- Pembangunan kawasan industri nikel di Indonesia, seperti di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat sekitar. Hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menemukan adanya paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko kesehatan lingkungan.
- Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, bangun PLTU captive, jadi penyebab utama sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Penggunaan batubara dengan suhu cukup tinggi juga menyebabkan peningkatan SO2 di udara. Kondisi ini, berdampak buruk bagi kesehatan warga.
- Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan mereka bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang sudah dirasakan masyarakat sekitar. Berdasarkan analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko kepada masyarakat di kawasan industri nikel.
- Dengan temuan itu, meminta peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan di kawasan industri nikel Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan. Juga perlu ada kolaborasi antara Dinas Kesehatan dan perusahaan dalam pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan masyarakat.
Pesatnya Pembangunan industri pertambangan nikel di Indonesia, terutama di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, akhirnya berdampak serius terhadap kualitas lingkungan hidup dan Kesehatan Masyarakat sekitar. Dimana, emisi langsung dari berbagai aktivitas pertambangan nikel terbukti memberikan dampak yang signifikan terhadap Kesehatan Masyarakat.
Hal itu sebagaimana merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) yang berjudul “Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan akibat Paparan PM10, PM2.5, dan SO2 pada Masyarakat Desa Fatufia, Bahomakmur, dan Labota” yang menggunakan metode analisis risiko Kesehatan lingkungan.
Diketahui, PM10 merupakan salah satu polutan berbahaya yang memiliki ukuran <10 pm dan dapat masuk ke dalam tubuh melalui system inhalasi manusia. Apabila konsentrasi PM10 melebihi baku mutu yang ditetapkan, maka akan menimbulkan risiko terhadap Kesehatan. Risiko Kesehatan yang ditimbulkan, seperti gangguan pernapasan, salah satunya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Adapun PM2.5 merupakan jenis polutan berbahaya berukuran 2.5 mikron yang dapat menyebabkan berbagai penyakit apabila terhirup kedalam tubuh manusia. PM2.5 dapat berasal dari berbagai aktivitas manusia, salah satunya pertambangan. Jika konsentrasi PM2.5 melebihi baku mutu, maka akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan hidup manusia yang juga bisa memicu ISPA.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Terjadi Lagi, Nyawa Seperti Tak Ternilai di IMIP
Sementara, SO2 atau sulfur dioksida adalah salah satu jenis dari gas-gas oksida sulfur (SOx) yang dihasilkan dari proses pemanggangan, peleburan, dan konversi produk-produk olahan bijji sulfida. Gas ini bersifat mudah larut dalam air dan memiliki bau. Gas SO2 dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernapasan, seperti pada selaput lendir hidung, tenggorokan dan saluran udara di paru-paru.
Temuan dari studi ini menyebut, rata-rata konsentrasi PM10, PM2.5, dan SO2 di tiga desa yang menjadi objek penelitian ternyata sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah, dan ada risiko Kesehatan yang serius bagi penduduk setempat. Proyeksi intake polutan menunjukkan rata-rata responden telah melewati batas rekomendasi nilai Reference Concentration (RfC) setelah 10 tahun terpapar yang mengindikasikan adanya potensi risiko kesehatan yang tinggi.
Selain itu, asupan maksimum PM10 dan SO2 mencapai 0.023212 mg/kg/hari dan 0.061579 mg/kg/hari, yang secara signifikan melampaui batas aman sesuai PP 22 Tahun 2021. Temuan itu menegaskan perlunya segera kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah tersebut.

Lebih lanjut, karakterisasi risiko menunjukkan bahwa terdapat beberapa responden nilai Risk Quotient (RQ) lebih dari 1, yang menandakan adanya risiko kesehatan yang nyata dan tidak bisa diabaikan. Dampak yang paling umum adalah gangguan pernapasan seperti ISPA, asma, dan bahkan potensi terjadinya penyakit paru-paru obstruktif kronis (PPOK).
Kondisi ini diperparah dengan ditemukannya bahwa fasilitas kesehatan lokal seperti Puskesmas belum memadai untuk menangani peningkatan kasus-kasus ini. Fenomena ini memperlihatkan kesenjangan serius dalam infrastruktur kesehatan di daerah yang terdampak.
Terlebih lagi, monitoring dan evaluasi terhadap emisi polutan dari aktivitas pertambangan ternyata seringkali tidak dilaksanakan secara rutin, melainkan hanya sewaktu-waktu saja. Studi ini melihat perlu ada reformasi dalam pengawasan lingkungan, terutama dalam pemantauan kualitas udara dan penegakan sanksi bagi pelanggaran.
Novilyana Onora, dari TuK Indonesia mengatakan, temuan dari studi ini berdasarkan pengambilan sampel air dan udara yang dilakukan di enam titik lokasi. Teknik pengambilan sampel itu merujuk ke SNI 8995 Tahun 2021 tentang metode pengambilan contoh uji air untuk pengujian fisika kimia, dan SNI 19- 7119.6 Tahun 2005 tentang penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara Ambien.
Baca juga: Banjir Terus Terjadi di Kawasan IMIP, Penyebabnya Apa?
Selain itu, kata Novilyana, untuk sampel air laut ada 17 parameter yang diambil, air Sungai ada 14 parameter uji, dan udara ada 7 parameter uji. Hasilnya, nilai Pollution Index (PIj) untuk Sungai Bahodopi sebesar 3,803 menunjukkan terjadi pencemaran. Adapun nilai PIj untuk Sungai Bahodopi mencapai 3,803 menunjukkan terjadi pencemaran.
Novilyana bilang, pencemaran air terjadi pada sungai fatuvia dan sungai bahodopi akibat dari aktivitas pembuangan sampah organic dan anorganik pada badan sungai yang disebabkan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Kecamatan Bahodopi
“Di lokasi pengambilan sampel air banyak sekali sampah-sampah organik dan non organik yang tertumpuk di buang sembarangan. Sehingga beberapa parameter yang kita uji, ada sejumlah parameter meningkat hingga melebihi baku mutu,” kata Novilyana Onora kegiatan media Briefing dan Launching laporan penelitian pada Kamis 29 Agustus 2024.

Tak hanya itu, kata Novilyana, penelitian yang dilakukan pihaknya menemukan bahwa nilai Pij untuk laut Morowali sudah mencapai 3,726 yang menunjukkan kondisi pencemaran. Hal itu menyebabkan terganggunya ekosistem biota laut. Ia bilang, kandungan timbal pada air laut dapat membahayakan ekosistem yang ada di laut karena sifatnya yang tidak mudah terurai dan bersifat toksik.
Temuan itu, katanya, mengafirmasi soal petani budidaya rumput laut dan nelayan yang semakin terpuruk di wilayah laut Morowali. Ia bilang, oksigen di laut Morowali sudah tidak lagi mencukupi atau kemungkinan untuk menghidupi ekosistem biota laut. Terlebih lagi, suhu permukaan laut Morowali sudah mengalami peningkatan yang signifikan.
Adapun soal kualitas udara, kata Novilyana, sudah sangat mengkhawatirkan. Dimana, dalam sulfur dioksida (SO2) yang seharusnya hanya bisa 150 (µg/m3) di udara sesuai PP Nomor 22 tahun 2021, kini sudah mencapai 288,497 (µg/m3). Menurutnya, angka yang cukup tinggi itu disebabkan oleh penggunaan transportasi pribadi yang cukup banyak.
Menurutnya, tingginya sulfur dioksida (SO2) pada udara berpotensi menyebabkan hujan asam serta memberikan efek negative pada sistem pernapasan dan fungsi paru-paru. Apalagi, katanya, Gas SO2 berpotensi berpindah ke tempat yang lebih jauh (500-1000 Km) karena waktu tinggalnya di atmosfer selama beberapa hari, sehingga wilayah sekitar Kecamatan Bahodopi berpotensi terpapar gas sulfur dioksida.
Baca juga: Terbukti Tak Bersalah, Buruh Korban Kriminalisasi Gugat Balik GNI
Penggunaan PLTU Captive yang masif, katanya, menjadi penyebab utama juga sulfur dioksida (SO2) cukup tinggi di udara. Ia bilang, penggunaan batu bara dengan suhu yang cukup tinggi juga menyebabkan adanya peningkatan sulfur dioksida (SO2) di udara. Kondisi ini akan memberikan dampak buruk kepada kesehatan warga sekitar.
