Rapor Merah untuk Pj Bupati Buol M. Muchlis

Ilustrasi Rapor Merah untuk Pj Bupati Buol (Sumber: FPPB)
Ilustrasi Rapor Merah untuk Pj Bupati Buol (Sumber: FPPB)

18 Oktober 2024 menandai akhir masa jabatan M. Muchlis sebagai Penjabat Bupati Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, yang dilantik pada 13 Oktober 2022. Selama hampir dua tahun masa jabatannya, Muchlis menghadapi beragam tantangan, terutama dari kalangan petani di daerah tersebut.

Di penghujung masa jabatannya, M. Muchlis mendapat kritik tajam dari Forum Petani Plasma Buol (FPPB) melalui sebuah laporan yang menyebutkan kegagalan kepemimpinannya, yang mereka sebut sebagai “Rapor Merah.” Dalam catatan tersebut, FPPB menilai Muchlis tidak berhasil menyelesaikan konflik kemitraan yang berkepanjangan dalam pembangunan perkebunan sawit, yang berdampak negatif terhadap kehidupan para petani.

Koordinator FPPB, Fatrisia Ain, menegaskan pentingnya laporan tersebut untuk disampaikan kepada publik. Ia mengatakan bahwa catatan buruk dari seorang pemimpin harus diketahui masyarakat agar tidak melupakan keburukan yang terjadi di bawah kepemimpinannya. “Publik perlu tahu siapa yang pantas dipilih sebagai pemimpin, terutama menjelang pemilihan Bupati yang akan datang pada bulan November,” ujarnya.

Fatrisia mengingatkan, masyarakat harus cermat dalam menilai rekam jejak para calon pemimpin, terutama mereka yang telah terbukti tidak mendukung penyelesaian masalah kemitraan, lebih memilih kepentingan perusahaan daripada petani. “Kami ingin masyarakat, khususnya kaum tani, tidak melupakan pejabat yang mengabaikan kepentingan mereka,” tegasnya.

Baca juga: Pasca Putusan KPPU, Petani Plasma Buol Tuntut Kejelasan Lahan

FPPB mengungkapkan bahwa Rapor Merah ini tidak muncul begitu saja. Selama menjabat, Muchlis dinilai tidak hanya gagal dalam menyelesaikan konflik dengan PT. Hardaya Inti Plantations, tetapi juga tampak menghambat usaha penyelesaian yang telah diupayakan oleh para petani selama belasan tahun.

PT. Hardaya Inti Plantations, yang merupakan anak perusahaan CCM Group, telah beroperasi di Kabupaten Buol sejak tahun 1995 dan dimiliki oleh keluarga Siti Hartati Murdaya, yang dikenal karena kasus suap terkait izin HGU pada tahun 2012. Keberadaan perusahaan ini di tengah masyarakat petani kian menambah kompleksitas masalah yang ada.

Sejak tahun 2023, para petani telah mendesak Muchlis melalui berbagai aksi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk menyelesaikan masalah kemitraan yang terus mengganjal. Tindak lanjut dari desakan tersebut membuat Muchlis membentuk tim penyelesaian masalah pada 18 Oktober 2023, yang diketuainya sendiri dan terdiri dari berbagai pejabat dari dinas terkait, DPRD, serta ketua-ketua koperasi tani.

Namun, setelah satu tahun berlalu, tim ini tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Catatan FPPB menunjukkan bahwa tim gabungan tersebut hanya mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali, tanpa hasil nyata yang dapat dirasakan oleh petani. Verifikasi dan validasi keanggotaan koperasi pun tidak terlaksana akibat hambatan yang berasal dari pengurus koperasi itu sendiri.

Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan

“Pembentukan tim ini seharusnya menggunakan anggaran daerah dengan tujuan menyelesaikan masalah, tetapi hasilnya sangat mengecewakan,” ungkap Fatrisia. FPPB menganggap bahwa tim tersebut lebih berfungsi untuk meredam gejolak aksi damai petani daripada menyelesaikan masalah yang ada.

Pengamatan lebih lanjut mengindikasikan bahwa tim ini mungkin “dimanfaatkan” oleh PT. Hardaya Inti Plantations untuk menunda tanggung jawab mereka, terutama dalam menghadapi tuntutan yang diajukan oleh para petani. Dalam sidang KPPU RI, PT. Hardaya Inti seringkali beralasan bahwa perbaikan akan menunggu hasil kerja tim gabungan Pj. Bupati.

FPPB pernah mengusulkan agar tim gabungan dibubarkan, namun usulan tersebut tidak mendapat tanggapan yang memadai. “Petani justru diminta untuk bersabar, yang menunjukkan ketidakseriusan dalam menyelesaikan masalah,” jelas Fatrisia. Hal ini menciptakan kesan bahwa ada kesengajaan dalam menghambat penyelesaian masalah kemitraan yang sudah berlangsung lama.

Selain itu, Muchlis juga dinilai tidak konsisten dalam tindakannya terkait konflik kemitraan. Pemerintah daerah didesak untuk memfasilitasi terlaksananya Rapat Anggota Tahunan (RAT) koperasi, mengingat peran koperasi sebagai lembaga dalam membangun kemitraan antara petani pemilik lahan dan PT. Hardaya Inti Plantations.

Baca juga: Petani Plasma Buol dan Buruh Kebun PT HIP Bentrok, 3 Orang Cedera

Ironisnya, pada bulan Juli 2024, Muchlis mengeluarkan desakan kepada koperasi-koperasi yang tidak pernah melakukan RAT, namun para pengurus koperasi tidak mengambil tindakan untuk memperbaiki situasi. Di sisi lain, pada tanggal 8 Agustus 2024, Pj. Bupati justru memfasilitasi pengurus koperasi yang mengabaikan desakan RAT dalam penandatanganan MoU kerjasama baru dengan PT. Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI).

Langkah ini semakin memperumit kemitraan yang sudah ada, mengingat masalah yang berkaitan dengan PT. Hardaya Inti Plantations selama 16 tahun belum terpecahkan. Dari hasil penelusuran, PT. UKMI diketahui baru didirikan pada tahun 2023 dan diduga tidak memiliki izin usaha perkebunan.

Berdasarkan Akta Notaris, sebagian kepemilikan PT. UKMI berasal dari individu-individu yang terhubung dengan PT. Hardaya Inti Plantations. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa keberadaan PT. UKMI dalam kemitraan yang sedang berlangsung adalah upaya untuk menguasai lahan dan sertifikat hak milik petani.

Sidang Putusan Majelis KPPU RI pada tanggal 9 Juli 2024 menunjukkan bahwa PT. Hardaya Inti Plantations telah melanggar Pasal 35 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang menegaskan bahwa perusahaan telah melakukan penguasaan terhadap usaha kecil.

situasi yang semakin rumit ini, FPPB berharap masyarakat dan para pemilih cermat dalam menilai calon pemimpin mereka di masa mendatang. Rapor Merah ini menjadi pengingat penting bahwa kepemimpinan yang baik harus mengedepankan kepentingan rakyat, bukan perusahaan, agar tidak ada lagi petani yang menjadi korban dalam konflik kemitraan yang berkepanjangan.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.