Menyoal Aturan Baru Luas Minimal Kebun Sawit

Pembukaan lahan tanpa izin untuk dijadikan kebun sawit ini dilakukan sejak Juli 2022. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Pembukaan lahan tanpa izin untuk dijadikan kebun sawit ini dilakukan sejak Juli 2022. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
  • Pada penghujung tahun lalu, Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3/2024 tentang Pengembangan Kawasan Pertanian. Dalam permentan itu, satu poin soal penetapan standar minimal luas lahan perkebunan nasional, termasuk sawit minimal 6.000 hektar.
  • Berbagai organisasi masyarakat sipil menilai, ekspansi kebun sawit makin menambah persoalan lingkungan dan masyarakat, sedang masalah lama masih menumpuk. Kebijakan ini juga bisa jadi karpet merah bagi korporasi memperluas ekspansi perkebunan sawit baru di Indonesia.
  • Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch bingung dengan aturan baru itu. Dia bilang, tak ada perintah jelas menyebutkan bahwa regulasi ini akan mengkonsolidasikan lahan sawit yang sudah atau tidak. Dia menduga, regulasi ini justru jadi cara atau model baru untuk ekspansi sawit.
  • Marselinus Andri, dari Departemen Advokasi SPKS, berpendapat, ekspansi perkebunan sawit merupakan langkah keliru. Apalagi, saat ini sudah ada 20 badan usaha yang memasok bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri.

Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pengembangan Kawasan Pertanian. Dalam permentan itu, salah satu poin yang diatur yakni soal penetapan standar minimal luas lahan untuk Perkebunan nasional, termasuk kelapa sawit yang ditetapkan minimal seluas 6.000 hektar.

Adapun beberapa komoditas utama yang juga diatur standar minimal luas lahannya, yakni; Teh sejumlah 600 hektar, tebu sejumlah 2.000 hektar, Aren sejumlah 2.000 hektar, dan komoditas lainnya seluar 3.000 hektar. Regulasi ini disebut bertujuan memberikan kapasitas hukum dan mendorong pengembangan sektor perkebunan yang lebih efektif di seluruh Indonesia.

“Penetapan ini merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan, di mana masing-masing Direktorat Jenderal Teknis harus mengusulkan rancangan Keputusan Menteri Pertanian terkait lokasi kawasan nasional dan pengembangan kawasan pertanian,” kata Heru Tri Widarko, Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Perkebunan, seperti dikutip di InfoSAWIT.

Heru menjelaskan, aturan baru ini diharapkan mampu mendorong produktivitas sekaligus menjaga keberlanjutan sektor Perkebunan yang merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Menurutnya, pentingnya sinergi dan komitmen dari seluruh pihak terkait dalam mewujudkan pengembangan Perkebunan yang berkelanjutan.

Baca juga: Kala Prabowo Anti Sains Ketika Melihat Sawit

“Pemerintah berkomitmen untuk mendukung penuh pengembangan sektor perkebunan di Indonesia. Bersama, kita bisa memperkuat potensi perkebunan nasional,” ujarnya.

Namun, sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa regulasi ini kurang jelas dan tidak memberikan arahan yang tegas terkait pengembangan perkebunan nasional. Sebaliknya, Permentan Nomor 3 Tahun 2024 ini dianggap akan menjadi karpet merah bagi korporasi untuk memperluas ekspansi perkebunan sawit baru di Indonesia.

Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch mengaku bingung dengan Permentan Nomor 3 Tahun 2024 tersebut. Menurutnya, tidak ada perintah jelas yang menyebutkan bahwa regulasi ini akan mengkonsolidasikan lahan sawit yang sudah atau tidak. Ia menduga, regulasi ini justru akan jadi cara model baru untuk melakukan ekspansi sawit.

Dugaan Achmad Surambo bukan tanpa dasar. Di mana, dalam Pasal 20 dalam Permentan Nomor 3 Tahun 2024 menyebut Kepala Dinas Kabupaten/Kota diminta menyusun usulan rencana pengembangan kawasan Pertanian nasional untuk jangka waktu lima tahun dengan memperhatikan arah kebijakan rencana strategi pembangunan pertanian provinsi dan kabupaten/kota.

Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu
Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu

Artinya, regulasi tersebut mendorong setiap Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki kebun sawit dengan luas 6.000 hektar yang akan masuk dalam perencanaan pengembangan kawasan pertanian nasional. Jika begitu, kata Achmad Surambo, akan terjadi deforestasi besar-besar di Indonesia akibat adanya regulasi itu.

“Kami menduga Permentan Nomor 3 Tahun 2024 ini adalah salah satu cara yang sedang dilakukan pemerintah untuk melakukan ekspansi sawit baru di Indonesia,” kata Achmad Surambo, pada Selasa 10 Desember 2024 lalu.

Apalagi, menurut Achmad Surambo, syarat minimal luas lahan sebesar 6.000 hektar yang ditetapkan dalam Permentan Nomor 3 Tahun 2024 diduga membuka peluang bagi Kabupaten/Kota untuk membangun pabrik kelapa sawit dengan kapasitas pengolahan 30 ton Tandan Buah Segar (TBS) per jam.

Syarat tersebut, menurutnya, berpotensi mempermudah korporasi dalam melakukan ekspansi perkebunan sawit skala besar, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan industri pengolahan sawit di tingkat daerah, namun dengan dampak yang mungkin tidak menguntungkan bagi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Baca juga: Rencana Ekspansi Sawit Bertentangan dengan Komitmen Penurunan Emisi

Ia bilang, ketika setiap Kabupaten/Kota diminta untuk membuka lahan baru seluas 6.000 hektar untuk perkebunan sawit, hal ini diprediksi akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Apalagi, dalam Permentan Nomor 3 Tahun 2024, tidak dijelaskan secara rinci apakah luas lahan 6.000 hektar tersebut dilarang untuk dibuka di kawasan hutan atau di lahan pertanian yang produktif.

Ketidakjelasan ini, katanya, menambah kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mendorong konversi lahan yang seharusnya dilindungi atau dimanfaatkan untuk sektor pertanian lain, yang pada akhirnya bisa merusak ekosistem, mengancam ketahanan pangan, dan memperburuk perubahan iklim.

Menurutnya, Kementan perlu segera memperjelas kembali Permentan Nomor 3 Tahun 2024 ini, terutama terkait dengan apakah pengembangan kawasan pertanian nasional akan dilakukan melalui ekstensifikasi atau intensifikasi. Pengembangan secara intensifikasi, yang lebih fokus pada peningkatan hasil pertanian di lahan yang sudah ada, sebenarnya sangat memungkinkan dan lebih berkelanjutan.

“Namun, jika yang diterapkan justru ekstensifikasi melalui ekspansi perkebunan sawit, hal ini justru berisiko merusak lingkungan dan mengabaikan potensi pengelolaan lahan secara lebih efisien dan ramah lingkungan,” ujarnya.

Kebun sawit patani yang bertabrakan dengan PT HIP. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia
Kebun sawit patani yang bertabrakan dengan PT HIP. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Mendukung B40?

Permentan Nomor 3 Tahun 2024 yang mendorong setiap Kabupaten/Kota untuk mengusulkan rencana pengembangan kawasan Pertanian nasional, termasuk perkebunan sawit ini disinyalir untuk mendukung penerapan program B40 atau pencampuran solar dengan biodiesel 40% yang akan berlaku pada Januari 2025 mendatang.

Pasalnya, dalam penelitian oleh Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, Traction Energy Asia, dan Serikat Petani Kelapa Sawit Indonesia (SPKS) yang diterbitkan pada bulan April 2024 lalu menjelaskan, penerapan B40 hingga B50 pada tahun depan dengan skenario paling agresif berpotensi memicu deforestasi melebihi 1,5 juta hektar pada tahun 2039.

Dalam penelitian itu menyebut, permintaan minyak sawit internasional dan domestik untuk segala keperluan akan mencapai 67,1 juta metrik ton (mt) pada tahun 2042 jika campuran biodiesel tetap pada B35 saat ini. Namun, jika pemerintah menerapkan B40 hingga B50 pada tahun 2025, permintaan minyak sawit akan meningkat menjadi 75,63 juta ton pada tahun 2042.

Menurut Rukaiyah Rafik, Kepala Sekretariat Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), peningkatan permintaan minyak sawit akibat penerapan B40 pasti akan memicu ekspansi perkebunan sawit baru. Ia juga menduga, Permentan Nomor 3 Tahun 2024 jadi cara pemerintah memuluskan program penerapan B40 pada tahun 2025.

Baca juga: Walhi: Presiden Probowo Anti Sains ketika Melihat Sawit

Rukaiyah bilang, jika melihat kondisi produksi minyak sawit saat ini, baik untuk permintaan internasional maupun domestik, serta kebutuhan minyak sawit untuk program B40, dapat melihat bahwa pasokan bahan baku sangat terbatas. Kekurangan bahan baku ini, katanya, bisa memicu ekspansi perkebunan sawit.

“Sebenarnya, 17 juta hektar perkebunan sawit saat ini bisa memenuhi kebutuhan internasional maupun domestik. Tetapi ketika ditambah dengan program penerapan B40, pasti akan ada ekspansi perkebunan sawit,” kata Rukaiyah Rafik, pada Selasa 10 Desember 2024 lalu.