Dengan temuan ini, katanya, perlu dilakukan pengendalian sampah yang berserakan disekitar Kecamatan Bahodopi, serta melakukan pencegahan terhadap sumber polusi yang dihasilkan dari penggunaan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak dan penggunaan batu bara dengan kandungan sulfur yang tinggi.
“Perlu dibuatkan sistem peringatan dini (early warning system) ketika polutan yang merupakan sumber pencemar melebihi ambang batas baku mutu,” jelasnya

Masyarakat sudah Terdampak
Kiki Sanjaya, dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Tadulako mengatakan, temuan yang dilakukan pihaknya bersama TuK Indonesia itu terafirmasi dengan dampak yang kini sudah dirasakan oleh masyarakat sekitar. Ia bilang, berdasarkan hasil analisis risiko, ketiga parameter pencemar (PM10, PM2.5 dan SO2) menyebabkan risiko terhadap Masyarakat di Kawasan industri.
Dalam aspek kesehatan, kata Kiki, pihaknya menemukan rata-rata hasil proyeksi Intake dan RQ maksimum PM10, PM2.5 dan SO2 berisiko pada durasi pajanan 10 tahun. Semakin tinggi durasi pajanan maka akan semakin tinggi pula nilai intake polutan yang diterima oleh individu yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan.
“Masyarakat merasa terganggu dengan debu yang dihasilkan dalam kegiatan pertambangan dan mengeluhkan kebisingan terutama ketika permintaan biji Nikel yang banyak maka mesin akan beroperasi selama 24 jam,” kata Kiki Sanjaya dalam kegiatan serupa.
Bukan hanya itu, kata Kiki, data laporan dari Puskesmas Bahodopi terdapat lonjakan yang sangat signifikan pada tahun 2023, dengan kasus ISPA mencapai 55.527 kasus. Angka ini hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Proyek Hilirisasi Nikel di Morowali
Adapun data ISPA dari Data RSUD Morowali, katanya, menunjukan fluktuasi yang cukup signifikan dalam jumlah kasus ISPA dari tahun ke tahun. Ia bilang, kasus ISPA di RSUD Morowali cenderung tidak stabil dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal tertentu yang mungkin tidak konsisten dari tahun ke tahun.
Kiki bilang, lonjakan ekstrem pada tahun 2023 (Data dari Puskesmas Bahodopi) dan kasus ISPA yang fluktuasi (Data Data RSUD Morowali) bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti peningkatan polusi udara, perubahan kondisi lingkungan, atau peningkatan deteksi dan pelaporan kasus.
“Situasi ini mungkin juga terkait dengan peningkatan aktivitas industri atau urbanisasi di wilayah Bahodopi yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara dan meningkatkan risiko ISPA,” jelasnya
Pihaknya juga menemukan, sebanyak 372 kasus Radang paru-paru (Pneumonia) pada usia dewasa, dan sebanyak 438 kasus Pneumonia terjadi pada balita. Ia bilang, beberapa gejala yang dirasakan oleh responden diantaranya berupa batuk (70%), bersin (65%), pilek (53%), sakit kepala (50%), dan sakit tenggorokan (37%).
Disisi lain, kata Kiki, dalam aspek fasilitas dan pelayanan kesehatan ditemukan infrastruktur dan tenaga kesehatan di klinik dan puskesmas belum memadai sehingga pelayanan yang diberikan tidak maksimal. Padahal, banyak pasien yang mengunjungi klinik perusahaan untuk melakukan pemeriksaan penyakitnya.
Terlebih lagi, katanya, ketersediaan obat-obatan lebih lengkap di klinik besar perusahaan, disbanding puskesmas sendiri hanya menyediakan jenis obat generik. Keterjangkauan pelayanan kesehatan di Puskesmad juga ditemukan mengalami beberapa kendala seperti aksesibilitas dan kapasitas jalan yang buruk.
