LPRA Jadi Solusi Konflik Petani dan TN Lore Lindu di Sigi

Proses negosiasi penyelesaian konflik petani dan Balai Taman Nasional Lore Lindu. (Foto: KPA Sulteng)
Proses negosiasi penyelesaian konflik petani dan Balai Taman Nasional Lore Lindu. (Foto: KPA Sulteng)

Ratusan petani dari Serikat Tani Sigi, bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Tengah, menggelar Dialog Kebijakan bertema “Lokasi Prioritas Reforma Agraria yang Diusung Organisasi Rakyat” di Desa Sibowi, Sigi, pada 14 Oktober 2024.

Dialog ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Bupati Sigi Irwan Lapatta, Tenaga Ahli Gubernur M Ridha Saleh, dan Kepala Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu Titi Wurdiningsih, serta perwakilan BPN Sulawesi Tengah.

Kegiatan ini merupakan bagian dari strategi advokasi untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan memperkuat kebijakan reforma agraria, sejalan dengan agenda nasional yang bertujuan memberikan keadilan dan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat.

Reforma agraria, program unggulan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, menargetkan legalisasi 5,5 juta hektare dan redistribusi 4,5 juta hektare tanah dari total 9 juta hektare dalam agenda reforma agraria.

Baca juga: 10 Tahun Kepemimpinan Jokowi: dari Nawa Cita Menjadi Nawa Keji

Di Sulawesi Tengah, reforma agraria telah dilaksanakan di beberapa daerah, termasuk Sigi dan Tojo Una-Una, dengan Sigi dianggap sebagai pintu masuk strategis bagi pemerintah dalam memenuhi hak masyarakat atas sumber penghidupan.

Total usulan reforma agraria di Kabupaten Sigi mencapai 185.742,07 hektare, meliputi berbagai jenis tanah, termasuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dalam kawasan hutan dan hutan adat.

Menurut KPA Sulteng, dialog ini penting untuk mendesakkan LPRA yang diusung Serikat Tani Sigi, guna mengoreksi kebijakan reforma agraria yang dianggap hanya fokus pada sertifikasi tanah tanpa menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan.

Doni Moidady, Korwil KPA Sulteng, menyatakan bahwa LPRA bukan sekadar database agraria, melainkan alat konsolidasi untuk membangun keswadayaan dan perencanaan tata guna tanah yang lebih baik.

Baca juga: Keluar dari Kemelut dan Legacy Buruk Food Estate

LPRA juga berfungsi sebagai parameter untuk memetakan kekuatan organisasi anggota melalui data subjek dan objek reforma agraria, yang menjadi indikator penting dalam advokasi penyelesaian konflik agraria.

Doni menekankan pentingnya memastikan kebijakan reforma agraria sesuai dengan tujuan dan ketepatan objek serta subjek yang diusulkan, mengingat kebijakan yang ada sering kali bersifat top-down.

Dalam konteks ini, reforma agraria di sektor kehutanan di bawah pemerintahan Jokowi telah gagal mencapai target, hanya menyentuh 390 ribu hektare dari rencana 4,1 juta hektare.

Fenomena Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di Sigi muncul sebagai respons proaktif terhadap agenda reforma agraria yang belum ditetapkan di tingkat pusat, namun diakui sebagai contoh baik pelaksanaan di tingkat daerah.

Baca juga: Terbukti Selalu Gagal, Pertanian Food Estate Bukan Jawaban Pemenuhan Pangan Nasional

Namun, di Sigi, pengusulan kawasan hutan di Desa Balumpewa sebagai objek reforma agraria masih terhambat, menciptakan ketimpangan antara penguasaan negara dan masyarakat setempat.

Doni juga menyoroti bahwa kondisi tersebut melahirkan konflik berkepanjangan akibat “negaraisasi tanah” yang menempatkan kontrol negara di atas hak masyarakat.

Usulan pelepasan tanah untuk TORA di Desa Balumpewa, termasuk dari hutan konservasi dan hutan lindung, dianggap mendesak untuk mengatasi ketimpangan tersebut.

Mekanisme LPRA diusulkan sebagai alternatif dalam penyelesaian konflik agraria, melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam penetapan objek reforma agraria.

Baca juga: SLAPP Terus Meningkat di Kawasan Industri Nikel Morowali

Bupati Sigi, Moh Irwan Lapatta, menyampaikan bahwa masyarakat dapat mengajukan perubahan status lahan mulai dari Gubernur hingga Presiden, dengan penekanan pada perlunya menjaga kelestarian hutan.

Kepala BBTNLL, Titi Wurdiningsih, menegaskan bahwa program pemberdayaan masyarakat dan akses terhadap tanah yang telah dikelola sebelum adanya taman nasional harus diprioritaskan.

Perwakilan BPN Sulteng, Nurdin, mengungkapkan bahwa redistribusi tanah berdasarkan usulan LPRA sudah dilakukan di beberapa kabupaten, dan berharap usulan dari Serikat Tani Sigi dapat segera diproses.

Tenaga Ahli Gubernur Sulteng, Ridha Saleh, juga menyatakan bahwa kemungkinan pengecualian hak di kawasan hutan perlu dipertimbangkan untuk menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat.

Baca juga: Rapor Merah untuk Pj Bupati Buol M. Muchlis

Darfan Sahuri dari Serikat Tani Sigi menegaskan komitmen mereka untuk mempertahankan usulan LPRA yang telah dipetakan secara partisipatif, mengingat banyak di antara mereka memiliki alas hak.

Doni menegaskan bahwa LPRA bisa menjadi jembatan untuk meredakan ketegangan antara petani, masyarakat adat, dan otoritas kehutanan.

Ia menyoroti bahwa isu penyelesaian konflik agraria perlu menjadi perhatian serius dalam pemilu mendatang, agar pemerintah lebih berpihak kepada masyarakat yang terdampak konflik.

Staf Redaksi Benua Indonesia