunakan dengan teknologi Waste to Energy yang disebut sebagai solusi dari permasalahan plastik yang ada di Indonesia. Padahal, katanya, metode tersebut merupakan solusi palsu bagi sampah plastik yang dapat memicu kebocoran pencemaran lingkungan.

Teknologi Waste to Energy sebenarnya diakomodir oleh Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah. Katanya, penerapan teknologi tersebut tidak realistis, mahal dan berpotensi gagal.

Dari segi pembiayaan maupun teknis, katanya, Teknologi Waste to Energy berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai sumber daya material secara berkelanjutan, dan hal itu merupakan bentuk dari solusi semu.

“Ketika sampah plastik dan sampah sekali pakai dibakar menggunakan Teknologi Waste to Energy akan menimbulkan beban lingkungan juga. Karena, abu-abu dari hasil pembakaran pasti akan bocor ke udara dan menimbulkan pencemaran lingkungan kembali,” kata Fajri Fadhillah kepada Mongabay, akhir Desember lalu.

Fajri Fadhillah menegaskan, setiap produsen penyumbang sampah di Indonesia harus diberikan sanksi yang sangat tegas agar semua target pemerintah Indonesia dalam pengurangan sampah bisa tercapai. Ia bilang, sikap acu tak acu oleh produsen harus benar-benar direspon dengan tegas, untuk mencegah polusi sampah plastik di Indonesia menjadi lebih parah lagi.

Sampah kemasan plastik. Foto: Ecoton
Sampah kemasan plastik. Foto: Ecoton

Siapa Produsen Penyumbang Sampah?

Berdasarkan hasil brand audit oleh Break Free From Plastic yang merupakan organisasi gerakan global yang bekerja untuk mencapai masa depan yang bebas dari polusi plastik menyebutkan bahwa ada produk Danone, masuk dalam Top Plastic Polluters di Indonesia bersamaan dengan Wings Group, Mayora Indah, Indofood, dan Unilever.

Sementara, untuk Top Plastic Polluters secara global, Break Free From Plastic menemukan, produk Coca Cola masuk dalam peringkat pertama setelah, PepsiCo, Nestle, Unilever dan Mondelez International. Hasil brand audit oleh Break Free From Plastic itu, dilakukan selama 5 tahun, yaitu sejak 2018 hingga 2022.

Tak hanya itu, berdasarkan hasil observasi lapangan atau hasil audit sampah sachet dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) menunjukan produk Indofood, Wings Food, Mayora, Unilever, dan Ajinomoto mendominasi tumpukan sampah di tepi sungai, danau dan pantai di seluruh Indonesia.

Parahnya lagi, hasil penelitian Tim ESN mencatat, ada 68 sungai strategis nasional dibanjiri mikroplastik yang merupakan serpihan kecil sampah plastik. Selain itu, ada 5 Provinsi di Indonesia yang paling tinggi terkontaminasi partikel mikroplastik, yaitu; Provinsi Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, dan Sulawesi Tengah.

Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) sekaligus peneliti tim ESN mendesak, produsen penyumbang sampah plastik di Indonesia harus benar-benar bertanggung jawab atas sampah mereka. Jika tidak, hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan manusia seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Sejak 29 November 2022 lalu, Mongabay menyurati 10 perusahaan yang menjadi produsen penyumbang sampah plastik berdasarkan hasil audi Break Free From Plastic, baik Top Plastic Polluters di Indonesia maupun global melalui email perusahaan mereka. 10 perusahaan itu termasuk produsen yang mendominasi sampahnya di Indonesia berdasarkan hasil observasi lapangan tim ESN.

Sayangnya, dari 10 perusahaan yang disurati untuk meminta penjelasan pertanggungjawaban terkait sampah mereka, hanya satu perusahaan yang merespon dan menjawab pertanyaan yang diberikan, yaitu Indofood. Sisanya, atau 9 perusahaan lainnya tidak merespon hingga tulisan ini diterbitkan.