Dalam aspek lingkungan, kata Kiki, zat polutan yang dikeluarkan dari proses kegiatan industri Nikel dapat mengakibatkan infrastruktur masyarakat yang terbuat dari seng menjadi mudah korosi. Katanya, masyarakat sekitar juga merasakan adakan perubahan cuaca setelah ada pertambangan.
“Jalan utama kerap alami kerusakan akibat lalu lintas mobil pengangkut. Hal ini berdampak sulitnya aksesibilitas pada fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, kondisi tersebut menyebabkan akumulasi partikulat debu khususnya pada musim kemarau,” ungkapnya
Baca juga: Ilusi Proyek Hilirisasi Nikel: Menghilangkan Nyawa, Memiskinkan Warga Sekitar
Adapun dari aspek sosial, katanya, banyak terjadi kasus pembunuhan, perampokan, perselingkuhan, pemerkosaan, perjudian hingga jual beli narkoba di kawasan industri IMIP akibat populasi manusia di wilayah tersebut semakin bertambah.
Dengan temuan itu, pihaknya meminta ada peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan dan pelayanan Kesehatan di kawasan Industri nikel di Morowali. Perlu juga ada peningkatan diagnosa dini dan edukasi kesehatan terutama pencegahan penyakit dan gangguan pernapasan Masyarakat.
Selain itu, perlu ada kolaborasi antara pihak Dinas Kesehatan dan Perusahaan dalam pelaksanaan pemeriksaan kesehatan rutin pekerja dan Masyarakat. Ia bilang, transparansi hasil laporan pemeriksaan kesehatan dari perusahaan secara komprehensif bagi pekerja dan pemerintah juga perlu dilakukan.
“Perlu ada relokasi pemukiman Masyarakat dengan mengacu pada batas aman parameter pencemar lingkungan (air, udara dan tanah),” sarannya.
Tak hanya itu, Kiki meminta perlu ada dukungan dan memfasilitasi keterlibatan aktif masyarakat lokal, pemerintah, Non Government Organization (NGO) dan perusahaan melalui diskusi publik secara rutin. Juga harus ada peningkatan pemantauan oleh pihak berwajib dalam mencegah penyebaran pengguna obat-obatan terlarang, pelecehan seksual, perampokan dan pembunuhan.
Ia bilang, jika ada perusahaan yang menyalahi aturan, harus ada penegakan implementasi hukum dan sanksi yang ketat. Pemerintah daerah dan Perusahaan juga diminta untuk meningkatkan pelaksanaan evaluasi dan pemberian jaminan perlindungan sosial dan pemberdayaan bagi pekerja dan masyarakat sekitar pertambangan.
Untuk meminimalisir dampak lingkungan dan Kesehatan, kata Kiki, perlu ada pemanfaatan teknologi pengendalian pencemaran udara secara maksimal, termasuk juga mendorong penerapan efisiensi energi dan teknologi bersih di kawasan industri.
“Pengembangan sarana pemantauan kualitas udara secara real-time untuk membantu pemerintah dan industri dalam pengambilan kebijakan serta bentuk peringatan bagi Masyarakat terdampak,” katanya.
Baca juga: Dari COP28: Kala Negara-negara Sepakat Tinggalkan Energi Fosil
Tak hanya itu, kata Kini, perlu dilakukan peninjauan kembali dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) oleh instansi terkait serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi secara rutin. Perlu dilakukan double check kandungan limbah B3 dalam limbah pertambangan sebelum dibuang.
Bukan hanya itu, katanya, harus ada diseminasi terkait transparansi dan akuntabilitas data emisi di wilayah industri sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam melakukan upaya manajemen lingkungan. Juga perlu menerapkan standar emisi yang tegas dan ketat terhadap industri maupun fasilitas manufaktur.
Pemerintah juga diminta harus memperketat perizinan dan regulasi terkait pembangunan rumah dan sarana prasarana umum di sekitar wilayah industry. Ia bilang, perlu ada penyediaan sarana dan prasarana pengolahan sampah serta peningkatan tata kelola di sektor persampahan melalui skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“Harus ada juga pengembangan infrastruktur transportasi umum sebagai aksesibilitas pekerja maupun Masyarakat,” ujarnya.

