Janji Manis Perusahaan Sawit, Pahit Petani Plasma Boalemo Rasakan

Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonessia)
Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonessia)
  • Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). Mereka yang bekerjasama dengan perusahaan sejak 2013 ini, belum menerima bagi hasil sesuai perjanjian awal. Harapan kesejahteraan yang di iming-imingi perusahaan hanya pupus begitus saja, tanpa realisasi, bagai pungguk merindukan bulan.
  • Sutahir, petani plasma yang tergabung dalam Koperasi Pangeya Idaman, bilang, selayaknya investasi masuk di daerah bisa meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sayangnya, petani yang bekerjasama dengan perusahaan malah kehilangan sumber kehidupan mereka.
  • Perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya berdiri sejak dengan luas izin lokasi 20.000 hektar dari Bupati Boalemo pada 2012. Kebun mulai tanam di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Wonosari ada 2.515,25 hektar, Dulupi 1.603,77 hektar, Paguyaman 872,59 hektar. Lalu, Paguyaman Pantai 319,20 hektar, dan Tilamuta 109,80 hektar. Untuk Mananggu dan Botumoito belum tanam sawit.
  • Transparansi perusahaan ini minim, antara lain soal informasi produksi sawit petani tak tahu. Koperasi yang bekerjasama dengan perusahaan tak mendapatkan laporan hasil produktivitas sawit dari kebun plasma dan inti. Petani diberikan pembagian hasil tak sesuai perjanjian awal.

Ketika perusahaan sawit akan masuk ke satu daerah, ‘madu’ kesejahteraan dan bagi hasil menggiurkan dijanjikan buat petani. Setelah warga menerima, pahit mereka rasakan. Itulah yang petani plasma Boalemo, Gorontalo alami setelah bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). Para petani harus menelan pil pahit.

Mereka yang bekerjasama dengan perusahaan sejak 2013 ini, belum menerima bagi hasil sesuai perjanjian awal. Harapan kesejahteraan yang di iming-imingi perusahaan hanya pupus begitus saja, tanpa realisasi, bagai pungguk merindukan bulan.

“Kita sepertinya dibunuh secara perlahan-lahan oleh perusahaan, karena lahan yang menjadi sumber kehidupan kita, sudah dikuasai perusahaan, tanpa kita menerima hasilnya,” kata Sutahir, petani plasma yang tergabung dalam Koperasi Pangeya Idaman, yang menjalin kerjasama kemitraan dengan AAS sekitar 10 tahun lalu.

Sutahir bilang, seharusnya investasi masuk di daerah bisa meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sayangnya, petani yang bekerjasama dengan perusahaan malah kehilangan sumber kehidupan mereka.

Lahan dari pemerintah dengan program transmigrasi pada 2010, sudah menjadi perkebunan sawit dan dikuasai perusahaan.

Sutahir bilang, ribuan petani plasma yang bekerjasama dengan perusahaan sudah tidak bisa mengolah lahan secara mandiri karena masuk dalam konsesi perusahaan atau hak guna usaha (HGU) AAS. Perusahaan, katanya, sudah melanggar perjanjian awal dengan petani plasma.

AAS berdiri sejak dengan luas izin lokasi 20.000 hektar dari Bupati Boalemo pada 2012.

Kebun mulai tanam di beberapa kecamatan, seperti Kecamatan Wonosari ada 2.515,25 hektar, Dulupi 1.603,77 hektar, Paguyaman 872,59 hektar. Lalu, Paguyaman Pantai 319,20 hektar, dan Tilamuta 109,80 hektar. Untuk Mananggu dan Botumoito belum tanam sawit.

Sesuai dokumen Memorandum of Understanding/MoU yang diperoleh Mongabay, perusahaan menyepakati dan mengatur sistem pengelolaan 50:50. Artinya, kalau masyarakat punya lahan 1.000 hektar, luas kelola sebagai plasma 500 hektar. Sistem pengelolaan lahan mitra dengan single management atau pola manajemen satu atap.

Kesepakatan bagai langit dan bumi. Sampai hari ini, petani tak mengetahui kebun plasma dan kebun inti perusahaan sesuai kesepakatan awal. Semua lahan mereka diklaim milik perusahaan hingga memicu konflik.

“Kita beberapa kali melakukan aksi demonstrasi di Kantor Bupati Boalemo dan DPRD Boalemo menuntut hak kami. Sampai hari ini tidak jelas dimana lahan plasma kami, semua dikuasai perusahaan,” kata Sutahir.

