Pada tanggal 15 Juni 2024, sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Forum Masyarakat Ambunu Bersatu melakukan aksi blokade jalan di Desa Ambunu, Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Aksi itu mengakibatkan terhentinya aktivitas kegiatan usaha PT. Bohosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG).
Aksi itu merupakan bentuk kemarahan warga Desa Ambunu. Ketika itu, beredar sebuah video pernyataan Legal Eksternal PT IHIP, yang bernama Riski, menyampaikan bahwa jalan tani yang sekarang digunakan sebagai jalan hauling adalah milik sah PT BTIIG, berdasarkan MoU tukar guling asset dengan Bupati Morowali.
Sebagai tukarnya, PT BTIIG mengerjakan perluasan bandara, MoU ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2024. Padahal jalan tani yang terhubung dari Desa Topogaro ke dusun Folili ke dusun Sigendo dan Desa Ambunu jauh sebelumnya, sudah digunakan oleh masyarakat setempat. Masyarakat menggunakan jalan itu sebagai akses untuk menuju kebun maupun akses menuju ke Gua Vavompogaro yaitu Situs Budaya bersejarah bagi masyarakat sekitar.
Baca juga: Barah Konflik di IHIP Berujung Kriminalisasi Warga
Saat ini, di Desa ambunu, jalan tersebut sudah terdapat bangunan gudang penyimpanan ore nikel dan gerbang milik BTIIG. Akibatnya, masyarakat tidak bisa lagi lewat jalur tersebut. Jalan yang digunakan masyarakat untuk menuju kebun sebelumnya hanya berjarak 1 kilometer, kini masyarakat harus memutar sejauh 3 – 4 km untuk pergi ke kebunnya lantaran jalan utama yang sering digunakan tak boleh lagi dilewati.
Klaim sepihak perusahaan atas penguasaan jalan milik masyarakat tidak hanya terjadi di Desa Topogaro, Tondo, dan Ambunu. Akan tetapi juga terjadi di Desa Wosu, Umpanga, dan Larebonu. Berdasarkan MoU tanggal 11 Maret 2024 dalam point (b) menjadi milik PT Huabao Industrial Park yang diuraikan dalam 10 pasal perjanjian.
Tak terima dengan aksi blokade jalan yang dilakukan oleh masyarakat, pada tanggal 10 Oktober 2024, Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms, dan Rifiana Ms, mendapat surat panggilan dari Polda Sulawesi Tengah dengan nomor surat B/989/X2024/Ditreskrimsus yang tertanggal 4 oktober 2024 untuk di mintai keterangan.
Mereka dilaporkan atas tindakan pidana terganggunya fungsi jalan yang digunakan oleh PT BTIIG berdasarkan peraturan Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2024 pasal 63 ayat 1 (junto) pasal 12 ayat 2.
Sebelum dilaporkan ke Polda Sulteng, atas aksi itu mereka pernah disomasi oleh perusahaan perihal tindakan pemalangan jalan yang mengakibatkan berhentinya aktivitas kegiatan usaha PT BTIIG.
Baca juga: Terbukti Tak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi Gugat Balik GNI
Walhi Sulteng menilai, pemanggilan polisi ini merupakan bentuk strategi yang dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan metode Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) untuk membungkam warga agar tidak melakukan aksi protes dan juga sebagai bentuk untuk memperingati warga di Desa lainya agar tidak melakukan aksi yang sama.
Diketahui, SLAPP adalah gugatan atau laporan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, seperti korporasi, pejabat publik, atau pelaku bisnis dengan tujuan menghentikan partisipasi publik (individu atau organisasi non-pemerintah
Yusman dari Walhi Sulteng mengatakan, jika dilihat hampir sebagian besar orang orang yang mendapat panggilan polisi adalah tokoh – tokoh kunci yang cukup kritis untuk memperjuangkan haknya yang dirampas oleh PT BTIIG.
“Sebelumnya juga lima orang warga Desa Topogaro dan Tondo di panggil polisi dan kemudian digugat oleh perusahaan dengan tuntutan 14 miliar,” katanya.
Kawasan Huabao Industrial Park Investment Grup Co., Ltd yang terletak di Kec Bungku Barat Kab Morowali merupakan kawasan industri yang di kendalikan penuh oleh PT Zhensi Holding Grup dengan wajah Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG).
Baca juga: Dampak Polusi di Kawasan Industri Nikel Morowali
Komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Invesment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%.
“Dengan nilai investasi sebesar 14 triliun rupiah, untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, merupakan bahan baku penting untuk stainless steel serta baterai energi baru kelas atas,” jelas Yusman.
Saat ini ada dua tenant yang akan beroperasi di dalam kawasan PT IHIP, yaitu PT Shousi Indonesia Invesment Grup dan PT Beishi Indonesia Invesmnet Grup. Kedua perusahaan tersebut memiliki relasi bisnis dengan Zhensi Holding Grup dan orang – orang yang sama berada dalam struktur penting di PT BTIIG.
Luas kawasan PT IHIP sebesar 20.000 hektar yang terletak di Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu dan Wosu dengan metode pembangunan dua tahap. Tahap satu yang sedang berjalan di Desa Tondo, Topogaro dan Ambunu.
Pembagunan kawasan ini sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi di bawah “One Belt, One Road Initiative”.
Dalam catatan Walhi Sulteng, sejak Juni hingga Oktober 2024 sebanyak 15 orang warga di lingkar industri nikel berurusan dengan kepolisian dan upaya hukum lainya. 7 warga dilaporkan oleh PT IMIP dan 8 orang warga lainnya dilaporkan oleh PT IHIP.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Proyek Hilirisasi Nikel di Morowali
“Pemanggilan polisi tersebut terjadi setelah warga melakukan protes atas masalah yang ditimbulkan oleh perusahaan seperti dampak lingkungan akibat PLTU Captive PT IMIP di Desa Labota dan masalah penggunaan jalan di Desa Topogaro, Tondo, dan Ambunu oleh PT BTIIG,” terangnya.
Dasar pemanggilan warga rata – rata menggunakan undang – undang Nomor 3 tahun 2020 pasal 162 tentang Pertambangan dan Minerba, yang menganggap bahwa gerakan yang dilakukan oleh masyarakat mengganggu atau merintangi aktivitas perusahaan.
Yusman menilai pemerintah terlihat gagal dalam melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat dan pekerja di tengah – tengah kepungan industri nikel dengan agenda hilirisasi. Menurutnya, pemerintah justru memfasilitasi kepentingan industri nikel dengan berbagai kebijakan – kebijakanya.
“Kedepan akan banyak warga berurusan dengan polisi akibat melakukan protes terhadap dampak lingkungan dan sengketa agraria yang tidak pernah selesai. Maka seterusnya akan menjadi korban,” tandasnya.
Atas uraian di atas kata Yusman, Walhi Sulteng mendesak pemerintah untuk menghentikan upaya pembungkaman warga yang dilakukan oleh PT BTIIG dan PT IMIP.
“Segera lakukan audit dan pengawasan ketat terhadap aktivitas industri nikel untuk melindungi warga dari ancaman dampak lingkungan dan keselamatan pekerja,” pungkasnya
Leave a Reply
View Comments