Sejak Awal Sudah Bermasalah
Pius Ginting, Koordinator Nasional Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mengatakan, penelitian yang dibuat oleh TuK Indonesia ini kurang lebih sama dengan penelitian yang dilakukan pihaknya pada tahun 2023 lalu. Menurutnya, pembangunan kawasan industri nikel itu memang sejak awal sudah bermasalah.
Apa yang dikatakan oleh Pius Ginting itu merupakan hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 2023 dengan judul “Rangkaian Pasok Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekolog”. Riset itu menyebut, lokasi Deep Sea Tailing Placement (DSTP) yang bangun di wilayah industri nikel di Indonesia, termasuk di Morowali terletak pada kawasan coral triangle.
Diketahui, kawasan coral triangle merupakan perairan di barat Samudra Pasifik, termasuk Indonesia, sehingga mengandung keragaman spesies terumbu karang yang sangat tinggi. Di wilayah itu, ada 605 spesies terumbu karang (76% dari total spesies dunia), 53% terumbu karang dunia, 37% spesies ikan terumbu karang, serta daerah mangrove terbesar di dunia berada di kawasan ini.
Riset itu menyebut, di Perairan Morowali setidaknya ada 4.000 hektar terumbu karang hidup. Di Bahodopi, kecamatan di mana IMIP beroperasi, terdapat terumbu karang seluas kurang lebih 710 hektar, mangrove seluas 92,73 hektar, dan lamun seluas 64,21 hektar.
Baca juga: KTT COP28 Kontroversi, Kontradiktif dan Ambigu
Di Perairan Bahodopi i juga terdapat 40 jenis karang keras dari 12 famili. Jenis famili terbanyak adalah Acroporidae, Faviidae, Poritidae, Fungiidae, dan Pocilloporidae. Sementara untuk ikan karang, terdapat 66 jenis dari 17 famili berbeda. 128 Dari jenis-jenis ikan karang yang ditemukan, jenis ikan terbanyak berasal dari jenis ikan Target dengan famili Acanthuridae dan ikan Mayor dengan famili Pomacentridae.
Namun, riset itu menemukan, sebagian luasan terumbu karang, mangrove dan lamun sudah tergantikan oleh infrastruktur penunjang aktivitas industri di bagian utara kawasan IMIP. Selain tumpang tindih dengan kelengkapan infrastruktur IMIP, ketiga biota khas pesisir tersebut juga mendapat ancaman dari limbah PLTU yang dibuang ke laut.
Meskipun limbah PLTU yang dibuang ke laut itu diizinkan melalui surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 259/2018 tentang Izin Pembuangan Air Limbah Ke Laut, tapi riset itu menyebut aktivitas tersebut sangat berdampak serius terhadap tangkapan nelayan yang di wilayah pesisir.
Padahal pada tahun 2018, Morowali berkontribusi terhadap 34,12 kiloton tangkapan ikan untuk Provinsi Sulawesi Tengah, setara 20% total tangkapan provinsi. Hasil ini menjadikan Morowali sebagai kabupaten dengan produktivitas tangkapan tertinggi di provinsi. Nilai tangkapan tersebut senilai Rp 678,9 miliar.

Disisi lain juga, Pulau Langala yang berjarak sekitar 1 km dari Dusun Kurisa, Desa Fatufia, yang tepat berada di seberang kawasan IMIP, sebenarnya sudah ditetapkan sebagai zona pariwisata pesisir dan pulau kecil. Hal itu berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sulawesi Tengah 2017-2037 yang ditetapkan dalam Perda Sulteng No. 10/2017.
Selain itu, Perairan Bahodopi (kecamatan kawasan IMIP berdiri) sebenarnya juga sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan mangrove. Perairan Bahodop sekitar atau titik DSTP juga termasuk zona perikanan tangkap untuk jenis ikan demersal dan pelagis. Artinya, pembuangan limbah seharusnya dilarang di kawasan ini.
Riset itu juga menyebut, ada 4 kawasan utama di wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Morowali, Morowali Utara sebenarnya merupakan kawasan konservasi laut yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 52 Tahun 2019.
Dari 4 kawasan utama, salah satunya adalah Pulau Umbele yang berjarak 45 km ke arah tenggara dari titik DSTP. Area tersebut mencakup 247.739,89 ha serta terdiri dari zona utama, zona penggunaan terbatas (penangkapan ikan, budidaya ikan, dan wisata laut) dan zona rehabilitasi.
Baca juga: Ketika Pengelolaan SDA di Sulteng Buruk, Aktornya Siapa?
Sederhananya, keberadaan kawasan industri nikel IMIP akan mengancam potensi dan kekayaan biodiversitas yang dilindungi dalam regulasi-regulasi tersebut. Pius bilang, dampak dari diabaikannya wilayah kawasan konservasi laut juga sudah banyak terungkap dalam penelitian yang dilakukan pihaknya.
“Memang ada persoalan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di wilayah industri IMIP ini. Seharusnya jika ada perusahaan yang melakukan pelanggaran, harus diberikan sanksi yang tegas,” kata Pius Ginting dalam kegiatan yang sama.
Kepala Seksi Perencanaan Pengkajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulteng, Baso Nur Ali mengatakan, temuan yang diungkapkan dalam riset yang dilakukan oleh TuK Indonesia bersama FKM Universitas Tadulako merupakan informasi yang sangat berharga untuk pemerintah.
Meski begitu, kata Baso, pihaknya sudah membuat berbagai kebijakan baik dari segi pengendalian air, hingga udara. Hanya saja, belum dilaksanakan secara efektif. Dengan adanya temuan ini, katanya, pihaknya akan berupaya semua regulasi yang dibuat itu bisa diterapkan secara maksimal untuk menghindari dampak buruk yang akan terjadi.

Pemerintah Daerah, kata Baso, juga akan berupaya memperbaharui daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada di wilayah industri nikel IMIP di Morowali untuk menjadi rujukan pengelolaan lingkungan. Ia bilang, investasi memang harus berjalan dengan konsepnya yang dapat memberikan tiga aspek, yakni; ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Dengan temuan ini, memberikan gambaran yang jelas bahwa aspek lingkungan belum mendapatkan porsi sebagaimana mestinya. Olehnya, kami akan menerapkan semaksimal mungkin regulasi yang ada secara bertahap,” kata Baso Nur Ali
Dalam jangka pendek, kata Baso, pihaknya akan mengambil tindakan memperkuat dan mempertegas terkait baku mutu pembuangan air limbah dan emisi karena itu merupakan kewajiban perusahaan. Pihaknya akan mendesak perusahaan untuk menerapkan teknologi pengendali air dan udara yang lebih efektif lagi.
Baca juga: Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’
Baso mengaku, pihaknya sudah beberapa membuat rapat lintas sektor, termasuk dengan pemerintah pusat untuk membahas penataan ruang di wilayah Industri nikel Morowali. Pasalnya, penataan ruang di wilayah Morowali tidak sesuai dengan semestinya. Ia akui, lahirnya kawasan industri di Morowali diibaratkan seperti “Bayi yang lahir prematur’ atau tidak direncanakan dengan baik.
“Secara teknis, pasti kita akan melakukan evaluasi tentang daya tampung dan daya dukung lingkungan serta mempertegas terkait regulasi baku mutu. Kita akan mendorong perusahaan untuk menggunakan teknologi yang lebih efektif agar air dan udara yang melebihi baku mutu,” jelasnya.
Pihaknya berkomitmen untuk mempercepat penyesuaian tata ruang di kawasan industri IMIP agar wilayah itu bisa tertata bagus, termasuk wilayah lalu lintasnya agar tidak memicu macet yang bisa meningkatkan polutan. Pihaknya akan mendesak perusahaan untuk menyediakan angkutan umum bagi karyawannya, atau perusahaan membuat jalan alternatif.
“Kita akan secara konsisten untuk memberikan penyadaran lingkungan kepada masyarakat terkait dampak-dampak yang ditimbulkan dan soal bagaimana menjaga sanitasi yang baik,” pungkasnya.
Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments