Ditutup Megawati, Dibuka Jokowi: Pasir Laut kita untuk Siapa?

Kapal pengangkut pasir sedang menyemprotkan pasir untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Foto : F Jailani/Batampos
Kapal pengangkut pasir sedang menyemprotkan pasir untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Foto : F Jailani/Batampos
  • Setelah 20 tahun dilarang, ekspor pasir laut yang pernah ditutup Megawati Soekarnoputri saat jadi Presiden pada 2003, kini dibuka kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang terbit pada pertengahan Mei lalu, celah pasir laut bisa jadi komoditas ekspor pun terbuka.
  • Berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil menyesalkan aturan yang rawan menimbulkan kerusakan lingkungan ini. 
  • Susan Herawaty, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, PP ini satu regulasi yang mengeksploitasi dengan wujud lebih halus, pakai dalil melindungi dan melestarikan laut, tetapi orientasi bisnis.
  • Afdillah Chudiel, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan, PP ini menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. 

Setelah 20 tahun dilarang, praktik ekspor pasir laut yang pernah ditutup Megawati Soekarnoputri saat menjadi Presiden pada 2003, kini buka kembali keran ekpornya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang diterbitkan pada pertengahan Mei lalu, pasir laut kini kembali menjadi komoditi yang bisa diekspor Pemerintah Indonesia. Padahal, praktik itu dinilai dapat merusak lingkungan.

Misalnya, pada 2003 silam. Megawati Soekarnoputri melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan membuat kebijakan dengan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang perhentian sementara ekspor pasir laut. Regulasi itu bertujuan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, serta belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura. Kondisi itu yang membuat ekspor pasir laut ditentukan saat itu.

Namun, ekspor pasir laut yang berisiko merusak ekosistem laut serta mengancam keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia, tampaknya tidak dihiraukan Jokowi. PP Nomor 26 Tahun 2023 dalam Pasal 9 menyebutkan secara jelas, pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat diekspor. Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun menilai, kebijakan itu akan mempercepat bencana iklim, menenggelamkan pulau-pulau kecil, mempengaruhi tangkapan nelayan, hingga memicu kelangkaan pangan.

Susan Herawaty, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan, PP Nomor 26 Tahun 2023 merupakan salah satu regulasi yang mengeksploitasi dengan wujud yang lebih halus, dengan dalil melindungi dan melestarikan laut, tapi orientasinya bisnis dan hal itu menjadi ironi. Padahal, pada periode pertama, Presiden Jokowi mengatakan Indonesia menjadi poros maritim dunia dimana manusia didalamnya, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir lainnya menjadi tuan dan puan di laut sendiri.

“Tapi makin kesini, nelayan dan masyarakat pesisir lainnya seakan menjadi pengungsi di laut, dan terasing di ruang penghidupannya sendiri. Diterbitkannya PP Nomor 26 Tahun 2023, negara seperti makelar yang menjual sumber daya kelautan dan perikanan, tanpa memperdulikan nelayan dan masyarakat pesisir yang menjadi tuan dan puan di lautnya,” kata Susan Herawaty akhir Mei lalu.

PP Pengolahan Hasil Sedimentasi di Laut, kata Susan, merupakan wujud nyata dari kepalsuan konsep poros maritime digencarkan oleh Presiden Jokowi. Pasalnya, PP 26 yang diterbitkan itu ini hanya akan merampok sumber daya laut, dan membuat beban kerusakan lingkungan yang dialami nelayan dan masyarakat pesisir semakin meningkat.

“Pemerintah hanya berorientasi untuk penambahan pemasukan negara yang mengharapkan peningkatan pendapatan negara, tapi disisi lain tidak menghitung secara mendalam bahwa akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan yang akan terjadi jika PP ini dijalankan,” tegas Susan.

KIARA menganalisis, lahirnya PP No. 26 Tahun 2023, secara otomatis mencabut Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Susan bilang, jika dilihat dari terminologinya, Pemerintah Pusat menganggap bahwa pasir laut yang berada di wilayah pesisir merupakan hasil sedimentasi sehingga harus ada pengendalian untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut.

“Telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 bahwa PP ini hanya akan melegalkan penambangan pasir di laut dengan dalih pengendalian untuk mengurangi sedimentasi di laut,” tegas Susan.

Selain itu, PP tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 yang diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU itu sangat jelas melarang praktik-praktik pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sayangnya, UU itu dikesampingkan dengan diterbitkannya PP yang bisa menghancurkan ekosistem laut itu.

Dalam PP itu juga, Pemerintah memandang pasir laut sebagai komoditas yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 9. Susan menilai, implementasi dari pengelolaan hasil sedimentasi di laut akan digunakan sebagai materi utama berbagai proyek reklamasi yang telah dilegalisasi melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil  (RZWP3K) yang telah disahkan di 28 provinsi.

“Jika dibedah secara rinci, 28 Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (RZWP3K) akan memberikan ruang terhadap berbagai proyek reklamasi dengan total luasan 3.506.653,07 hektar area,” jelas Susan.

Aksi nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar melakukan aksi penghadangan kapal Boskalis di laut perairan Spermonde, Sulawesi Selatan. Foto: Walhi Sulsel
Aksi nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar melakukan aksi penghadangan kapal Boskalis di laut perairan Spermonde, Sulawesi Selatan. Foto: Walhi Sulsel

Adapun pemanfaatan eksploitasi pasir laut akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan untuk ekspor menjadi pemicu eksploitasi pasir laut yang dilakukan semakin tidak terkendali serta hanya  menguntungkan aktor-aktor tertentu saja. Katanya, kondisi itu akan menambah derita nelayan dan masyarakat pesisir yang akan terdampak sebagai dan menjadi korban akibat kepentingan eksploitasi sumber daya kelautan, yaitu pasir laut.

Ironisnya, mekanisme sanksi di dalam PP No. 26 Tahun 2023 hanya menggunakan pendekatan sanksi administrasi. Sanksi administrasi tidak akan membuat efek jera, melainkan akan memberikan waktu dan ruang bagi investor untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan. Hal tersebut telah terjadi di Pantai Minanga yang telah direklamasi dan pelaku usaha diberikan sanksi administrasi tetapi mereka tetap beroperasi hingga saat ini. Susan bilang,, seharusnya Pemerintah memberikan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera.

“Legalisasi eksploitasi pasir laut akan semakin mengancam keberlanjutan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang kini sedang berjuang melawan krisis iklim. Pulau-pulau kecil akan masif terancam tenggelam jika PP ini tidak dievaluasi dan dicabut. Pemerintah seharusnya menjamin kehidupan nelayan dan ruang-ruang produksinya serta keberlanjutan ekosistem pesisir, bukan merampok sumber daya alam mereka,” jelas Susan.

Sebenarnya, sebelum adanya PP itu, aktivitas penambangan pasir laut masih terus terjadi di Indonesia, salah satunya di Sulawesi Selatan. Demi proyek strategis nasional (PSN), berbagai kerusakan alam dan kerugian sosial-ekonomi terjadi di Pulau Kodingareng, Makassar. Temuan tersebut terungkap dalam laporan berjudul “Panraki Pa’boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde” tahun 2020.

Laporan yang dibuat oleh Greenpeace Indonesia bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Save Spermonde menyelidiki, bagaimana ribuan orang di Pulau Kodingareng, salah satu pulau di Kepulauan Spermonde, berusaha keras menyelamatkan laut dan wilayah tangkap nelayan dari aktivitas tambang pasir laut yang dikerjakan oleh salah satu perusahaan dredging terbesar di dunia asal Belanda bernama Royal Boskalis dengan nilai kontrak sebesar 75 Juta Euro.

