Efisiensi Anggaran: Apakah Mempengaruhi Pengelolaan Kawasan Konservasi?

Taman Nasional Gunung Merapi (Image courtesy of panoramaku.com)
Taman Nasional Gunung Merapi (Image courtesy of panoramaku.com)

Pada awal tahun 2025, efisiensi anggaran menjadi topik diskusi yang hangat, tidak hanya di sektor kehutanan, tetapi juga di berbagai sektor lainnya. Dampaknya diperkirakan akan signifikan bagi kinerja seluruh Kementerian dan Lembaga.

Meskipun Indonesia telah menghadapi tantangan besar selama pandemi COVID-19, situasi saat ini memiliki dinamika yang berbeda. Pertanyaan penting yang muncul adalah, apakah kondisi sekarang sama dengan tantangan yang dihadapi selama pandemi?

Kebijakan efisiensi anggaran ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD, yang dikeluarkan pada 22 Januari 2025. Meskipun item-item yang akan terkena dampak efisiensi belum sepenuhnya ditentukan, belanja pegawai dan belanja bantuan sosial tidak akan terpengaruh.

Namun, muncul pertanyaan penting: apakah efisiensi anggaran ini akan mempengaruhi pengelolaan kawasan konservasi? Seorang anggota Komisi IV DPR menyatakan bahwa, meskipun ada efisiensi, Kementerian dan Lembaga teknis tetap harus menjalankan tugasnya dengan baik.

Pengelolaan kawasan konservasi harus ditingkatkan untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati dan pencapaian target. Namun, efisiensi anggaran ini dapat mempengaruhi pencapaian target tersebut.

Untuk memahami dampak efisiensi ini terhadap sektor kehutanan, perlu ditinjau lebih lanjut kegiatan-kegiatan mana yang akan terkena dampak. Dalam Inpres tersebut, Presiden menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah diwajibkan melakukan efisiensi sebesar 306,7 triliun rupiah.

Kebijakan itu mempengaruhi belanja operasional dan non-operasional, seperti belanja kantor, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

Jika dilihat dari item-item ini, dampaknya terhadap pengelolaan kawasan konservasi kemungkinan besar tidak terlalu signifikan. Namun, infrastruktur, sebagai salah satu elemen penting dalam pengelolaan kawasan, mungkin akan terkena dampak yang lebih besar.

Saat ini, Indonesia memiliki 564 kawasan konservasi dengan total luas mencapai 27,14 juta hektar. Sebagian besar kawasan ini membutuhkan dukungan dana untuk mencukupi kebutuhan sumber daya manusia, kendaraan, dan fasilitas pendukung lainnya, terutama infrastruktur.

Baca juga: Proyek Strategis Nasional jadi Sumber Pelanggaran HAM

Beberapa kawasan konservasi juga membutuhkan sarana pelayanan pengunjung, terutama kawasan yang memiliki fungsi pariwisata, termasuk pembangunan pusat pengunjung dan media informasi. Oleh karena itu, jika anggaran untuk pengelolaan kawasan konservasi terkena dampak efisiensi, tantangan yang dihadapi akan semakin besar.

Kawasan konservasi yang umumnya terletak jauh dari pusat kota juga membutuhkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaannya. Keberhasilan pengelolaan kawasan sangat bergantung pada koordinasi yang efektif dengan masyarakat setempat.

Hubungan antara masyarakat dan kawasan konservasi telah terjalin sejak sebelum kawasan tersebut ditetapkan, sehingga program-program yang mendukung peningkatan kesadaran masyarakat sangat diperlukan.

Selain itu, fungsi riset di kawasan konservasi, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2015, juga terancam terkena dampak efisiensi. Penelitian ini penting untuk memantau populasi spesies yang terancam punah dan melakukan inventarisasi spesies.

Meskipun efisiensi anggaran mungkin tidak terlalu mengganggu pengelolaan kawasan konservasi dalam jangka pendek, namun pengembangan kawasan di masa depan bisa terkena dampaknya.

Tahun ini, Kementerian Kehutanan memiliki lima program prioritas, yaitu digitalisasi layanan, penguasaan hutan yang berkeadilan, hutan sebagai sumber swasembada pangan, menjaga hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, dan Indonesia Satu Peta.

Prioritas sektor kehutanan saat ini juga berfokus pada perhutanan sosial untuk mendukung program pangan nasional. Dengan demikian, perlu dikaji kembali bagaimana posisi kawasan konservasi dalam program-program prioritas tersebut.

Tahun 2025 akan menjadi ujian bagi pengelola kawasan konservasi untuk membangun kemitraan dan kolaborasi dengan pihak eksternal guna mendukung pengelolaan kawasan secara berkelanjutan.

Sistem kawasan konservasi masih membutuhkan pendanaan untuk menganalisis keterwakilan habitat yang ada, terlepas dari ketersediaan anggaran. Seiring dengan itu, diperlukan kajian mendalam mengenai besarnya dana yang perlu di efisiensikan serta dampaknya terhadap pengelolaan kawasan konservasi.

Penyuluh Kehutanan di Taman Nasional Gunung Merapi – Kementerian Kehutanan RI