Perencanaan ekspansi ini, kata Rukaiyah, akan menambah catatan buruk dalam sektor perkebunan sawit saat ini, serta akan memperburuk kondisi pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Seharusnya, kata dia, pemerintah memperbaiki perkebunan sawit yang sudah ada, bukan melakukan upaya ekspansi lagi.

“Sawit yang ada sekarang ini harusnya yang diperbaiki, sekaligus mempermuda petani untuk mengakses dana replanting sawit, dan membantu meningkatkan produktivitas petani swadaya,” jelasnya.

Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonessia)
Petani plasma Boalemo, Gorontalo, harus menelan ‘pil pahit’ setelah bersedia bekerjasama dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonessia)

Menurut Rukaiyah, jika langkah perbaikan perkebunan sawit yang bermasalah dan upaya meningkatkan produktivitas petani swadaya dilakukan pemerintah, dapat mengcover kebutuhan B40 pada tahun 2025, sekaligus kebutuhan kebutuhan internasional maupun domestik.

Menurut Rukaiyah, jika pemerintah fokus pada perbaikan perkebunan sawit yang bermasalah serta berupaya meningkatkan produktivitas petani swadaya dapat mencakup kebutuhan minyak sawit untuk program B40 pada tahun 2025. Selain itu, langkah ini juga dapat membantu memenuhi permintaan minyak sawit baik untuk pasar domestik maupun internasional.

“Dengan perbaikan yang tepat, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan ketahanan pasokan minyak sawit, tetapi juga mendorong keberlanjutan sektor sawit secara keseluruhan,” ungkapnya.

Senada, Marselinus Andri, dari Departemen Advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), berpendapat serupa. Menurutnya, perencanaan ekspansi perkebunan sawit yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan biodiesel merupakan langkah yang keliru. Apalagi, saat ini sudah ada 20 badan usaha yang memasok Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri.

Alih-alih memperluas lahan perkebunan sawit, kata Marselinus, fokus seharusnya diarahkan pada peningkatan efisiensi dan produktivitas perkebunan yang ada, termasuk melalui pemberdayaan petani swadaya dan perbaikan tata kelola perkebunan yang lebih berkelanjutan.

Baca juga: Tahun 2024: Tata Kelola Sawit Indonesia Masih Karut Marut

Sebenarnya, kata Marselinus, dalam penelitian yang dilakukan pihaknya bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil, ditemukan bahwa sekitar 5 juta hektar lebih kebun sawit milik petani swadaya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan B30. Penelitian ini, katanya, dapat menjadi acuan bagi pemerintah jika ingin menerapkan B40 pada tahun depan, tanpa harus melakukan ekspansi perkebunan sawit.

“Dengan memanfaatkan potensi kebun sawit milik petani swadaya yang ada, pemerintah dapat menghindari dampak negatif dari perluasan lahan perkebunan dan sekaligus mendorong keberlanjutan sektor sawit di tingkat petani,” kata Marselinus Andri, pada Selasa 10 Desember 2024 lalu.

Marselinus dengan tegas menolak upaya pemerintah untuk melakukan ekspansi perkebunan sawit demi memenuhi kebutuhan B40. Ia mendorong agar pengembangan biodiesel dapat disuplai dari petani swadaya yang selama ini belum terlibat dalam rantai pasok biodiesel.

Menurutnya, melibatkan petani swadaya dalam rantai pasok biodiesel bukan hanya akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih merata, tetapi juga mendukung keberlanjutan sektor sawit dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan berkeadilan.

“Sampai hari ini belum ada satupun petani swadaya yang ikut terlibat dalam rantai pasok biodiesel,” ungkapnya.

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Memperburuk masalah Sawit di Indonesia

Saat ini, industri sawit menghadapi berbagai tantangan dan persoalan seiring dengan dinamika kebijakan dan pasar baik domestik maupun global. Dalam lingkup domestik, pertumbuhan komoditas sawit faktanya tidak selaras dengan pertumbuhan ekonomi daerah penghasil.

Selain itu, kesejahteraan masyarakat di sekitar kebun juga terus menjadi kekuatiran berbagai pihak selama ini. Dari sisi lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat bahwa terdapat sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di kawasan hutan produksi konversi (HPK) yang berpotensi dilepaskan untuk perkebunan sawit.

Data Madani Berkelanjutan menunjukkan dari total 24,2 juta hektar ekosistem gambut di Indonesia, seluas 6,2 juta hektar di antaranya berada di dalam wilayah izin sawit, dari angka tersebut 3,8 juta hektare diantaranya berupa tutupan lahan gambut.

Pada tahun 2021-2022, perkebunan sawit diperkirakan sebagai salah satu kontributor deforestasi terbesar di Indonesia yang melepaskan emisi GRK tahunan sejumlah 200 juta metrik ton. Emisi dari industri sawit diduga mencapai satu per lima dari total emisi Indonesia pada tahun 2022.