Stefanus Indrayana, Head of Corporate Communication Division PT Indofood Sukses Makmur Tbk (Indofood) mengatakan, Indofood saat ini sudah dan sedang dalam proses melakukan berbagai upaya pengurangan sampah plastik di Indonesia. Hal itu baik dilakukan oleh Indofood secara mandiri maupun bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya di dalam negeri dan di kalangan industry.

Menurut Stefanus, Peraturan Presiden RI No. 83 Tahun 2018 Tentang Penanganan Sampah Laut dan Peraturan KLHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, membuat perusahaannya lebih memacu diri dalam untuk mencapai target yang telah ditetapkan Pemerintah dalam pengurangan sampah di Indonesia.

Saat ini, katanya, Indofood sedang membangun kerjasama bersama Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE) dan Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO) dalam membangun ekosistem sirkuler ekonomi yang terintegrasi untuk penanganan sampah pasca konsumsi di Indonesia.

Stefanus bilang, berbagai upaya yang sedang dilakukan tersebut saat ini masih dalam  proses kajian dan evaluasi guna menetapkan solusi yang dianggap paling tepat dan terbaik untuk mencapai target pengurangan sampah pasca konsumsi yang telah ditetapkan Pemerintah.

Dalam menjalankan kegiatan usaha, katanya, Indofood senantiasa berupaya untuk mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk peraturan terkait penanganan sampah pasca konsumsi.

“Upaya serta penetapan target dalam bentuk Peta Jalan Pengurangan Sampah akan kami laporkan kepada Pemerintah,” kata Stefanus Indrayana melalui email yang dikirim ke Mongabay pada 9 Desember 2022 lalu.

Sebenarnya, bulan juni 2021 lalu, atau kurang lebih dua tahun setelah aturan dan penetapan target dalam bentuk peta jalan pengurangan sampah dibuat, ada 23 produsen telah mengirimkan dokumen perencanaan pelaksanaan peta jalan pengurangan sampah 2020-2029 yang sesuai tenggat waktu yang ditetapkan.

Produsen-produsen itu diantaranya; PT. Lasallefood Indonesia, PT. Tirta Investama (Danone –Aqua), PT. Unilever, PT. Nestle, PT. Softex Indonesia, PT. Paragon Technology and Innovation (Wardah), PT. Johnson Home Hygiene Products, PT. SC Johnson Manufacturing Surabaya (PT SCJMS), PT. Procter & Gamble Home Products Indonesia (P&G), ada PT. Milenium Masa Manunggal,

Ada juga PT. Yakult Indonesia, PT. Mandom Indonesia, PT. Coca Cola Indonesia, PT. HM Sampoerna, PT. L’Oreal Indonesia, dan PT. Heinz ABC Indonesia, PT. Bengawan Inti Kharisma (Solo Grand Mall), PT. Matahari Department Store, Tbk, PT Griya Inti Sejahtera Insani/Palembang Icon Mall, PT Ciputra Semarang, Palembang Square Mall, Palembang Square Extension, dan PT. Lion Super Indo.

Sayangnya, dokumen perencanaan pelaksanaan peta jalan pengurangan sampah 2020-2029 yang diberikan 23 produsen itu terkesan lamban dan tak berarti. Sampah-sampah di Indonesia tak menunjukan pengurangan yang signifikan, bahkan serpihan plastik yang sudah berubah menjadi mikroplastik sudah membanjiri seluruh wilayah Indonesia.

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbunan sampah pada tahun 2019 mencapai 29,210,794.06 ton, pada tahun 2020 meningkat menjadi 32,326,761.43 ton. Pada tahun 2021, timbunan sampah di Indonesia mengalami pengurangan menjadi 30,755,687.14 ton. Artinya, sejak tahun 2019 hingga 2021, timbunan sampah di Indonesia tidak mengalami pengurangan, melainkan bertambah.

Prigi mengatakan, timbunan sampah yang semakin meningkat setiap tahunnya dan banyaknya sampah-sampah plastik yang berakhir di sungai dan lautan di seluruh Indonesia merupakan belum ada aksi nyata untuk pencapaian target yang dilakukan oleh produsen di lapangan. Apalagi, kapasitas layanan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah masih sangat rendah.

Pasalnya, kata Prigi, dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia hanya 45 persen yang sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Persampahan dan Perda Retribusi Persampahan. Sementara itu, Presiden Jokowi meminta pengelolaan sampah harus menjadi program penting dibuat terpadu dan sistemik. Katanya, harus ada aksi nyata yang harus dilakukan oleh produsen di lapangan.

“Harus ada juga keterlibatan masyarakat dan swasta serta sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah di Indonesia,” kata Prigi Arisandi, akhir Desember lalu.

Mengadopsi Kebijakan

Sebenarnya, selain perusahaan-perusahaan yang menjadi produsen penyumbang sampah yang disebutkan dalam tulisan ini, ada satu perusahaan yang bisa menjadi pionir dalam memberikan edukasi atau program dan kebijakannya bisa diadopsi oleh produsen yang menjadi Top Plastic Polluters di Indonesia maupun secara global. Perusahaan itu adalah PT. Monica Hijau Lestari (The Body Shop).

The Body Shop memiliki program Bring Back Our Bottles (BBOB) yang mengajak konsumennya untuk mengembalikan kemasan kosong produk The Body Shop ke toko-toko terdekat untuk didaur ulang dan hasil pengolahannya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat.

“Customer yang mengembalikan kemasan kita, diberikan harga yang adil. Kami juga bekerjasama dengan beberbagai lembaga untuk mengsukseskan program BBOB,” kata Dita Agustia, Corporate Values Manager The Body Shop Indonesia kepada Mongabay, akhir November 2022 lalu.

Melalui program BBOB, katanya, The Body Shop Indonesia berusaha mengedukasi customer dan publik agar bertanggung jawab terhadap produk kemasan plastik yang telah digunakan sehari-hari sehingga mampu mengurangi timbulan sampah di lingkungan sekitar ataupun Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Dita bilang, program BBOB pertama kali diluncurkan pada tahun 2008 oleh The Body Shop Indonesia dan menjadi pionir untuk program pengembalian kemasan kosong di Indonesia. Ia bilang, program bertujuan untuk mengubah cara berpikir terhadap kemasan dan plastik.

Katanya, The Body Shop Indonesia berkeinginan menjadi brand yang berkelanjutan yang melestarikan planet Bumi. Pihaknya juga ingin memberdayakan manusia di dalamnya terutama pemungut sampah dan mengurangi permasalah global soal sampah plastik.

Pada tahun 2016, program BBOB menerima dua penghargaan yaitu, dari KLHK atas inisiatif dalam pengurangan sampah (Waste Reduction Initiative) dan penghargaan dari Indonesia’s Best Corporate Social Initiative untuk kategori Corporate Social Marketing.

Sampah-sampah kemasan plastik di Ambon, Maluku. Foto: Ecoton
Sampah-sampah kemasan plastik di Ambon, Maluku. Foto: Ecoton

Dita bilang, tanggung jawab ini bersifat jangka panjang, sehingga The Body Shop dapat mengatasi krisis plastik ini dengan solusi yang dapat bertahan. Katanya, The Body Shop bertujuan mendapatkan minimal 75 persen post-consumer recycled (PCR) plastik dari seluruh lini produk di tahun 2022.

Pada tahun 2025 nanti, seluruh plastik yang digunakan The Body Shop akan menggunakan 100 persen plastik daur ulang untuk digunakan kembali dalam supply chain serta terbebas dari bahan baku fosil. Pada tahun 2030, The Body Shop berencana akan menggunakan 3 jenis plastik dari 20 jenis agar dapat memudahkan konsumen untuk mendaur ulang produk.

Tak hanya itu, dengan skema Return, Recycle, Repeat, katanya, The Body Shop akan mengumpulkan 25 persen lebih banyak kemasan dari pada yang jual. Hal tersebut akan meminimalisir atau bahkan menghilangkan jejak karbon dari kemasan yang berdampak pada lingkungan, serta meningkatkan material daur ulang untuk industri lain gunakan.

“Selain itu, The Body Shop juga berencana, plastik baru yang digunakan nanti akan terbuat dari sumber yang bersih, berbahan dasar tumbuhan atau sejenisnya, yang jelas bukan plastik dari bahan baku fosil,” ujarnya

Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup di ICEL menilai, apa yang dilakukan oleh The Body Shop merupakan bentuk aksi nyata yang seharusnya ditiru oleh semua produsen di Indonesia. Apalagi, program BBOB oleh The Body Shop dibuat jauh sebelum ada Peraturan KLHK No. 75 Tahun 2019.

Tak hanya mengadopsi program dan kebijakan, kata Fajri, pemerintah Indonesia serta produsen-produsen peyumbang sampah harus mampu menerjemahkan secara jelas untuk menutup keran pencemaran lingkungan. Katanya, pengelolaan sampah harus mengutamakan pengurangan dahulu, agar beban penanganannya tidak semakin besar. Hal itu juga sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Ia menganalogikan, ketika air dalam bak sudah penuh, harusnya bukan langsung mengepel air yang sudah mengalir ke lantai, tetapi keran air yang terlebih dahulu dimatikan. Artinya, jika timbunan sampah di Indonesia semakin meningkat, harusnya produksi produk di produsen harus ditutup terlebih dahulu. Katanya, itu solusi yang harus diambil pemerintah jika ingin keluar dari masalah sampah.

“Semakin sedikit sampah yang dibawah ke TPA, maka semakin bagus pengelolaan sampahnya. Kalau hal itu ingin dilakukan, maka harus tutup keran produksi di produsen, karena produsen yang memiliki kuasa lebih besar dalam pengurangan sampah,” katanya

Sampah banyak berserakan di tepian sungai di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Sampah banyak berserakan di tepian sungai di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Selain itu, Prigi Arisandi mendesak semua produsen penyumbang sampah di Indonesia harus menetapkan target dan roadmap yang detail, jelas dan tegas dalam upaya menghentikan penjualan produk kemasan sachet multilayer dan kemasan plastik sekali pakai menjadi sistem distribusi reusable refillable. Prigi bilang, produsen harus mengumumkan komitmen keseriusan dan roadmap pencegahan dan pengurangan timbulan sampah plastik kepada publik.

Prigi juga meminta, produsen harus menghentikan investasi pada solusi palsu penanganan sampah dengan seperti daur ulang downcycle yang menghentikan sirkularitas material plastik, chemical recycling dan RDF yang melepas emisi karbon dan racun pengganggu hormone serta mikroplastik.

Prigi berharap, produsen dapat meningkatkan investasinya pada solusi sesungguhnya untuk penanggulangan krisis plastik, yaitu mengembangkan material, teknologi dan sistem distribusi yang aman dan berkelanjutan untuk mengganti plastik sekali pakai menjadi system reuse refill, serta menerapkan EPR untuk meningkatkan pengumpulan dan pemilahan sampah plastik dari konsumen secara menyeluruh untuk semua kemasan yang dihasilkan.

“Produsen juga harus memperluas area penerapan uji coba atau pilot penjualan kemasan reusable dan membangun jaringan distribusi kios refill hingga ke daerah pelosok dan terpencil Wilayah Indonesia Timur yang tidak terjangkau layanan pengelolaan sampah formal dari pemerintah daerah,” kata Prigi Arisandi dalam Press Release yang diterima Mongabay

Selain itu, Prigi juga meminta produsen harus mendukung upaya pemerintah dan masyarakat dalam membangun dan mereplikasi kawasan pengelolaan sampah mandiri untuk mendorong penerapan tanggung jawab warga negara yang setiap hari menghasilkan sampah. Ia bilang, produsen harus menerapkan prinsip zero waste secara masal melalui pengurangan timbulan sampah, pilah sampah dari sumber dan pengoperasian sarana pengolahan sampah organik di setiap kawasan permukiman desa dan kelurahan.

Tak hanya itu, produsen diminta untuk melakukan upaya pencegahan kontaminasi bahan kimia beracun dan partikel mikroplastik pengganggu hormon dan karsinogenik pada produk dan kemasan produk yang dipasarkan. Katanya, produsen juga harus melakukan upaya pembersihan dan pengumpulan sampah sachet dan plastik yang tercecer di perairan Indonesia, termasuk di wilayah Indonesia Timur.

“Produsen juga harus melakukan edukasi kepada konsumen tentang bahaya plastik dan ajakan untuk beralih pada sistem distribusi reuse dan refill produk melalui iklan masyarakat secara masif dan massal di televisi, media cetak dan media online,” katanya

Sampah plastik seperti sachet ini salah satu yang bisa jadi mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Sampah plastik seperti sachet ini salah satu yang bisa jadi mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Bagaimana Tanggapan Pemerintah?

Novrizal Tahar, Direktur Penanganan Sampah KLHK mengatakan, peraturan dan target yang dibuat Pemerintah Indonesia dari Rencana Aksi Nasional Kelautan Sampah Plastik 2017-2025, yang diatur melalui Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah Laut serta Peraturan KLHK No. 75 Tahun 2019 sudah berjalan dengan baik. Pasalnya, pada tahun 2021, katanya, pihaknya berhasil mengurangi sekitar 28,5 persen sampah plastik di laut.

Selain itu, kata Novrizal, Indonesia yang meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan upaya sendiri (unconditional) meningkat dari 29 persen di dokumen Updated NDC menjadi 31,89 persen pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41 persen menjadi 43,2 persen, merupakan bentuk kepedulian Indonesia dalam menuntaskan permasalahan sampah.

Peningkatan target tersebut, katanya, didasarkan kepada kebijakan-kebijakan nasional terakhir terkait perubahan iklim, termasuk penanganan sampah di Indonesia. Meski begitu, katanya, pihaknya akan tetap melakukan akselerasi, upaya mitigasi, pengelolaan sampah yang dapat menurunkan emisi GRK yang signifikan, minimal mencapai target NDC 40 juta ton untuk menurunkan emisi di tahun 2030.

Pada tahun 2050, katanya, pihaknya juga sudah membuat skenario untuk mencapai Net Zero Emission dengan memiliki konsep yang sangat besar pengelolaan sampah kedepan. Ia optimasi, Rencana Aksi Nasional Kelautan Sampah Plastik 2017-2025, yang menargetkan ada pengurangan sekitar 70 persen sampah plastik di laut bisa 100 persen dilakukan pada tahun 2025. Secara paralel, pihaknya juga akan terus melakukan upaya-upaya mitigasi.

“Misalnya, kita akan mendorong kebijakan-kebijakan pengelolaan sampah di sumbernya dengan; Tempat Pengelolaan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R); bank sampah; serta Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” kata Novrizal Tahar kepada Mongabay, awal Januari 2023 lalu.

Uji air di perairan Gorontalo dan hasilnya tercemar mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Uji air di perairan Gorontalo dan hasilnya tercemar mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Tak hanya itu, katanya, pihaknya juga akan memaksimalkan teknologi waste to electricity dan Teknologi Refused Derived Fuel (RDF) yang mengolah sampah sebagai sumber energi baru terbarukan serta dapat mengurangi emisi GRK dan menyelesaikan persoalan sampah. Pihaknya juga akan mengembangkan teknologi Black Soldier Fly Larvae (BSFL) yang mampu mengolah sampah organik dan menjadikan sampah menjadi bernilai guna.

“Yang paling penting adalah, penerapan secara penuh metode pengelolaan sampah dengan konsep Zero Waste to Landfill yaitu pengelolaan sampah berbasis 3R (reduce, reuse dan recycle) yang berujung pada berkurangnya sampah yang diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Hal itu yang akan kita dorong di kabupaten/kota di seluruh Indonesia,” katanya

Meski begitu, Novrizal tak memberikan komentar soal hasil implementasi dari Peraturan KLHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Ia bilang, untuk menjelaskan hal tersebut bukan wewenangnya, melainkan wewenang dari Dirjen Pengelolaan Sampah KLHK.

Sabtu 7 Januari 2023 lalu, Mongabay menghubungi pihak Dirjen Pengelolaan Sampah KLHK, serta memberikan sejumlah pertanyaan soal Peraturan KLHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Namun, hingga berita ini diterbitkan, pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung dijawab.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.