Dalam Permentan No. 26/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mewajibkan perusahaan perkebunan besar untuk membangun kebun plasma 20% dari total konsesi. Pembangunan kebun plasma ini melalui pola kredit, hibah, atau bagi hasil yang diusahakan perusahaan, serta diketahui kepala daerah atau bupati.

Dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 357/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan juga menegaskan setiap pengembangan usaha perkebunan harus melakukan kemitraan dengan masyarakat.

“Saya lebih memilih mati dengan coronavirus, daripada perusahaan membunuh kami perlahan seperti ini,” ucap Sutahir.

Hijrah Ipetu, petani plasma sedang melihat kebun sawit yang sudah tidak terawat lagi di Desa Pangeya Idaman, Kecamatan Wonosari, Boalemo, Gorontalo. Dia juga anggota Koperasi Pangeya Idaman. Foto: Sarjan Lahay
Hijrah Ipetu, petani plasma sedang melihat kebun sawit yang sudah tidak terawat lagi di Desa Pangeya Idaman, Kecamatan Wonosari, Boalemo, Gorontalo. Dia juga anggota Koperasi Pangeya Idaman. Foto: Sarjan Lahay

Tak transparan

Transparansi perusahaan ini minim, antara lain soal informasi produksi sawit petani tak tahu. Koperasi yang bekerjasama dengan perusahaan tak mendapatkan laporan hasil produktivitas sawit dari kebun plasma dan inti. Petani diberikan pembagian hasil tak sesuai perjanjian awal.

Jemmy Liando, Bendahara Koperasi Pangeya Idaman mengatakan, dalam kesepakatan MoU pada 2013, pembagian hasil kepada petani plasma Rp1,350 juta per bulan untuk setiap hektar.

Perusahaan juga berjanji mengelola usaha perkebunan secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna serta mengutamakan tenaga kerja lokal. Sayangnya, pembagian hasil petani tak merata atau bervariasi walaupun luasan sama. Bahkan, jauh lebih rendah dari janji saat sosialisasi awal.

Dalam dokumen daftar rekening BRI pembagian sisa hasil usaha (SHU) Koperasi Unit Desa (KUD) Pangeya Idaman, tercatat ada petani yang menerima Rp66.000 setiap hektar. Angka itu merupakan pembayaran dalam kurun waktu tiga bulan. Artinya, jika dibagi, petani hanya menerima Rp22.000 per bulan setiap hektar.

“Ini sungguh tidak manusiawi, kita sepertinya dimanfaatkan perusahaan. Mereka yang mendapatkan hasil, kita yang menderita. Rp22.000 yang diberikan hanya bisa membeli rokok satu bungkus,” kata Jemmy kepada Mongabay, Juli lalu.

Bukan hanya itu, perbedaan data koperasi dan perusahaan terkait anggota koperasi juga belum terselesaikan. Dalam dokumen internal koperasi, mencatat petani yang tergabung dalam koperasi ada 1.722 orang. Sementara, perusahaan mengklaim petani dalam enam koperasi mencapai 3.454 orang.

Data luasan lahan antara petani dan perusahaan juga hingga belum ada penyelesaian. Menurut data koperasi, luasan lahan sawit 4.661,36 hektar, sedang perusahaan mengklaim 4.401,6 hektar. Ada selisih 259,76 hektar.

Ketiadaan transparansi baik ketentuan kebun plasma, luasan area perkebunan sawit inti dan plasma, kontrak-kontrak, hasil produksi sawit hingga skema atau ketentuan pembayaran menjadi faktor utama memicu persoalan. Jemmy bilang, perusahaan benar-benar sudah melanggar perjanjian kemitraan dengan petani plasma.

Selain itu, perusahaan mengkondisikan masyarakat pada tingkat utang tinggi untuk dapat mendanai penanaman di kebun plasma. Proses pengembalian modal itu dikelola dan ditentukan perusahaan dengan pengambilan atau pemotongan dari pendapatan kebun plasma.

Alhasil, petani dibebani utang besar tanpa transparansi pembayaran. Jadi, katanya, mereka kemungkinan tak akan mendapat untung dari kebun plasma selama bertahun-tahun.

