Mikroplastik Cemari Perairan Gorontalo

Sampah banyak berserakan di tepian sungai di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Sampah banyak berserakan di tepian sungai di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Perairan Gorontalo antara Kecamatan Hulonthalangi dan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, tercemar mikroplastik. Demikian hasil penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) yang berkolaborasi dengan Institute for Humanities and Development Studies (InHIDES) 17 Oktober lalu.
  • Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) sekaligus peneliti tim ESN mengatakan, mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran kurang dari lima mm. Ia bisa hasil pemecahan dari sampah plastik seperti sachet, tas kresek, styrofoam, botol plastik, sedotan, alat penangkap ikan, popok dan sampah plastik lain yang dibuang di Sungai Bone.
  • Alif Lutfi Ikhsanul Fikri, peneliti ekologi dan penanggulangan bencana InHIDES mengatakan, pengelolaan sampah buruk dan buang sembarangan antara lain faktor utama perairan Gorontalo tercemar mikroplastik. Rantai makanan di perairan Gorontalo pun otomatis terkontaminasi mikroplastik. Kondisi ini, bisa mempengaruhi kesehatan masyarakat Gorontalo.
  • Kota Gorontalo penyumbang sampah terbesar di Gorontalo. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menunjukkan, produksi sampah di Kota Gorontalo 140 ton per hari. Dari 140 ton itu, hanya 70 ton mampu diangkat Dinas Lingkungan Hidup Kota Gorontalo ke TPA Regional Talumelito, Gorontalo. Sisanya, sekitar 70 ton, dibiarkan begitu saja dan tak terkelola baik hingga berisiko berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.

Perairan Gorontalo yang terletak di antara Kecamatan Hulonthalangi dan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo tercemar mikroplastik yang merupakan potongan plastik yang sangat kecil dan dapat mencemari lingkungan. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) yang berkolaborasi dengan Institute for Humanities and Development Studies (InHIDES) yang dilaksanakan pada 17 Oktober 2022 lalu.

Pengujian mikroplastik di perairan Gorontalo itu dilakukan pada empat lokasi, yaitu; jembatan Kalengkongan, Jembatan Talumolo 1 dan 2 Kota Gorontalo, serta Bendungan Alale Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango dengan mengambil. Alhasil, tiga dari empat lokasi itu, mereka menemukan perairan Gorontalo tercemar mikroplastik akibat sampah yang hanya dibuang sembarangan.

Alif Lutfi Ikhsanul Fikri, Peneliti Bidang Ekologi dan Penanggulangan Bencana InHIDES menyatakan, hasil studi dan pengambilan sampel yang dilakukan di Jembatan Kalengkongan dan Jembatan Talumolo 1 dan 2 Kota Gorontalo menemukan, rata-rata 100 liter air sungai bone terdapat 300 partikel mikroplastik. Sementara, untuk di wilayah Bendungan Alale Sungai Bone di Kabupaten Bone Bolango masih rendah.

“Kita menemukan, di jembatan Kalengkongan kita menemukan ada 260 partikel mikroplastik dari 100 liter air sungai yang diambil. Sementara, di Jembatan Talumolo 1 terdapat 280 partikel mikroplastik, jembatan Talumolo 2 terdapat 360 partikel mikroplastik dari 100 liter air sungai yang diambil. Artinya, perairan Gorontalo benar-benar sudah tercemar mikroplastik,” kata Alif Lutfi Ikhsanul Fikri kepada Mongabay, awal pertengahan Oktober lalu.

Alif bilang, pengelolaan sampah yang buruk dan hanya dibuang sembarangan menjadi salah satu faktor utama perairan Gorontalo tercemar mikroplastik. Katanya, rantai makanan di perairan Gorontalo secara otomatis sudah terkontaminasi dengan mikroplastik. Hal tersebut akan mempengaruhi kesehatan masyarakat Gorontalo jika sudah mengkonsumsi ikan-ikan yang sudah tercemar senyawa-senyawa berbahaya itu.

Sebenarnya, rantai makanan di perairan Gorontalo yang sudah tercemar mikroplastik pernah diungkap di dalam Skripsi milik Yusril Rahmanto Bau, Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Gorontalo. Skripsi tersebut berjudul “Identifikasi Kandungan Mikroplastik Pada Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) di Pelelangan Ikan Kota Gorontalo” yang terbit pada Juni 2022 lalu.

Dalam penelitian tersebut menunjukan, 3 dari 5 sampel ikan cakalang sudah terkontaminasi dengan mikroplastik. Mikroplastik yang terkandung dalam ikan cakalang semua berjenis mikroplastik fiber dengan memiliki 1 sampai 4 partikel per individu ikan cakalang. Mikroplastik tersebut diduga berasal dari alat tangkap ikan oleh para nelayan, limbah rumah tangga, dan sampah plastik yang berakhir di lautan.

Tak hanya itu, mikroplastik di perairan Gorontalo juga pernah diungkap dalam Skripsi milik Agus Asumbo dari Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Gorontalo. Skripsinya berjudul “Komposisi Mikroplastik Di Sekitar Wilayah Pesisir Kota Gorontalo,” yang terbit pada September 2020 lalu, melalui website kampusnya.

Sampah plastik seperti sachet ini salah satu yang bisa jadi mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Sampah plastik seperti sachet ini salah satu yang bisa jadi mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Penelitian yang merupakan tugas akhir studi itu mengambil lima lokasi pengambilan sampel, yaitu: Leato Utara, Leato Selatan, Pantai Leato, Pantai Indah, dan Tanjung Keramat yang semuanya berada di wilayah Kota Gorontalo. Dari lima lokasi itu, ada dua jenis mikroplastik yang teridentifikasi tercemar di pesisir Kota Gorontalo, yaitu jenis film dan fiber.

Adapun, komposisi tertinggi dari dua jenis mikroplastik adalah jenis film 88 %, dan terendah jenis fiber 12 %. Kepadatan mikroplastik jenis film tertinggi terdapat di Pantai Leato dengan jumlah kepadatan 179 partikel/196.25 cm3, dan terendah di Leato Utara dengan jumlah kepadatan sebesar 76 partikel/196.25 cm3.

“Sementara, kepadatan mikroplastik jenis fiber tertinggi ditemukan di Tanjung Kramat dengan jumlah kepadatan 33 partikel/196.25 cm3, dan terendah ditemukan di Pantai Indah dengan jumlah kepadatan 4 partikel/196.25 cm3,” tulis Agus Asumbo dalam hasil penelitiannya.

Prigi Arisandi, peneliti tim ESN mengatakan, mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran kurang dari 5 mm yang berasal dari hasil pemecahan dari sampah plastik seperti sachet, tas kresek, Styrofoam, botol plastik, sedotan, alat penangkap ikan, popok dan sampah plastik lainnya yang dibuang di aliran sungai bone.

Akibat paparan sinar matahari dan pengaruh fisik pasang surut maka sampah plastik ini akan rapuh dan terpecah menjadi remah-remah kecil yang disebut sebagai mikroplastik. Kata Prigi, timbunan sampah liar yang masih banyak ditemukan di bantaran sungai bone ataupun pada lahan-lahan terbuka di pesisir Kota Gorontalo menjadi penyebab utama terbentuknya mikroplastik yang sudah mencemari sungai hingga lautan.

Apalagi, kata Prigi, bentuk mikroplastik menyerupai plankton yang merupakan salah satu sumber makanan ikan yang membuat rantai makanan di perairan Gorontalo tercemar mikroplastik. Prigi bilang, keberadaan mikroplastik dalam air Sungai Bone, hingga perairan Gorontalo dan dalam lambung ikan cakalang sangat berbahaya bagi ekosistem sungai bone dan kesehatan masyarakat Gorontalo.

Menurutnya, dengan ditemukannya mikroplastik dalam tubuh ikan akan menjadi ancaman baru, karena racun mikroplastik akan berpindah dari tubuh ikan ke tubuh manusia yang mengkonsumsi ikan.  Katanya, keberadaan mikroplastik harus dikendalikan dengan menghentikan penggunaan plastik sekali pakai dan mengendalikan sampah plastik agar tidak masuk kedalam sungai bone atau ke perairan Gorontalo.

Pasalnya, mikroplastik termasuk senyawa pengganggu hormon sehingga apabila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi sistem hormone reproduksi dan metabolisme. Katanya, salah satu dampak mikroplastik dalam tubuh manusia adalah diabetes mellitus, penurunan kualitas sperma dan menopause lebih awal.

“Mikroplastik di air akan mengikat polutan di air seperti logam berat, pestisida dan detergen dalam air serta senyawa khlorin dan phospat. Mikroplastik juga bisa menjadi media tumbuh bakteri pathogen,” kata Prigi Arisandi kepada Mongabay, pertengahan Oktober lalu.

