“Ciptakan Ruang Aman Bagi Perempuan Buruh di Perkebunan Sawit”

Samria, lahan kelola ditanami perusahaan dengan janji bagi hasil. Tak sesuai janji, mengadu tanpa kejelasan malah dia kena penjara. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Samria, lahan kelola ditanami perusahaan dengan janji bagi hasil. Tak sesuai janji, mengadu tanpa kejelasan malah dia kena penjara. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Buruh perkebunan sawit menjadi aktor penting dalam mendukung keberhasilan industri sawit Indonesia. Industri ini diketahui mampu menyerap setidaknya 16,2 juta pekerja dengan 4,2 juta diantaranya merupakan tenaga kerja langsung dan 12 juta merupakan tenaga kerja tidak langsung.

Dengan begitu, buruh di perkebunan sawit ini patut mendapatkan perhatian dalam pemantauan rantai pasok industri sawit, terutama dalam kaitannya dengan kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami. Terlebih lagi, saat ini total luas perkebunan sawit telah mencapai 25,07 juta hektar.

Namun kenyataannya lapangan berbeda, kondisi sosial buruh di kebun sawit saat ini masih jauh dari kesejahteraan, bahkan menempatkan kelompok perempuan di perkebunan sawit pada posisi yang rentan.

Zidane, Spesialis Buruh, Sawit Watch mengakui hal itu. Ia bilang, saat ini masih banyak ditemukan praktek-praktek pengelolaan kebun oleh perusahaan besar sawit yang menempatkan kelompok perempuan dalam posisi yang rentan.

Dari sisi status kerja misalnya, kata Zidane, banyak dari perempuan buruh berstatus Buruh Harian Lepas (BHL). BHL tidak memiliki pendokumentasian hubungan kerja yang tidak jelas atau tidak terhubung dengan perusahaan secara langsung.

“Sehingga hak-hak yang diterima buruh tidak sesuai dengan yang seharusnya ia terima,” kata Zidane melalui rilis yang diterima Benua Indonesia.

Bahkan, kata Zidane, dalam beberapa kasus, potensi kekerasan dan pelecehan seksual masih dapat ditemukan di perkebunan sawit. Pihaknya pun kerap mendengar laporan dan informasi terkait dengan hal ini yang dilakukan oknum mandor terhadap perempuan di perkebunan sawit.

Selain itu, kata Zidane, perempuan buruh juga kerap kali beresiko terpapar bahan kimia berbahaya atas penggunaan pupuk dan racun. Hal ini dapat berdampak bagi kesehatan mereka khususnya sistem reproduksi. Ia bilang, perempuan buruh di kebun sawit adalah kelompok yang paling rentan.

“Sehingga penciptaan lingkungan kerja yang aman, nyaman dan mensejahterakan buruh sawit patut menjadi prioritas untuk dilakukan, baik bagi perusahaan maupun pemerintah sesuai dengan peran dan porsinya masing-masing,” ujarnya

Senada dengan hal tersebut, Achmad Surambo, Direktur Eksekutif, Sawit Watch menambahkan bahwa, pemerintah harus melihat dengan jelas keberadaan, dan suara-suara dari kelompok buruh kebun sawit.

Pasalnya, kata Achmad Surambo, dari sisi kebijakan pengaturan soal ketenagakerjaan masih kurang berpihak bagi buruh sawit. Hal ini diperburuk dengan adanya kebijakan UU Cipta Kerja yang melanggengkan praktek kerja informal bagi buruh sawit.

”Sehingga sudah saat bagi pemerintah menseriusi hal ini, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan perlindungan pemberdayaan terhadap buruh tani dan buruh kebun di perkebunan sawit yang sempat digadang gadang sebelumnya,” kata Surambo.

Tak hanya itu, kata Achmad Surambo, diresmikan kebijakan anti deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation Regulation/EUDR) juga patut menjadi perhatian. Ia tak ingin, kelompok buruh kebun sawit dirugikan.

“Pemerintah dan Komisi EU turut bertanggung jawab dengan memperhatikan buruh kebun sawit atas pelaksanaan EUDR ini kedepan,” pungkas Rambo.

Staf Redaksi Benua Indonesia