Dari dokumen, enam koperasi di Kecamatan Wonosari yang bermitra dengan perusahaan kena biaya pembangunan kebun sawit cukup besar. Misal, Koperasi Pangeya Idaman, Rp 68 juta, Surya Jaya Rp77 juta, dan Puncak Idaman, Rp68 juta per hektar.

Koperasi Tunas Towayu, Rp68 juta, Bukit Jaya, Rp77 juta dan Makmur Abadi Rp65 juta per hektar.

Hijrah Ipetu, anggota Koperasi Pangeya Idaman mengatakan, utang yang dibebankan sama sekali tak masuk akal. Lahan-lahan petani diberikan ke perusahaan tidak sepenuhnya dirawat baik. Bahkan, ada yang sudah ditutupi semak belukar karena tak ada pembersihan tetapi petani wajib melunasi uutang.

Parahnya lagi, perusahaan juga tak memberikan informasi soal pembayaran uutang yang sudah dipotong dari pembagian hasil ke petani.

Petani, katanya, tak mengetahui berapa utang yang terbayar, dan sisanya.

“Kita sekarang tidak ada apa-apa lagi, semua sudah dikuasai perusahaan. Kalau dulu, kita masih bisa menikmati hasil pertanian, sekarang tidak bisa lagi.”

Ilustrasi. petani sawit berharap kesejahteraan, hasilnya kebalikanFoto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Ilustrasi. petani sawit berharap kesejahteraan, hasilnya kebalikanFoto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Kriminalisasi

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, begitu ungkapan yang bisa menggambarkan kondisi petani plasma di Boalemo. Mereka tak menerima hasil sesuai perjanjian awal, malah perusahaan AAS laporkan dengan tuduhan perusakan di lahan kebun mereka.

Sekitar Mei 2022, ada enam petani plasma tergabung dalam Koperasi Pangeya Idaman dilaporkan ke Polsek Wonosari. Mereka itu Idrus Libuhu, Endang Apit, Burhan Supu, Adi Mole, Lukman Majabi, dan Apong Daud, warga Desa Pangeya. Mereka menyesal mengizinkan kebun ditanami sawit.

Mereka resah karena perusahaan tak menepati janji awal yang dibuat pada 2013.

Idrus Libuhu mengatakan, lahan tak dijual ke perusahaan, tetapi pinjam pakai untuk tanam sawit. Perjanjian yang disepakati perusahaan dengan petani adalah mengatur sistem pengelolaan 50:50.

Idrus punya lahan 2,8 hektar. Artinya, 1,4 hektar plasma, 1,4, hektar kebun inti. “Uang yang diberikan kepada saya Rp3 juta pada 2013. Itu bukan uang membeli lahan, uang menggantikan tanaman jagung yang sudah tumbuh. Jadi, tidak ada transaksi jual beli,” katanya akhir Juli lalu.

Saat dia bersama rekan menggantikan tanaman sawit dengan jagung, perusahaan melaporkan mereka ke kepolisian dengan tuduhan merusak sawit mereka. Perusahaan mengklaim, semua lahan petani sudah jadi hak mereka. Dia bilang, itu upaya kriminalisasi.

Alasan petani ganti jagung karena perusahaan sama sekali tak memberikan pembagian hasil sesuai perjanjian awal. Lahan-lahan tidak dirawat baik, tetapi petani terbebani utang cukup besar.

“Kita sudah menderita. Saya ada keluarga yang harus saya beri makan. Daripada mati, lebih baik sawit-sawit itu kita bunuh untuk ganti jagung.”

Enam petani yang dilaporkan ke kepolisian, kasusnya sama. Idrus bilang, bersama lima petani sudah diperiksa selama dua kali oleh polisi. Kalau perusahaan menepati janji sesuai perjanjian awal, petani tak akan melakukan hal itu.

Fatkurohman, anggota DPRD Boalemo mengatakan, setelah ada kehadiran perusahaan di Kecamatan Wonosari, banyak petani plasma menderita karena perilaku perusahaan yang tak kooperatif dan mengabaikan perjanjian awal. Dia bilang, banyak petani terpaksa beralih jadi pemburu babi hutan untuk mendapatkan uang buat keluarga.

DPRD, katanya, beberapa kali memediasi masalah petani plasma dengan perusahan untuk mendapatkan titik temu, tetapi perusahaan tidak pernah menepati janji. Beberapa rekomendasi DPRD Boalemo sampai hari ini belum perusahaan jalankan. Perusahaan, katanya, seolah kebal hukum dan tidak menghargai pemerintah daerah.

“Pemerintah Boalemo harus evaluasi perusahaan AAS. Jangan biarkan masalah ini terus terjadi, karena masyarakat makin menderita.”

Inda Fatinaware, dari Sawit Watch mengatakan, ASS tak menerapkan Inpres No. 6/2019 tentang rencana aksi nasional sawit berkelanjutan. Kalau tidak cepat diselesaikan masalah kemitraan itu, katanya, akan memicu konflik lebih buruk lagi.

Pemerintah Boalemo, katanya harus membuat rencana aksi daerah (RAD) soal tata kelola sawit berkelanjutan. Sawit Watch sejak 2019 sudah mengidentifikasi masalah antara petani plasma dan AAS yang diduga ada pelanggaran kemitraan.

Petani plasma tak mendapatkan pembagian hasil sesuai perjanjian awal, dan berdampak terhadap pengelolaan sawit yang karut marut serta berimplikasi terhadap nila-nilai sosial kemasyarakatan.

Bony, bagian Penelitian, Pengembangan, Penguatan Komunitas Sawit Watch mengatakan, awal 2021, mereka melaporkan AAS ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mendapatkan tindakan tegas. Pada pemeriksaan saksi, AAS tak kooperatif.

Kini mereka menyiapkan berkas dan bukti-bukti untuk melaporkan AAS secara perdata karena diduga melanggar perjanjian awal. Hal ini akan dilakukan bersama Boalemo Bergerak, Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), dan Institute for Humanities and Development Studies (InHIHES).

Amir Jaya Gani, Humas AAS menepis anggapan perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran kemitraan. Sampai saat ini, katanya, pembagian hasil kepada petani plasma normal dan tak ada masalah.

Hanya saja, katanya, ada sejumlah petani mengeluh pembagian hasil tak merata, karena kebun sawit sudah dirusak dan dibakar.

Dia malah menuduh petani plasma yang mengeluh pembagian hasil itu sejak 2016 merusak dan membakar kebun sawit seluas 381 hektar. Sejumlah petani juga beberapa kali memblokir jalan dan menghambat operasional perusahaan.

“Awalnya, kebun sawit di Wonosari ini ada 4.100-san hektar. Karena ada sejumlah petani merusak dan membakar kebun, sekarang tinggal 2.800-san hektar. Ada sekitar 1.300-an hektar dirusak dan dibakar,” katanya kepada Mongabay, melalui sambungan telepon.

Dia malah balik menuding petani yang sebenarnya melanggar kemitraan karena merusak sawit.

Laporan perusahaan atas enam petani yang diduga merusak kebun sawit sawit itu, katanya, agar ada efek jera.

“Pimpinan perusahaan sudah memerintahkan memproses hukum kepada petani yang melakukan perusakan di kebun sawit. Perusahaan tidak mau toleransi lagi.”

Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonessia)
Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonessia)

Masuk asosiasi kabupaten penghasil sawit

Kabupaten Boalemo, masuk dalam Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) yang ditandai oleh sang Penjabat Bupati Boalemo Hendriwan ikut musyawarah nasional I AKPSI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, pertengahan Juli lalu.

Hendriwan berkeinginan Boalemo jadi salah satu daerah sentral sawit di Indonesia. Potensi sawit di Boalemo diharapkan bisa menggerakkan sektor ekonomi bidang perkebunan dan pertanian untuk memperjuangkan masa depan bangsa dan kesejahteraan petani Sawit di 160 kabupaten di Indonesia, termasuk Boalemo.

“Sebagai langkah awal Pemerintah Boalemo masuk dalam Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia adalah kita akan melakukan pengawasan perkebunan sawit di Boalemo. Tujuannya memperbaiki tata kelola agar bisa memberikan manfaat untuk Boalemo,” katanya.

Mereka akan mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat terutama petani plasma untuk memberikan manfaat langsung secara ekonomi. Dia juga akan membuat peraturan daerah yang khusus perkebunan sawit di Boalemo agar bisa memberikan dampak positif terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Targetnya, akan berlaku pada 2023.

Sementara di Boalemo masalah kemitraan antara petani plasma dengan AAS– satu-satunya perusahaan sawit di Boalemo—belum usai hingga kini.

 

Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situ Mongabay Indonesia. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.