Made with Flourish

Urbanisasi dan Pengelolaan Sampah Buruk

Prigi mengatakan, pengelolaan sampah yang buruk dan lajunya arus urbanisasi di Kota Gorontalo menjadi pemicu utama pencemaran mikroplastik di perairan sungai dan pesisir hingga lautan. Katanya, kepadatan penduduk menjadikan sampah tidak terkelola dengan baik, dan akhirnya sampah dibiarkan begitu saja, atau orang-orang membuat sampah secara sembarangan ke sungai.

Padahal, dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sudah jelas mengatur diatas sungai harusnya tidak ada sampah. Kenyataannya, sampah masih banyak ditemukan di Sungai Bone dan Perairan Gorontalo.

Kota Gorontalo memang merupakan titik awal perkembangan Provinsi Gorontalo yang berciri arus urbanisasi dan alami degradasi lahan di ruang perkotaan. Dengan luas wilayah 79,03 km2 dan penduduk 198.539 [2020], Kota Gorontalo, alami peningkatan pembangunan infrastruktur hingga mengubah wajah kota.

Kondisi ini, mendorong masyarakat migrasi dari desa ke kota. Urbanisasi memang memberikan andil dalam laju pertumbuhan penduduk di kota ini. Laju pertumbuhan penduduk 1990- 2000 mencapai 1,20%, dan 2000-2010 mencapai 2,93%, Kemudian, 2010 -2020 tumbuh sebesar 0,95%. Alhasil, pengelolaan sampah di Kota jasa ini tidak terkendali.

Data dari dokumen Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (Jakstrada) Kota Gorontalo 2018, menyebutkan, Kota Gorontalo salah satu penyumbang sampah terbesar di Gorontalo. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menunjukkan, produksi sampah di Kota Gorontalo mencapai 140 ton per hari.

Sayangnya, dari 140 ton per hari itu, hanya 70 ton mampu diangkat Dinas Lingkungan Hidup Kota Gorontalo ke TPA Regional Talumelito, Gorontalo. Sisanya, sekitar 70 ton, dibiarkan begitu saja dan tak bisa terkelola baik, akhirnya berisiko berdampak buruk terhadap lingkungan hidup, menjadi mikroplastik dan mencemari perairan Gorontalo.

Sumber sampah di Kota Gorontalo itu terdiri dari 37,13% sampah rumah tangga, 24,27% perkantoran, 14,28% dari perniagaan, 14,28% dari pasar, 7,14% dari fasilitas publik, 2,86% dari kawasan, dan 0,04 sampah lain. Sementara, komposisi sampah di Kota Gorontalo terdiri dari 21% sisa makanan, 215% kayu/ranting, 10% sampah kertas/karbon, 35% plastik, 10% logam, 5% kain, 2% karet/kulit, dan 2% kaca.

Sebenarnya, Pemerintah Kota Gorontalo sudah membuat Peraturan Daerah (Perda) Kota Gorontalo Nomor 12/2017 tentang pengelolaan sampah. Dalam perda itu, khusus di Pasal 3 BAB II jelas menyatakan tujuan pembuatan aturan untuk menjamin pengelolaan sampah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Aturan itu juga untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan, dan jadikan sampah sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ironisnya, dalam dokumen Jakstrada, hanya 16% sampah dikelola masyarakat dengan dipilih, sisanya, 84% dibiarkan begitu saja. Parahnya lagi, dari 10 TPS3R di Kota Gorontalo yang jadi tempat pemilahan sampah plastik untuk daur ulang, hanya dua yang berfungsi. Sisanya, tak dikelola.

Hazairin Thamrin, Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Gorontalo mengaku, temuan soal mikroplastik di perairan Gorontalo tidak menyakitkannya, karena pihaknya sudah memprediksikan sebelumnya. Penyebabnya adalah, perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan. Meski begitu, Hazairin tak menapikan, sampah-sampah di bantaran sungai dan pesisir Gorontalo masih banyak.

“Di sungai kita memang sangat penuh dengan sampah, dan yang melakukan itu adalah kita semua,” kata Hazairin Thamrin saat menjadi narasumber di diskusi soal horror mikroplastik di Gorontalo yang dilaksanakan oleh Japesda Gorontalo, pada 20 Oktober lalu.

Hazairin bilang, pemerintah memang bertanggung jawab soal itu untuk memberikan edukasi, sosialisasi dan melakukan pelayanan pengangkutan sampah. Ia mengklaim, sampah yang berada di wilayah perairan dan pesisir Gorontalo sering diangkut setiap dua hari sekali. Pihaknya juga melarang masyarakat membuang sampah di sungai dan di laut. Hanya saja, perilaku masyarakat sulit untuk dirubah.

Ironisnya, kata Hazairin, setiap ada masalah sampah itu langsung diklaim adalah kelalaian dan kesalahan DLH Kota Gorontalo. Padahal, katanya, DLH tidak mungkin menyelesaikan masalah sampah di Kota Gorontalo kalau tidak ada dukungan nyata dari seluruh masyarakat. Namun, kenyataan dilapangan berbeda, masih banyak sampah dibuang sembarangan di sungai dan dilaut.

Hazairin meyakini, temuan mikroplastik di perairan Gorontalo merupakan kebenaran yang tidak bisa dibantah. Pihaknya sangat berharap hasil temuan itu bisa disampaikan ke DLH untuk bisa dijadikan salah satu rekomendasi pembahasan utama yang harus diperhatikan di Kota Gorontalo. Walaupun begitu, ia menegaskan pihaknya sudah melakukan sebaik-baik untuk pengangkutan sampah setiap hari.

“Untuk merubah perilaku masyarakat di Kota Gorontalo, kita hanya memberikan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat, melalui media sosial dan secara langsung,” ucapnya

Uji air di perairan Gorontalo dan hasilnya tercemar mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Uji air di perairan Gorontalo dan hasilnya tercemar mikroplastik. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Sementara itu, Sri Saturni Arifin, dari Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Gorontalo mengatakan, pengakutan sampah yang dilakukan setiap hari tidak menjadi solusi utama dalam penanganan masalah sampah di Kota Gorontalo. Pasalnya, kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam mengelola sampah di Kota Gorontalo masih cukup rendah. Menurutnya, harus ada ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan permasalah sampah.

Kata Sri Saturni Arifin, di Kota Gorontalo sudah banyak penelitian yang bicara soal sampah, kualitas air, bahkan regulasi penanganan sampah sudah ada. Namun, semuanya itu hanya menjadi dokumen, dan ada tidak ada implementasi berupa ketegasan pemerintah untuk menjalankan regulasi tersebut. Katanya, padahal pelaku usaha menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di Gorontalo, dan itu yang menjadi perhatian serius.

“Kita beberapa kali menyampaikan ide ke DLH Kota Gorontalo untuk penanganan sampah, Tapi, tidak ada penyelesaian yang baik, dan perilaku masyarakat masih saja tidak berubah. Padahal, jika semua regulasi itu diterapkan secara tegas, pasti ada perusahaan yang ada,” kata Sri Saturni Arifin. Regulasi yang dimaksudnya adalah Peraturan Daerah (Perda) Kota Gorontalo Nomor 12/2017 tentang pengelolaan sampah.

Tak hanya itu, katanya, dalam pengelolaan TPS3R, terlalu banyak kepentingan di dalamnya, dan masyarakat juga meminta harus ada insentif jika mereka mengelola sampah, sementara pemerintah beralasan tidak memiliki anggaran. Bank sampah yang dikelola nya juga sampai hari ini belum ada peningkatan pelanggan, karena kesadaran masyarakat masih cukup rendah.

Untuk itu, menurut Prigi, Pemerintah Kota Gorontalo harus secepatnya mengambil langka serius dengan memprioritaskan penanganan pencemaran mikroplastik di Perairan Gorontalo dengan pembersihan sampah plastik. Timbunan sampah liar di bantaran sungai dan pesisir pantai Gorontalo harus secepatnya dibersihkan untuk menghindari ancaman yang lebih besar dari mikroplastik.

Selain itu, Prigi juga menyarankan, Pemerintah Kota Gorontalo harus melakukan patroli di perairan Gorontalo hingga ke sungai bone. Ia juga meminta harus ada pemasangan trashboom penghalang sampah agar tidak masuk ke perairan Gorontalo serta pemerintah setempat harus membuat Perda larangan penggunaan plastik sekali pakai.

Selanjutnya, Prigi menambahkan, pemerintah setempat juga harus menyediakan tempat sampah khusus untuk popok bayi agar warga tidak membuang sampah popok di sungai atau ke wilayah perairan. Semua TPS3R yang ada di Kota Gorontalo harus diaktifkan kembali agar sampah di setiap kelurahan bisa ditangani dengan baik.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.