Dinilai Ikut Merugikan Lingkungan, Bank Mandiri Digugat

Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu
Kebun sawit PT SPN yang diduga masuk kawasan hutan lindung. Foto: Yayasan Komiu

TuK INDONESIA secara resmi mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terhadap Bank Mandiri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dengan nomor perkara 1186/Pdt.G/2024/PN.JKT.SEL, yang tercatat pada tanggal 13 November 2024.

Dalam gugatan ini, PT Astra Agro Lestari (AAL), bersama dengan anak perusahaannya, PT Agro Nusa Abadi (ANA), turut menjadi pihak tergugat.

Bank Mandiri, yang selama ini mengklaim diri sebagai “Indonesia’s First Movers on Sustainable Banking”, diduga tidak konsisten dengan komitmennya terhadap prinsip-prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang telah dipromosikan.

Pembiayaan yang diberikan oleh Bank Mandiri kepada PT Astra Agro Lestari (AAL) dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap praktik-praktik yang merugikan lingkungan hidup, masyarakat lokal, serta melanggar prinsip-prinsip keberlanjutan yang seharusnya dipegang teguh.

Kasus ini menarik perhatian publik karena PT ANA, sebelumnya telah menjadi sorotan terkait dugaan praktik ilegal, pelanggaran hak asasi manusia, dan konflik agraria di wilayah oper

asinya.Langkah yang diambil oleh TuK INDONESIA ini bertujuan untuk menuntut pertanggungjawaban lembaga keuangan dalam memastikan bahwa pembiayaan yang diberikan tidak mendukung pelanggaran hukum, perusakan lingkungan, maupun pengabaian hak-hak masyarakat yang terdampak.

Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, menyampaikan bahwa TuK Indonesia mengajak seluruh masyarakat serta pihak berwenang untuk secara bersama-sama mengawasi perkembangan kasus ini.

Selain itu, TuK Indonesia mendesak Bank Mandiri untuk bertanggung jawab atas fasilitas pembiayaan yang telah disalurkan, memastikan bahwa dana tersebut tidak mendukung praktik yang merugikan masyarakat dan lingkungan.

“Kami berharap kasus ini dapat menjadi preseden bagi penegakan hukum yang lebih tegas terhadap bank atas pembiayaan yang berkontribusi pada pelanggaran hukum, pengabaian hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan,” lanjut Linda.

Sidang gugtan pertama yang berlangsung pada 25 November 2024. (Foto: TuK INDONESIA)
Sidang gugtan pertama yang berlangsung pada 25 November 2024. (Foto: TuK INDONESIA)

Sayangnya, pada sidang pertama yang berlangsung pada 25 November 2024, hanya TuK INDONESIA selaku penggugat dan para pihak turut tergugat yang hadir. Bank Mandiri, sebagai tergugat utama, tidak tampak hadir dalam sidang perdana ini.

Ketidakhadiran Bank Mandiri menimbulkan berbagai spekulasi, terutama mengingat gugatan ini berkaitan langsung dengan kredibilitas mereka dalam mengklaim diri sebagai bank yang mengedepankan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).

Menurut Linda, absennya Bank Mandiri dalam sidang ini mencerminkan kurangnya komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip keberlanjutan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tegas Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK Indonesia.

“Kami berharap kasus ini dapat menjadi momentum penting bagi lembaga keuangan lainnya untuk lebih selektif dalam memberikan pembiayaan, serta memastikan bahwa setiap proyek yang mereka dukung tidak merugikan masyarakat dan lingkungan,” jelas Lindah.

Sidang selanjutnya dijadwalkan pada 2 Desember 2024, dengan harapan semua pihak yang terlibat dapat hadir untuk menyampaikan sikap dan tanggapan mereka terhadap gugatan yang diajukan.

Langkah TuK INDONESIA ini menjadi pengingat tegas bahwa lembaga keuangan tidak bisa lagi bersembunyi di balik klaim keberlanjutan, sementara pada saat yang sama mendanai praktik-praktik yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

Gugatan ini menegaskan bahwa janji ESG tanpa tindakan nyata adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan pembangunan berkelanjutan yang sesungguhnya, yang mencakup aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi demi menjamin kesejahteraan publik, baik saat ini maupun di masa depan.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.