- Perusahaan sawit, PT Astra Agro Lestari (AAL) menerbitkan laporan kemajuan mengenai rencana aksi tiga tahun yang ditetapkan sepihak untuk mengatasi konflik dan keluhan masyarakat yang berlangsung di Sulawesi, September lalu. Friends of The Earth Amerika Serikat pun merespon laporan itu. Walhi membeberkan temuan saat turun lapangan.
- Laporan perusahaan dinilai tidak mencakup masalah utama masyarakat, terutama terkait pengembalian tanah yang diambil tanpa izin. Kesenjangan ini sangat terlihat dalam pendekatan perusahaan yang tak mencakup kegagalan AAL memperoleh persetujuan awal tanpa paksaan (FPIC) dalam operasi di Sulawesi Tengah dan Barat.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, dalam kunjungan lapangan Walhi, masyarakat melaporkan mereka tidak ikut serta dalam pertemuan desa yang disorot dalam laporan kemajuan perusahaan. Beberapa jalan bahkan diblokir untuk menghalangi partisipasi masyarakat.
- Fenny A. Sofyan, Vice President of Investor Relations and Public Affairs AAL memilih sikap tidak melakukan perdebatan di ruang publik. DIA berharap, Friends of the Earth dan Walhi bisa cermat memverifikasi soal pernyataan yang dibuat, terutama komunitas yang disinggung. Perusahaan sudah menunjuk lembaga independen untuk investigasi independen, hasilnya juga sudah terbit.
Pada tanggal 2 September 2024, Astra Agro Lestari (AAL) menerbitkan laporan kemajuan mengenai pelaksanaan rencana aksi tiga tahun yang ditetapkan secara sepihak untuk mengatasi konflik dan keluhan masyarakat yang berlangsung di Sulawesi.
Dalam laporan tersebut, AAL menyatakan bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi berbagai isu yang ditujukan kepada perusahaan, khususnya terkait dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
AAL juga mengklaim bahwa mereka telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) di Desa Towiora untuk pembangunan pemakaman umum, dan melakukan pertemuan untuk distribusi bantuan pangan kepada masyarakat Kabuyu, serta membuat pertemuan dengan pemerintah terkait klaim lahan yang tumpang tindih di desa Bunta.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Friends of the Earth AS menyoroti adanya kesenjangan besar dalam investigasi yang dilakukan oleh AAL, yang menjadi dasar dari rencana aksi tersebut.
Pasalnya, masalah-masalah yang disebutkan dalam laporan AAL hanya mewakili sebagian kecil dari keluhan yang disampaikan oleh masyarakat. Laporan tersebut tidak mencakup masalah utama yang dihadapi masyarakat, terutama terkait dengan pengembalian tanah yang diambil tanpa izin.
Baca juga: Potret Food Estate Kalteng: Ditanam Padi, Justru Tumbuh Sawit
Kesenjangan ini sangat terlihat dalam pendekatan perusahaan yang tidak mencakup kegagalan AAL untuk memperoleh Persetujuan Awal Tanpa Paksaan (FPIC) untuk operasinya di Sulawesi Tengah dan Barat.
FPIC adalah proses yang seharusnya memastikan bahwa masyarakat yang terdampak oleh kegiatan perusahaan memberikan persetujuan yang sah, tanpa adanya paksaan atau manipulasi.
Sayangnya, AAL tampaknya terus mengabaikan tuntutan masyarakat untuk mengembalikan tanah yang telah diambil secara paksa. Sebaliknya rencana aksi model pembangunan AAL adalah menempatkan kesejahteraan masyarakat di bawah kendali perusahaan mereka.
WALHI dan Friends of the Earth AS menilai, laporan AAL yang telah dikurasi untuk konsumsi publik menggambarkan kemajuan yang jauh dari kenyataan yang terjadi di lapangan. Hal itu pun terkonfirmasi ketika Walhi melakukan kunjungan lapangan di Sulawesi pada Oktober 2024.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI mengatakan, dalam kunjungan lapangan itu, sejumlah masyarakat melaporkan bahwa mereka tidak diikutsertakan dalam pertemuan desa yang disorot dalam laporan kemajuan perusahaan. Beberapa jalan bahkan diblokir untuk menghalangi partisipasi masyarakat.