Berdasarkan observasi The TreeMap, ekspansi kebun sawit di Indonesia pada tahun 2023 telah berkontribusi terhadap konversi 30.000 hektar hutan, meningkat sejumlah 36% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebanyak 1/3 deforestasi tahun 2023 akibat sawit terjadi di lahan gambut yang kaya akan karbon.

Baca juga: Potret Food Estate Kalteng: Ditanam Padi, Justru Tumbuh Sawit

Menurut Achmad Surambo, hadirnya Permentan Nomor 3 Tahun 2024 diperkirakan akan memperburuk masalah perkebunan sawit di Indonesia. Pasalnya, Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) di Indonesia sudah sangat terbatas, sehingga tidak lagi memungkinkan untuk melakukan ekspansi perkebunan sawit, seperti yang didorong oleh regulasi tersebut.

Hal itu tergambar jelas dalam penelitian yang dilakukan Sawit Watch bersama 13 organisasi masyarakat sipil yang terbit pada 2024. Dalam riset itu menyebut, pengembangan sawit tidak bisa lagi dilakukan di semua pulau karena banyak wilayah telah melampaui kapasitas daya dukung lingkungan, terutama di area yang rentan secara ekologi.

Studi itu juga menunjukkan bahwa keragaman flora dan fauna yang terdapat di perkebunan sawit jauh lebih rendah dibandingkan dengan hutan hujan dataran rendah. Di Kalimantan misalnya, data menunjukkan bahwa jumlah orangutan Borneo telah menurun sebanyak 25% dalam satu dekade terakhir akibat perkebunan sawit.

Belum lagi soal permasalahan konflik sosial yang menimpa kelompok masyarakat rentan di perkebunan sawit seperti buruh, petani, masyarakat lokal, dan masyarakat adat yang jumlahnya selalu bertambah dan tidak berujung. Sawit Watch mencatat terdapat 1.106 komunitas yang berkonflik di perkebunan sawit.

“Masalah perkebunan sawit yang saat ini akan lebih parah ketika Permentan Nomor 3 Tahun 2024 benar-benar akan mendorong ekspansi sawit baru,” jelas Achmad Surambo

Kondisi miris, kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang, malah banyak kebun sawit. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Kondisi miris, kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Bakiriang, malah banyak kebun sawit. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Padahal, kata Achmad Surambo, dalam kajian dengan perspektif ekonomi dilakukan pihaknya menunjukkan bahwa penghentian pemberian izin sawit disertai replanting akan memberikan dampak ekonomi yang lebih baik dalam jangka panjang, termasuk pada PDB, pendapatan, penerimaan pajak, dan tenaga kerja.

Skenario moratorium dan replanting bersamaan diproyeksikan akan menghasilkan output PDB sebesar Rp30,5 triliun dan menyerap 827 ribu tenaga kerja. Sementara itu, skenario ekspansi sawit tanpa moratorium justru menghasilkan output PDB negatif sebesar Rp30,4 triliun dan hanya menciptakan 268 ribu tenaga kerja dalam periode yang sama.

Dengan begitu, pihaknya mendorong dikeluarkannya Peraturan Presiden yang disertai kebijakan dari Kementerian terkait untuk menghentikan pemberian izin baru perkebunan sawit, bukan mendorong ekspansi. Langkah ini penting untuk menjaga dampak ekonomi yang lebih baik dari sektor sawit tanpa merusak daya dukung lingkungan.

“Kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tata kelola sawit yang lebih berkelanjutan, memastikan keberlanjutan ekonomi nasional maupun daerah, dan mendukung komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon,” ujarnya.

Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, ketentuan luas minimum 6000 hektar sebelumnya diatur dalam PP Nomor 26 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian. Namun, hadirnya Permentan Nomor 3 Tahun 2024 terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang

Pertama, kata Difa, seharusnya terdapat pertimbangan mengenai daya dukung dan daya tampung, selain pertimbangan mengenai rencana tata ruang, untuk menghindari adanya ekspansi perkebunan untuk memenuhi luas minimal yang diatur dalam Permentan tersebut.

Kedua, terdapat ketentuan bahwa pola pengusahaan perkebunan untuk kawasan pertanian nasional yang berupa kawasan perkebunan dapat berupa kerjasama kemitraan antara pekebun dengan perusahaan perkebunan.

Disisi lain, kata Difa, implementasi penerapan kewajiban plasma sampai hari ini masih terus bermasalah. Di mana, kerjasama petani dengan perusahaan dalam praktiknya tidak selalu adil, dan sering kali perusahaan justru diuntungkan dan petani tidak mendapatkan haknya.

“Selain itu, Permentan ini bisa memicu praktik-praktik dimana perusahaan beroperasi secara ilegal melalui kelompok-kelompok tani,” kata Difa Shafira.

 


Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.