- Di tengah krisis iklim, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk melakukan deforestasi. Pernyataan Presiden Prabowo bahwa ekspansi sawit tidak akan menyebabkan deforestasi adalah pernyataan yang keliru.
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas lahan kelapa sawit bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi. Meskipun ada pertimbangan terkait swasembada energi nasional, rencana ini justru berisiko menambah dampak negatif, seperti peningkatan emisi, yang akan menjauhkan Indonesia dari tujuan transisi energi yang berkelanjutan.
Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa pembukaan hutan dengan alasan apapun sangat berbahaya dan merugikan. Kebijakan ini bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi serta berkontribusi pada upaya global untuk menurunkan suhu bumi, sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2016.
“Pembukaan lahan hutan akan melepaskan karbon dalam jumlah besar, memperburuk krisis iklim yang sudah terjadi. Ancaman kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan akan semakin meningkat. Jika alasan untuk membuka hutan adalah ketahanan pangan, energi, dan sumber daya air, itu adalah alasan yang dibuat-buat, yang hanya menguntungkan segelintir orang di industri kelapa sawit,” kata Iqbal.
Baca juga: Walhi: Presiden Probowo Anti Sains ketika Melihat Sawit
Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, menjelaskan bahwa rencana untuk memperluas lahan untuk pangan, energi, dan air hingga 20 juta hektare berpotensi mencakup lahan sawit. Luasan ini jauh melebihi alokasi yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7/2021.
Dalam regulasi itu, kata Amalya, hanya menetapkan 12,8 juta hektare hutan produksi konversi (HPK) sebagai cadangan energi dan pangan. Padahal, pembukaan hutan alam seluas 4,5 juta hektare saja untuk tujuan energi atau pangan dapat melepaskan 2,59 miliar ton emisi karbon.
Seharusnya, kata dia, pemerintah lebih fokus pada reforestasi dan rehabilitasi hutan alam. Pasalnya, di tengah ancaman krisis iklim ini, Indonesia tidak punya pilihan untuk melakukan deforestasi. Ia juga meminta Kementerian Kehutanan juga harus segera menyelesaikan masalah batas kawasan hutan.
“Jangan klaim bahwa perluasan sawit tidak akan menimbulkan deforestasi jika tata batas dan tata kelola hutan kita masih belum jelas,” ungkap Amalya.
Baca juga: Tahun 2024: Tata Kelola Sawit Indonesia Masih Karut Marut
Sartika Nur Shalati, Policy Strategist di CERAH, menekankan bahwa deforestasi bukan hanya soal hilangnya hutan dan peningkatan emisi, tetapi juga kerusakan lingkungan yang lebih luas. Menurutnya, pernyataan Presiden Prabowo yang mengatakan bahwa sawit tidak akan menyebabkan deforestasi adalah pernyataan yang keliru,
“Karena sawit merupakan tanaman monokultur yang merusak ekosistem alami, mengganggu keanekaragaman hayati, merusak tanah, dan sistem hidrologi,” jelas Sartika.
Lebih lanjut, kata Sartika, perluasan lahan sawit juga mengancam ekosistem gambut yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon alami. Indonesia memiliki sekitar 24,66 juta hektare ekosistem gambut, yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia.
“Sekitar 3 juta hektare (19%) dari perkebunan sawit berada di lahan gambut, yang sangat rentan terhadap kebakaran, terutama di musim kemarau. Pembukaan lahan sawit di area gambut ini akan meningkatkan potensi kebakaran dan memperburuk emisi karbon Indonesia,” ungkapnya
Salah Arah
Amalya menambahkan bahwa kebijakan energi Indonesia yang mendorong penggunaan bioenergi juga berperan dalam memperburuk ekspansi lahan sawit. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia menargetkan pemanfaatan bioenergi sebagai energi terbarukan utama hingga 2040.
Selain itu, kata Amalya, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP29, Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan campuran biodiesel menjadi 50% (B50). Namun, kebijakan ini justru bertentangan dengan upaya transisi energi yang bertujuan mengurangi emisi.
“Emisi yang dihasilkan dari pembukaan hutan, ditambah dengan emisi dari pembakaran sawit sebagai biofuel dan biomassa untuk kelistrikan, akan semakin memperburuk krisis iklim. Di sektor energi, pemerintah harus mempertimbangkan kembali kebijakan penggunaan bioenergi yang berbahan baku sawit dan kayu,” tegas Amalya.
Baca juga: Dijanjikan Kemakmuran, Petani Sawit Buol Justru Ditenggelamkan dalam Utang
Senada dengan itu, Sartika juga menyatakan bahwa rencana perluasan lahan sawit sangat terkait dengan cita-cita swasembada energi Presiden Prabowo, terutama melalui pengembangan biodiesel dan pemanfaatan biomassa sawit di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
“Untuk mencapai target biodiesel B50, Indonesia akan membutuhkan perluasan lahan sawit hingga 2,5 hingga 3 kali lipat dari luas saat ini, yang telah mencapai 16 juta hektare,” jelasnya.
Lebih jauh lagi, kata Sartika, penggunaan sawit sebagai bahan baku co-firing biomassa di PLTU justru akan memperlambat transisi energi menuju sumber energi terbarukan. Hal ini dapat memperpanjang ketergantungan Indonesia pada pembangkit listrik berbasis batu bara, yang seharusnya segera dihentikan.
“Ini jelas bertentangan dengan pernyataan Presiden Prabowo di G20 yang menyebutkan rencana penutupan PLTU dalam 15 tahun ke depan,” ujarnya
Menurutnta, swasembada energi memang penting, namun jika itu mengorbankan hutan melalui konversi lahan menjadi kebun sawit monokultur, maka pendekatan ini kurang tepat.
“Jangan sampai kita menyelesaikan satu masalah, namun justru menciptakan masalah baru yang lebih kompleks,” kata Sartika.
Leave a Reply
View Comments