Di Desa Towiora misalnya, warga masyarakat mengklaim bahwa kepala desa secara langsung memilih peserta yang dapat hadir dalam pertemuan untuk penandatanganan MoU dengan AAL. Namun, pertemuan tersebut tidak diumumkan kepada publik secara transparan, sehingga banyak warga yang masih memiliki klaim atas tanah tidak dapat hadir.
Bahkan, beberapa warga melaporkan bahwa jalan di Towiora dan Rio Mukti diblokir oleh PT Lestari Tani Teladan (LTT) dan PT Mamuang untuk mencegah partisipasi masyarakat dalam pertemuan tersebut. Akibatnya, praktik itu juga membatasi mobilitas harian masyarakat, yang selanjutnya menghambat aktivitas mata pencaharian mereka.
Dengan begitu, pertemuan yang digelar AAL tersebut hanya dihadiri oleh sekelompok kecil orang yang mendukung perusahaan. Lebih lanjut, beberapa pertemuan diadakan secara tertutup, tanpa memberikan ruang bagi masyarakat terdampak untuk menyampaikan pendapat mereka.
Sementara AAL berusaha menggambarkan bahwa mereka telah mencapai kemajuan dalam menyelesaikan keluhan masyarakat. Padahal kenyataan di lapangan, demonstrasi oleh serikat petani dan masyarakat yang terdampak di Sulawesi terus berlangsung, menentang operasi perusahaan pada bulan September dan Oktober 2024.
Baca juga: Dugaan Pelanggaran di Perusahaan Sawit Astra Tenyata Lebih Besar
Misalnya, pada tanggal 4 September, Serikat Petani Petasia Timur di Morowali Utara menggelar aksi unjuk rasa di luar kantor kejaksaan untuk menentang operasi PT Agro Nusa Abadi (ANA), anak perusahaan AAL, dengan alasan bahwa perusahaan tidak memiliki izin usaha perkebunan (HGU) yang sah. Mereka juga menuntut agar penyelidikan dilakukan terhadap dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan perkebunan.
Pada 2 Oktober 2024, WALHI bersama dengan Kelompok Tani Sinar Rio Jaya menggelar protes di Rio Mukti terhadap operasi PT Mamuang, anak perusahaan AAL, yang dinilai merugikan masyarakat setempat. Mereka menuntut agar tanah yang telah diambil secara paksa oleh perusahaan dikembalikan.
Pada tanggal 30 Oktober 2024, petani di Morowali Utara kembali melakukan demonstrasi di depan kantor polisi dan kejaksaan di Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, untuk menyerukan penarikan pasukan keamanan dari wilayah operasi PT ANA.
Dengan berbagai rangkai demonstrasi yang digelar serikat petani dan masyarakat, perusahaan tak berhenti melakukan intimidasi. Uli bilang, dalam beberapa minggu terakhir, perusahaan kelapa sawit nakal ini telah meningkatkan tindakan represifnya terhadap masyarakat yang berusaha mencari nafkah dari tanah mereka.
Misalnya, pada dua kesempatan di bulan Oktober 2024, anak perusahaan AAL, PT Agro Nusa Abadi (ANA), melanjutkan praktik pemanenan kelapa sawit secara paksa dengan pengamanan dari Korps Brigade Mobil (Brimob).
Di beberapa titik, masyarakat yang menentang operasi perusahaan dilaporkan mengalami intimidasi. Salah satunya terjadi pada tanggal 8 Oktober 2024, ketika petugas Brimob melepaskan tembakan untuk meredam protes terhadap tindakan ANA yang memanen buah sawit dari lahan yang diklaim oleh masyarakat.
Selain intimidasi, pada tanggal 22 Oktober 2024, Brimob mengancam akan menyita buah kelapa sawit yang dipanen oleh petani di Desa Bungintimbe, sementara ANA terus memanen di lahan yang masih disengketakan oleh masyarakat.
Bahkan pada tanggal 29 Oktober 2024, polisi menetapkan enam warga masyarakat dari Morowali Utara sebagai tersangka pencurian buah kelapa sawit dan mengeluarkan surat panggilan.
Pada 23 September 2024, PT ANA bertemu dengan kepala desa dan pengurus koperasi di asrama perusahaan di Desa Molino, Morowali Utara, namun mengesampingkan anggota masyarakat yang menentang operasi perusahaan.
Pertemuan tersebut menghasilkan enam poin kesepakatan yang justru membatasi akses masyarakat terhadap tanah mereka, yang kemudian dijaga ketat oleh Brimob. Ia bilang, Ketika masyarakat mencoba melawan pemanenan di tanah mereka, mereka mengalami ancaman dan intimidasi secara langsung.
Baca juga: Menanti Aksi Pemerintah Selesaikan Persoalan Kebun Sawit Astra Agro Lestari
“Situasi di Sulawesi semakin memburuk akibat tindakan kekerasan AAL di lahan yang menjadi hak sah masyarakat dan petani setempat,” kata Uli Arta Siagian melalui siaran pers yang diterima pada Rabu 13 November 2024.
Menurut Uli, tindakan intimidasi dan kekerasan terbaru AAL harus menjadi peringatan bagi perusahaan global yang terus memasukkan minyak kelapa sawit AAL yang berkonflik dalam rantai pasokan mereka.
Apalagi, kejadian-kejadian ini merupakan kelanjutan dari pola intimidasi dan kriminalisasi yang terjadi di bawah operasional AAL, yang telah dilaporkan sebelumnya oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia dan Pelapor Khusus PBB untuk Pembela HAM.
“Tindakan represif ini terjadi di bawah pengawasan perusahaan global yang terus memasukkan minyak kelapa sawit AAL,” jelasnya.
Senada, Gaurav Madan, Juru Kampanye Hak Hutan dan Tanah Senior di Friends of the Earth AS mengatakan, laporan-laporan ini menggambarkan bagaimana AAL terus melakukan marginalisasi terhadap masyarakat yang terdampak dan mengecualikan mereka dari proses yang seharusnya transparan.
Walaupun AAL menggunakan istilah FPIC dalam beberapa kesempatan dalam laporan mereka, kenyataannya perusahaan tidak pernah melakukan proses FPIC yang sah untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terdampak. Gaurav bilang, hal itu menjadi sumber utama konflik yang belum terselesaikan hingga kini.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), FPIC harus diterapkan sepanjang perusahaan beroperasi di wilayah tersebut. Dengan demikian, AAL seharusnya mengimplementasikan proses FPIC setelah konflik muncul, dan tidak seharusnya terus beroperasi tanpa persetujuan masyarakat.
Secara keseluruhan, klaim kemajuan yang disampaikan oleh AAL dalam laporan tersebut merupakan sebuah ilusi yang tidak mencerminkan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat. Menurutnya, upaya perusahaan untuk menutupi pelanggaran dan ketidakadilan yang terus terjadi di lapangan sangat jelas terlihat.
“Dengan mempercayai jaminan kemajuan yang meragukan dari AAL dan mengabaikan penindasan yang dihadapi masyarakat, perusahaan gagal dalam tanggung jawab mereka untuk melakukan uji tuntas yang independen,” kata Gaurav Madan melalui rilis yang diterima.
Baca juga: Program Sulawesi Palm Oil Belt Ancaman Baru Hutan Sulawesi
Menurut Gaurav, AAL harus segera bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat yang terdampak dilindungi dan dipulihkan secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku.
Gaurav bilang, ketidakpuasan masyarakat yang terus berlanjut menunjukkan bahwa perusahaan harus melakukan reformasi menyeluruh dalam pendekatan mereka terhadap masyarakat, dan terutama dalam hal pengembalian tanah yang telah dirampas secara ilegal.
Tanpa perubahan ini, katanya, klaim kemajuan AAL hanya akan menjadi kata-kata kosong yang tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat yang terdampak.
Terlebih lagi, ada bukti nyata adanya intimidasi dan ancaman terhadap para pemimpin masyarakat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Sulawesi, dan AAL tidak pernah menerima persetujuan dari masyarakat untuk beroperasi di tanah mereka.