Dilokasi itu juga, ada aktivitas pengerukan pasir laut yang dilakukan oleh kapal “Queen of the Netherland” dengan panjang 230,71 Meter dan lebar 32 Meter bertujuan untuk menyuplai material reklamasi untuk proyek strategis nasional (PSN) milik PT Pelindo yakni Makassar New Port. Proyek pengembangan pelabuhan ini diprediksi mampu meningkatkan aktivitas ekspor-impor di kawasan Indonesia bagian timur, sehingga mendongkrak perekonomian di kawasan timur Indonesia.

Akan tetapi, dibalik megahnya perencanaan proyek strategis nasional yang diproyeksikan menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia bagian timur dengan luas 1,428 hektar, ternyata justru melahirkan penderitaan berkepanjangan dan kerusakan ekosistem laut di perairan Makassar. Hal ini disebabkan karena lokasi penambangan pasir laut (Blok Spermonde) tepat berada di wilayah tangkap Nelayan Pulau Kodingareng seperti Copong Lompo, Copong Ca’di, Bonema’lonjo, dan Pungangrong.

Alhasil, sejak adanya aktivitas penambangan pasir laut itu, kehidupan nelayan mengalami penurunan kualitas hidup, dan berdampak buruk terhadap lingkungan, ekonomi, dan sosial. Misalnya, dalam aspek lingkungan, wilayah tangkap nelayan yang kini menjadi lokasi penambangan pasir telah mengalami perubahan secara drastis, diantaranya; perubahan arus dan ketinggian ombak; kekeruhan air laut; kerusakan terumbu karang dan batu-batuan dasar laut; dan ancaman abrasi.

Sementara, dari aspek ekonomi, perubahan lingkungan sekitar lokasi penambangan pasir telah mengakibatkan penurunan pendapatan tangkapan nelayan secara drastis yang berdampak pada terjadinya krisis ekonomi di Pulau Kodingareng. Kondisi itu berdampak ke aspek sosial yang membuat rumah tangga nelayan tidak baik, dan perempuan mengalami tekanan emosional (sedih, gelisah, marah) akibat memikirkan kehidupan mereka pasca adanya tambang pasir laut.

Afdillah Chudiel, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan, PP No. 26 Tahun 2023 ini menambah catatan buruk pemerintah dalam penanganan sektor kelautan. Pemerintah tidak mampu mengelola sumber daya laut dengan cerdas, sehingga kerap mengambil jalan pintas untuk meningkatkan pendapatan negara melalui cara-cara ekstraktif yang merusak lingkungan dan menyengsarakan nelayan dan masyarakat pesisir.

“Lebih parah lagi, kebijakan semacam ini bisa jadi diambil tanpa kajian yang matang serta mengabaikan aspek ekologis dan hak asasi manusia,” kata Afdillah Chudiel

Pada awal tahun ini, pemerintah menerbitkan kebijakan serupa, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Senada dengan PP No. 26 Tahun 2023, pemerintah mengklaim kebijakan tersebut sebagai langkah untuk mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan.

Namun, kata Afdillah, Greenpeace Indonesia menilai sebaliknya–kebijakan PIT adalah “akal-akalan” pemerintah untuk semakin memperkaya oligarki dan meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan.

Ilustrasi penambangan pasir (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi penambangan pasir (Foto: Pixabay.com)

Pasir Laut Kita untuk Siapa?

Dengan dibukanya keran ekspor pasir laut oleh Jokowi setelah dua dekade ini, disinyalir sangat sarat dengan kepentingan bisnis. Dalam pasal 9 disebutkan secara gambling bahwa pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk; reklamasi di dalam negeri; pembangunan infrastruktur pemerintah; pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan bisa diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lalu, di pasal 10 disebutkan bahwa pelaku usaha yang akan melakukan pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut wajib memiliki izin pemanfaatan pasir laut. Melalui pasal 20, Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa PP No. 26 Tahun 2023 ditujukan untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di bidang kelautan dan perikanan. Pasal-pasal itu dinilai memberikan karpet merah kepada oligarki.

“Ini adalah greenwashing ala pemerintah. Pemerintah kembali bermain dengan narasi yang seakan mengedepankan semangat pemulihan lingkungan dan keberlanjutan, tetapi nyatanya malah menggelar karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki,” ucap Afdillah

Menurut data Minerba One Map Indonesia yang diolah Auriga Nusantara menyebutkan, hingga akhir tahun lalu, pemerintah telah memberikan 141 konsesi penambangan pasir laut kepada 118 pelaku usaha dengan total 131.157 hektar, atau dua kali luas wilayah DKI Jakarta. Dari izin yang diberikan itu, ada berupa wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), izin usaha pertambangan (IUP), serta izin pertambanga rakyat (IPR).

Dari semua izin-izin penambangan pasir laut itu, ada 11 izin yang berstatus eksploitasi, dan 21 izin sudah berstatus operasi produksi (OP). Sementara 109 izin lainnya, masih berstatus cadangan atau belum ada aktivitas pengerukan. Izin-izin itu diprediksikan akan bertambah dengan terbitnya PP No. 26 Tahun 2023 yang memberikan ruang kepada pelaku usaha untuk melakukan ekspor pasir laut selama kebutuhan dalam negeri bisa dipenuhi.

Namun, Pramono Anung, Sekretaris Kabinet menjelaskan ekspor pasir laut bukan menjadi tujuan utama dari aturan itu. Katanya, penyelesaian problem sedimentasi yang hampir terjadi di seluruh perairan RI menjadi lokus pemerintah. Sementara, untuk ekspor pasir laut, nanti aka nada aturan tersendiri yang akan dibuat oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merespon PP No. 26 Tahun 2023. Ia bilang, regulasi itu dibuat berdasarkan kajian yang mendalam.

“KKP harus membuat peraturan menteri untuk merespons PP tersebut. Isinya lebih teknis misalnya mengenai daerah mana saja yang diperbolehkan dan mekanisme perizinan lainnya,” kata Pramono Anung seperti dikutip di CNBC Indonesia

Meski begitu, menurut Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Nasional, PP itu tetap hanya melayani kepentingan pengembangan proyek reklamasi di seluruh Indonesia, yang ditujukan untuk pembangunan kawasan-kawasan bisnis baru. Katanya, sampai dengan tahun 2040, pemerintah merencanakan proyek reklamasi seluas 3,5-4 juta hektar.

Berdasarkan hitungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2021, dibutuhkan sebanyak 1.870.831.201 Meter kubik untuk proyek reklamasi di sembilan wilayah, di antaranya reklamasi di Tuban, Jawa Timur dan reklamasi di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.

Parid bilang, ekspor pasir laut itu hanya menguntungkan negara lainya, termasuk Singapura yang saat ini sedang memperluas wilayah daratannya. Sejak kemerdekaannya di tahun 1965, Negeri Singa itu telah memperluas daratannya lebih dari 20 persen hingga tahun 2017. Katanya, Indonesia merupakan pemasok utama pasir laut untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun, antara tahun 1997 hingga 2002.

Hal itu selaras dengan penelitian Vanessa Lamb, Melissa Marschke dan Jonathan Rigg yang berjudul “Trading Sand, Undermining Lives: Omitted Livelihoods in the Global Trade in Sand” yang menyebutkan Singapura menjadi importir utama pasir dunia selama lima dekade hingga kini. Saat ini, Pemerintah Singapura tengah melaksanakan fase ketiga reklamasi yang direncanakan meluas sampai 30 persen pada tahun 2030.

Tak hanya Singapura, kata Parid, China juga akan sangat diuntungkan oleh ekspor pasir dari Indonesia. Pasalnya, negara ini sedang terus membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan untuk kepentingan militernya. Bahkan berdasarkan sejumlah laporan internasional, katanya, China kini tengah berencana membuat kapal pengeruk pasir super besar.

“Kapal yang sedang dibuat China ini bisa mengeruk pasir dari dasar laut untuk dipindahkan dan dibuat pulau. Kapal itu dapat menyedot pasir dan batu, kemudian memompanya ke lokasi lain melalui pipa panjang,” kata Parid Ridwanuddin

Dengan konteks itulah, kata Parid, PP itu merupakan langkah mundur perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan, dan mendorong tenggelam pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut. Berdasarkan catatan Walhi, ada 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut.

“Artinya, dengan adanya PP ini ancaman tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan semakin cepat,” kata Parid

Pada 27 April lalu, Environmental Reporting Collective (ERC) jaringan global jurnalis yang mendedikasikan kerjanya untuk menyelidiki kejahatan lingkungan, meluncurkan kolaborasi terbarunya berjudul Beneath the Sands sebuah laporan investigasi tentang dampak penambangan pasir pada lingkungan dan komunitas, terutama perempuan dan anak di seluruh dunia.

Ilustrasi penambangan di pesisir (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi penambangan di pesisir (Foto: Pixabay.com)

Laporan ERC yang digarap selama setahun terakhir mengungkap dampak negatif penambangan pasir di 12 negara; dari Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya. Tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir yang masif, selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan Cina.

Di Indonesia misalnya, Tim ERC menemukan bagaimana penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di sana.

Di Taiwan, aktivitas ilegal kapal pengeruk pasir laut asal China dituding bertanggung jawab atas rusaknya daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu, yang mengakibatkan tangkapan ikan nelayan setempat menurun drastis hingga hampir 90 persen. Biro Pertanian dan Perikanan wilayah Penghu mengungkap bahwa tangkapan ikan di sana turun dari 346 metrik ton di 2018 menjadi hanya 160 metrik ton di 2021.

Sementara di China, kebijakan pemerintah yang melarang nelayan beroperasi di Danau Poyang demi mengambil alih tambang pasir di sana, telah menyebabkan kerusakan daerah penangkapan ikan dan habitatnya, yang sangat serius. Di Filipina, aktivitas ilegal penambang pasir laut telah merusak pesisir di Ilocos Sur. Penambangan pasir laut juga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan setempat.

Yang menarik, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran dolar. Mafia tambang pasir ini disebut-sebut terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan jurnalis, pegiat lingkungan, dan masyarakat sipil. Beberapa dari mereka di penjara, bahkan kehilangan nyawa. ERC menemukan banyak kasus kriminal yang terkait aktor penambang pasir ini di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, sampai India.

Olehnya, kata Parid, Walhi Nasional dan 28 Walhi Daerah di-Indonesia mendesak kepada Presiden Jokowi untuk segera mencabut PP No. 26 Tahun 2023 karena akan mempercepat, memperluas dan melanggengkan kerusakan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. PP tersebut akan memperburuk kehidupan masyarakat pesisir yang tinggal di hampir 13 ribu desa pesisir di Indonesia.

Walhi juga meminta Pemerintah Indonesia melakukan moratorium permanen terhadap seluruh proyek reklamasi pantai di Indonesia serta seluruh proyek tambang pasir laut yang menjadi bagian dari proyek reklamasi pantai yang merusak ekosistem laut Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga diminta mengevaluasi dan menghentikan beban industri besar di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang memperparah kerusakan, di antara pertambangan timah dan nikel yang kini terus dikembangkan oleh pemerintah. Parid bilang, pemerintah juga harus segera menyusun skema penyelamatan desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil yang tengah dan akan tenggelam.

“Pemerintah segera menetapkan darurat iklim dan segera menyusun undang-undang keadilan iklim untuk melindungi masyarakat pesisir dari ancaman dampak buruk krisis iklim,” pungkas Parid

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.