“Perusahaan dan pemodal harus memutuskan hubungan dengan AAL dan perusahaan induknya hari ini untuk memberi sinyal bahwa mereka tidak akan menoleransi pelanggaran yang mencolok ini, jika tidak mereka terlibat,” tegasnya.
Banyak Kasus Menjerat
Sebenarnya, selain terlibat dalam kasus perampasan tanah, pelanggaran HAM dan merusak lingkungan, AAL juga disinyalir terlibat dalam kasus pelanggaran kehutanan, yakni diduga membangun kebun sawit di wilayah kawasan hutan yang seharusnya dilindungi.
Dugaan itu berdasarkan laporan Friends of the Earth Amerika Serikat, Walhi, dan Milieudefensie dengan judul “Memupuk Konflik: Cara Astra Agro Lestari, berbagai Merek, dan Lembaga Keuangan Besar Memanfaatkan Kesenjangan Tata Kelola di Indonesia,” yang terbit pada Juni 2024.
Adapun laporan itu mengungkapkan bahwa 17 konsesi anak perusahaan AAL tumpang tindih dengan lebih dari 17.000 hektar kawasan hutan Indonesia. Ada sekitar 1.100 hektar perkebunan AAL di kawasan hutan Indonesia tampak ilegal, dan beberapa anak
perusahaan AAL di Sulawesi beroperasi tanpa izin usaha perkebunan (HGU) yang disyaratkan.
Laporan ini membawa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati) melakukan pemeriksaan kepada Direktur Operasional (OP) AAL Arief Catur Irawan pada Kamis 12 November 2024 kemarin, terkait anak usahanya yang terindikasi tidak memiliki HGU maupun yang mengelola industri kelapa sawit di atas HGU badan usaha milik Negara (BUMN).
Dikutip dari emitennews, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator pasar modal telah mengeluarkan surat resmi kepada AAL untuk melakukan klarifikasi terkait sejumlah masalah yang dihadapi perusahaan. Surat ini bertujuan memastikan bahwa AAL, yang telah mengumpulkan dana melalui IPO, menjalankan kewajibannya dengan baik kepada seluruh pemegang saham.
Baca juga: Di Bangkal Seruyan: ‘Sawit Lebih Mahal dari Nyawa Manusia’
Tingning Sukowignjo, Direktur sekaligus Corporate Secretary AAL, menjelaskan bahwa perusahaan telah menerima panggilan dari BEI untuk memberikan klarifikasi terkait masalah hukum yang melibatkan anak perusahaan, PT Rimbunan Alam Sentosa (RAS). Kasus ini berfokus pada tumpang tindih lahan antara RAS dan PT Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV), yang kini sedang dalam proses hukum oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah.
“Sebagaimana kami sebutkan di atas, perkara ini terkait tumpang tindih lahan antara RAS dengan PTPN XIV seluas 1.329 Ha. Detail dari perkara ini belum dapat kami sampaikan mengingat hal ini masih dalam proses hukum oleh pihak yang berwenang, sehingga kami harus menghormati proses hukum yang sedang berlangsung,” ujar Tingning, seperti dikutip di emitennews.
Sejak ramai kasus yang menjerat, saham AAL mengalami penurunan signifikan sebesar 5,63 persen, dengan harga terendah tercatat pada 26 Mei 2024 di level Rp 5.325 per lembar. Dalam perbandingan tahunan, saham AAL turun 4,29 persen, dan dalam lima tahun terakhir, saham ini terjun hingga 45,08 persen.
Tren penurunan saham AAL sejalan dengan berkurangnya jumlah investor yang mulai meninggalkan perusahaan sejak kasus hukum mencuat. Data dari RTI menunjukkan bahwa pada Juli 2024, jumlah pemegang saham AAL tercatat 21.861, namun angka ini terus turun, mencapai 21.007 investor pada Oktober 2024.
Selain masalah lahan, AAL juga terjerat dalam gugatan wanprestasi yang diajukan oleh PT Mas Lestari Perkasa (MLP), yang meminta ganti rugi sebesar Rp 56 miliar. Putusan ini terkait dengan hubungan bisnis antara AAL dan MLP, yang berfungsi sebagai pemasok minyak goreng (CPO), sebagaimana tercatat dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 15 Oktober 2024.
Alih-alih menyelesaikan pelanggaran yang dibuat, emiten dibawah naungan Astra Group ini mengajukan permohonan untuk menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 11 Juli 2024. RSPO adalah organisasi sukarela yang mengembangkan dan menerapkan standar global untuk produksi dan pengadaan minyak sawit berkelanjutan.
Adapun RSPO sendiri memiliki komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan kebijakan No Deforestation, No Peatland, dan No Exploitation (NDPE). Komitmen keberlanjutan tersebut pada dasarnya memastikan kelapa sawit dan produk turunannya berasal dari sumber yang bersih dan terlacak, tanpa adanya praktik perambahan hutan maupun eksploitasi di lahan gambut.
Namun, masyarakat di Sulawesi menilai, apa yang dilakukan oleh AAL selama ini sangat jauh berbeda dengan komitmen komitmen keberlanjutan itu. Akhirnya, Pada September 2024, 36 warga Rio Mukti mengirim surat ke RSPO untuk menyerukan penolakan terhadap permohonan keanggotaan AAL.
Surat tersebut menegaskan bahwa jika RSPO menerima AAL, maka lembaga ini tidak lagi dapat mengklaim sebagai badan sertifikasi keberlanjutan yang kredibel di industri kelapa sawit. Mereka juga meminta agar RSPO menunda keputusan keanggotaan AAL hingga perusahaan mengembalikan tanah yang diambil paksa dari masyarakat.
Selain itu, mereka mendesak agar AAL memberikan kompensasi atas kerusakan yang ditimbulkan, memulihkan nama baik anggota masyarakat yang dikriminalisasi, dan memastikan tidak ada lagi intimidasi, kekerasan, atau kriminalitas terhadap masyarakat yang terdampak.
Baca juga: Petani Sawit Buol Menanti Perusahaan Kembalikan Lahan
Danielle van Oijen, Koordinator Program Kehutanan di Milieudefensie, mengatakan apa yang dilakukan AAL tidak menunjukkan niat untuk mengubah praktik represifnya. Pemerintah Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia harus memastikan perlindungan bagi warga negara yang terancam.
Sebaliknya, kata Danielle, AAL seperti mengarang cerita bagi para pembeli minyak kelapa sawitnya. Menurutnya, perusahaan dan pemodal yang terkait dengan minyak sawit konflik AAL harus memenuhi kewajiban mereka untuk mengurangi dan mencegah kerugian dengan memutuskan hubungan dengan AAL dan perusahaan induknya, Jardine Matheson dan Astra International.
“Semua pihak harus bekerja untuk meredakan ketegangan sekarang,” kata Danielle van Oijen
Sementara itu, Fenny A. Sofyan, Vice President of Investor Relations and Public Affairs AAL mengaku, saat ini pihaknya memilih sikap untuk tidak melakukan perdebatan di ruang publik. Ia berharap Friends of the Earth dan WALHI bisa cermat melakukan verifikasi soal pernyataan yang dibuat, terutama komunitas yang disinggung.
Fenny menjelaskan, perusahaan sudah menunjuk lembaga independen untuk melakukan investigasi independen, dan hasilnya juga sudah diterbitkan. Menurutnya, apa yang dilakukan itu sebagai tanggung jawab untuk memberitahu kepada para pemangku kepentingan tentang kemajuan dan langkah-langkah perusahaannya.
“Kemajuan dan langkah-langkah di lapangan, kami tujukan untuk membantu masyarakat dan menyelesaikan masalah apa pun yang dihadapi masyarakat,” kata Fenny A. Sofyan, pada Rabu 13 November 2024.
Ia juga mengaku, pihaknya beberapa menawarkan bertemu dengan Friends of the Earth dan WALHI untuk menjelaskan kekhawatiran yang ada, tetapi tidak direspon sama sekali. Ia bilang, perusahaan sangat terbuka untuk berdialog dengan siapa saja, termasuk Friends of the Earth dan WALHI.
“Yang jelas, pintu kami untuk berdialog dengan mereka selalu dan tetap terbuka,” pungkasnya.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments